Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Vonis Tipikor RPHU Lamongan: Vonis Davis Lebih Ringan, Kerugian Negara Sudah Dikembalikan

    Vonis Tipikor RPHU Lamongan: Vonis Davis Lebih Ringan, Kerugian Negara Sudah Dikembalikan

    Surabaya (beritajatim.com) – Setelah melalui proses panjang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya akhirnya menjatuhkan putusan terhadap perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan.

    Dalam sidang putusan yang digelar Senin (29/9/2025), terdakwa Davis Maherul Abbasiya divonis pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan.

    Kasus ini bermula dari proyek pembangunan RPHU yang diduga merugikan keuangan negara. Nama Moch. Wahyudi, mantan Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lamongan, ikut terseret karena saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) Widodo Hadi Pratama, SH dari Kejaksaan Negeri Lamongan menilai telah terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam proyek yang semestinya untuk meningkatkan sektor peternakan.

    Majelis hakim yang diketuai Ni Putu Sri Indayani, SH dalam perkara nomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby membacakan amar putusan sebagai berikut:

    * Membebaskan terdakwa dari dakwaan Pasal 2 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
    * Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
    * Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 2 bulan.
    * Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp7.500.

    Majelis hakim menilai kerugian negara dalam proyek pembangunan RPHU tidak sebesar Rp242 juta seperti dalam dakwaan. Perinciannya: Rp92 juta merupakan kelebihan bayar hasil audit BPK yang telah dikembalikan ke kas negara, uji instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebesar Rp99 juta tidak dapat dijadikan dasar karena hanya berdasar diskusi, dan pekerjaan taman senilai Rp10 juta memang terealisasi. Dengan demikian, kerugian negara sesungguhnya hanya sekitar Rp41 juta.

    Kuasa hukum terdakwa, Nundang Rusmawan, SH dari kantor hukum Rus & Co, Jakarta Pusat, menyambut putusan ini dengan lega dan menghormati proses hukum.

    Ia menilai majelis hakim telah objektif mempertimbangkan fakta persidangan, termasuk sikap kooperatif kliennya dan pengembalian kerugian negara.

    “Putusan ini sesuai dengan apa yang kami sampaikan dalam pledoi. Hal-hal yang meringankan sudah dipertimbangkan, termasuk pengembalian kerugian negara sebagaimana diminta BPK maupun pihak lain. Itu semua sudah dikembalikan,” ujarnya usai sidang.

    Nundang menambahkan, pengembalian dana tersebut menjadi bukti bahwa kliennya beritikad baik.
    “Proses hukum ini sudah memberi keringanan hukuman bagi klien kami,” pungkasnya.

    Dengan vonis ini, perkara korupsi proyek RPHU Kabupaten Lamongan yang sempat menyita perhatian publik akhirnya mencapai titik akhir di meja hijau. Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pengelolaan program pembangunan daerah secara transparan dan akuntabel agar tidak kembali berujung pada jeratan hukum. [kun]

  • Ahok Buka Suara Usai Namanya Disebut Dalam Kasus Korupsi LNG Pertamina

    Ahok Buka Suara Usai Namanya Disebut Dalam Kasus Korupsi LNG Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok buka suara usai namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi LNG Pertamina.

    Ahok menegaskan, kasus korupsi LNG Pertamina telah terjadi sejak sebelum dirinya diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina. Di samping itu, Ahok mengaku sama sekali tidak kenal dengan tersangka yang menyebutkan namanya di KPK itu.

    “Justru pada masa saat jadi komut yang menemukan ada kejanggalan pembelian dan dilaporkan untuk diaudit dan saya juga sudah 2 kali diperiksa untuk jadi saksi menjelaskan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (29/9/2025).

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penyebutan nama mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok oleh tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina tahun 2011–2021 sekaligus mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.

    “Harusnya disampaikannya ke penyidik,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu seperti dikutip dari Antara pada Senin (29/9/2025).

    Oleh sebab itu, Asep menduga Hari Karyuliarto menyampaikan pernyataan tersebut di luar ruang pemeriksaan agar diliput media.

    “Akan tetapi, saya yakin juga ini sudah disampaikan. Kalau memang benar demikian, sudah disampaikan yang bersangkutan kepada penyidik pada saat diperiksa,” katanya.

