Kaleidoskop 2024: Jatuhnya Martabat Hakim karena Mafia Peradilan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Tahun 2024 diwarnai skandal
mafia peradilan
yang mencoreng martabat dan kehormatan wakil Tuhan di bumi:
hakim
.
Setelah operasi tangkap tangan (OTT) perkara suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung pada 2022 lalu, pada 2024 sejumlah hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membebaskan terdakwa pelaku pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur.
Mereka adalah
Hakim
Ketua Erintuah Damanik serta dua hakim anggota, Mangapul dan Heru Hanindyo.
Ketiganya ditangkap penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) di Surabaya pada 23 Oktober lalu karena ditengarai menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur, yang membunuh kekasihnya, Dini Sera Afriyanti.
“Iya (penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya terkait suap dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur),” ujar Febrie Adriansyah kepada wartawan Rabu (23/10/2024).
Menyusul ketiga hakim itu, Kejagung menangkap pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Selang satu hari berikutnya, Kamis (24/12/2024), Kejagung menangkap mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar (ZR) di Bali.
Penangkapan Zarof ditindaklanjuti dengan penggeledahan di Jakarta.
Upaya paksa itu membuat publik tercengang.
Sebab, penyidik menemukan uang dan emas yang totalnya mencapai Rp 1 triliun.
Harta itu terdiri dari uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kilogram yang disebut berasal dari jual beli perkara di MA.
“Itu pengakuannya yang menyatakan bahwa uang dan emas itu merupakan hasil dari pengurusan perkara,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar.
Selama proses penyidikan, Kejagung hanya mengungkap sedikit perbuatan para pelaku.
Tindakan mafia peradilan itu baru mulai terungkap setelah perkara Erintuah, Mangapul, dan Heru dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan disidangkan.
Skandal mafia peradilan ini dimulai ketika ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, meminta Lisa menjadi pengacara untuk mendampingi anaknya.
Istri anggota DPR RI itu datang ke kantor Lisa pada 5 Oktober 2023 di Surabaya.
Dalam pertemuan tersebut, sang pengacara meminta ibu Ronald Tannur menyiapkan sejumlah uang untuk mengurus perkara anaknya.
Setelah pertemuan itu, Lisa pun bergerilya.
Ia menemui Zarof Ricar yang diduga sebagai makelar kasus.
“Untuk mencarikan hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya yang bersedia untuk menjatuhkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dalam perkara anak seorang anggota DPR,” kata jaksa.
Lisa kemudian beberapa kali menemui Mangapul pada kurun Januari hingga Maret 2024 di sebuah apartemen di Surabaya.
Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan bahwa perkara kliennya, Ronald Tannur, akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Ia meminta pelaku pembunuhan itu divonis bebas (vrijspraak).
Jaksa kemudian menyebut pada 4 Maret 2024, ia menemui Erintuah dan memperkenalkan diri sebagai pengacara Ronald Tannur.
Ia mengaku telah bertemu dengan Heru dan Mangapul yang akan menjadi hakim anggota perkara kliennya.
“Padahal penetapan penunjukkan Majelis Hakim perkara pidana Gregorius Ronald Tannur belum ada,” tutur jaksa.
PN Surabaya baru menerbitkan penetapan susunan majelis hakim pada keesokan harinya dengan susunan Erintuah sebagai hakim ketua serta Mangapul dan Heru sebagai hakim anggota.
Jaksa kemudian menyebut, selama proses persidangan, Lisa telah memberikan suap kepada tiga hakim itu senilai Rp 1 miliar dan 308 dollar Singapura atau seluruhnya senilai Rp 4,6 miliar.
“Bahwa uang yang diberikan Lisa Rachmat kepada terdakwa Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo berasal dari Meirizka Widjaja,” ujar jaksa.
Setelah persidangan bergulir, Erintuah, Mangapul, dan Heru kompak membebaskan Ronald Tannur dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa.
“Sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024,” kata jaksa.
Namun, setelah membebaskan anaknya, kini sang ibunda pun menjadi tersangka pemberi suap dan dipenjara.
Meski sudah lewat satu purnama menahan Zarof Ricar, Kejaksaan Agung baru menjelaskan peran Zarof Ricar sepenggal cerita.
