Ary Bakri Ungkap Wahyu Gunawan Pernah Minta Kerjaan Sebelum Kasus CPO
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengacara Ariyanto Bakri mengungkapkan bahwa Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, pernah menyinggung tentang permintaan kerjaan sebelum kasus korupsi terkait perusahaan crude palm oil (CPO) bergulir.
Hal ini terungkap saat Ary Bakri, sapaan Ariyanto Bakri, dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang penanganan perkara kasus korupsi suap hakim yang memberikan vonis ontslag atau vonis lepas kepada korporasi crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng (migor).
“Dan, beliau (Wahyu) sering katakan, ‘Kalau ada kerjaan kasih saya’. Dia bilang gitu,” ujar Ariyanto saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
Ary Bakri mengatakan bahwa dirinya pertama kali mengenal Wahyu melalui media sosial.
Saat itu, Ary Bakri yang sering membuat konten dan menjadi influencer juga menarik perhatian Wahyu.
“Sebelum Covid, mungkin 2-3 tahun, saudara Wahyu sering
sounding
sama saya di medsos,” cerita Ariyanto.
Sejak sebelum Covid-19 melanda dunia pada tahun 2019, Wahyu sudah pernah menghubungi Ariyanto dan memperkenalkan diri sebagai Panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Awalnya berkomunikasi melalui medsos, Ariyanto dan Wahyu bertemu dalam satu acara motor.
Keduanya diketahui sama-sama penyuka motor Harley Davidson.
“Kemudian pada pagi Minggu, itu berapa tahun lalu, saya lupa, ya kita ketemu di perkumpulan motor, sebatas obrolan motor,” kata Ariyanto.
Saat itu, kasus perkara CPO belum terjadi. Namun, keduanya masih saling menjaga komunikasi.
Kemudian, ketika ada perkara korporasi CPO, komunikasi antara Ary Bakri dan Wahyu menjadi lebih intens.
Dalam kasus ini, Ary Bakri menjadi pihak yang mewakili tiga korporasi CPO.
Melalui Ary Bakri, tiga korporasi ini menyuap para hakim agar mendapatkan vonis ontslag.
Kelima terdakwa diduga menerima uang suap senilai Rp 40 miliar.
Rinciannya, Eks Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, menerima Rp 15,7 miliar; satu orang menerima Rp 2,4 miliar.
Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar.
Lalu, para hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.
Dalam perkara ini, para hakim diduga menerima suap untuk menjatuhkan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging terhadap terdakwa tiga korporasi dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
Tiga korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group yang terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Kemudian, Wilmar Group yang terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Lalu, Musim Mas Group yang terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas itu diketuai oleh hakim Djuyamto dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan hakim Ali Muhtarom.
Putusan diketok di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.
Atas perbuatannya, para terdakwa diancam dengan Primair Pasal 12 huruf c subsider Pasal 12 huruf a, jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-

