Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta

  • BREAKING NEWS! Kejagung Tangkap Bos Sriwijaya Air Hendry Lie

    BREAKING NEWS! Kejagung Tangkap Bos Sriwijaya Air Hendry Lie

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menangkap bos maskapai penerbangan Sriwijaya Air Hendry Lie di kasus dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi, Hendry tiba dengan mobil tahanan Kejagung sekitar 23.14 WIB. Dia dikawal oleh pihak Kejagung dan digiring ke Gedung Kartika Kejagung.

    Hendry nampak mengenakan kemeja pink lengkap dengan borgol ditangannya usai dijemput oleh tim dari Kejagung.

    Sebelum ditahan, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar menyatakan bahwa Hendry sempat dirawat akibat penyakitnya di Singapura.

    “Kan belum dilakukan penahanan, karena sakit [dirawat di Singapura] dan sakit itu kan sudah ada pemberitahuan dari kuasanya,” ujar Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar beberapa waktu lalu.

    Sebagai informasi, Hendry Lie ditetapkan sebagai tersangka kasus tata niaga timah pada Jumat (26/4/2024). Selain Hendry, bos Sriwijaya Air lainnya, yakni Fandy Lingga turut menjadi tersangka kasus timah.

    Dalam kasus timah, Hendry Lie merupakan beneficiary owner dan Fandy Lingga (FL) sebagai mareting di PT Tinindo Internusa (TIN).

    Keduannya diduga berperan dalam pengkondisian pembiayaan kerja sama penyewaan alat peleburan timah. Terlebih, agar seolah-olah aktivitas tambang itu ilegal, keduanya membentuk dua perusahaan ‘boneka’.

    Adapun, dalam sidang dakwaan terhadap tiga tersangka kasus timah di PN Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (31/7/2024). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menduga Hendry Lie turut menerima uang korupsi sebesar Rp1,05 triliun.

    “Memperkaya Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa setidak tidaknya Rp1.059.577.589.599,19,” dalam dakwaan yang dibacakan JPU.

  • Kuasa Hukum Duta Palma Minta Kejagung Perhatikan Nasib Puluhan Ribu Karyawan yang Terancam PHK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 November 2024

    Kuasa Hukum Duta Palma Minta Kejagung Perhatikan Nasib Puluhan Ribu Karyawan yang Terancam PHK Nasional 18 November 2024