Menurut Harli, Zarof yang sudah pensiun dari Mahkamah Agung, tetap bisa menjadi perantara suap antara pengacara Ronald Tannur dengan ketiga hakim PN Surabaya.
Kepada penyidik, kata Harli, Zarof mengaku uang dan emas batangan itu bukan miliknya.
Harta benda itu merupakan hasil pengurusan perkara.
Namun demikian, Kejagung tak kunjung mengungkap asal muasal dan peruntukan harta panas senilai Rp 1 triliun di rumah Zarof Ricar.
Sampai hari ini, pihak Korps Adhyaksa terus mengeklaim masih mendalami uang dan emas tersebut.
“Kami belum mendapat informasi detail terkait pengungkapan itu (suap perkara lain), namun penyidik terus berupaya mendalaminya,” ujar Harli kepada Kompas.com, Kamis (19/12/2024).
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendesak Kejagung mengungkap asal muasal dan peruntukan harta itu.
Sebab, sangat mungkin uang dan emas itu merupakan titipan dari pihak lain, baik hakim maupun pejabat.
“Kejaksaan Agung harus membongkar karena sangat mustahil uang dan batangan emas yang ada di rumah ZR itu miliknya sendiri. Sangat mungkin itu juga titipan yang belum diambil oleh hakim atau siapapun pejabat publik,” ungkap Fickar.
Ia menduga, uang dan emas sengaja dititipkan kepada Zarof untuk menghindari auditor, mengingat pejabat wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Uang dan emas itu, menurutnya, baru akan diambil ketika mereka pensiun di kemudian hari.
“Kejaksaan Agung harus melacak ini, mengingat akses ZR yang luas di kalangan para hakim karena kedudukannya dulu sebagai Kapusdiklat MA yang berhubungan dengan semua hakim. Jadi sangat mungkin uang dan emas itu titipan para hakim,” ujarnya.
Terpisah, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menyebut Zarof harus membuktikan sumber uang dan emas senilai Rp 1 triliun di rumahnya.
Menurut Yunus, kekayaan Zarof begitu besar karena ia diduga melakukan tindak pidana pencucian uang.
“Pasti ada cuci uang, enggak mungkin enggak. Sekian lama, sekian besar, pasti membayar banyak orang, dan tidak akan habis dia makan sendiri. Buktinya numpuk kan itu,” lanjut Yunus.
Harta di rumah Zarof terus menjadi pertanyaan panjang publik.
Sebab, ketika menjabat pun ia bukan hakim yang bisa menentukan putusan pengadilan.
Selama proses penyidikan terungkap, Zarof Ricar rupanya tidak hanya menjembatani Meirizka dan Lisa menyuap hakim PN Surabaya.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyebut, Ricar diduga menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur.
Adapun kasasi diajukan jaksa penuntut umum yang tidak terima Ronald Tannur divonis bebas.
“Sesuai catatan LR (Lisa Rachmat) yang diberikan kepada ZR (Zarof Ricar), (Rp 5 miliar itu) untuk hakim agung atas nama S, A, dan S lagi yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur,” ujar Abdul.
Namun, pihak kejaksaan tidak mengungkap siapa hakim agung yang diduga menerima suap untuk memutus bebas Ronald Tannur.
Untuk bisa menjatuhkan vonis sesuai permintaan, pemberi suap minimal harus mengkondisikan dua dari tiga hakim agung yang mengadili.
Pertanyaan timbul lantaran satu hari sebelum tiga hakim PN Surabaya ditangkap, MA mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum.
Melalui Putusan Perkara Nomor 1466 K/Pid/2024, majelis kasasi menghukum Ronald Tannur 5 tahun penjara karena dinilai terbukti membunuh kekasihnya dan melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP.
MA kemudian mengadili sendiri Ronald Tannur dengan hukuman penjara.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun,” bunyi putusan kasasi itu.
Belakangan, setelah salinan putusan tersebut bisa diakses publik, terungkap terdapat hakim agung yang ingin membebaskan Ronald Tannur.
Hakim Agung Soesilo, satu dari tiga hakim sekaligus ketua majelis kasasi, menyatakan dissenting opinion.
Dia tidak sependapat dengan dua anggotanya yang menyatakan Ronald Tannur terbukti bersalah dan harus dipenjara.
