Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta

  • Riuh Pendukung Jelang Putusan Kasus Impor Gula: Bebaskan Tom Lembong!

    Riuh Pendukung Jelang Putusan Kasus Impor Gula: Bebaskan Tom Lembong!

    Bisnis.com, JAKARTA — Suasana riuh terjadi menjelang sidang putusan kasus importasi gula yang menjerat bekas Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025)

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, sidang Tom Lembong berlangsung di ruang Hatta Ali. Kondisi di depan ruangan sidang itu sudah dipenuhi simpatisan Tom Lembong sejak 13.00 WIB.

    Meskipun pintu ruangan belum di buka, pendukung pejabat menteri di era Presiden ke-7 Joko Widodo ini terus berusaha masuk ke ruangan. Namun, upaya itu dihadang petugas keamanan, termasuk kepolisian di lokasi.

    “Bebaskan Tom Lembong, Bebaskan Tom Lembong!,” seru pendukung Tom Lembong di lokasi.

    Di samping itu, kepolisian terus mengimbau kepada pendukung Tom Lembong agar bisa kondusif dan menghargai jalannya persidangan di ruangan lain.

    “Mohon kondusif, kalau ada kerusuhan bakal kami keluarkan. Hargai persidangan yang lain,” ujar salah satu polisi menggunakan pengeras suara.

    Setelah itu, petugas keaman membuka jalan dengan membuat barikade agar perangkat sidang seperti kuasa hukum bisa masuk ke ruangan. 

    Situasi makin riuh usai Tom Lembong tiba di lokasi. Dia tiba sekitar 13.46 WIB. Tom nampak mengenakan kemeja putih lengkap dengan rompi tahanan pink khas Kejaksaan RI. “Free free Tom Lembong, free free Tom Lembong,” ujar pendukung Tom.

    Setelah Tom Lembong masuk. Kerumunan dari simpatisan Tom kemudian menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya menjelang dimulainya sidang putusan dalam perkara importasi gula tersebut.

  • Hasto Yakin Tuntutan 7 Tahun Penjara Bukan dari JPU KPK, tapi dari Order Kekuatan Luar

    Hasto Yakin Tuntutan 7 Tahun Penjara Bukan dari JPU KPK, tapi dari Order Kekuatan Luar

    Hasto Yakin Tuntutan 7 Tahun Penjara Bukan dari JPU KPK, tapi dari Order Kekuatan Luar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P
    Hasto Kristiyanto
    meyakini bahwa tuntutan hukuman 7 tahun penjara tidak berasal dari putusan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
    KPK
    , melainkan berasal dari pihak di luar JPU atau disebut dengan order kekuatan.
    “Saya bersama tim penasehat hukum meyakini bahwa putusan untuk mengajukan tuntutan 7 tahun tersebut tidak dari penuntut umum ini, melainkan sebagai suatu ‘order kekuatan’ di luar kehendak penuntut umum,” kata Hasto, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).
    Hasto mengatakan, indikasi kekuatan di luar KPK sudah lama terjadi, yaitu sejak bocornya Sprindik Eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
    “Juga persoalan yang menimpa mantan Ketua KPK Antari Azhar, sangat kental sekali bagaimana kekuatan/kekuasaan politik di luar telah mempengaruhi KPK,” ujar dia.
    Hasto mengatakan, perjuangannya jauh lebih besar dari dinding-dinding penjara karena kekuatan yang bermain terhadap kasusnya memang ada.
    “Makna perjuangan ini juga jauh lebih besar daripada bebas dari dinding-dinding penjara. Sebab, kekuatan yang bermain terhadap kasus saya ini benar-benar ada,” ucap dia.
    Dalam perkara ini, Hasto didakwa turut memberi suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan terkait upaya Harun Masiku menjadi anggota DPR RI lewat skema PAW.
    Sekjen PDI-P itu juga diduga turut menghalangi penyidikan yang dilakukan lembaga antirasuah dalam membongkar dugaan suap perkara Harun Masiku tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hasto Yakin Tuntutan 7 Tahun Penjara Bukan dari JPU KPK, tapi dari Order Kekuatan Luar