    Sebelumnya, pada 25 September 2025, Hari Karyuliarto saat berjalan memasuki Gedung Merah Putih KPK menyebut nama Ahok sebagai pihak yang juga bertanggung jawab di kasus tersebut.

    “Untuk kasus LNG, saya minta Ahok dan Nicke (mantan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, red.) bertanggung jawab. Salam buat mereka berdua ya,” katanya.

    Sekadar informasi, KPK mengeluarkan surat perintah penyidikan kasus dugaan suap pengadaan gas alam cair tersebut pada 6 Juni 2022.

    Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan Direktur Utama Pertamina periode 2011–2014 Karen Agustiawan sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan keuangan negara sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat.

    Karen kemudian divonis selama sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada 24 Juni 2024.

    Mahkamah Agung pada 28 Februari 2025 lantas memperberat vonis Karen menjadi 13 tahun penjara.

    Sementara pada 2 Juli 2024, KPK menetapkan dua tersangka baru untuk kasus tersebut, yakni mantan Pelaksana Tugas Dirut Pertamina Yenni Andayani, dan mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.

    KPK pada 31 Juli 2025, menahan Yenni Andayani dan Hari Karyuliarto.

  • Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 September 2025

    Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Nasional 26 September 2025

    Profil Menas Erwin, Pengusaha Pemberi Suap Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Nama Menas Erwin Djohansyah kembali menjadi sorotan publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya di kawasan BSD, Tangerang Selatan, pada Rabu (24/9/2025).
    Dia terlibat dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang menjerat eks Sekretaris MA Hasbi Hasan.
    KPK mengatakan, penangkapan dilakukan karena Menas Erwin sudah dua kali mangkir dari pemeriksaan di KPK.
    “Penangkapan dilakukan, mengingat yang bersangkutan sudah dua kali tidak hadir dalam pemanggilan pemeriksaan tanpa alasan,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Rabu.
    Lantas, siapa sebenarnya sosok Menas Erwin?
    Menas Erwin Djohansyah adalah Direktur PT Wahana Adyawarna (WA).
    Tak banyak informasi terkait perseroan terbatas tersebut.
    Namun, berdasarkan penelusuran, perusahaan tersebut terletak di Grand Slipi Tower, Palmerah, Jakarta Barat.
    Nama Menas Erwin pertama kali muncul dalam persidangan Hasbi Hasan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta pada 5 Desember 2023.
    Saat itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Sekretaris nonaktif MA Hasbi Hasan telah menerima gratifikasi senilai Rp 630 juta untuk kepentingan pribadi.
    Penerimaan itu diterima dari banyak rekanan, termasuk salah satunya Menas Erwin selaku Direktur PT Wahana Adyawarna.
    “Menerima uang, fasilitas perjalanan wisata, dan fasilitas penginapan yang seluruhnya senilai Rp 630.844.400,” kata Jaksa KPK Ariawan Agustiartono, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (5/12/2023).
    Dalam surat dakwaan terungkap, Hasbi Hasan juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa kamar nomor 510 tipe apartemen yang disebut Terdakwa dengan istilah “SIO”, senilai Rp 120.100.000 dari Menas Erwin Djohansyah.
    Kemudian, Hasbi Hasan juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa dua unit kamar, yaitu kamar nomor 111 tipe junior suite dan kamar nomor 205 tipe executive suite, total senilai Rp 240.544.400 dari Direktur Utama PT Wahana Adyawarna itu.
    Tak hanya itu, Sekretaris MA ini juga menerima fasilitas penginapan berupa sewa kamar nomor 0601 dan kamar nomor 1202 tipe kamar executive suite total senilai Rp 162.700.000 masih dari Menas Erwin Djohansyah.
    Menurut Jaksa KPK, sejumlah penerimaan fasilitas dari Menas Erwin Djohansyah terkait pengurusan perkara di lingkungan MA RI.
     