Antonius Kosasih Minta Maaf ke Eks Istri di Sidang: Saya Bukan Suami Teladan
Jakarta –
Mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih atau ANS Kosasih meminta maaf ke mantan istri pertamanya, Yulianti Malingkas. Kosasih meminta maaf karena bukan menjadi suami yang teladan.
Permintaan maaf itu disampaikan Kosasih ke Yulianti yang dihadirkan sebagai saksi kasus dugaan investasi fiktif di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025). Yulianti mengaku memaafkan Kosasih.
“Saya juga mohon maaf bahwa selama saya menikahi Saudara saya bukan suami yang teladan,” kata Kosasih.
“Dimaafkan,” sahut Yulianti.
Mantan pacar Kosasih, Theresia Meila Yunita juga dihadirkan sebagai saksi dalam sidang tersebut. Kosasih juga meminta maaf ke Theresia.
“Saya minta maaf sudah menyulitkan kehidupan Saudari kalau Saudari ternyata menjadi bermasalah karena saya,” ujar Kosasih.
Selain Yulianti dan Theresia, jaksa juga menghadirkan mantan pacar Kosasih bernama Dina Wulandari dan mantan istri Kosasih bernama Rina Lauwy. Ketua majelis hakim mendalami usaha atau penghasilan lain yang dimiliki Kosasih selain dari PT Taspen ke mereka.
Hakim mempersilakan Yulianti, Rina, Theresia dan Dina menjawab secara bergantian. Namun, mereka mengaku tidak tahu penghasilan lain Kosasih selain dari Taspen.
“Kepada saksi-saksi yang dekat dengan terdakwa Pak Antonius, apakah selain terdakwa Antonius ini di Taspen, ada tidak kegiatan lain atau penghasilan lain dari terdakwa ini?” tanya hakim.
“Jaman saya nggak di Taspen dong pak,” jawab Yulianti.
“Pada saat itu bukan di Taspen ya?” tanya hakim.
“Jaman saya masih yang susah-susah pak,” jawab Yulianti.
“Setahu saya tidak ada, tapi di luar itu saya tidak tahu,” ujar Rina.
“Yang saya tahu memang Dirut Taspen Pak, pada saat itu,” ujar Dina.
“Saya kurang tahu pak,” ujar Theresia.
Sebelumnya, Kosasih didakwa merugikan negara Rp 1 triliun dalam kasus dugaan investasi fiktif. Jaksa meyakini Kosasih turut menikmati hasil korupsi dalam kasus ini.
Selain Kosasih, jaksa KPK membacakan surat dakwaan untuk terdakwa lainnya, Ekiawan.
“Bahwa perbuatan melawan hukum Terdakwa bersama-sama Ekiawan Heri Primaryanto telah mengakibatkan kerugian keuangan negara pada PT Taspen sebesar Rp 1 triliun atau setidak-tidaknya jumlah tersebut berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan.
Jaksa mengatakan Kosasih melakukan investasi pada reksa dana I-Next G2 dari portofolio PT Taspen tanpa didukung hasil analisis investasi. Perbuatan ini dilakukan Kosasih bersama Ekiawan.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, yaitu melakukan investasi pada reksa dana I-Next G2 untuk mengeluarkan Sukuk Ijarah TPS Food 2 tahun 2016, selanjutnya disebut Sukuk SIA-ISA 02, yang default dari portofolio PT Taspen (Persero) tanpa didukung rekomendasi hasil analisis investasi,” kata jaksa.
Jaksa mengatakan Kosasih juga menyetujui peraturan direksi tentang kebijakan investasi PT Taspen untuk mengakomodasi pelepasan Sukuk SIA-ISA 02 melalui investasi reksa dana I-Next G2 tersebut. Jaksa mengatakan pengelolaan investasi itu dilakukan secara tidak profesional.
“Merevisi dan menyetujui peraturan direksi tentang kebijakan investasi PT Taspen dengan mengatur mekanisme konversi aset investasi untuk mengakomodasi pelepasan Sukuk SIA-ISA 02 melalui investasi reksa dana I-Next G2 bersama-sama dengan Ekiawan Heri Primaryanto yang melakukan pengelolaan investasi reksa dana I-Next G2 secara tidak profesional,” ujar jaksa.
Jaksa mengatakan perbuatan ini turut memperkaya Kosasih senilai Rp 28.455.791.623. Kemudian, USD 127.037, SGD 283 ribu, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 20 pound sterling, 128 ribu yen, HKD 500 dan 1.262.000 won Korea.
Jaksa mengatakan perbuatan ini juga memperkaya Ekiawan sebesar USD 242.390 dan Patar Sitanggang sebesar Rp 200 juta. Selain itu, sejumlah korporasi ikut diperkaya dalam kasus ini.
“Memperkaya korporasi, yaitu memperkaya PT IMM sebesar Rp 44.207.902.471. Memperkaya PT KB Valbury Sekuritas Indonesia sebesar Rp 2.465.488.054. Memperkaya PT Pacific Sekuritas Indonesia sebesar Rp 108 juta. Memperkaya PT Sinar Emas Sekuritas sebesar Rp 40 juta. Memperkaya PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (PT TPSF) sebesar Rp 150 miliar,” ujar jaksa.
Kosasih dan Ekiawan didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Halaman 2 dari 2
(mib/dek)
-

Eks Ketua PN Surabaya Terima Gratifikasi Berulang dalam Jumlah Banyak
Jakarta –
Mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya) Rudi Suparmono divonis 7 tahun penjara dalam kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur terkait kematian Dini Sera. Hakim menyebut Rudi menerima gratifikasi secara berulang dalam jumlah yang banyak.
“Perbuatan Terdakwa Rudi Suparmono menerima gratifikasi secara berulang dengan jumlah yang sangat banyak,” ujar ketua majelis hakim Iwan Irawan saat membacakan vonis Rudi Suparmono di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (22/8/2025).
Hakim menyebut Rudi telah mencoreng nama baik Mahkamah Agung RI. Kata hakim, Rudi seharusnya memberikan contoh serta teladan yang baik sebagai hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).
“Perbuatan Terdakwa Rudi Suparmono telah mencederai prinsip independensi hakim, perbuatan Terdakwa Rudi Suparmono telah mencoreng kepercayaan Mahkamah Agung RI dan lembaga peradilan di bawahnya serta hakim, serta aparatur Pengadilan di masyarakat,” ujar hakim.
Hal meringankan vonis yakni Rudi sudah mengabdi selama 33 tahun di MA. Rudi, sebut hakim, juga belum pernah dihukum.
Selain dihukum dengan 7 tahun penjara, Rudi juga dihukum membayar denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Hakim menyatakan Rudi terbukti bersalah menerima suap dan gratifikasi.
Hakim menyatakan Rudi menerima suap sebesar SGD 43 ribu dari pengacara Ronald, Lisa Rachmat. Hakim menyakini uang itu diberikan Lisa agar Rudi menggunakan kewenangannya untuk menunjuk majelis hakim perkara Ronald sesuai keinginan Lisa.
Hakim menyakini uang itu diperoleh Rudi berhubungan dengan jabatannya selama menjabat sebagai Ketua PN Surabaya dan Ketua PN Jakarta Pusat. Hakim menyatakan Rudi tidak melaporkan penerimaan atau gratifikasi ke KPK sejak 2022 hingga sekarang.
Hakim menyatakan Rudi Suparmono melanggar Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi.
(mib/whn)
/data/photo/2025/08/27/68ae87db87759.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5197520/original/095088500_1745476635-IMG-20250424-WA0038.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

/data/photo/2025/08/21/68a6942da1931.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/04/14/67fc7fce51c66.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/20/68a5517f9b1fb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/20/68a552ae54264.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)