Dalam dissenting opinion-nya atau DO, Soesilo menyebut putusan PN Surabaya atau majelis hakim yang mengadili fakta-fakta hukum sudah sesuai hukum acara yang berlaku.
Ia juga menyebut kekasih Ronald Tannur, Dini Sera, meninggal karena robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan benda tumpul.
Meski dokumen visum et repertum menjelaskan kematian Dini, kata dia, hal itu tidak menyatakan perbuatan Ronald Tannur melindas tubuh kekasihnya membuat perempuan itu tewas.
“Hasil visum et repertum tersebut tidak serta merta menyatakan terdakwa lah sebagai pelaku perbuatan terhadap Dini Sera Afriyanti, apalagi sampai adanya dugaan terdakwa melindas tubuh Dini Sera Afriyanti sebagai penyebab meninggalnya Dini Sera Afriyanti karena tidak ada alat bukti yang membuktikan dugaan tersebut,” kata Hakim Agung Soesilo.
Soesilo lantas menyatakan Ronald Tannur tidak terbukti bersalah, namun ia kalah suara.
Dua anggotanya, Ainal Mardhiah dan Sutarjo, sepakat dengan dakwaan jaksa bahwa Ronald Tannur bersalah.
Seiring bergulirnya persoalan ini, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hakim Agung Sunarto menerbitkan Surat Tugas Nomor 22/KMA/ST.PW1.3/10/2024 pada 28 Oktober 2024.
Ia membentuk tim khusus guna melakukan pemeriksaan karena Ketua Majelis Kasasi, Soesilo, disebut-sebut bertemu dengan sang makelar, Zarof Ricar.
Namun, setelah melakukan rangkaian pemeriksaan etik, MA menyatakan majelis kasasi Ronald Tannur, termasuk Hakim Agung Soesilo, tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
“Kesimpulan dari pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh Majelis Kasasi perkara nomor 1466 K/PID/2024 sehingga kasus dinyatakan ditutup,” kata Juru Bicara MA, Yanto, dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Yanto mengungkapkan, berdasarkan pemeriksaan, Hakim Agung Soesilo pernah bertemu Zarof di salah satu universitas di Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurutnya, baik Soesilo maupun Zarof sama-sama menjadi tamu undangan di acara itu.
“Pada pertemuan eksidentil dan berlangsung singkat tersebut, ZR sempat menyinggung masalah kasus Ronald Tannur tetapi tidak ditanggapi oleh Hakim Agung S,” kata Yanto.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Pengadilan TIPIKOR Jakarta
-
/data/photo/2015/02/02/17251161-22foto24780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kaleidoskop 2024: Jatuhnya Martabat Hakim karena Mafia Peradilan
-

Prabowo Kritik Vonis Ringan Harvey Moeis: Vonisnya ya 50 Tahun
JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta, Senin, mengkritik hakim-hakim yang menjatuhkan vonis ringan terhadap koruptor.
Prabowo menilai vonis ringan untuk koruptor melukai hati rakyat. Karena itu, Presiden Prabowo memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mengajukan banding terhadap kasus-kasus korupsi yang vonisnya diyakini terlalu ringan.
“Rakyat itu mengerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian (tahun),” kata Presiden di hadapan jajaran petinggi kementerian/lembaga dan kepala daerah saat memberi pengarahan dalam Musrenbangnas dilansir ANTARA, Senin, 30 Desember.
Presiden lanjut menekankan para terdakwa korupsi seharusnya menerima vonis berat.
“Vonisnya ya 50 tahun, begitu kira-kira,” kata Presiden kepada Jaksa Agung.
Presiden juga mengingatkan Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan Agus Andrianto untuk memastikan para terpidana, khususnya terpidana korupsi, tidak mendapatkan kemudahan-kemudahan saat mendekam di penjara.
“Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV. Tolong menteri permasyarakatan ya, jaksa agung,” ucap Presiden Prabowo.
Selain itu, Prabowo mengingatkan jajaran aparat pemerintah untuk bersama membenahi diri.
“Saya tidak menyalahkan siapa pun. Ini kesalahan kolektif kita. Mari kita bersihkan. Makanya, saya katakan aparat pemerintah, kita gunakan ini untuk membersihkan diri sebelum nanti rakyat yang membersihkan kita. Lebih baik kita membersihkan diri kita sendiri,” tutur Prabowo memperingatkan jajarannya.