    KPK menetapkan Menas Erwin Djohansyah sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA pada Kamis (25/9/2025).
    Dia juga langsung ditahan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 25 September sampai dengan 14 Oktober 2025 di Cabang Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
    “Terhadap saudara MED, KPK telah melakukan pemanggilan sebagai tersangka sebanyak dua kali, kemudian yang ketiga kalinya kita cari dan tidak pernah hadir,” kata Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
    KPK menduga Menas berperan sebagai pihak swasta yang menghubungkan sejumlah pihak dengan Hasbi Hasan selaku Sekretaris MA periode 2020-2023.
    Sekitar awal 2021, Menas diperkenalkan Fatahillah Ramli kepada Hasbi untuk meminta bantuan mengurus perkara temannya di tingkat kasasi.
    Pertemuan pertama kali berlangsung di tempat umum, namun Hasbi meminta agar pembicaraan dipindahkan ke lokasi tertutup yang akhirnya disediakan oleh Menas.
    “Pada rentang waktu Maret 2021 sampai dengan Oktober 2021 terdapat komunikasi tentang beberapa proses pertemuan FR dengan HH di beberapa tempat, di mana dalam pertemuan tersebut FR bersama MED meminta bantuan HH untuk membantu menyelesaikan perkara temannya,” ungkap Asep.
    KPK mengungkapkan, ada lima perkara yang diminta Menas kepada Hasbi Hasan untuk diurus, yaitu:
    1. Perkara sengketa lahan di Bali dan Jakarta Timur;
    2. Perkara sengketa lahan Depok;
    3. Perkara sengketa lahan di Sumedang;
    4. Perkara sengketa lahan di Menteng; dan
    5. Perkara sengketa lahan tambang di Samarinda.
    “Hasbi Hasan menyanggupi untuk membantu penyelesaian perkara sesuai dengan permintaan MED,” ujar dia.
    Sebagai imbalan, Hasbi diduga meminta biaya pengurusan perkara dengan skema pembayaran bertahap, berupa uang muka (DP), biaya proses, hingga pelunasan bila perkara berhasil dimenangkan.
    Namun, tidak semua perkara berjalan sesuai keinginan.
    Sejumlah pihak yang perkaranya gagal dimenangkan justru menuntut Menas mengembalikan uang yang sudah diserahkan ke Hasbi.
    Atas perbuatannya, Menas disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Korupsi Pegawai Bank BUMN Lampung Tilap Dana Nasabah Rp 17,9 Miliar Segera Disidangkan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        21 September 2025

    Kasus Korupsi Pegawai Bank BUMN Lampung Tilap Dana Nasabah Rp 17,9 Miliar Segera Disidangkan Regional 21 September 2025

    Kasus Korupsi Pegawai Bank BUMN Lampung Tilap Dana Nasabah Rp 17,9 Miliar Segera Disidangkan
    Tim Redaksi
    LAMPUNG, KOMPAS.com –
    Kasus korupsi sebesar Rp 17,9 miliar yang melibatkan pegawai salah satu bank BUMN di Kabupaten Pringsewu segera naik ke meja hijau.
    Tersangka memanfaatkan jabatannya sebagai Relationship Manager Funding Transaction (RMT) untuk menguras dana nasabah selama lima tahun sejak tahun 2021 – 2025.
    Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Lampung, Ricky Ramadhan mengatakan, berkas tersangka atas inisial CA telah lengkap (P21).
    “Tersangka sudah kita serahkan ke Kejari (Kejaksaan Negeri) Pringsewu locus delicti perkara berada dalam wilayah hukum Kabupaten Pringsewu,” kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu (21/9/2025).
    Dalam kasus yang merugikan negara mencapai Rp 17,9 miliar itu, tersangka CA dikenakan Pasal 2 Ayat (1) Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 tentang pemberantasan Tipikor.
    Ricky menambahkan, penyidik juga telah menyita sebanyak 613 barang bukti yang berasal dari tersangka dan saksi, diantaranya tanah dan bangunan, kendaraan bermotor, perhiasan, ponsel, serta sejumlah rekening di beberapa bank.
    Menurut Ricky, tim jaksa penuntut umum segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang untuk proses persidangan sesuai ketentuan yang berlaku.
    Diketahui, pegawai Bank BUMN di Kabupaten Pringsewu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penilapan uang nasabah yang mencapai Rp 17,9 miliar.
    Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya mengatakan, pihaknya telah menetapkan tersangka atas kasus tersebut.
    “Tersangka berinisial CA alias CND, pegawai bank tersebut,” katanya saat ekspos kasus, Senin (21/7/2025) malam.
    Tersangka CA yang seharusnya bertanggung jawab membangun dan membina hubungan dengan nasabah, khususnya dalam hal pengelolaan dana (funding) dan transaksi perbankan, justru menilap uang nasabah hingga mencapai Rp 17,9 miliar.
    “Perbuatan tersangka dilakukan sejak tahun 2021 hingga 2025,” kata Armen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mantan Wali Kota Bandung Yana Sudah Bebas Bersyarat: Sejak 13 Juni 2025 – Page 3