    Kuasa Hukum Duta Palma Minta Kejagung Perhatikan Nasib Puluhan Ribu Karyawan yang Terancam PHK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kuasa hukum Duta Palma Grup, Handika Honggowongso, menyatakan bahwa penyitaan aset oleh penyidik Kejaksaan Agung tetap harus memberikan rasa keadilan.
    Sebab, keberlangsungan Duta Palma Grup yang telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang terkait korupsi usaha perkebunan kelapa sawit itu, tidak hanya terkait tersangka individu maupun korporasi.
    Handika menerangkan, Duta Palma grup juga menjadi tempat mencari nafkah para karyawannya.
    “Kalau semua proses bisnis Duta Palma grup dan pihak terafiliasi dianggap sebagai skema pencucian uang, uang disita dan rekening diblokir, mohon Kejagung mempertimbangkan nasib 21.000 ribu karyawan yang menghidupi ratusan ribu keluarganya,” ungkap Handika dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (18/11/24).
    Menurut Handika, sejak penetapan tersangka grup Duta Palma, kondisi di internal perusahaan sudah mengalami kegoyahan luar biasa
    Dia tidak memungkiri bahwa dampak dari proses hukum itu mengakibatkan macet atau anjloknya bisnis Duta Palma grup dan pihak terafiliasi.
    Penyitaan aset dan uang yang gencar dilakukan penyidik Kejagung juga akan berdampak pada nasib 23.000 karyawan.
    Jika tidak ada solusi, rencananya akan dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
    Lebih lanjut, dia pun memandang bahwa kasus ini tidak memberikan pertimbangan dari aspek lebih luas dan adil. Sebab, ada banyak perusahaan serupa yang tidak di proses hukum oleh Kejagung.
    “Ada ribuan perusahaan sawit yang berada di kawasan hutan, Kenapa mereka bisa menyelesaikan lewat mekanisme pembayaran denda yang diatur Kemenhut?” ujar Handika.
    Ditegaskan Handika, Duta Palma grup sudah memiliki izin lokasi dan kebun sawit.
    Kendati demikian, penyelesaian persoalannya tidak diperkenankan lewat mekanisme pembayaran denda administrasi berupa pembayaran dana reboisasi, PSDH dan lainnya
    “Padahal hal itu tertuang dalam pasal 110 huruf a dan 110 huruf b UU Ciptaker,” dan Duta Palma grup siap membayar denda administrasi yang jumlah biayaya sekitar 3 triliun, kata dia.
    Diungkapkan Handika, jika mekanisme denda administrasi diberlakukan bagi Duta Palma Grup, sejatinya persoalan internal sampai ke PHK besar-besaran dapat dicegah.
    Oleh karenanya, penyidik Kejagung tetap diharapkan dapat memberikan rasa keadilan sejalan dengan penegakan hukum.
    Kejagung sebelumnya telah melakukan beberapa kali penyitaan aset Duta Palma. Terbaru, Kejagung memamerkan tumpukan uang tunai Rp 372 miliar sitaan dari
    Duta Palma Group
    .
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar mengatakan, uang tersebut diperoleh dari dua penggeledahan pada Selasa (1/10/2024) dan Rabu (2/10/2024).
    Sebagai informasi tambahan, pada Oktober, Kejagung melakukan penggeledahan dan menyita uang tunai senilai Rp 372 miliar di Menara Palma, Jakarta Selatan, serta Rp 304,5 miliar di Kantor PT Asset Pacific, Jakarta Selatan.
    Selain itu, pada September, Kejagung juga menyita Rp 450 miliar yang merupakan milik PT Asset Pacific, entitas usaha dari
    PT Duta Palma Group
    .
    Adapun Mahkamah Agung telah menjatuhkan pidana badan selama 16 tahun penjara kepada Surya Darmadi, bos
    PT Duta Palma
    Group.
    Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Surya Darmadi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait penyerobotan lahan di Kabupaten Indragiri Hulu.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terima Secarik Kertas Bukti Nama Dicatut

    Terima Secarik Kertas Bukti Nama Dicatut

    Jakarta

    Terdakwa kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Rutan KPK, Eri Angga Permana, mengaku awalnya tak menerima pungli dari para tahanan. Eri mengatakan namanya dicatut dan ditulisakan sebagai penerima pungli.

    Eri Angga yang juga terdakwa kasus dugaan pungli Rutan KPK ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk Terdakwa Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh dan Ramadhan Ubaidillah. Persidangan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (15/11/2024).

    Eri mengaku menerima secarik kertas bertulisan ANG 3 JT. Dia lalu mendapat informasi jika namanya ditulis sebagai penerima jatah pungli, padahal uang itu tak pernah ia terima.

    “Tahunya gimana?” tanya jaksa.

    “Tahunya ketika awal Desember itu ada Razia di MP, Merah Putih. Ada salah satu petugas Rutan kalau di BAP (berita acara pemeriksaan) tidak ada namanya setelah saya ingat ada namanya Rahmah Kurniawan memberikan kepada saya secarik kertas. Dengan kekagetan dia memberikan saya secarik kertas, ini fakta ada nama Saya ANG 3 JT dan yang lainnya ada nama-nama cuma saya fokus ke nama saya. Itu yang pertama saya mengetahui adanya aliran dana itu. Itu diawal Desember 2021 atau diawal tahun 2022 seingat saya itu,” jawab Eri.

    “Setelah itu saya mencari tahu apa maksudnya. Mohon izin di sini ada Pak Ricky dan Pak Abduh bisa izin konfirmasi yang bersangkutan lah yang akhirnya menceritakan ke saya menyampaikan bahwasanya dengan ragu-ragu akhirnya, ‘Bang Angga sebetulnya selama ini Bang Angga menerima uang atau tidak uang bulanan?’ itu faktanya Pak. Saya jawab ‘demi Allah demi Rasulullah saya tidak pernah menerima uang’ saya tahu dengan data itu saya cari tahu kenapa ada ANG 3 JT. Itu awalnya saya tahu adanya praktik praktik uang bulanan itu,” imbuh Eri.