Presiden saat menyinggung soal vonis ringan itu memang tidak menyebutkan secara gamblang kasusnya.
Namun perhatian publik dalam beberapa hari terakhir mengarah kepada vonis ringan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah.
Majelis hakim saat membacakan putusannya minggu lalu (23/12) menyatakan Harvey bersalah dan menghukum dia penjara 6 tahun 6 bulan, sementara tuntutan jaksa 12 tahun. Dalam pembacaan putusan, majelis hakim juga mengakui Harvey dan terdakwa lainnya bersalah merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Selepas pembacaan putusan itu, jaksa pun mengajukan banding ke pengadilan tinggi atas vonis yang diterima Harvey.
-

Menangis, Ibunda Helena Lim Histeris hingga Pingsan saat Tahu Anaknya Divonis 5 Tahun Bui – Halaman all
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ibunda terdakwa Helena Lim, Hoa Lien, tak kuat melihat anaknya yang menghadapi sidang putusan kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12/2024).
Hoa Lien tak kuasa menahan emosinya dan menangis sampai sempat jatuh pingsan.
Majelis hakim yang sedang membacakan putusan sempat menginterupsi jalannya persidangan.
Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh meminta pihak keluarga membawa Hoa Lien ke luar ruangan sidang lebih dulu agar tak mengganggu jalannya persidangan.
“Interupsi, itu ada yang menangis, mohon kepada pihak keluarga untuk dibawa keluar terlebih dahulu agar tidak mengganggu jalannya persidangan,” kata hakim ketua Rianto Adam Pontoh.
Namun, Hoa Lien jadi tampak makin emosional dan sempat meronta menyesali peristiwa yang dialami anaknya. Setelah itu, tubuhnya melemah dan keluarga langsung membawanya ke luar persidangan dengan kursi roda.
Kemudian setelah pembacaan vonis, Hoa Lien yang kembali masuk ke ruang sidang menangisi anaknya. Ia menarik tangan Helena dan memeluknya setelah hakim menjatuhi hukuman 5 tahun pidana penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.
“Pulang, sayang, pulang. (Mama) Mau mati saja. Pulang,” ucap wanita berusia 79 tahun itu.
Adapun dalam persidangan sebelumnya Hoa Lien menyampaikan anaknya, Helena, sudah bekerja sedari kecil, memulai usaha jual beli valas sejak tahun 1998 dan tak pernah terjun ke bisnis tambang.
Helena, katanya, merupakan tulang punggung keluarga, termasuk tulang punggung bagi kedua anaknya, lima keponakan, dan karyawan yang bergantung pada usahanya. Hoa Lien hanya berharap Helena dapat kembali berkumpul sebagai keluarga seperti sebelumnya.
“Anak saya tidak bersalah. Kami hanya ingin kembali berkumpul sebagai keluarga,” ucap Hoa Lien.
Sementara itu, kuasa hukum Helena, Andi Ahmad, menyampaikan kehadiran Hoa Lien dalam persidangan hari ini untuk memberikan dukungan moral kepada anaknya.
Sang ibunda hadir karena meyakini Helena tidak bersalah dan berharap hakim memberikan keadilan dan dapat membebaskan Helena.
“Hoa Lien datang ke pengadilan untuk memberikan dukungan moral dengan harapan besar hakim bisa memberikan keadilan, yaitu anaknya hanya pedagang valas kenapa harus ditahan untuk kasus korupsi,” kata Andi selepas persidangan.
Sang ibunda hanya berharap dapat segera membawa pulang Helena ke tengah keluarga besarnya. Di usianya yang sudah menyentuh 79 tahun, Hoa Lien hanya berharap dapat berkumpul bersama Helena sebelum ajal menjemput.
“Dirinya juga menyampaikan saat menjadi saksi agar hakim tidak lama-lama menahan anaknya karena ia ingin berkumpul kembali dengan putrinya sebelum ajal menjemput,” ujarnya.
Namun, harapan Hoa Lien pupus. Keinginannya untuk dapat pulang bersama Helena tak bisa terwujud dalam waktu dekat. Sebab, hakim memutus Helena bersalah dalam kasus ini dan menghukumnya dengan pidana penjara 5 tahun.
“Dari pertimbangan hakim, hakim tidak mengabulkan keinginannya dan doanya belum dijawab. Sehingga Helena belum bisa pulang,” kata Andi.
