Nyanyian Tom Lembong di Sidang Impor Gula: Sebut Nama Jokowi hingga Penunjukan Importir
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, akhirnya bisa “bernyanyi” dalam sidang dugaan
korupsi
importasi gula.
Tom memiliki kesempatan yang cukup leluasa dan panjang untuk memberikan keterangan dari sudut pandangnya sendiri saat diperiksa sebagai saksi mahkota, Senin (30/6/2025).
Pada kesempatan itu, ia bersaksi untuk eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), terdakwa lain dalam kasus
impor gula
.
Dalam kesaksiannya, Tom mengungkap bagaimana awal mula penugasan pembentukan stok dan pengendalian harga gula nasional.
Menurut Tom, awal mula pihaknya membuka keran impor dan operasi pasar gula berasal dari perintah Presiden RI Ke-7
Joko Widodo
(Jokowi).
Pada kurun Agustus sampai September 2015, pemerintahan Jokowi dihadapkan pada gejolak harga bahan pangan.
Jokowi lalu memprioritaskan sektor perdagangan agar harga komoditas bahan pokok itu bisa dikendalikan.
“Kami kemudian menindaklanjuti perintah Presiden agar pemerintah segera menindak, mengambil tindakan yang diperlukan untuk meredam gejolak harga-harga tersebut,” ujar Tom Lembong di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Adapun perintah Jokowi disampaikan melalui sidang kabinet maupun pertemuan bilateral.
Tidak hanya itu, Tom bahkan mengungkapkan ia beberapa kali dihubungi Jokowi melalui sambungan telepon.
Presiden menanyakan perkembangan upaya mengendalikan harga pangan, termasuk gula pada 2015.
Menurutnya, Jokowi memang biasa menelepon menteri melalui ajudannya.
Kadang-kadang telepon dilakukan saat tengah malam.
“Dan dalam beberapa kali beliau menelepon saya, beliau juga mengecek status upaya kami dalam meredam gejolak harga pangan, apakah itu melalui importasi pangan atau melalui kebijakan-kebijakan lainnya,” kata Tom.
Menurut Tom, Jokowi bahkan beberapa kali memintanya untuk bertemu empat mata guna membicarakan masalah perdagangan.
Pertemuan biasanya dilakukan di Istana Bogor, Jawa Barat.
Jika pun pertemuan dihadiri orang lain, paling banyak sekitar empat orang.
“Saya biasanya berbincang langsung, termasuk empat mata atau hanya bertiga berempat dengan Bapak Presiden saat itu sekali setiap bulan atau sekali setiap dua bulan,” tutur Tom.
Pada kesempatan yang sama, Tom mengaku tidak cawe-cawe atau ikut campur dalam penunjukan delapan perusahaan swasta yang menjadi importir gula.
Menurut Tom, kewenangan penunjukan itu berada pada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Penunjukan delapan importir merupakan aksi korporasi dan bukan wilayah Kementerian Perdagangan.
Jika terdapat kementerian yang bisa ikut campur, adalah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebab, PT PPI merupakan perusahaan pelat merah yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN.
“Itu adalah keputusan manajemen dan kementerian teknis seperti Kementerian Perdagangan tidak boleh intervensi ke
corporate action
atau keputusan transaksi komersial,” ujar Tom.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2025/06/30/686268df548e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kepala Bapenda Belum Jadi Tersangka, Kuasa Hukum Mbak Ita Sebut Ada yang "Istimewa" Regional 30 Juni 2025
Kepala Bapenda Belum Jadi Tersangka, Kuasa Hukum Mbak Ita Sebut Ada yang “Istimewa”
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
— Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyani (Iin), hadir sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi yang menjerat eks Wali Kota Semarang, Heverita Gunaryati Rahayu (Mbak Ita), dan suaminya, Alwin Basri.