    “Terus kemudian perkembangannya bagaimana?” tanya jaksa.

    “Diceritakan lah bahwasanya Bang Angga selama ini mendapatkan jatah yang selama ini diambil oleh saudara Hengki. Itulah awal cerita saya Pak,” jawab Eri.

    “Kalau di rekening saya, saya terima Rp 24 juta,” kata Eri.

    “Rp 24 juta, uang apa itu?” tanya jaksa.

    “Itu adalah uang dari tahanan,” jawab Eri.

    Seperti diketahui, sebanyak 15 mantan pegawai KPK didakwa melakukan pungli di lingkungan Rutan KPK. Praktik pungli terhadap para narapidana di Rutan KPK itu disebut mencapai Rp 6,3 miliar.

    Perbuatan itu dilakukan pada Mei 2019 hingga Mei 2023 terhadap para narapidana di lingkungan Rutan KPK. Para tahanan yang menyetor duit mendapat fasilitas tambahan seperti boleh memakai HP dan lainnya. Sementara, tahanan yang tak membayar akan dikucilkan dan mendapat pekerjaan lebih banyak.

    (mib/maa)

  • Terungkap Perhitungan Kerugian Negara Rp 300 T di Kasus Timah

    Terungkap Perhitungan Kerugian Negara Rp 300 T di Kasus Timah

    Jakarta

    Persidangan kasus korupsi pengelolaan timah terus bergulir, pada persidangan kemarin telah terungkap dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Mengutip detikNews, Auditor Investigasi BPKP, Suaedi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, menjelaskan proses perhitungan kerugian negara Rp 300 triliun tersebut.

    Suaedi mengatakan, penyimpangan (fraud) yang ditemukan dalam kasus ini adalah soal perizinan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). BPKP juga menyoroti soal reklamasi usai penambangan dilakukan.

    Pertimbangan lainnya dalam perhitungan kerugian keuangan negara itu adalah pada eksplorasi dan produksi. Dia menyoroti bagaimana peran smelter swasta, proses pembelian dan pengelolaan bijih timah hingga tahap reklamasi.

    Suaedi mengatakan PT Timah saat itu tak melakukan penambangan, melainkan melakukan pembelian bijih timah. Kemudian, adanya kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal.

    “Ini sudut pandang seorang auditor, Yang Mulia, bahwa penerbitan izin usaha pertambangan (IUP), RKAB, dan rencana reklamasi merupakan titik kritis awal. Kemudian PT Timah pada saat itu diketahui tidak melakukan penambangan, melainkan melakukan pembelian bijih timah, kemudian ada kerja sama sewa smelter dengan swasta dan pada saat itu disampaikan juga terdapat kerusakan lingkungan yang terjadi. Ini beberapa poin yang kami dapat dari penyidik pada saat ekspose,” kata Suaedi.

    Dia mengatakan kerugian sekitar Rp 29 triliun diperoleh dari penyimpangan dalam kontrak sewa smelter, dan pembelian bijih timah. Dia mengatakan bijih timah itu berasal dari penambang ilegal yang menambang di wilayah IUP PT Timah.

    Kerugian selanjutnya sebesar Rp 271 triliun berasal dari akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sehingga, menurut Suaedi, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

    “Jadi, penyimpangan yang kami temukan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pembayaran kerja sama sewa peralatan processing perlogaman dengan sewa smelter swasta tidak sesuai ketentuan. Kemudian mitra pertambangan dan PT Timah tidak melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan. Jadi unsur kerugian yang kami masukkan sebagai kerugian keuangan negara itu ada tiga hal, yang pertama adalah sewa smelter swasta, kedua adalah pembelian bijih timahnya, kemudian adanya kerusakan lingkungan yang terjadi. Jadi dari jumlah poin satu, dua, tiga ini bisa kami sampaikan totalnya kerugian adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ujar Suaedi.

    Namun, keterangan Suaedi ditanggapi Penasihat hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih. Menurutnya, kesaksian Auditor BPKP, Suaedi melanggar SOP BPKP sendiri.

    Ia menjelaskan, Berdasarkan Peraturan Kepala Deputi BPKP Bidang Investigasi Nomor 2 tahun 2024 pada bagian B mengharuskan auditor BPKP menganalisis dan mengevaluasi seluruh bukti yang dikumpulkan, termasuk mengkaji dan membandingkan semua bukti yang relevan dengan mengutamakan hakikat daripada bentuk (substance over form).