    Mantan Wali Kota Bandung Yana Sudah Bebas Bersyarat: Sejak 13 Juni 2025 – Page 3

    Adapun, mengenai perkaranya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Rabu, 13 Desember 2023, menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Yana Mulyana dalam perkara suap pengadaan CCTV Bandung Smart City.

    Selain hukuman pidana, hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, juga menghukum Yana Mulyana membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.

    Hakim Ketua, Hera Kartiningsih, dalam amar putusannya menyatakan Yana Mulyana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi dalam kasus proyek pengadaan CCTV pada Dinas Perhubungan Kota Bandung.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti pidana hukuman tiga bulan,” kata Kartiningsih.

    Majelis hakim menyatakan Yana Mulyana terbukti menerima gratifikasi berupa uang dan fasilitas ke Thailand dari Benny selaku Direktur PT Sarana Mitra Adiguna (SMA), Andreas Guntoro selaku Vertical Slution Manager PT SMA, dan Sony Setiadi selaku Direktur PT Citra Jelajah Informatika (CIFO).

  • Kasus Korupsi BOS SMK PGRI 2 Ponorogo: Sidang di Tipikor Surabaya Hadirkan 20 Saksi

    Kasus Korupsi BOS SMK PGRI 2 Ponorogo: Sidang di Tipikor Surabaya Hadirkan 20 Saksi

    Ponorogo (beritajatim.com) – Kasus dugaan korupsi Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMK PGRI 2 Ponorogo terus bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Hingga kini, perkara yang menyeret mantan kepala sekolah berinisial SA itu telah memasuki sekitar enam kali sidang dengan agenda utama pemeriksaan saksi.

    “Update perkara BOS SMK PGRI 2 Ponorogo, sudah sidang kurang lebih 6 kali di Pengadilan Tipikor Surabaya,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Ponorogo, Agung Riyadi, Rabu (10/9/2025).

    Agung mengungkapkan bahwa sidang digelar setiap hari Jumat. Terakhir, agenda sidang merupakan pemeriksaan saksi-saksi.

    Dalam tahap pemeriksaan, jaksa sudah menghadirkan sekitar 20 saksi. Namun, jumlah tersebut belum final karena masih ada saksi lain yang akan dipanggil untuk memberikan keterangan. Proses ini diperkirakan masih akan berlangsung beberapa kali sidang ke depan sebelum berlanjut ke agenda pemeriksaan ahli, pembacaan tuntutan, pleidoi, replik, duplik, hingga putusan majelis hakim.

    “Saksi hadir sekitar 20 orang. Tahap ini memang bisa digelar beberapa kali sidang,” katanya.

    Sidang sebelumnya telah melewati tahapan pembacaan surat dakwaan, eksepsi, hingga putusan sela. Kini, keterangan saksi menjadi kunci untuk mengungkap pola penyalahgunaan dana BOS yang berlangsung pada tahun anggaran 2019–2024.

    Terdakwa SA diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana BOS yang semestinya digunakan untuk operasional pendidikan. Jaksa menjerat SA dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo Pasal 18, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Agung menegaskan, perkara ini menjadi perhatian serius karena menyangkut dana pendidikan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan siswa. (end/ted)

  • SBY dan Megawati Kalah Jauh!

    SBY dan Megawati Kalah Jauh!

    – Mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo alias Jokowi meraih juara 1 mencetak menteri paling banyak daripada Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

    Sementara di era Presiden ke-8 Prabowo Subianto baru satu pembantunya yang terjerat dugaan korupsi yakni mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel.

    Adapun mantan pembatu Jokowi yang terjerat korupsi adalah:

    1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (NAM)

    Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook. Penetapan tersebut dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Kamis (4/9/2025).

    Kasus Nadiem Makarim menambah panjang daftar menteri era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tersandung kasus korupsi. Kasus dugaan rasuah yang menyeret nama Nadiem Makarim sendiri ditaksir menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun.