Namun, kehadiran Iin sebagai saksi menuai pertanyaan dari tim kuasa hukum terdakwa.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (30/6/2025), pendamping hukum Mbak Ita dan Alwin, Agus Nurudin, mempertanyakan status hukum Iin.
“Kami ingin tahu apakah saksi Indriyani sudah ditetapkan tersangka?” tanya Agus kepada majelis hakim.
Agus juga menyoroti posisi Iin yang disebut turut terlibat dalam aliran dana iuran kebersamaan, namun tidak berstatus tersangka.
“Beliau bersama-sama dengan Pak Alwin sebagai terdakwa. Makanya saya mempertanyakan, kenapa belum jadi tersangka? Apakah ada hak istimewa?” lanjut Agus.
Dalam kesempatan tersebut, Agus bahkan menyinggung isu pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan perkara, yakni kabar bahwa Iin pernah menonton konser Blackpink di Singapura.
“Saya pakai uang sendiri,” jawab Iin singkat menanggapi pertanyaan tersebut.
Dalam kesaksiannya, Iin mengakui telah menyetorkan uang sebesar Rp 2,2 miliar kepada Mbak Ita dan Alwin Basri. Dana tersebut berasal dari iuran kebersamaan para pegawai Bapenda Kota Semarang.
“Iya betul,” ucap Iin, membenarkan nominal yang diberikan kepada kedua terdakwa.
Menurut Iin, iuran kebersamaan adalah sumbangan sukarela dari para ASN, yang besarannya disesuaikan dengan penghasilan masing-masing pegawai. Dana tersebut dikumpulkan setiap triwulan, dan digunakan untuk kegiatan sosial dan rekreasi internal.
“Jumlah pegawai kami sekitar 160 orang. Ada yang menyumbang Rp 10 juta, ada Rp 6 juta, ada yang tidak sama sekali. Tapi tetap bisa ikut kegiatan seperti makan bersama atau piknik,” paparnya.
Rata-rata, dana iuran yang terkumpul setiap tiga bulan mencapai Rp 800 juta.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan bahwa selama periode 2022 hingga 2024, Mbak Ita menerima dana dari iuran kebersamaan ASN Bapenda mencapai Rp 3,8 miliar.
Sedangkan suaminya, Alwin Basri—yang saat itu menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kota Semarang—menerima dana serupa hingga Rp 1,2 miliar.
Sidang lanjutan dijadwalkan untuk memeriksa saksi-saksi berikutnya, serta mendalami peran masing-masing pihak dalam aliran dana tersebut.
Sementara itu, perdebatan soal status hukum Iin menjadi catatan penting dalam dinamika persidangan yang tengah berlangsung.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/30/6862315c16f9a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tom Lembong Akan Dituntut Jumat Pekan Ini
Tom Lembong Akan Dituntut Jumat Pekan Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong akan menjalani sidang tuntutan kasus dugaan korupsi
importasi gula
, pada Jumat (4/7/2025).
Informasi ini disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim
Pengadilan Tipikor
Jakarta Pusat, Dennie Arsan Fatrika, saat mengingatkan jaksa penuntut umum terkait agenda persidangan yang telah disepakati.
Dennie mengatakan, pemeriksaan terdakwa terhadap Tom yang urung digelar malam ini dan ditunda hingga Selasa (1/7/2025), tidak mengubah jadwal pembacaan surat tuntutan.
“Catatan juga untuk penuntut umum, penundaan besok tidak menunda untuk agenda tuntutan yang dijadwalkan di hari Jumat tanggal 4 (Juli). Demikian, terima kasih,” kata Dennie, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Adapun Tom sedianya diperiksa dalam kapasitasnya sebagai terdakwa untuk perkaranya sendiri hari ini.
Sidang rencananya digelar setelah para pihak selesai memeriksa Tom Lembong sebagai saksi mahkota untuk terdakwa eks Direktur Pengembangan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus.
Namun, hingga malam hari, sidang perkara Charles belum selesai sehingga tidak memungkinkan untuk memeriksa Tom sebagai terdakwa.