    Hasto Klaim Dirinya adalah Korban di Kasus Suap Harun Masiku

    Hasto Klaim Dirinya adalah Korban di Kasus Suap Harun Masiku
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP
    Hasto Kristiyanto
    merasa dirinya menjadi korban dalam kasus suap yang menyeret Politikus PDI-P
    Harun Masiku
    dan Komisioner KPU
    Wahyu Setiawan
    .
    Klaim tersebut disampaikan Hasto dalam sidang lanjutan dengan agenda duplik di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).
    “Dalam proses pembuktian, terdakwa justru menjadi korban ‘ayo mainkan’ Wahyu Setiawan (Komisioner KPU) dengan kesepakatan dana operasional yang juga untuk kepentingan pribadi yang dilakukan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, beserta Harun Masiku,” kata Hasto.
    Mengenai kutipan “mainkan” yang disebut Hasto, kata-kata itu mirip dengan materi yang terungkap di sidang tanggal 24 April 2025 lalu.
    Saat itu, Agustiani Tio Fridelina mengonfirmasi kebenaran adanya perkataan “siap” dan “mainkan” dari Komisioner (kini mantan) KPU Wahyu Setiawan berkaitan dengan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai keinginan Harun Masiku.
    Hasto mengatakan, selaku Sekjen PDIP dan pribadi, ia tak pernah menyetujui langkah-langkah kebijakan partai di luar proses hukum.
    “Bahwa ajaran
    actus reus
    (tindakan kejahatan) dan
    mens rea
    (niat jahat) dalam hukum pidana mengharuskan adanya perbuatan melawan hukum dan niat jahat pada diri terdakwa,” ujarnya.
    Hasto juga mengatakan, dalam kasus ini, dirinya tidak memberikan instruksi maupun aliran dana.
    “Tidak ada
    meeting of minds
    terdakwa (Hasto) untuk menyuap Wahyu Setiawan (Komisioner KPU). Tidak ada instruksi dari terdakwa, tidak ada pula aliran dana dari terdakwa, termasuk motif atas perbuatan tersebut,” tuturnya.
    Hasto juga mengatakan, yang terjadi dalam kasus tersebut adalah peran superaktif Saeful Bahri dengan motif untuk menempatkan alokasi dana operasional yang lebih besar.
    “Bahkan lebih besar daripada dana operasional yang diterima Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina,” ucap dia.
    Dalam perkara ini, Hasto didakwa turut memberi suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan terkait upaya Harun Masiku menjadi anggota DPR RI lewat skema PAW.
    Sekjen PDI-P itu juga diduga turut menghalangi penyidikan yang dilakukan lembaga antirasuah dalam membongkar dugaan suap perkara Harun Masiku tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Gak Jelas, Nggak Ada Barang Bukti

    Kasus Gak Jelas, Nggak Ada Barang Bukti

    GELORA.CO – Eks Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno buka suara terkait kasus dugaan korupsi importasi gula Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Tom Tirkasih Lembong atau Tom Lembong.

    Menjelang sidang vonis yang digelar pada Jumat (18/7/2025) hari ini, Oegroseno menyimpulkan bahwa kasus yang menjerat Tom Lembong tidak memiliki kejelasan dalam proses penyelidikan hingga persidangan.

    Dia juga menganggap tidak ada bukti-bukti yang kuat selama persidangan sehingga membuktikan Tom Lembong layak untuk dihukum.

    “Kasusnya nggak jelas, nggak ada barang bukti, alat buktinya sama keterangan saksi juga cuma dari staf-staf,” katanya dikutip dari program Gaspol di YouTube Kompas.com, Jumat (18/7/2025).

    Tom Lembong dituntut tujuh tahun penjara dalam kasus ini. Menurut jaksa, Tom terbukti melakukan tindakan untuk memperkaya perusahaan lain terkait kebijakan importasi gula.