-

Warganet Curigai Hakim Beri Vonis Ringan Helena Lim Usai Bantu Korupsi Timah Rp300 T: Cek Rekeningnya!
GELORA.CO – Baru-baru ini Pengusaha yang dikenal sebagai crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim dijatuhi vonis hukuman lima tahun penjara, terkait dengan kasus korupsi di PT Timah. Sidang putusan di gelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 30 Desember 2024.
Dalam sidang keputusan tersebut, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Rianto Adam Pontoh menyatakan bahwa Helena terbukti membantu terdakwa Harvey Moeis melakukan korupsi melalui perusahaan money changer-nya, PT Quantum Skyline Exchange (QSE).
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Helena dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” ujar Rianto Adam, dikutip VIVA Senin, 30 Desember 2024.
Dalam perbuatan Helena dinilai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.
“Menyatakan Terdakwa Helena Lim telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer dan kedua primer penuntut umum,” lanjut hakim.
Perlu diketahui, hukuman yang diberikan oleh majelis hakim untuk Helena Lim, lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa sebelumnya mengajukan tuntutan 8 tahun penjara dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh Helena Lim.
Alhasil, adanya keputusan ini langsung disorot tajam oleh warganet. Banyak dari mereka berkomentar bahwa hukuman itu tidak sebanding dengan dampak besar yang ditimbulkan oleh kasus tersebut. Selain itu, mereka juga menyoroti sang hakim untuk dipertanyakan.
“Heran gua korupsinya banyak dan hukumannya ringan, Indonesia aduh harus dibenerin hukumnya. Beda di China malah langsung di tembak mati para koruptor,” tulis warganet dalam komentar unggahan yang menyoroti kasus ini.
“Hakimnya harus patut dipertanyakan, usut tuntas dan cek rekeningnya,” tulis komentar warganet lainnya.
-
/data/photo/2024/12/30/67726acbb734c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang Nasional
Eks Dirut PT Timah Tak Dihukum Bayar Uang Pengganti, Pengacara: Tak Terbukti Terima Uang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kuasa hukum eks Direktur
PT Timah TbkMochtar Riza Pahlevi
Tabrani, Andi Ahmad Nur Darwin, menyebut fakta persidangan menyatakan kliennya tidak terbukti menikmati uang korupsi pada tata niaga komoditas timah.
Pernyataan ini disampaikan Andi usai kliennya dihukum 8 tahun penjara, namun tidak dihukum membayar uang pengganti sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum.
“Dalam persidangan tidak terbukti menerima uang untuk kepentingan pribadi,” kata Andi usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
Andi mengatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan kliennya tidak terbukti menikmati uang korupsi sebesar Rp 986.799.408.690 (Rp 986 miliar) bersama eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra penting bagi nama baik kliennya.
Pengacara itu mengeklaim, semua kebijakan yang dilakukan Riza semasa menjabat Direktur Utama PT Timah Tbk hanya untuk meningkatkan produksi perusahaan negara tersebut sambil tidak menutup pintu penghasilan masyarakat.
Sebab, dalam sidang terungkap PT Timah mengalami kesulitan produksi karena bijih timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mereka diambil masyarakat yang bekerja menjadi penambang ilegal.
Bijih itu kemudian dijual ke sejumlah perusahaan smelter swasta yang menjadi kompetitor PT Timah Tbk.
Riza lantas mengeluarkan kebijakan yang membolehkan PT Timah membeli bijih dari perusahaan yang mengumpulkan bijih dari penambang ilegal.
“Dia ikhlas karena dalam persidangan tidak terbukti menerima uang untuk kepentingan pribadi. Ini hal yang penting untuk nama baik dia. Semua yang dia lakukan demi hanya keuntungan PT Timah saja,” ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rianto Adam Pontoh, menyatakan Riza dan Emil tidak terbukti diperkaya Rp 986 miliar sebagaimana dakwaan dan tuntutan jaksa.
Hakim tidak sependapat dengan jaksa yang menyebut mereka diperkaya melalui CV Salsabila Utama dalam transaksi pembelian bijih timah.
Hakim lantas menyatakan Riza dan Emil tidak bisa dihukum dengan pidana pengganti masing-masing Rp 493 miliar.
