Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Dituntut 6 Tahun Penjara
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Eks Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau yang akrab disapa
Mbak Ita
, dituntut hukuman 6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (30/7/2025) malam.
Sementara itu, suaminya, Alwin Basri, yang juga menjadi terdakwa dalam perkara yang sama, dituntut hukuman 8 tahun penjara.
Jaksa menilai Alwin yang menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD Jateng itu memiliki peran yang lebih dominan dalam kasus ini.
Keduanya juga dituntut untuk membayar denda masing-masing Rp 500 juta, serta dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk dipilih sebagai pejabat publik selama dua tahun setelah menjalani masa hukuman.
“Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar jaksa dalam persidangan.
Pada sidang perdana yang berlangsung Senin (21/4/2025) lalu, JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membacakan tiga dakwaan terhadap Mbak Ita dan Alwin. Ketiganya berkaitan dengan:
Total dugaan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 9 miliar.
Hevearita Gunaryanti Rahayu menjabat sebagai Wali Kota Semarang periode 2023–2025 setelah sebelumnya menjadi wakil wali kota.
Kasus dugaan korupsi ini mencuat setelah penyelidikan intensif KPK terhadap sejumlah proyek pemerintah kota yang diduga sarat penyimpangan.
Perkara ini kini memasuki tahap tuntutan. Putusan hakim dijadwalkan akan dibacakan dalam waktu dekat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2025/07/30/688a00c7b30ec.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Dituntut 6 Tahun Penjara Regional 30 Juli 2025
-

KPK Segera Proses Hukum Donny Tri Istiqomah Usai Hasto Dinyatakan Bersalah
GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan secepatnya memproses hukum advokat sekaligus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Donny Tri Istiqomah yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.
Hal itu dipastikan langsung Jurubicara KPK, Budi Prasetyo setelah Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto divonis bersalah dalam perkara suap dan dihukum 3,5 tahun penjara.
“Secepatnya kami akan proses untuk tahap berikutnya, juga dengan melihat fakta-fakta dalam persidangan dalam perkara dugaan suap tersebut,” kata Budi kepada wartawan, Selasa, 29 Juli 2025.
Namun demikian, Budi belum bisa memberi informasi kapan Donny akan diperiksa dan dilakukan penahanan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Hasto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.
Di mana, Hasto terbukti menyediakan dana Rp400 juta dari total Rp1,25 miliar untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner KPU dalam rangka pergantian anggota DPR periode 2019-2024.
Namun, Hasto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku, sehingga Hasto dibebaskan dari dakwaan Kesatu.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata Hakim Ketua, Rios Rahmanto, Jumat, 25 Juli 2025.
Selain itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Hasto sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
“Menetapkan masa penangkapan dan Penahanan yang dijalankan terdakwa dikurangi. Menetapkan terdakwa tetap ditahan,” pungkas Hakim Ketua Rios.
Putusan itu diketahui lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Hasto dipidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan
-

Ini Langkah KPK Usai Hasto Tak Terbukti Rintangi Penyidikan Harun Masiku
Jakarta –
Majelis hakim pengadilan menyatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan kasus dugaan suap pengurusan PAW anggota DPR untuk Harun Masiku. Pihak KPK pun akan kembali menelisik bahan pertimbangan majelis hakim dalam vonis yang dibacakan tersebut.
“Tentu kami juga akan melihat kembali adanya dugaan-dugaan apa yang dilakukan begitu ya pasca penyidikan tersebut. Artinya tindakan-tindakan perintangan pasca proses penyidikan atau pasca diterbitkannya sprindik nanti kita akan lihat kembali,” ujar Jubir KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Senin (28/7/2025).
Budi mengatakan pertimbangan hakim tersebut kemudian membuat gugurnya dugaan perintangan penyidikan oleh Hasto. Hal ini pun menjadi salah satu yang bakal dipelajari KPK untuk mengajukan banding atas vonis hakim terhadap Hasto.
“Itu termasuk materi yang akan kami pelajari ya, apakah tindakan-tindakan tersebut begitu ya, yang kemarin yang muncul ya dalam pertimbangan Majelis Hakim begitu, bahwa tindakan perintangannya dilakukan sebelum penyidikan berlangsung, begitu ya,” kata Budi.