    Penetapan eks Mendikbudristek tersebut dilakukan setelah Kejagung memeriksa 120 saksi dan 4 ahli dalam perkara itu. “Dari hasil pendalaman, keterangan saksi-saksi, dan juga alat bukti yang ada, pada sore dan hasil dari ekspose telah menetapkan tersangka baru dengan inisial NAM,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna, Kamis (4/9/2025).

    Nadiem disangka melanggar Pasal 2 (Ayat) 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

    2. Menteri Perdagangan (Mendag) Trikasih Thomas Lembong alias Tom Lembong (TTL)

    Tom Lembong merupakan tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015–2016. Ditahan di Rutan Salemba, kemudian mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

    3.  Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL)

    Syahrul Yasin Limpo telah divonis 10 tahun penjara dalam kasus pemerasan di Kementan. Dikenai pidana tambahan Rp44,2 miliar dan USD 30.000. Kini KPK masih mengembangkan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret SYL itu.

    4. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate Johnny G Plate terjerat kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020-2022. 

    Johnny G Plate dinyatakan sebagai tersangka terkait wewenangnya sebagai pengguna anggaran dan posisinya sebagai menteri. Johnny G Plate dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

    5. Menteri Sosial (Mensos), Idrus Marham Idrus Marham terjerat kasus suap sebesar Rp 500 juta yang merupakan bagian dari commitment fee 2,5 persen dari nilai proyek kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. 

    Fee tersebut diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Diduga, suap diberikan agar proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1 berjalan mulus. Awalnya, Idrus sudah beberapa kali diperiksa KPK sebagai saksi terkait kasus kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. 

    Dalam kasus ini, KPK juga menjerat Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Eni ditangkap saat berada di rumah Idrus Marham. Idrus Marham pun mengakui dirinya menjadi tersangka dan langsung menghadap Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dari jabatan menteri. Idrus Marham bebas dari penjara pada Jumat, 11 September 2020. Dia telah menjalani hukuman  2 tahun penjara dalam kasus suap proyek pembangkit listrik PLTU Riau itu. 

    6. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi Imam Nahrawi, terjerat kasus korupsi oleh KPK. Kasusnya adalah penyaluran dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) melalui Kemenpora tahun anggaran 2018. 

    Saat itu Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka bersamaan dengan Asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Imam dan Miftahul diduga melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

    Imam diduga telah menerima suap sebanyak Rp 14.700.000.000,00 melalui Miftahul selama rentang waktu 2014-2018. Selain itu, dalam rentang waktu 2016-2018, Imam juga diduga meminta uang senilai Rp 11.800.000.000,00. 

    Sehingga total dugaan penerimaan Rp 26.500.000.000,00 tersebut diduga merupakan commitmen fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora Tahun Anggaran 2018. 

    7. Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo Edhy Prabowo terjerat kasus dugaan suap terkait Perizinan Tambak, Usaha dan/atau Pengelolaan Perikanan atau Komoditas Perairan Sejenis Lainnya Tahun 2020. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada konstruksi perkara memberikan dugaan kepada Mensos Juliari P Batubara telah menerima uang suap sekitar Rp 8,2 miliar. 

    Dana tersebut diduga dari pelaksanaan paket bansos sembako penanganan Covid-19 di Kemensos pada periode pertama. Juliari diduga meminta jatah Rp 10.000 per paket sembako. Atas dasar hal tersebut, Mensos pun akhirnya telah ditetapkan sebagai tersangka. 

    Selanjutnya pemberian uang tersebut dikelola oleh EK dan SN yang merupakan orang kepercayaan JPB. Diduga uang tersebut digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi JPB. Diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. 

    8. Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara Juliari Batubara diduga terkait korupsi bansos di Kementerian Sosial RI dalam penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020. 

    Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar. Juliari telah dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pidana penjara 12 tahun plus denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021. 

    Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. 

    Selain itu, hakim mencabut hak politik Juliari untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. 

    Menteri era SBY

    Di era SBY, ada lima menteri yang tersangkut kasus dugaan korupsi yakni: 

    1. Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan, diterjerat kasus suap pada 2014. Ia diduga menerima suap terkait pengadaan alat kesehatan. Hal itu terungkap 10 tahun usai ia melakukan perbuatan tersebut yakni pada 2004 lalu. 