    “Jika ada melibatkan ahli yang kompeten, dalam hal ini termasuk ahli lingkungan Prof Dr Bambang Hero, maka auditor BPKP harus memastikan bahwa ahli melakukan pemeriksaan fisik terhadap teknis pekerjaan,” ujar Junaedi Saibih, Rabu (13/11/2024).

    Dalam hal menggunakan ahli untuk melakukan penugasan audit perhitungan kerugian keuangan negara (audit PKKN), maka BPKP melalui penyidik harus melakukan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga ahli untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan salah tafsir informasi dari tenaga ahli.

    Namun faktanya, lanjut Junaedi, ahli BPKP dalam persidangan menyatakan bahwa ahli tidak mengetahui dasar perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan oleh Bambang Hero, lantaran hanya mengadopsi saja. Junaedi mencatat, sikap itu berkonsekuensi logis bila ahli BPKP tidak pernah menjalankan prosedur atau SOP yang sudah ditetapkan.

    “Yang diharuskan dalam pedoman internal audit PKKN yaitu melakukan kesepahaman dan komunikasi yang cukup dengan tenaga ahli untuk meminimalkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan salah tafsir hasil pekerjaan atau atau informasi dari tenaga ahli,” paparnya.

    Junaedi pun meragukan laporan hasil audit PKKN yang dilakukan auditor BPKP.

    “Apakah laporan hasil audit PKKN ini masih dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dan terjamin kesahihannya?” ucap dia.

    Tak hanya itu, tim audit BPKP juga disebut hanya melakukan kunjungan ke lapangan, tapi tidak melaksanakan verifikasi.

    Perlu diketahui, auditor investigasi BPKP Suaedi hadir dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah sebagai saksi ahli, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).

    Hanya saja, analisa dan dokumen yang dipaparkan tidak mampu menjawab pertanyaan Majelis Hakim. Junaedi Saibih mengatakan, saksi yang dihadirkan JPU tidak kredibel lantaran jawabannya tidak sesuai dengan konteks pertanyaan Hakim.

    Adapun, Hakim mempertanyakan letak kerugian negara yang disebabkan oleh dugaan korupsi pengelolaan timah.

    “Jadi dari hasil sidang hari ini, saksi yang dihadirkan JPU tidak kredibel. Karena jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan konteks pertanyaan Hakim tentang dimana letak kerugian negara,” tutur dia.

    (rrd/rir)

  • Kusnadi, Mantan Ketua DPRD Jatim Siap Ungkap Fakta Korupsi Dana Hibah Pokmas ke KPK

    Kusnadi, Mantan Ketua DPRD Jatim Siap Ungkap Fakta Korupsi Dana Hibah Pokmas ke KPK

    Surabaya (beritajatim.com) – Mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi, menyatakan dukungan penuh terhadap upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut tuntas kasus dugaan korupsi dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Jawa Timur tahun 2021-2022.

    Setelah menjalani pemeriksaan oleh KPK, Kusnadi, melalui kuasa hukumnya Harmawan H. Adam, S.H., M.H. dari kantor hukum Adam & Associates, menegaskan kesiapannya untuk membongkar semua fakta yang diketahuinya demi tegaknya hukum.

    “Saya siap membuka seluruh fakta yang saya ketahui terkait kasus ini demi penegakan hukum dan transparansi,” ujar Adam atas nama Kusnadi.

    Pernyataan ini memperlihatkan komitmen Kusnadi untuk membantu KPK dalam mengungkap kasus aliran dana hibah yang diduga diselewengkan. Kasus ini menjadi sorotan setelah KPK menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait dana hibah pokmas.

    Dari jumlah tersebut, empat orang diduga penerima suap, termasuk tiga pejabat publik dan satu staf, sementara 17 orang lainnya diduga sebagai pemberi suap yang mayoritasnya berasal dari sektor swasta. “Kami akan mempublikasikan nama-nama tersangka dan perbuatan melawan hukum mereka setelah penyidikan mencapai tahap lebih lanjut,” ujar Juru Bicara KPK, Tessa, dalam pernyataan resminya.