“Untuk persidangan atas nama Thomas Trikasih Lembong ditunda di hari Selasa, besok, 1 Juli 2025, agenda masih sama, untuk mendengarkan keterangan terdakwa,” kata Dennie.
Dalam perkara ini, Tom didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatannya dinilai melanggar hukum, memperkaya orang lain maupun korporasi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 578 miliar.
Jaksa dalam surat dakwaannya mempersoalkan tindakan Tom Lembong yang menunjuk sejumlah koperasi TNI-Polri untuk mengendalikan harga gula, alih-alih perusahaan BUMN.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sidang Korupsi Impor Gula, Tom Lembong Sebut Peran PT PPI
Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Thomas Lembong mengungkapkan bahwa PT Perusahaan penunjukan sejumlah perusahaan swasta dalam importasi gula merupakan ranah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Hal tersebut disampaikan Tom Lembong saat menjadi saksi untuk terdakwa mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6/2025).
Awalnya, jaksa penuntut umum (JPU) menggali terkait dengan pihak bertanggung jawab dalam pemberian penugasan impor gula terhadap sejumlah perusahaan swasta. “Itu siapa yang menentukan akhirnya perusahaan itulah yang bekerjasama dengan PPI?” tanya JPU.
Kemudian, Tom menjelaskan bahwa penugasan itu merupakan wewenang perusahaan. Dalam hal ini, PT PPI selaku holding BUMN merupakan perusahaan yang berwenang tersebut.
“Sebagaimana saya sudah sampaikan sebelumnya, itu sepenuhnya ranah, wewenang dan tanggung jawab korporasi dalam hal ini PT PPI,” ujar Tom.
Dia menambahkan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak bisa melakukan intervensi untuk menugaskan perusahaan swasta dalam hal transaksi komersial.
“Kecuali tentunya Kementerian BUMN sebagai regulator harus memastikan bahwa semua kegiatan dilakukan sesuai norma norma, standar good government ya, dari segi transparansi, laporan berkala dan tidak adanya konflik kepentingan,” pungkasnya.
Sekadar informasi, sejumlah perusahaan swasta yang terseret dalam perkara ini yaitu PT Angels Products, PT Andalan Furnindo, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Makassar Tene, PT Duta Sugar Internasional, PT Kebun Tebu Mas, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Permata Dunia Sukses Utama.
Dalam perkara ini, jaksa menyatakan bahwa Tom diduga telah memberikan persetujuan impor terhadap sejumlah, termasuk swasta dalam rangka pengendalian ketersediaan gula dan stabilisasi harga gula dalam negeri.
Namun dalam pelaksanaannya, Tom Lembong diduga telah melanggar sejumlah aturan seperti persetujuan impor itu dilakukan tanpa rapat koordinasi antar kementerian.
Alhasil, perbuatan itu diduga telah memperkaya 10 pihak swasta senilai Rp515 miliar. Adapun, kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp578 miliar
-

Mantan Menpora Imam Nahrawi Divonis Tujuh Tahun Penjara Imbas Korupsi dalam Memori Hari Ini, 29 Juni 2020
JAKARTA – Memori hari ini, lima tahun yang lalu, 29 Juni 2020, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi divonis 7 tahun penjara imbas korupsi. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menganggap Imam terbukti menerima suap dana hibah atlet-pelatih.
Sebelumnya, Imam dikenal sebagai Menpora cekatan. Ia kerap terdepan urusan mengapresiasi atlet nasional berprestasi. Masalah muncul. Belakangan borok Imam kelihatan. Ia diduga menerima suap yang digunakan untuk kepentingan pribadi.
Kiprah Imam Nahrawi sebagai Menpora sempat membawa nuansa positif. Ia dianggap sebagai Menpora yang peduli dengan atlet nasional. Barang siapa yang punya prestasi membanggakan akan diapresiasi. Bonusnya dicairkan cepat.