    Namun, jaksa mengakui bahwa tersebut tidak terbukti untuk memperkaya Tom Lembong.

    Oegroseno menilai Tom Lembong layak divonis bebas jika berkaca dari analisanya selama proses penyelidikan hingga persidangan yang dianggap tidak cukup bukti untuk menjerat terdakwa.

    Dia menegaskan seluruh keputusan terkait vonis Tom Lembong berada di tangan hakim.

    “Kalau hakimnya masih berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan, dan masih Pancasila lah, oonslag (vonis lepas) saja nggak bisa, harus vrijspraak (bebas murni),” tegasnya.

    “Bukan saya mendahului hakim, ya tapi saya membaca setiap kali fakta persidangan diungkapkan para saksi itu nunduk oh begitu ya, tapi kalau jaksa sudah nanya lagi kita geleng-geleng kepala,” sambung Oegroseno.

    Tom Lembong bakal menjalani sidang vonis terkait kasus dugaan korupsi importasi gula tahun 2015-2016 pada Jumat hari ini di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    Selama empat bulan sidang bergulir, jaksa meyakini Tom bersalah melakukan importasi gula dengan menunjuk sembilan perusahaan swasta untuk menanganinya.

    Jaksa juga meyakini bahwa Tom bersalah karena melibatkan koperasi alih-alih perusahaan BUMN.

    Di sisi lain, pihak Tom Lembong menepis dakwaan jaksa tersebut dengan menegaskan kebijakan importasi gula tidak menyalahi aturan serta dilakukan demi mengendalikan stok gula di Indonesia saat itu.

    Selain itu, pengacara juga menganggap hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) keliru.

    “Jadi, ya itu yang cukup syok buat saya, betapa kacau balau ya baik audit BPKP itu sendiri maupun keterangan ahli BPKP kemarin,” kata Tom setelah sidang pada 24 Juni 2025.

    Dalam perkara ini, Tom Lembong dianggap melakukan perbuatan melawan hukum setelah menerbitkan 21 persetujuan impor gula.

    Jaksa menilai kebijakan Tom Lembong tersebut membuat negara rugi Rp578 miliar karena dia dianggap memperkaya pengusaha gula swasta.

    Tom Lembong pun dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan.

    Jelang Vonis, Ada Konsultan Pajak Kirim Amicus Curiae

    Menjelang sidang, konsultan yang tegabung dalam Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perpajakan mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    Dokumen itu sudah diterima panitera Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis kemarin.

    Salah satu isi dari dokumen itu menyoroti soal audit BPKP yang menyatakan negara mengalami kerugian hingga Rp578 miliar akibat kebijakan impor gula Tom Lembong.

    Ketua lembaga tersebut, Suhandi Cahaya, menganggap hitung-hitungan BPKP tidak didukung fakta persidangan. Adapun salah satunya terkait Harga Pokok Penjualan (HPP) gula.

    Berdasarkan audit, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Tom Lembong untuk melakukan operasi pasar membeli gula kristal putih (GKP) atau gula pasir dari perusahaan swasta seharga Rp9.000 per kilogram dan dianggap BPKP terlalu mahal.

    Namun, dalam persidangan, HPP bukanlah harga maksimum dengan bukti harga pembelian GKP dari petani oleh perusahaan BUMN yaitu PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), justru lebih mahal dari HPP.

    “Transaksi ini tidak dianggap kemahalan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara,” tutur Suhandi.

    “Karena itu, pernyataan BPKP bahwa selisih harga beli (Rp 9.000 per kilogram) dengan HPP (Rp 8.900 per kilogram) merupakan komponen kerugian keuangan negara tidak mempunyai dasar hukum sehingga tidak valid,” katanya.

    Suhandi juga menyoroti soal pandangan BPKP bahwa kekurangan bayar dimasukan sebagai kerugian negara.