    Kasus ini berkembang dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada September 2022, yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P. Simanjuntak. Sahat divonis sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya atas penyalahgunaan dana hibah pokir DPRD Jatim tahun anggaran 2021-2022.

    Sebagai bagian dari proses penyidikan, KPK juga memeriksa 17 anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 sebagai saksi. Pemeriksaan yang dilangsungkan di Kantor BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Timur ini mencakup inisial saksi seperti M, FWY, MS, BW, HAW, AH, AM, BP, SU, FF, HAS, HMSI, MHR, MRZ, WSR, MF, SPM, AH, dan AZ.

    Pejabat lain seperti Agus Wicaksono (Ketua Badan Kehormatan DPRD Jatim), Abdul Halim (Ketua Komisi C DPRD Jatim), dan Alyadi (Ketua Komisi B DPRD Jatim) turut hadir dalam pemeriksaan tersebut.

    KPK berharap pengungkapan kasus ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku serta meningkatkan transparansi pengelolaan anggaran daerah, khususnya terkait alokasi dana hibah untuk masyarakat. [kun]

  • Mantan Sestama Basarnas Didakwa Rugikan Negara Rp20,44 Miliar – Page 3

    Mantan Sestama Basarnas Didakwa Rugikan Negara Rp20,44 Miliar – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Sekretaris Utama (Sestama) Badan SAR Nasional (Basarnas) periode 2009-2015 Max Ruland Boseke didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp20,44 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat pada tahun 2014.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Richard Marpaung mengatakan kerugian negara disebabkan lantaran dalam kasus tersebut, Max diduga telah melakukan korupsi bersama-sama dengan Direktur CV Delima Mandiri William Widarta serta Kepala Sub Direktorat Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Basarnas Anjar Sulistiyono.

    “Perbuatan korupsi bertujuan untuk memperkaya Max sebesar Rp2,5 miliar dan William sebesar Rp17,94 miliar,” kata JPU KPK dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (14/11/2024).

    Dengan demikian, ketiganya didakwa melanggar dan terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

    JPU menjelaskan kasus bermula saat Max menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Tahun Anggaran (TA) 2014, Anjar diangkat menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) TA 2014, serta Kepala Basarnas periode 2013-2014 Muhammad Alfan Baharuddin ditetapkan sebagai Pengguna Anggaran TA 2014 berdasarkan Surat Keputusan Nomor: SK.KBSN-167/XI/BSN-2013 tanggal 18 November 2013 yang ditandatangani oleh Alfan.

    Sementara itu sejak tahun 2006, William telah mengikuti berbagai lelang pekerjaan pengadaan, termasuk lelang pekerjaan pengadaan di Basarnas dengan menggunakan CV Delima Mandiri.

    Selain menggunakan CV Delima Mandiri, William juga menggunakan berbagai perusahaan lain dalam beberapa lelang pekerjaan pengadaan dengan maksud sebagai pemenang lelang maupun sebagai perusahaan pendamping pada saat proses lelang, namun CV Delima Mandiri tidak pernah memenangkan lelang paket pekerjaan di Basarnas.

    Untuk itu pada Maret 2013, Max, yang sudah kenal dekat dengan William, menyampaikan kepada Alfan untuk memasukkan pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat atau rescue carier vehicle (RCV) dalam Revisi Usulan Program Kerja TA 2014.

     

    Pada Selasa (24/9/2024) pukul 05.00 WIB, Damkar Gunungkidul lakukan evakuasi. Evakuasi ini untuk korban kecelakaan, bersama Basarnas Rayon Wonosari

  • Sidang Pemotongan Dana Insentif BPPD Sidoarjo

    Sidang Pemotongan Dana Insentif BPPD Sidoarjo

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Terdakwa dugaan kasus pemotongan insentif ASN BPPD Sidoarjo Bupati non aktif Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) mengaku siap buka-bukaan sumber dana di rekening pribadinya. Dia memastikan dana yang masuk bersumber dari hasil yang resmi tanpa menabrak aturan hukum.

    Hal itu disampaikan dalam sidang lanjutan kasus dugaan pemotongan dana insentif pegawai BPBD Sidoarjo di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Senin (11/11/2024).