“Kepada terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Emil Ermindra tidak dibebankan untuk membayar uang pengganti tersebut,” kata hakim Pontoh di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Perintahkan Jaksa Agung Banding, Prabowo Subianto Ingin Harvey Moeis Dihukum 50 Tahun
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Hervey Moeis, terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah dan pencucian uang mengusik hati rakyat Indonesia.
Bahkan Presiden Ri, Prabowo Subianto juga terusik dengan vonis ringan selama 6,5 tahun tersebut. Vonis itu dinilai sangat tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang didakwakan kepadanya.
Atas dasar itu, Prabowo Subianto meminta Jaksa Agung, ST Burhanuddin untuk mengajukan banding atas vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah dan pencucian uang, Harvey Moeis.
Prabowo pun meminta agar Harvey Moeis dapat dihukum berat, karena merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun.
“Jaksa Agung naik banding enggak? Naik banding,” kata Prabowo saat memberikan pengarahan dalam Musrenbangnas RPJMN di kantor PPN/Bappenas, Jakarta, dilansir jawapos, Senin (30/12).
Prabowo berharap Harvey Moeis dijatuhi hukuman 50 tahun pidana penjara. “Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira,” tegasnya.
Dalam kesempatan ini, Prabowo meminta para hakim untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat saat menjatuhkan vonis. Apalagi, Harvey Moeis didakwa merugikan negara senilai Rp 300 triliun.
“Saya mohon kalau sudah jelas melanggar kerugian triliunan ya semua unsurlah terutama hakim-hakim vonisnya jangan terlalu ringan lah,” imbau Prabowo.
Prabowo juga tidak menginginkan, Harvey Moeis mendapat fasilitas mewah saat menjalani hukuman di penjara. Ia meminta Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menimipas), Agus Andriyanto untuk melakukan pemantauan terhadap penjara Harvey Moeis.
-

Singgung Vonis Harvey Moeis, Prabowo: Jangan Terlalu Ringan
Jakarta, Beritasatu.com – Vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hampir Rp 300 triliun dinilai terlalu ringan. Presiden Prabowo Subianto berang dengan hakim yang menghukum ringan koruptor.
Prabowo mengkritik hakim yang menjatuhkan vonis terlalu ringan kepada pelaku korupsi yang merugikan negara miliaran bahkan ratusan triliun.
“Saya mohon ya kalau sudah jelas melanggar jelas mengakibatkan kerugian triliunan ya semua unsurlah, terutama juga hakim-hakim vonisnya jangan terlalu ringanlah. Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi,” kata Prabowo, Senin (30/12/2024).
Hal itu disampaikan Prabowo ketika bicara soal upaya pemberantasan korupsi saat memberi arahan kepada peserta Musrenbangnas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di gedung Bappenas, Jakarta.
Prabowo mengatakan rakyat sekarang sudah melek dengan hukum. Ketika hakim menjatuhkan vonis terlalu ringan kepada koruptor, maka rakyat akan mengkritisi putusan itu.
“Rakyat itu mengerti. Rakyat di pinggir jalan mengerti rampok triliunan eh ratusan triliun vonisnya sekian tahun. Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC punya kulkas pakai TV,” ujarnya.
Prabowo seolah menyinggung vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar terhadap Harvey Moeis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, karena terlalu ringan dan menuai kritik dari publik. Hukuman terhadap suami artis Sandra Dewi itu bahkan lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara.
Prabowo seperti meminta Kejaksaan Agung mengajukan banding atas vonis ringan terhadap Harvey Moeis dan terdakwa lain dalam kasus korupsi timah yang merugikan negara hampir Rp 300 triliun.
“Tolong menteri pemasyarakatan ya, jaksa agung. Naik banding enggak? Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira ya,” kata Prabowo.
Prabowo juga meminta aparatur negara untuk menjauhi perilaku korupsi dan segala pelanggaran, karena rakyat sekarang sudah pintar-pintar dalam mengawasi kinerja pemerintah.
“Rakyat Indonesia sekarang tidak bodoh. Mereka pintar-pintar semua, orang punya gadget sudah lain. Ini bukan 30 tahun yang lalu, ini bukan 20 tahun yang lalu,” pungkas Prabowo Subianto.

/data/photo/2024/12/30/6772a89a6b473.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