Citra itu kian hancur kala ia diduga melakukan korupsi. Kemenpora di bawah kuasanya dianggap problematik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengendus praktek korupsi yang dilakukan oleh petinggi Kemenpora. Alhasil, KPK berhasil menjalankan operasi tangkap tangan (OTT) petinggi Kemenpora.
Mereka menangkap Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi dan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga, Mulyana. Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian Pemuda dan Olahraga Adhi Purnomo dan anggota stafnya, Eko Triyanto juga ikut ditangkap.
KPK menangkap pula Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Pusat, Johnny F. Awuy. Penangkapan itu terkait berbagai kasus korupsi.
Utamanya masalah dana hibah dari Kemenpora untuk pengawasan dan pendampingan seleksi bakal calon atlet-pelatih SEA Games. Nama Imam akhirnya terseret. KPK mengendus bahwa Imam ikut menerima suap. Memang tak secara langsung karena uang masuk lewat asistennya Miftahul Ulum.
KPK mencoba menelusuri lebih jauh keterlibatan Imam. Akhirnya, diketahui bahwa Imam terlibat dari korupsi dana hibah dari 2014 hingga 2018. KPK pun mengumumkan status Imam sebagai tersangka pada 18 September 2019. Kemudian, Imam mengundurkan diri dari jabatan Menpora.
“Dalam rentang 2014 – 2018, Imam selaku Menpora melalui Ulum selaku asisten pribadi Menpora diduga telah menerima uang sejumlah Rp14,7 miliar. Selain penerimaan uang tersebut, dalam rentang waktu 2016-2018, Imam selaku Menpora diduga juga meminta uang sejumlah total Rp11,8 miliar, hingga total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar.”
“Uang itu diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora tahun anggaran 2018, penerimaan terkait Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam selaku Menpora. Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait,” ungkap jubir KPK, Febri Diansyah dalam siaran persnya, dikutip laman KPK sehari setelahnya, 19 September 2019.
Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Kemenpora RI) di kawsan Senayan, Jakarta. (Kemenpora)
Persidangan kasus suap Imam pun berlangsung. Segenap rakyat Indonesia pun mengecam keterlibatan Imam dalam korupsi. Puncaknya, majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat memvonis Imam tujuh tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider kurungan tiga bulan pada 29 Juni 2020.
Imam dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dan merugikan negara. Imam dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 12B Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Namun, vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang ingin hukuman 10 tahun penjara. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebut Imam telah bersikap sopan dan belum pernah dihukum.
“Mengadili, menyatakan terdakwa Imam Nahrawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ujar ketua majelis hakim, Rosmina sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 29 Juni 2020.
-

Tom Lembong Buka-bukaan Soal Impor Gula, Ngaku Lanjutkan Kebijakan Rachmat Gobel
Bisnis.com, JAKARTA — Bekas Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong kembali buka-bukaan terkait kasus importasi gula yang menjeratnya saat ini. Tom menekankan bahwa kebijakan importasi gula di eranya hanya menindaklanjuti penugasan dari eks Mendag Rachmat Gobel.
Hal tersebut disampaikan Tom Lembong saat menjadi saksi untuk terdakwa mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Charles Sitorus di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/6/2025).
Awalnya, Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika menanyakan soal pemberian izin atau persetujuan impor gula kepada PT PPI. Namun, Tom membantah telah memberikan pemberian izin.
Selanjutnya, Tom mengakui bahwa dirinya hanya menindaklanjuti penugasan importasi gula yang sebelumnya dilakukan oleh eks Mendag Rachmat Gobel.
“Memberikan surat penugasan ya?” tanya Hakim.
“Menindaklanjuti. Saya menindaklanjuti penugasan yang dimulai oleh Menteri Perdagangan pendahulu saya, Pak Rachmat Gobel,” jawab Tom.