Budi turut menjelaskan KPK juga akan mempelajari mengenai permintaan hakim agar Jaksa mengembalikan buku hingga notebook milik Hasto yang sempat disita.
“Nanti akan kami cek ya, termasuk kan nanti masih akan dipelajari terlebih dahulu pertimbangan maupun keputusan ini oleh teman-teman JPU,” pungkasnya.
Alasan Hakim Sebut Hasto Tak Rintangi Penyidikan
Seperti diketahui, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tidak terbukti merintangi penyidikan KPK terhadap Harun Masiku. Alasannya, perbuatan Hasto dilakukan sebelum Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka atau masih dalam tahap penyelidikan.
Awalnya, hakim menyatakan dakwaan jaksa KPK terkait perbuatan merendam handphone yang dilakukan Harun Masiku tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan menghilangkan barang bukti. Sebab, kata hakim, HP tersebut bisa disita KPK.
“Menimbang bahwa berdasarkan analisis komprehensif terhadap seluruh fakta persidangan, tidak ada bukti HP yang direndam atau ditenggelamkan sebagaimana dituduhkan, fakta HP yang dimaksud ada dan dapat disita KPK, sehingga tidak ada bukti upaya menghilangkan barang bukti, maka unsur dalam kesengajaan ini tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan,” kata hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7).
Hakim mengatakan, berdasarkan keseluruhan fakta tersebut, tidak terbukti adanya kesengajaan terdakwa merintangi atau menggagalkan proses penyidikan. Jadi, kata hakim, unsur dengan sengaja, mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka/terdakwa/saksi perkara korupsi tidak terpenuhi.
Hakim menyatakan perintah menenggelamkan HP ke Harun Masiku terjadi pada 8 Januari 2020 pukul 18.19 WIB. Pada waktu itu, Harun statusnya belum sebagai tersangka dan KPK belum resmi memulai penyidikan.
“Sedangkan surat perintah penyidikan yang menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka baru diterbitkan 9 Januari 2020, sehingga terdapat selisih waktu yang signifikan secara yuridis yaitu perbuatan dilakukan sebelum status tersangka secara formal pada Harun Masiku,” kata hakim.
Hakim menjelaskan Pasal 21 UU Tipikor hanya mengatur perbuatan merintangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa mencakup tahap penyelidikan. Oleh karena itu, kata hakim, perbuatan menenggelamkan handphone Harun Masiku tidak bisa disebut melanggar pasal tersebut karena status Harun saat itu belum tersangka.
Hakim juga menyatakan Hasto tidak melakukan perintangan ketika Hasto tidak menyerahkan bukti saat diperiksa sebagai saksi di KPK pada 6 Juni 2024. Hakim menyatakan tindakan Hasto itu adalah salah satu hak konstitusional warga negara.
“Menimbang perbuatan 6 Juni 2024 meskipun Harun Masiku telah berstatus tersangka namun perlu dipertimbangkan bahwa terdakwa pada saat itu dipanggil sebagai saksi, dan upaya seseorang untuk tidak memberikan bukti atau keterangan yang dapat memberatkan dirinya sendiri merupakan manifestasi dari asas nemo tenetur se ipsum accusare yang merupakan hak konstitusional yang dijamin,” jelas hakim.
Hakim mengatakan perbuatan tidak memberi bukti yang memberatkan diri sendiri merupakan manifestasi asas tersebut. Hakim menyebut hak itu merupakan asas fundamental.
“Menimbang bahwa upaya seorang untuk tidak memberikan bukti atau keterangan yang dapat memberatkan dirinya merupakan manifestasi dari asas nemo tenetur se ipsum accusare, adalah asas yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk memberikan kesaksian atau bukti yang dapat memberatkannya dalam suatu kasus pidana yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana universal, dan telah diakui sebagai bagian hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi,” ujar hakim.
Halaman 2 dari 2
(lir/lir)
-
/data/photo/2024/12/24/676aa39e83f81.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Usai Hasto Divonis, KPK Sebut Donny Tri Istiqomah Segera Diproses Hukum Nasional 28 Juli 2025
Usai Hasto Divonis, KPK Sebut Donny Tri Istiqomah Segera Diproses Hukum
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK
) menyatakan akan segera memproses hukum pengacara PDI-P,
Donny Tri Istiqomah
, setelah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP
Hasto Kristiyanto
divonis 3,5 tahun penjara terkait
kasus suap
pengurusan proses Pergantian Antar Waktu (PAW)
Harun Masiku
.