    Siti terbukti bersalah lantaran melakukan penunjukan langsung dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan untuk mengantisipasi kejadian luar biasa pada 2005 di Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan (Kementerian Kesehatan). Hakim menilai Siti terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi sebesar Rp1,85 miliar dari PT Graha Ismaya. 

    Uang ini diberikan agar Siti menyetujui revisi anggaran pengadaan Alkes I dan suplier Alkes I. Ia kemudian divonis bui empat tahun dan denda senilai Rp200 juta. 

    2. Andi Mallarangeng, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, terjerat kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor. 

    Ia dijerat KPK pada tahun 2012 lalu. Hakim menyatakan Andi bersalah telah memperkaya diri sendiri senilai Rp2 miliar dan 550 ribu dollar Amerika Serikat. 

    Selain itu, ia juga dituduh telah memperkaya korporasi. Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat lantas menjatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Andi telah bebas pada 2017 lalu dan kini kembali aktif di Partai Demokrat. 

    3. Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama, ditetapkan sebagai tersangka dalam korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama pada tahun anggaran 2012-2013. 

    Di dalam sidang, terungkap Suryadharma menyalahgunakan wewenangnya sebagai Menag dan merugikan keuangan negara senilai Rp27,2 miliar dan 17.967.405 riyal Saudi. 

    Mantan Ketum PPP itu juga dinyatakan bersalah karena telah menggunakan dana operasional menteri untuk biaya pengobatan anak dan membayar ongkos liburan keluarga ke Singapura dan Australia. Hakim kemudian menjatuhkan vonis 10 tahun bui dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan pada tingkat banding. Ia kemudian diwajibkan membayar uang pengganti Rp1.821.698.840 subsider dua tahun penjara. 

    4. Jero Wacik, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Februari 2015. KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Menbudpar periode 2008-2011. 

    Hakim kemudian menjatuhkan vonis pada 2016 lalu bagi Jero selama 4 tahun bui dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Jero juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp5,073 miliar. 

    5. Bachtiar Chamsyah, mantan Menteri Sosial. Bachtiar Chamsyah adalah Menteri Sosial pada Kabinet Gotong Royong periode 2001-2004 dan Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009. Bachtiar baru ditetapkan sebagai tersangka pada 2010 saat ia sudah tidak lagi menduduki kursi menteri. Bachtiar saat itu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi di Departemen Sosial. 

    Bachtiar dijatuhi hukuman satu tahun dan delapan bulan penjara serta denda Rp 50 juta pada 2011. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan langsung pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan kain sarung yang merugikan negara hingga Rp33,7 miliar. 

    Menteri era Megawati 

    Ada 4 menteri Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati Soekarnoputri yang terjerat korupsi. 1. Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. 

    Ia sebagai mantan menteri pertama yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama menjabat dari tahun 2001–2024, Rokhmin melakukan korupsi dana non-bujeter di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Negara rugi Rp 15 miliar akibat ulah Rokhmin. 

    Dia pun divonis penjara 7 tahun dan denda Rp 200 juta. Namun, dia melakukan sejumlah upaya hukum hingga akhirnya mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan PK tersebut. 

    MA mengurangi masa hukuman Rokhmin menjadi 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Setalah menjalani masa hukumannya, Rokhmin bebas bersyarat pada 25 November 2009. 

    2. Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama (Menag) periode 2001-2004 terjerat kasus dugaan korupsi dana penyelenggaraan haji. 

    Ia, terbukti bersalah, ia menerima uang sebesar Rp4,5 miliar. 

    3. Hari Sabarno, mantan menteri dalam negeri terseret kasus korupsi pengadaan mobil damkar. Pada tahun 2004-2005, dia terbukti terlibat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran pada 22 wilayah di Indonesia yang didalangi Hengky Samuel Daud dan mengakibatkan negara rugi miliaran rupiah saat menjadi Mendagri 

    4. Achmad Sujudi, mantan Menteri Kesehatan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan juga di era kepemimpinan Presiden Megawati (periode 1999-2004) terjerat kasus korupsi berkaitan dengan pengadaan alat kesehatan.

    “Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah? Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor”.