Dia menekankan bahwa dirinya hanya menindaklanjuti izin Impor atas persetujuan juga dari Menteri BUMN untuk menstabilkan harga dan stok gula nasional
“Saya menindaklanjuti dan dengan persetujuan dari Menteri BUMN, saya memperpanjang penugasan yang diberikan kepada PT PPI, dalam rangka upaya Pemerintah untuk menstabilkan harga dan untuk stok gula nasional,” pungkasnya.
Dalam catatan Bisnis, eks Mendag Rachmat Gobel sempat diperiksa dalam sidang perkara ini. Pria yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) hadir sebagai saksi pada Kamis (15/5/2025).
Sekadar informasi, jaksa telah mendakwa Tom Lembong telah memberikan persetujuan impor terhadap sejumlah pihak swasta dalam rangka pengendalian ketersediaan gula dan stabilisasi harga gula dalam negeri.
Namun dalam pelaksanaannya, Tom Lembong diduga telah melanggar sejumlah aturan seperti persetujuan impor itu dilakukan tanpa rapat koordinasi antar kementerian.
Alhasil, perbuatan itu diduga telah memperkaya 10 pihak swasta sebesar Rp515 miliar. Adapun, kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp578 miliar.
-

Menguliti Sosok Harun Masiku dari Kesaksian Hasto Kristiyanto
Jakarta –
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto diperiksa sebagai terdakwa kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan. Sosok Harun Masiku dikuliti dalam kesaksian Hasto.
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025). Dari awal persidangan, hakim meminta Hasto untuk memberi kesaksian jujur.
“Kami ingatkan kepada terdakwa agar memberi keterangan yang benar, apa adanya, karena kejujuran saudara nanti membantu diri saudara sendiri, ya?” ujar ketua majelis hakim Rios Rahmanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
“Baik, Yang Mulia,” jawab Hasto.
Hasto dalam kasus ini didakwa merintangi penyidikan kasus dugaan suap dengan tersangka Harun Masiku. Hasto disebut menghalangi KPK menangkap Harun Masiku, yang jadi buron sejak 2020.
Hasto juga didakwa menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp 600 juta. Jaksa mengatakan suap itu diberikan agar Wahyu Setiawan mengurus penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku.
Hasto didakwa memberi suap bersama-sama orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri, kemudian juga Harun Masiku. Donny saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, lalu Saeful Bahri telah divonis bersalah dan Harun Masiku masih menjadi buron.
Dalam persidangan kemarin, Hasto menceritakan pertama kali bertemu dan mengenal buron Harun Masiku. Pertemuan itu terjadi saat pendaftaran calon anggota legislatif pada 2019 di kantor DPP PDIP.
“Apakah saudara terdakwa mengenal seseorang yang bernama Harun Masiku?” tanya jaksa KPK, Budhi Sarumpaet.
“Izin Yang Mulia, saya mengenal Harun Masiku ketika proses pencalegan pada tahun 2019,” jawab Hasto.
Saat itu Harun menemui Hasto sambil membawa biodata di kantor DPP PDIP. Dia mengatakan Harun memintanya agar didaftarkan sebagai calon anggota legislatif dari PDIP.
“Yang besangkutan datang ketemu saya kemudian membawa biodata dan kemudian menyatakan niatnya untuk mendaftarkan sebagai calon anggota legislatif, karena menjadi calon anggota legislatif bersifat terbuka. Maka kemudian yang bersangkutan, saya minta untuk datang ke sekretariat untuk mengisi biodata. Itu perkenalan dan pertemuan saya pertama dengan saudara Harun Masiku,” ujar Hasto.
Saat itu Harun belum menjadi kader PDIP. Hasto mengatakan Harun hanya membawa kartu tanda anggota (KTA) sebagai anggota PDIP.
“Pada saat itu, Harun Masiku mendatangi terdakwa itu di rumah aspirasi? Atau di kantor DPP?” tanya jaksa.
“Di kantor DPP PDIP karena hal-hal yang berkaitan dengan caleg semuanya dipusatkan di kantor DPP PDIP,” jawab Hasto.