“Secepatnya kami akan proses untuk tahap berikutnya, juga dengan melihat fakta-fakta dalam persidangan dalam perkara dugaan suap tersebut,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (28/7/2025).
Meski demikian, Budi belum memberikan informasi kapan Donny Tri Istiqomah akan diperiksa penyidik.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap Harun Masiku.
Hasto Kristiyanto telah dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara oleh hakim di kasus suap pengurusan PAW terkait Harun Masiku.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rios Rahmanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Selain pidana badan, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman denda Rp 250.000.000.
“Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 3 bulan,” ujar Rios.
Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 7 tahun penjara.
Dalam perkara ini, hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Hakim menyebutkan bahwa Hasto menyediakan uang suap senilai Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu.
Sementara itu, hakim menyatakan dakwaan jaksa KPK bahwa Hasto merintangi penyidikan terhadap kasus Harun Masiku tidak terbukti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Jaksa KPK Hadirkan 9 Saksi di Sidang Korupsi Investasi Taspen Rp1 Triliun
Bisnis.com, JAKARTA — Tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan 9 saksi di sidang lanjutan perkara korupsi pada pengelolaan investasi PT Taspen (Persero), Senin (28/7/2025).
Sidang tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Pada persidangan tersebut, tim JPU mendakwa mantan Direktur Utama Taspen Antonius Kosasih dan mantan Direktur Utama PT Insight Investments Management (IIM) Ekiawan Heri melakukan tindak pidana korupsi sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp1 triliun.
“Jadwal sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan dari para saksi yang dihadirkan oleh JPU, yakni sejumlah 9 (sembilan) orang,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Budi menyebut sembilan orang saksi yang dihadirkan di persidangan itu berperan penting untuk menjelaskan dan mengungkap fakta-fakta terkait dengan perkara, serta menguatkan alat bukti yang telah diperoleh penyidik.
Kemudian, nantinya JPU akan berupaya meyakinkan Majelis Hakim di persidangan bahwa kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan.
“JPU berupaya untuk meyakinkan hakim bahwa benar-benar peristiwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan benar pula, para terdakwa lah pelaku atas peristiwa tindak pidana korupsi tersebut,” terang Budi.
Sebelumnya, dakwaan JPU dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (27/5/2025). Tim JPU KPK juga membacakan dakwaan kepada mantan Direktur Utama PT Insight Investments Management (IIM), Ekiawan Heri Primaryanto.
JPU menyebut perbuatan melawan hukum dalam kegiatan investasi Taspen menyebabkan negara mengalami kerugian Rp1 triliun pada BUMN tersebut.
“Perbuatan melawan hukum terdakwa [Antonius] bersama Ekiawan Heri Primaryanto telah menyebabkan kerugian keuangan negara pada PT Taspen Rp1 triliun,” ujar JPU pada persidangan tersebut, Selasa (27/5/2025).
Atas perbuatannya, Antonius dan Ekiawan didakwa melanggar pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Keduanya juga didakwa melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-

KPK Respons PDIP, Tegaskan Masih Cari Harun Masiku di Dalam dan Luar Negeri
Jakarta –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat yang meminta Harun Masiku ditangkap jika kasus dugaan suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 ingin adil. KPK mengatakan masih mencari keberadaan buron Harun Masiku (HM).
“Tentunya, KPK masih terus melakukan pencairan DPO Tersangka HM,” kata Jubir KPK, Budi Prasetyo, saat dihubungi, Senin (27/7/2025).
Budi menuturkan pencarian Harun Masiku tidak hanya di dalam negeri melainkan juga luar negeri. Pencarian, kata Budi, melibatkan banyak stakeholder.
“Tidak hanya di dalam tapi juga di luar negeri, dengan melibatkan banyak stakeholder terkait, yang punya instrumen untuk membantu menemukan HM,” ujarnya.
Sebelumnya, Djarot merespons soal Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang telah divonis 3,5 tahun dalam kasus suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Djarot menyebut akan adil jika buron Harun Masiku juga ikut ditangkap.