    Di sidang lanjutan di Tipikor Surabaya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan 16 orang saksi, diantaranya 15 orang dari pegawai BPBD dan 1 orang dari Sekretariat Daerah.

    Dengan materi yang sama JPU KPK Rizqi mencecar saksi terkait adanya pemotongan dana insentif pegawai BPBD sampai dengan penggunaan dana tersebut. “Untuk jumlah potongan saya tidak tahu siapa yang menentukan, waktu itu uang saya setorkan ke Bu Kiki,” jawab Wahyuningsih staf Sekretariat BPBD ketika ditanya JPU.

    Hal yang sama disampaikan saksi Rizqi/kiky staf perencanaan dan keuangan, ketika ditanya JPU terkait pemotongan dana insentif, Ia menjelaskan bahwa pihaknya diperintah Siskawati untuk membagi kitir.

    “Awalnya saya dapat print out nama pegawai dan angka yang harus di potong, kemudian saya tulis kembali berbentuk kitir, kemudain saya bagikan ke pegawai sekretariat, uang terkumpul ke saya kemudian saya serahkan ke Bu Siska,” jelasnya menceritakan.

    Sementara saksi Hepy Setiyaningtiyas Kabag Perencanaan Keuangan Sekretariat Daerah Kab. Sidoarjo dalam kesaksiannya mengatakan hanya mengurusi keuangan bupati dan wakil bupati termasuk gaji insentif, tunjangan dan lain-lain yang itu bersumber resmi dari APBD.

    “Tugas saya hanya seputar gaji, tunjangan, insentif bupati dan wakil bupati yang sifatnya resmi dari APBD. Selain itu saya tidak mengetahui,” jelasnya.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo non aktif Ahmad Muhdlor Ali mengatakan, tidak pernah mengenal saksi-saksi dari BPPD yang dihadirkan JPU. “Pernahkah kalian melihat saya di BPBD, WhatsApp dengan saya, berhubungan dengan saya. Potongan ini melanjutkan atau kebijakan baru,” tanya Muhdlor kepada saksi yang hadir. Dengan kompak semua saksi menjawab “Melanjutkan kebijakan lama,”.

    Gus Muhdlor juga mengaku siap membuka rekening atas namanya untuk memastikan sumber uang yang masuk ke rekeningnya. “Biar terang benderang, karena saya yakin semua uang masuk dari hasil yang resmi,” tegas Muhdlor. (isa/kun)

  • Pegawai Rutan KPK yang Jadi Terdakwa Kasus Pungli Masih Dapat 50% Gaji

    Pegawai Rutan KPK yang Jadi Terdakwa Kasus Pungli Masih Dapat 50% Gaji

    Jakarta, Beritasatu.com – Pegawai rumah tahanan negara (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Muhammad Ridwan mengungkapkan dirinya masih mendapatkan 50% dari gajinya. Padahal, dia saat ini menjadi salah satu terdakwa dalam kasus dugaan pungutan liar (pungli) di rutan KPK. 

    Hal itu diungkapkan Ridwan saat menjadi saksi untuk para terdakwa lainnya dalam kasus pungli rutan KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/11/2024). Dia berkedudukan sebagai pegawai tidak tetap.

    “Kemudian sekarang status kepegawaian saudara bagaimana?,” tanya jaksa saat persidangan.

    “Masih sebagai pegawai karena masih menerima gaji,” respons Ridwan.

    “Sampai saat ini masih terima gaji?” tanya jaksa.

    “Masih menerima gaji, tetapi sudah 50% sepertinya,” respons Ridwan.

    Jaksa sempat mendalami soal alasan pemotongan gaji dimaksud. Ridwan menyebut pemotongan itu mengingat dirinya menjadi terdakwa.

    Ridwan menerangkan, dia sempat diperiksa oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK buntut dugaan pungli tersebut. Atas keterlibatannya dalam praktik pungli di rutan KPK, dia dijatuhi sanksi berat berupa permintaan maaf terbuka.

    “Kami terbukti bersalah dalam perihal pungutan liar di rutan KPK dan kami mendapat sanksi berat dari Dewas KPK,” ungkap Ridwan.

    “Apa sanksi beratnya itu?” tanya jaksa.

    “Permintaan maaf terbuka,” respons Ridwan.