    Menurutnya, BPKP telah membuat keresahan bagi wajib pajak karena menciptakan ketidakpastian hukum.

    Selain itu, pihaknya juga mempersoalkan BPKP yang mengatakan seakan-akan perusahaan gula swasta harus membayar bea masuk impor gula kristal putih, padahal mengimpor gula kristal mentah.

    “Perhitungan bea masuk versi BPKP, bahwa impor produk A harus bayar bea masuk untuk produk B, tidak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku, sekaligus bersifat ilusi,” tutur Suhandi

  • Tom Lembong Bakal Jalani Sidang Vonis Kasus Korupsi Impor Gula Hari Ini

    Tom Lembong Bakal Jalani Sidang Vonis Kasus Korupsi Impor Gula Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong bakal menjalani sidang putusan hari ini, Jumat (18/7/2025).

    Informasi sidang vonis itu diinformasikan oleh Hakim Ketua Dennie Arsan pada agenda persidangan sebelumnya di PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin (14/7/2025). 

    “Nanti untuk sidang agenda putusan dijadwalkan Jumat 18 Juli 2025. Nanti kami agendakan, dilaksanakan setelah salat Jumat,” ujar Dennie.

    Sebelumnya, jaksa telah mendakwa Tom telah memberikan persetujuan impor terhadap sejumlah, termasuk swasta dalam rangka pengendalian ketersediaan gula dan stabilisasi harga gula dalam negeri.

    Namun dalam pelaksanaannya, Tom Lembong diduga telah melanggar sejumlah aturan seperti persetujuan impor itu dilakukan tanpa rapat koordinasi antar kementerian. 

    Alhasil, perbuatan itu diduga telah memperkaya 10 pihak swasta senilai Rp515 miliar. Adapun, kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp578 miliar

    Di samping itu, jaksa juga telah menuntut eks menteri pada kabinet Presiden ke-7 Joko Widodo itu selama tujuh tahun pidana. 

    Jaksa menilai bahwa Tom Lembong telah dinyatakan secara sah dan bersalah karena terlibat dalam perkara korupsi impor gula saat menjabat sebagai Mendag periode 2015-2016.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Thomas Trikasih Lembong dengan pidana penjara selama 7 tahun,” ujar jaksa di ruang sidang PN Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).

    Selain itu, Tom Lembong juga dituntut agar membayar denda Rp750 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

  • Cerita Pegawai Perusahaan BUMN Disebut Bodoh oleh Atasan karena Susun Daftar Risiko Tinggi

    Cerita Pegawai Perusahaan BUMN Disebut Bodoh oleh Atasan karena Susun Daftar Risiko Tinggi