“Tidak ditemukan fakta bahwa itu uang dari Sekjen, dari Mas Hasto. Kalau mau fair betul, ya tangkaplah Harun Masiku itu, jangan kemudian Mas Hasto dikorbankan. Inilah praktek dari politisasi hukum,” kata Djarot di DPP PDIP, Jakarta, Minggu (27/7/2025).
“Ini persoalan politik, dan Pak Sekjen itu adalah menjadi tahanan politik. Karena berbeda dengan penguasa, berbeda dengan raja yang tidak mau dikritik, maka dicari-carilah kesalahannya,” ujarnya.
Djarot menegaskan bahwa posisi Sekjen PDIP masih dijabat oleh Hasto. Jika nantinya ada perubahan, akan diputuskan dalam kongres nantinya.
Hasto Divonis 3,5 Tahun Penjara
Hasto Kristiyanto divonis hukuman penjara. Hakim menyatakan Hasto terbukti bersalah memberi suap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku.
“Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” ujar ketua majelis hakim Rios Rahmanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7).
(dek/gbr)
-

Dulu Bela Kejaksaan, Sekarang Mahfud Sebut Vonis Tom Lembong Salah: Dia Tak Langgar Hukum
GELORA.CO – Mantan Menteri Koorinator Politik, Husum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengkritik Kejaksaan hingga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas vonis yang dijatuhkan keypads eks Menteri Perdagangan (Mendag), Tom lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016.
Mahfud mengatakan, putusan vonis 4 tahun 6 bulan Tom Lembong itu salah karena eks Co-Captain Tim Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tersebut tidak terbukti melanggar hukum.
Dulu, Mahfud memang sempat mendukung langkah Kejaksaan yang pada saat itu mentersangkakan Tom Lembong, meski tidak menerima aliran dana dari korupsi yang dituduhkan.
Sebab, dijelaskan Mahfud, seseorang juga bisa disebutkan korupsi Mika dia memperkaya orang lain, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
“Untuk kasus Tom Lembong ini saya sudah melihat prosesnya, proses peradilan dan vonisnya. Kemudian saya harus mengkritik kejaksaan maupun pengadilan dengan kata bahwa putusan itu salah. Salah dalam pengertian kalau dalam hukum putusan yang salah itu harus dilawan dengan banding gitu,” ungkap Mahfud, dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Minggu (27/7/2025).
“Orang melakukan banding itu karena putusannya dianggap salah. Menurut saya memang salah. Karena apa? Karena dulu ketika Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka pada bulan November tahun lalu, saya membela kejaksaan. Ketika kejaksaan disudutkan tidak boleh menjadikan seseorang sebagai tersangka kalau yang bersangkutan tidak menerima aliran dana dari korupsi yang dituduhkan.”
“Waktu itu saya katakan, penersangkaan Tom Lembong kalau hanya karena dia tidak menerima aliran dana, maka dia bisa ditersangkakan. Saya katakan, korupsi itu dananya, satu mengalir ke diri sendiri atau mengalir ke orang lain atau mengalir ke korporasi. Tom Lambong tidak ada bukti memperkaya diri sendiri sehingga ada mengalir ke situ, menurut saya tepat pada waktu itu ditetapkan sebagai tersangka, pada waktu konteksnya ketersangkaan ya, bukan Tonis” jelasnya.
Namun, seiring berjalannya waktu melihat proses peradilan Tom Lembong hingga putusan vonis ini, Mahfud merasa aneh.
Mahfud pun menjelaskan bahwa dalam hukum pidana, ada dua unsur utama yang harus sama-sama terbukti, yakni Actus Reus dan Mens Rea.
“Sekarang vonisnya itu aneh karena dalam hukum pidana itu ada dua unsur utama yang harus sama-sama terbukti. Satu namanya Actus Reus, jenis perbuatan yang bisa dihitung, bisa didengar, bisa disaksikan oleh logika-logika biasa. Ada barangnya. Actus Reus itu ya ada perbuatannya, kalau di pidana itu perbuatannya satu, memperkaya diri sendiri atau orang lain, caranya melawan hukum. Lalu yang ketiga merugikan keuangan negara. Itu Actus Reus untuk korupsi,” Kata Mahfud.