“Apakah pada saat Harun Masiku itu menemui saudara terdakwa, meminta untuk mendaftar sebagai caleg PDIP. Pada saat itu Harun Masiku sudah kader PDIP atau masih belum?” tanya jaksa.
“Saat itu yang bersangkutan menunjukkan KTA-nya, sebagai anggota PDIP. Jadi bukan sebagai kader PDIP,” jawab Hasto.
Hasto Sebut Keahlian Harun Masiku Dibutuhkan PDIP
Hasto Kristiyanto. (Foto: Ari Saputra)
Hasto mengatakan Harun Masiku mendapat beasiswa dari Ratu Elizabeth dan memiliki keahlian international economic of law. Hasto menyebut keahlian itu dibutuhkan PDIP.
“Mungkin saudara terdakwa bisa menjelaskan, dari delapan caleg di Dapil Sumsel 1 yang mana Harun Masiku itu nomor urut 6, kenapa Harun Masiku yang ditetapkan sebagai kader terbaik dari partai PDIP untuk menerima perolehan suara dari Pak Nasarudin Kiemas? Alasannya apa?” tanya jaksa.
Hasto kemudian memberikan penjelasan. Hasto mengatakan semua biodata caleg termasuk Harun dipaparkan dan dibahas dalam rapat pleno DPP PDIP untuk menentukan pelimpahan suara Nazarudin.
“Izin Yang Mulia, jadi saat itu kita kan memiliki pusat database. Jadi ketika putusan judicial review memberikan diskresi kepada pimpinan partai, pemenangan kepada pimpinan partai, maka dalam rapat DPP tersebut kami melihat caleg-caleg yang ada di situ karena setiap caleg kan mengisi biodata,” kata Hasto.
“Ada caleg yang selalu aktif menjadi calon, ada calon bupati dua kali, ada calon anggota legislatif, tidak pernah terpilih kemudian juga ada yang masih baru,” imbuhnya.
Hasto mengatakan pada biodata Harun tertulis beasiswa dari Ratu Elizabeth dan keahlian Harun yakni international economic of law. Dia mengatakan keahlian tersebut dibutuhkan partai saat itu.
“Kemudian ketika biodata dari saudara Harun Masiku dipaparkan, di situ tertulis bahwa dia mendapatkan beasiswa dari Ratu Elizabeth, kemudian keahliannya international economic of law. Suatu profesi yang sangat diperlukan oleh partai karena kami juga melihat aspek-aspek kebutuhan strategis partai,” ujar Hasto.
Hasto mengatakan DPP PDIP juga mempertimbangkan aspek historis Harun yang sudah mengikuti kongres pertama dan terlibat dalam penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Dia mengatakan keahlian Harun dan pertimbangan historis itu menjadi alasan DPP PDIP memutuskan suara Nazarudin dilimpahkan ke Harun.
“Kemudian kita juga melihat dari aspek historisnya karena ini menjadi anggota sebenarnya kongres pertama sudah terlibat di dalam penyusunan AD/ART,” kata Hasto.
“Sehingga dua pertimbangan itu lah yang pertama international economic of law, partai memerlukan keahlian itu. Yang kedua, aspek historis. Itulah yang kemudian setelah melihat calon-calon yang lain, dia ditetapkan untuk menerima pelimpahan suara dari Bapak Nasarudin Kiemas,” imbuh Hasto.
Jaksa Tanya Hasto soal Harun Masiku Kader Terbaik
Foto: Foto Harun Masiku pernah bersama Hasto Kristiyanto dan Djan Faridz di ruangan mantan Ketua MA Hatta Ali ditampilkan di sidang Hasto (Anggi/detikcom).
Jaksa turut menanyakan apakah Harun merupakan kader terbaik sehingga diputuskan PDIP menerima pelimpahan suara Nazarudin Kiemas.