    Cerita Pegawai Perusahaan BUMN Disebut Bodoh oleh Atasan karena Susun Daftar Risiko Tinggi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Vice President (VP) Manajemen Risiko PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry,
    Dewi Andriani
    , menceritakan bagaimana dirinya disebut bodoh oleh atasannya.
    Cerita itu Dewi ungkapkan saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP yang merugikan keuangan negara Rp 1,25 triliun.
    Pada persidangan itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi apakah Dewi pernah membuat daftar risiko (
    risk register
    ) guna menindaklanjuti KSU dengan PT JN.
    “Di bulan Juli (2019) itu ternyata ada penandatanganan nota kesepahaman yang saya ketahui itu di bulan Juli,” kata Dewi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
    Dewi lalu menyampaikan kepada pejabat terkait seperti VP Komersial, VP Teknik Kapal, VP Perencanaan Korporasi, hingga VP Pemasaran.
    Ia mengatakan, karena ada kerja sama itu, VP terkait menyusun register risiko.
    Namun, daftar risiko itu tidak kunjung dibuat.
    “Nota dinas saya yang juga saya tembuskan kepada direksi itu tidak dibalas,” kata dia.
    Unit Dewi akhirnya berinisiatif menyusun register risiko sendiri dengan tujuan agar VP terkait memberi masukan.
    Dalam daftar yang disusun, Dewi menetapkan rating tinggi, terutama pada persoalan pembuatan kajian, sumber pendanaan, dan biaya operasional.
    “Saya beri rating itu tinggi, dalam hal ini merah,” ujar dia.
    Register risiko merah merujuk pada catatan atau daftar risiko dengan keparahan tinggi pada suatu proyek atau organisasi dan membutuhkan perhatian.
    Setelah itu, Dewi dipanggil Direktur Keuangan PT ASDP, DS, ke ruangannya.
    Di sana, sudah ada manajer dari VP-VP lain.
    “Di situ saya disampaikan, maaf saya agak, saya dibilang, VP Manajemen Risiko bodoh, saya disebut seperti itu,” ujar Dewi terdengar emosional.
    Mendengar ini, jaksa KPK memastikan lagi siapa pihak yang menyebutnya bodoh.
    “Siapa yang nyebut seperti itu?” tanya jaksa KPK.
    “Pak DS, saya tidak bisa membuat
    high risk register
    , ‘kenapa ini semua dibuat merah?’ Itu di bulan Agustus, saya dibilang seperti itu,” jelas Dewi.
    Setelah itu, Dewi menjelaskan mengenai register risiko yang pihaknya pahami dan mempersilakan VP lain yang tak kunjung menyerahkan tugas mereka, yakni daftar risiko, memberikan tanggapan.
    “Dan di situ pun saya sampaikan itu pemahaman saya mengenai
    risk register
    yang saya pahami,” ujar Dewi.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas
    engineering (due diligence
    ) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
    Kompas.com telah menghubungi pihak Corporate Scretary PT ASDP. Namun, hingga berita ini ditulis ia belum merespons.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisaris Tolak Alasan Dirut BUMN Akuisisi Perusahaan karena Anak Pemiliknya Meninggal

    Komisaris Tolak Alasan Dirut BUMN Akuisisi Perusahaan karena Anak Pemiliknya Meninggal

    Komisaris Tolak Alasan Dirut BUMN Akuisisi Perusahaan karena Anak Pemiliknya Meninggal
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Salah satu alasan PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) adalah karena anak pemilik perusahaan penyeberangan komersial itu, Adjie, meninggal dunia.
    Keterangan ini dibenarkan oleh Komisaris Utama
    PT ASDP
    2015-2020, Lalu Sudarmadi, yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT JN.
    Pada persidangan itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan keterangan Lalu dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang mengungkap alasan Direktur Utama PT ASDP 2017-2024, Ira Puspadewi, mengusulkan KSU dengan PT JN.
    “Ini Direktur Utama, Ira Puspadewi, berpendapat bahwa ini terkait dengan KSO (kerjasama usaha dilaporkan sebagai kerja sama operasi), latar belakang kerja sama operasional,” kata jaksa KPK membacakan BAP Lalu dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
    Dalam keterangan itu, Adjie disebut memiliki kapal penyeberangan dan galangan yang sudah dibicarakan dengan PT PAL Surabaya.
    Namun, alasan kedua Ira menyebut bahwa Adjie ingin menjual PT JN karena anaknya meninggal dunia.
    “Keturunan yang diharapkan sebagai penerus usahanya meninggal, berharap dapat dikelola oleh ASDP yang punya sejarah dan reputasi,” kata jaksa KPK membacakan BAP Lalu.
    “Disampaikan pak dalam rapat tersebut?” lanjut jaksa KPK.
    “Ya, itu alasan Mba Ira pertama menyampaikan niatnya itu. Terus saya langsung menolak karena 2016 itu sudah ditolak,” jawab Lalu.
    Pada persidangan itu disebutkan, dalam rapat dewan komisaris dan direksi di Labuan Bajo September 2019, Lalu mengingatkan agar KSU PT ASDP dengan PT JN harus berdasar alasan yang objektif.
    “Latar belakang KSO tidak boleh subjektif, harus profesional, terus ini ada penyampaian juga, 4 tahun lalu Dekom (Dewan Komisaris) pernah tidak menyetujui usulan pembelian atau akuisisi kapal,” kata jaksa KPK membacakan risalah rapat tersebut.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direksi PT ASDP Ferry melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisaris Tolak Alasan Dirut BUMN Akuisisi Perusahaan karena Anak Pemiliknya Meninggal