“Nah, yang kedua ada unsur lain yang lebih penting dari itu, namanya Mens Rea, artinya niat jahat. Niat jahat itu terjadi kalau dia melakukan itu karena ada niat. Apa ukurannya niat itu? Pertama tujuan, purpose, miming bertujuan melakukan itu. Yang kedua tahu dia bahwa itu tidak benar dan dia tahu bahwa itu tidak boleh terjadi. Yang ketiga karena lalai, lalai termasuk unsur Mens Rea. Yang keempat karena sembrono,” sambungnya.
Tom lembong dalam kasus ini pun tidak terbukti terdapat niat jahat, maka dari itu Mahfud pun bertanya-tanya kenapa eks Mendag tersebut dihukum.
Selain Mens Rea yang tidak terbukti, Jaksa juga tidak bisa membuktikan adanya Actus Reus, karena Tom Lembong tidak terbukti melanggar hukum.
Tom Lembong, kata Mahfud, hanya melaksanakan perintah. Hal tersebut juga didukung dengan bukti-bukti dokumen, bahkan ada rapat-rapat yang terselenggara untuk membahas cara menangani kelangkaan gula pada waktu itu.
Mahfud pun menegaskan, bukti-bukti yang ada itu juga tidak bisa dibantah oleh Jaksa di pengadilan.
“Kalau tidak ada mens kenapa dihukum? Tidak boleh, dalilnya yang paling dasar itu adalah geen straf zonder schuld, ini bahasa Belanda, tidak boleh ada pemidanaan kalau tidak ada kesalahan. Kesalahan itu mens rea itu kesalahan,” jelas Mahfud.
“Actus Reus-nya pun tidak terbukti toh, karena pertama dia tidak melanggar hukum. Dia melaksanakan perintah. Dana yang mengalir betul menguntungkan, tapi dia kan melaksanakan perintah tidak melanggar hukum.”
“Ada dokumen-dokumen bahwa diperintahkan untuk menangkal kelangkaan gula kan pada waktu itu dan ada rapat-rapatnya, ada perintahnya yang tidak dibantah di dalam persidangan,” tegasnya.
Tom Lembong Ajukan Banding
Atas vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang telah dijatuhkan, Tom pun secara resmi mengajukan banding.
Kuasa hukum mantan Tom, Zaid Mushafi mengatakan bahwa pertimbangan majelis hakim menurut nalar hukum tidak sesuai dengan fakta persidangan.
Melalui upaya hukum ini, tim kuasa hukum akan membantah pendapat yang disampaikan hakim dalam pertimbangan putusannya.
Vonis Tom, kata Zaid, hanya berdasarkan keterangan saksi semata.
“Saya terangkan bahwasanya pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa ada pertemuan, ada korelasinya antara Pak Tom dengan perusahaan swasta itu hanya didasarkan pada keterangan saksi yang pada saat persidangan menyatakan lupa,” katanya.
Selain itu, menurut Zaid, tidak ada mens rea atau niat jahat Tom yang bisa dibuktikan dalam perkara korupsi impor gula.
“Untuk itu, kita melihat, mendengarkan semua putusannya itu tidak cermat, teliti dan tidak didasarkan pada fakta-fakta persidangan,” ucapnya.
Tentang banding ini, Jubir Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Andi Saputra mengungkapkan bahwa permohonan banding atas vonis Tom itu telah tercatat di Kepaniteraan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Permohonan banding tersebut tercatat nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Thomas Trikasih Lembong.
“Permohonan banding diajukan oleh penasihat hukum terdakwa yaitu Rifkho Achmad Bawazir pada Selasa,” kata Andi dalam keterangannya, Rabu.
Selanjutnya, kata Andi, pembanding akan diberikan waktu maksimal 14 hari, terhitung sejak 25 Juli 2025, untuk mengajukan memori banding.
“Setelah itu, berkas akan dikirim ke Pengadilan Tinggi Jakarta untuk diproses guna diperiksa dan diadili oleh majelis banding,” kata Andi.
Oleh sebab itu, dijelaskan Andi, maka putusan nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst belum berkekuatan hukum tetap.
“Dan status yang bersangkutan masih sebagai terdakwa,” tandasnya
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5298009/original/052323500_1753706555-IMG-20250728-WA0019_1_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