    “Jadi saudara terbukti melanggar kode etik dan kode pelaku pegawai KPK?,” tanya jaksa.

    “Betul pak,” respons Ridwan.

    “Saudara terbukti meminta uang?” tanya jaksa.

    “Menerima uang dari tahanan,” respons Ridwan.

    Jaksa sempat menggali lebih jauh keterangan Ridwan seputar kedudukan uang yang diterima tersebut. Dia pun mengakui penerimaan uang tersebut tidak resmi.

    “Yang saudara terima uang dari tahanan itu resmi apa tidak itu?” tanya jaksa.

    “Tidak resmi,” respons Ridwan.

  • 3
                    
                        Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang
                        Nasional

    3 Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang Nasional

    Serangan Balik KPK, Sebut Keluarga Rafael Alun Terlibat Pencucian Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) melancarkan “serangan balik” terhadap pengajuan keberatan atas perampasan aset yang diajukan keluarga
    Rafael Alun
    Trisambodo.
    Rafael merupakan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menjadi terpidana kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Berdasarkan putusan pengadilan, sejumlah aset Rafael dirampas.
    Adapun keberatan diajukan oleh Petrus Giri Herniawan, Markus Seloadji, Martinus Gangsar Sulaksono, serta pemohon dari korporasi yakni CV Sonokeling Cita Rasa.
    Markus merupakan kakak Rafael Alun sementara Gangsar adik mantan pejabat pajak tersebut.
    Dalam tanggapannya, jaksa KPK mempertanyakan alasan keluarga Rafael mengajukan keberatan.
    Jaksa menyebut, permohonan atas perampasan aset diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik terhadap Putusan Perampasan Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam perkara Tipikor.
    “(Permohonan sesuai undang-undang dan Perma) atau hanya upaya dari pemohon mencari celah seolah-olah aset yang telah dirampas itu merupakan harta kekayaan yang sah,” kata jaksa KPK di
    Pengadilan Tipikor
    Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024).
    Mereka menyebut, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat nantinya akan memeriksa alasan permohonan ini dengan cermat.
    Aspek formil dan materiil permohonan akan diperiksa sehingga alasan pengajuan itu disimpulkan sesuai undang-undang atau peraturan MA.
    “Mengingat di dalam diri setiap majelis hakim terpatri nilai kebenaran dan nilai keyakinan untuk menakar mana yang benar itu benar dan mana yang salah itu salah,” ujar jaksa KPK.
    Pemohon terlibat cuci uang
    Dalam tanggapan menyangkut aspek formil permohonan keluarga Rafael, jaksa KPK menyebut adik dan kakak Rafael terlibat dalam tindak pidana pencucian uang.
    Jaksa mengungkapkan, berdasarkan fakta persidangan, pencucian uang dilakukan istri Rafael, Ernie Meike Torondek, ibu Rafael Irene Suheriani Suparman, Gangsar hingga anak Rafael, Christopher Dhyaksadarma.
    Sementara, Markus disebut terlibat bersama-sama menyembunyikan mobil Jeep Wrangler.
    “Dalam mewujudkan tindak pidana pencucian uang di atas berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tidak hanya dilakukan oleh terdakwa Rafael Alun Trisambodo bersama-sama dengan Ernie Meike Torondek,” kata jaksa KPK.
    Mereka disebut turut serta melakukan pencucian uang berupa perhiasan, uang dalam
    safe deposit box
    (SDB), hingga pendirian Bilik Kayu dan Bilik Kopi.
    Aset-aset tersebut saat ini telah dirampas dan menjadi obyek yang dimohonkan oleh keluarga Rafael.
    Karena Markus dan Gangsar terlibat dalam dalam pencucian uang itu, jaksa KPK menilai mereka bukan pihak yang beritikad baik.
    “Para pemohon keberatan tersebut (Markus dan Gangsar) bukanlah pihak ketiga yang beritikad baik,” kata jaksa KPK.
    “Pengajuan keberatan
    a quo
    tidak sesuai dengan Pasal 12 Ayat 1 Perma Nomor 2 Tahun 2022,” lanjut jaksa KPK.
    Sebelumnya, empat pihak tersebut mengajukan keberatan atas penyitaan yang dilakukan KPK.
    CV Sonokeling Cita Rasa  mengajukan keberatan terhadap penyitaan aset sebagai berikut karena tak terima penyitaan terhadap 1 unit mobil Innova dengan nomor polisi AB 1016 IL dan 1 unit mobil Grand Max dengan nomor polisi AB 8661 PH.
    Sementara itu, aset yang disita dari Petrus, Markus, dan Gangsar terdiri dari uang di SDB Rafael sebesar 9.800 Euro, 2.098.365 dollar Singapura, dan 937.900 dollar AS.
    Kemudian, perhiasan di SDB Rafael berupa 6 cincin, 2 kalung beserta liontin, 5 pasang anting, dan 1 liontin.
    Lalu, beberapa properti di Jakarta, termasuk rumah di Jalan Wijaya Kebayoran, rumah di Srengseng, ruko di Meruya, 2 unit kios di Kalibata City, serta 1 unit mobil VW Caravelle.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 November 2024

    Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah Nasional 6 November 2024

    Sidang Timah, Ahli Sebut Istri yang Nikmati Uang Korupsi Bisa Dijerat Meski Ada Perjanjian Pra Nikah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menyebut, istri yang menikmati uang hasil korupsi suaminya tetap bisa dijerat sebagai pelaku pasif meskipun keduanya memiliki perjanjian pra nikah atau pisah harta.
    Informasi ini Yunus sampaikan ketika dihadirkan sebagai ahli dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah dengan terdakwa Direktur Utama PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto dan kawan-kawan.
    Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta pendapat Yunus dengan mengajukan ilustrasi seorang suami yang disebut A menerima uang hasil korupsi dan menggunakan uang itu untuk membahagiakan istrinya.
    “Membelikan tas, membelikan mobil, membelikan rumah. Namun, sebelumnya mereka sudah memiliki perjanjian pra nikah. Apakah barang-barang tersebut bisa dikategorikan sebagai hasil TPPU juga?” tanya jaksa di Pengadklan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024).
    Yunus kemudian menjelaskan, ada atau tidaknya status pernikahan berikut perjanjian pra nikah tidak memengaruhi jerat Pasal TPPU.
    Menurutnya, yang terpenting adalah apakah pihak terkait menguasai, menggunakan, atau menikmati hasil kejahatan seperti korupsi dengan sadar.
    “Orang ada hubungan nikah apa tidak, ada perjanjian apa tidak, tidak relevan,” kata Yunus.
    Terlebih, kata ahli perbankan tersebut, dalam peristiwa yang dicontohkan jaksa biasanya tidak terdapat underlying transaction atau dokumen yang menjadi dasar sehingga transaksi itu seolah menjadi sah.
    Oleh karena itu, istri dari pelaku yang turut menikmati uang maupun harta hasil kejahatan itu bisa menjadi tersangka pelaku TPPU pasif sebagaimana diatur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
    “Jadi, menerima, menguasai, menggunakan hasil kejahatan bisa terkena Pasal 5,” ujar Yunus.
    Dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah, pihak yang menyatakan memiliki perjanjian pisah harta adalah istri terdakwa
    Harvey Moeis
    , Sandra Dewi.
    Meski demikian, aktris itu mengaku membeli rumah bersama suaminya senilai Rp 20 miliar lebih. Ia juga tidak menampik Harvey membeli sejumlah mobil yang digunakan keluarganya.
    Dalam perkara ini, Sandra Dewi disebut menerima aliran dana hasil korupsi di PT Timah Tbk Rp 3,5 miliar. Ia juga disebut menerima 88 tas mewah dari Harvey Moeis yang diduga bersumber dari perkara ini.
    Terbaru, Sandra Dewi disebut mentransfer uang Rp 10 miliar ke rekening istri Direktur Utama PT RBT Suparta yang bernama Anggraeni pada Desember 2019.
    Namun, uang itu diklaim Anggraeni sebagai utang suaminya kepada Harvey yang digunakan untuk model bisnis.
    Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
    Harvey Moeis didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari penerimaan uang Rp 420 miliar dari hasil tindak pidana korupsi.
    Harvey yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama dengan eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
    Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
    Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
    Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
    Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.
    Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana coorporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE, Helena Lim.
    Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar “Memperkaya terdakwa Harvey Moesi dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
    Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.