    Laporkan Potensi Korupsi di Perusahaan BUMN, Komut Dicopot Erick Thohir

    Laporkan Potensi Korupsi di Perusahaan BUMN, Komut Dicopot Erick Thohir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisaris Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Ferry Indonesia 2015-2020,
    Lalu Sudarmadi
    , dicopot dari jabatannya satu bulan setelah melaporkan potensi korupsi di perusahaan pelat merah itu kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
    Erick Thohir
    .
    Keterangan ini terungkap saat Lalu dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Ferry yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Pada persidangan itu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi bahwa Lalu pernah melaporkan proses KSU dan akuisisi PT JN yang bisa merugikan perusahaan dan memperkaya orang lain pada Maret 2020, jauh sebelum kasus ini diusut lembaga antirasuah.
    “Yang paling penting sebenarnya kami melaporkan bahwa akuisisi, ini proses KSU menjadi akuisisi, ini akan berisiko. Itu saja intinya, karena kami pernah menolak 2016, itu saja,” kata Lalu, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/7/2025).
    Lalu mengatakan, sedianya ia hendak menyampaikan laporan itu secara informal.
    Namun, deputi di BUMN menyarankan agar mengirim surat resmi kepada Erick.
    Jaksa lalu menunjukkan surat yang dikirim Lalu kepada Erick selaku Menteri BUMN.
    “Ini yang dikirimkan itu? Perihal laporan kepada menteri BUMN saat itu Pak Erick Thohir?” tanya jaksa KPK.
    “Iya,” jawab Lalu.
    Jaksa kemudian membacakan materi surat tersebut yang menyatakan bahwa Dewan Komisaris PT ASDP tidak diberikan informasi yang maksimal terkait kerja sama dengan PT JN, perusahaan yang bergerak di penyeberangan seperti halnya PT ASDP Ferry.
    Komisaris tiba-tiba diundang untuk menghadiri acara penandatanganan
    memorandum of understanding
    (MoU) KSU antara PT ASDP Ferry dengan PT JN.
    Padahal, komisaris meminta agar kerja sama itu dikaji terlebih dahulu agar Dewan Komisaris bisa memberikan saran.
    Selanjutnya, kepada Erick, Lalu memperingatkan bahwa rencana yang disampaikan Direktur Utama PT ASDP Ferry saat itu, Ira Puspadewi, tidak akan menguntungkan
    perusahaan BUMN
    tersebut.
    “Apa yang dikemukakan Dirut akan menguntungkan ASDP hanya sebagai rencana yang tidak akan tercapai, dan berpotensi menimbulkan kerugian serta tindakan memperkaya badan atau orang lain,” kata jaksa KPK membaca surat Lalu.
    Lalu menyebut, KSU itu diduga menjadi modus agar PT ASDP mengakuisisi atau membeli kapal bekas PT JN.
    “Kami laporan kepada Bapak Menteri bahwa kami pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) 2019 menolak
    akuisisi kapal
    PT JN yang dijadikan agenda RUPS pada waktu itu,” kata dia.
    Jaksa KPK lalu mengonfirmasi, setelah surat itu dikirimkan kepada Erick Thohir pada Maret 2020, dirinya justru dicopot dari kursi Komisaris Utama PT ASDP Ferry pada April.
    Menurut Lalu, ia berharap dipanggil Erick untuk memberikan penjelasan.
    Namun, dirinya justru dicopot tanpa alasan yang jelas.
    Penjelasan dari Deputi di BUMN pun mengambang.
    “Dibilang ‘oh, kesalahannya Pak Menteri, Pak Lalu berprestasi, ini penataan. Nanti Pak Lalu ditempatkan, dicarikan tempat yang lain’. ‘Betul itu?’ ‘Betul’,” ungkap Lalu.
    Tidak hanya dirinya, jajaran komisaris maupun direksi yang menolak menghalangi keinginan Ira mengakuisisi PT JN juga dicopot.
    Hal ini sebagaimana tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Lalu yang dibacakan jaksa KPK.
    “Susunan direksi ataupun komisaris PT ASDP yang menjadi penghalang rencana saudari Ira Puspadewi akan dilakukan pemberhentian, dipecat,” kata jaksa, membacakan BAP Lalu.
    Mereka yang dipecat adalah Wing Antariksa dan Lamane selaku Direktur PT ASDP Ferry.
    Kemudian, Lalu di jajaran komisaris utama dan VP bidang Hukum ASDP Dewi Andriyani yang mengundurkan diri.
    Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direksi PT ASDP Ferry melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
    Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
    Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
    “Berdasarkan laporan uji tuntas
    engineering
    (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
    Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie, Rp 1,25 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    Geisz Skeptis Tom Lembong Akan Bebas Meski Dakwaan Jaksa Cacat