“Nah, apa hasil keputusan rapat pleno pada waktu itu?” tanya jaksa.
“Hasil dari keputusan rapat pleno adalah itu juga pada bulan Juli, untuk memohon kepada KPU terhadap pelaksanaan dari hasil judicial review Mahkamah Agung yang keputusannya juga kami lampirkan. Kemudian keputusan yang lain, DPP PDI Perjuangan menetapkan bahwa saudara Harun Masiku itu menggantikan Bapak Nazarudin Kiemas. Menerima pelimpahan suara, itu tepatnya seperti itu, sebagai diskresi yang dimiliki oleh DPP PDI Perjuangan berdasarkan pertimbangan hukum di dalam judicial review tersebut,” jawab Hasto.
“Jadi keputusan pimpinan partai politik pada waktu itu menentukan kader terbaik itu adalah Harun Masiku?” tanya jaksa.
“Betul,” jawab Hasto.
Jaksa kembali mendalami keterangan Hasto soal Harun sebagai kader terbaik sehingga ditetapkan sebagai penerima pelimpahan suara Nazarudin. Hasto mengatakan tak ada istilah kader terbaik pada hasil rapat pleno DPP PDIP saat menentukan Harun sebagai penerima pelimpahan suara Nazarudin.
“Karena kader terbaik adalah istilah yang ditetapkan oleh judicial review. Jadi langsung menetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa Saudara Harun Masiku mendapatkan beasiswa dari Ratu Elizabeth, dan kemudian international economic of law maka ditetapkan Saudara Harun Masiku untuk menggantikan Bapak Nazarudin Kiemas. Seperti itu bunyi putusannya, jadi nggak ada pernyataan sebagai kader terbaik,” jawab Hasto.
Hasto menegaskan tidak ada bunyi putusan Harun sebagai kader terbaik dalam rapat pleno DPP PDIP. Dia mengatakan hasil rapat pleno menentukan Harun sebagai penerima pelimpahan suara Nazarudin, bukan menggunakan istilah sebagai kader terbaik.
“Kalau maknanya dari keputusan itu kader terbaik, tapi tidak ada keputusan bahwa Harun Masiku adalah kader terbaik. Tidak ada bunyi keputusan seperti itu, yang bunyinya hanya kader Harun Masiku ditetapkan sebagai pengganti,” kata Hasto.
“Harun Masiku ditetapkan sebagai kader yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas?” tanya jaksa.
“Betul,” jawab Hasto.
“Kemudian keputusan kedua adalah agar DPP segera berkirim surat kepada KPU untuk melaksanakan keputusan judicial review seperti itu kan?” tanya jaksa.
“Iya, betul,” jawab Hasto.
Chat Harun Masiku ke Hasto
Hasto Kristiyanto. (Foto: Ari Saputra)
Jaksa KPK membuka pesan WhatsApp (WA) antara Hasto dan Harun Masiku. Pesan tersebut berisi ucapan terima kasih dari Harun.
Pesan itu ditampilkan jaksa di sidang. Pesan WhatsApp dikirim Harun ke Hasto pada 4 Desember 2019. Berikut ini bunyinya:
“Pak Sekjen. Salinan Putusan MA dan Asli Fatwah MA sy titip di mas Kusnadi. Terimakasih banyak kepada Bapak Sekjen dan lbu Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri, Ibu Puan Maharani dan pak Prananda serta stafnya mas Dony dan mas Sayful, Pak Djan Faridz dan pak Yasona Laoly serta semua teman teman kita sobat yg baik hati atas perhatian dan bantuannya kpd sy. Budi baiknya semua tak terlupakan sepanjang masa selama hajat dikandung badan. Praise to the Lord of Jesus Christ our Almighty God.”
Jaksa menanyakan kebenaran pesan yang dikirim Harun tersebut. membenarkannya.
“Benar?” tanya jaksa mengonfirmasi pesan tersebut.