    GELORA.CO -Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dijadwalkan akan membacakan vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula pada Jumat, 18 Juli 2025.

    Menanggapi hal itu, penggiat demokrasi Geisz Chalifah mengaku skeptis atas proses hukum yang tengah berlangsung, meskipun meyakini Tom Lembong tidak bersalah.

    “Fakta-fakta persidangan telah mengungkap dengan seterang-terangnya. Dakwaan Jaksa terhadap Tom Lembong tak dapat dibuktikan,” ujar Geisz seperti dikutip redaksi, melalui akun X miliknya, Kamis, 17 Juli 2025.

    Ia menilai bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong janggal sejak awal. Tom ditetapkan sebagai tersangka pada November 2024, sementara audit BPKP yang menjadi dasar tuduhan baru keluar pada Juni 2025.

    “Tom ditetap sebagai tersangka dulu baru dicarikan bukti,” tegas mantan komisaris Ancol tersebut.

    Meski secara hukum ia optimistis Tom seharusnya divonis bebas, Geisz mengaku tetap ragu. 

    “Bukan karena Tom bersalah, tapi karena hukum telah menjadi alat kekuasaan,” ujarnya.

    Tom Lembong dituntut penjara selama 7 tahun dalam kasus korupsi impor gula di Kemendag tahun 2015-2016. Selain 7 tahun penjara, menteri era Presiden Joko Widodo ini juga dituntut membayar denda Rp750 juta. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara 6 bulan.

    Tom Lembong didakwa terlibat kasus dugaan impor gula yang merugikan negara Rp578 miliar. Mantan Timses Capres Anies Baswedan di Pilpres 2024 ini disebut-sebut menyetujui impor gula tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga.

    Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

  • Kubu Tom Lembong-Kejagung Kompak “Sentil” Hotman Paris, Ada Apa?

    Kubu Tom Lembong-Kejagung Kompak “Sentil” Hotman Paris, Ada Apa?

    Kubu Tom Lembong-Kejagung Kompak “Sentil” Hotman Paris, Ada Apa?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pernyataan
    Hotman Paris
    yang menyinggung eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau
    Tom Lembong
    sama-sama direspons oleh pihak Kejaksaan Agung dan pengacara Tom.
    Pihak
    Kejagung
    dan pihak Tom Lembong kompak “menyentil” Hotman Paris lantaran semuanya membahas perkara impor gula.
    Baik pihak Kejagung maupun pihak Tom sama-sama meminta Hotman untuk membaca lagi dokumen yang disinggungnya terkait izin importasi gula.
    Hotman yang merupakan kuasa hukum salah satu terdakwa kasus importasi gula, yaitu Direktur PT Angels Products, Tony Wijaya, menyinggung soal satu dokumen yang dikatakannya izin importasi gula dari Kejaksaan Agung.
    Menurut Hotman, Mendag terdahulu yakni Enggartiasto Lukita mendapatkan lampu hijau untuk melakukan importasi gula di tahun 2017. Hal ini ia lihat berdasarkan dokumen dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
    Kata Hotman, dalam dokumen ini juga ada persetujuan dari Jaksa Agung yang menjabat di tahun 2017, HM Prasetyo.
    Hotman mengatakan, kegiatan importasi gula itu dilakukan persis seperti yang dilakukan kliennya, sebagai salah satu perusahaan yang mendapatkan izin impor dari Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
    “Menurut Jaksa Agung pada saat itu, semuanya boleh, sah,” kata Hotman, saat ditemui awak media di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (15/7/2025).
    Perlu diketahui, Enggar adalah Mendag yang meneruskan kebijakan Tom untuk meneruskan kebijakan impor gula kristal mentah untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.
    Berdasar pada pendapat hukum tersebut, menurut Hotman, Tom Lembong seharusnya bisa bebas.
    “Ya berarti secara hukum harusnya bebas dong, harusnya,” tutur Hotman.
     
    Direktur Penuntutan pada Jampidsus Kejagung, Sutikno, mengatakan penjelasan Hotman tidak lengkap.
    Ia meminta agar Hotman tidak membuat gaduh dan memberikan pernyataan mengenai hal ini ketika belum sepenuhnya memenuhi dokumen yang dimaksud.
    “Jadi, yang harus sama-sama di sini kan (dijelaskan detail), jangan terus kemudian tahu-tahu muncul legal opinion (LO) menjadi gaduh. Nah, kita harus tahu apa isi LO itu,” ujar Sutikno di kantor Kejagung, Jakarta, Rabu (16/7/2025).
    Sutikno menjelaskan, dokumen yang dimaksud Hotman itu adalah pendapat hukum atau legal opinion (LO) yang diberikan Kejaksaan Agung kepada Enggar selaku Mendag penerus Tom.
    Berkas pandangan hukum atau LO ini dikeluarkan oleh Jamdatun. Tapi, di dalamnya terdapat kata pengantar dari Jaksa Agung.
    Sutikno menilai, Hotman salah kaprah dan menganggap ada dua dokumen yang diserahkan Kejaksaan kepada Enggar. Padahal, ini adalah satu kesatuan.
    Saat ditemui, Sutikno tidak menjelaskan seluruh isi LO yang dimaksud.
    Tapi, ia menegaskan, Kejaksaan tidak pernah menyebutkan importasi gula bisa dilaksanakan setelah LO itu diterbitkan.
    Justru, kebijakan Mendag untuk melakukan impor diarahkan untuk selalu dibahas dalam rapat kondisi terbatas.
    “Semuanya harus melalui rapat kondisi terbatas. Kan itu isi LO-nya. Jadi, dasarnya kan rapat kondisi terbatas itu,” kata Sutikno menjelaskan.
    Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, meminta agar Hotman Paris fokus menangani kliennya sendiri.
    “Dia fokus dengan klien dia saja, tidak usah urus klien orang lain,” kata Ari saat dihubungi
    Kompas.com
    , Rabu (16/7/2025).
    Senada dengan Sutikno, Ari meminta Hotman untuk lebih dahulu membaca berkas perkara dugaan korupsi importasi gula secara utuh.
    Ia membantah anggapan kalau pernyataan Hotman secara tidak langsung menguntungkan Tom Lembong yang akan menghadapi sidang putusan pada Jumat (18/7/2025).
    Menurut Ari, haluan pembelaan hukum yang dilakukan pihaknya berbeda dengan Hotman.
    “Sebenarnya logika dia (Hotman) adalah untuk menguntungkan dirinya, bukan Tom, karena arah pembelaan kita bukan ke sana,” ujar Ari.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.