“Iya, betul, ini kalau ke nomor saya, berarti ini betul,” jawab Hasto.
Fatwa yang dimaksud Harun dalam pesan itu adalah terkait putusan MA Nomor 57/P/HUM/2019 tanggal 19 Juli 2019. Fatwa itu diajukan karena ada perbedaan tafsir KPU saat PDIP memperjuangkan Harun Masiku menjadi anggota DPR menggantikan Riezky Aprilia melalui PAW.
Hasto mengatakan fatwa MA tersebut saat itu belum dijalankan. Alasannya, menurut dia, karena dinamika politik yang tinggi dan konsentrasi ke pilpres.
“Kalau fatwa MA itu langsung dijalankan pada tanggal itu mungkin tidak ada persoalan. Nah karena saya konsentrasi pada Pilpres, rencana pelantikan tanggal 23 Oktober, banyak demo-demo yang terjadi saat itu termasuk di Bawaslu, maka konsentrasi saya di sana. Sehingga saudara Harun Masiku memberikan WA tersebut karena saya meminta kepada saudara Dewi untuk menyiapkan kronologis. Jadi kronologis berkaitan dengan pelaksanaan fatwa MA,” tambah Hasto.
Halaman 2 dari 4
(idn/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Dalam Rutan KPK, Saya Berdoa dan Melarung Baju
Jakarta –
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengaku masih melakukan tradisi melarung pakaian di Rutan KPK. Hasto tidak melarung ke sungai tapi mengganti dengan mencuci pakaiannya sambil berdoa.
“Jadi cerita lucunya, kita ini kan bangsa spiritual. Jadi di dalam Rutan Merah Putih, saya juga berdoa dan tetap melarung. Maka baju rompi, suatu saat itu saya puasa, dan kemudian saya larung. Cuma karena sedang di dalam tahanan kan nggak bisa kemana-mana. Maka akhirnya saya cuci itu, sambil berdoa,” kata Hasto Kristiyanto usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).
Hasto mengaku berdoa agar dijauhkan dari kriminalisasi hukum yang memberikan dampak tidak baik. Dia mengatakan tradisi ini diikuti para tahanan lain di Rutan.
“Dan puasa sambil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dijauhkan dari berbagai hal yang membuat kriminalisasi hukum ini memberikan dampak yang tidak baik. Nah habis itu saya cerita ke teman-teman, rupanya yang lain pada ikut-ikutan. Ikut nyuci dan kemudian juga ikut berdoa. Jadi saya setidaknya menciptakan setidaknya trendsetter di dalam Rutan Merah Putih,” ujarnya.
“Sehingga dinamikanya, semangatnya, itu menjadi semakin tinggi. Saya memang suka memberikan semangat kepada teman-teman semuanya. Karena menjadi status tersangka, terdakwa, itu praduga tak bersalah,” imbuhnya.
Hasto mengaku juga diminta menuliskan surat oleh tahanan lain seperti ucapan semangat ke anak tahanan di Rutan. Dia mengartikan hal itu sebagai bentuk pelayanan.
Hasto merupakan terdakwa kasus dugaan merintangi penyidikan kasus dugaan suap dengan tersangka Harun Masiku. Hasto disebut menghalangi KPK menangkap Harun Masiku yang jadi buron sejak 2020.
Hasto disebut memerintahkan Harun Masiku merendam handphone agar tak terlacak KPK saat operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020. Hasto juga disebut memerintahkan Harun Masiku standby di kantor DPP PDIP agar tak terlacak KPK.
Jaksa juga mendakwa Hasto menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp 600 juta. Jaksa mengatakan suap itu diberikan agar Wahyu setiawan mengurus penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku.
Hasto didakwa memberi suap bersama-sama orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri kemudian juga Harun Masiku. Donny saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, lalu Saeful Bahri telah divonis bersalah dan Harun Masiku masih menjadi buron.
(mib/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

/data/photo/2025/06/30/68622d68be653.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)