  • Jubir sebut rekomendasi penonaktifan Bupati Pati bukan kewenangan KPK

    Jubir sebut rekomendasi penonaktifan Bupati Pati bukan kewenangan KPK

    “Surat itu kan bukan kewenangan KPK ya terkait dengan penonaktifan jabatan seorang kepala daerah,”

    Jakarta (ANTARA) – Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo mengatakan penerbitan surat rekomendasi penonaktifan Bupati Pati, Jawa Tengah, Sudewo, bukan kewenangan lembaga antirasuah tersebut.

    “Surat itu kan bukan kewenangan KPK ya terkait dengan penonaktifan jabatan seorang kepala daerah,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin.

    Budi menjelaskan fokus KPK adalah hanya penanganan perkara terkait Sudewo, yakni dugaan suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan.

    “Kewenangan kami hanya dalam konteks penanganan perkaranya terkait dengan penegakan hukum dugaan tindak pidana korupsinya,” katanya menekankan.

    Sebelumnya, salah satu Koordinator Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Supriyono alias Botok di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, mengatakan telah berbicara dengan KPK untuk membahas surat rekomendasi penonaktifan Sudewo sebagai Bupati Pati.

    Botok mengatakan surat rekomendasi tersebut nantinya akan diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, dan Presiden Prabowo Subianto.

    Nama Sudewo sempat muncul pada sidang kasus tersebut dengan terdakwa selaku Kepala Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah Putu Sumarjaya dan pejabat pembuat komitmen BTP Jawa Bagian Tengah Bernard Hasibuan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jateng, pada 9 November 2023.

    Pada sidang itu, KPK disebut menyita uang dari Sudewo sekitar Rp3 miliar. Jaksa penuntut umum KPK menunjukkan barang bukti foto uang tunai dalam pecahan rupiah dan mata uang asing yang disita dari rumah Sudewo.

    Namun, Sudewo membantah hal tersebut. Dia juga membantah menerima uang senilai Rp720 juta yang diserahkan pegawai PT Istana Putra Agung, serta Rp500 juta dari Bernard Hasibuan melalui stafnya yang bernama Nur Widayat.

    Sementara kasus tersebut terkuak berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 11 April 2023 di Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah DJKA Kemenhub. Saat ini, BTP Kelas I Wilayah Jawa Bagian Tengah telah berganti nama menjadi BTP Kelas I Semarang.

    KPK lantas menetapkan 10 orang tersangka yang langsung ditahan terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur rel kereta api di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

    Setelah beberapa waktu atau hingga November 2024, KPK telah menetapkan sebanyak 14 tersangka. KPK juga telah menetapkan dua korporasi sebagai tersangka kasus tersebut.

    Pada 12 Agustus 2025, KPK menetapkan dan menahan tersangka ke-15 kasus tersebut, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenhub atas nama Risna Sutriyanto (RS).

    Kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut terjadi pada proyek pembangunan jalur kereta api ganda Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso; proyek pembangunan jalur kereta api di Makassar, Sulawesi Selatan; empat proyek konstruksi jalur kereta api dan dua proyek supervisi di Lampegan Cianjur, Jawa Barat; dan proyek perbaikan perlintasan sebidang Jawa-Sumatera.

    Dalam pembangunan dan pemeliharaan proyek tersebut, diduga telah terjadi pengaturan pemenang pelaksana proyek oleh pihak-pihak tertentu melalui rekayasa sejak proses administrasi sampai penentuan pemenang tender.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Korupsi Dana Desa, Kades di Tulungagung Divonis 3,5 Tahun Penjara

    Korupsi Dana Desa, Kades di Tulungagung Divonis 3,5 Tahun Penjara

    Tulungagung (beritajatim.com) – Kepala Desa (Kades) non aktif Kradinan, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung, Eko Sujarwo divonis hukuman penjara selama 3,5 tahun. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menyatakan terdakwa terbukti menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang bersumber dari Dana Desa (DD) dan Anggaran Dana Desa (ADD) tahun 2020-2021.

    Dalam persidangan yang dipimpin hakim ketua Ni Putu Sri Indayani pada Jumat (29/8/2025), terdakwa dinyatakan tidak terbukti dalam dakwaan primer, namun terbukti bersalah dalam dakwaan subsider. Selain pidana badan, Eko juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp539.493.953 dengan tenggat waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

    Apabila tidak membayar dalam batas waktu tersebut, harta benda miliknya akan disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi kewajiban tersebut. Jika harta bendanya tidak mencukupi, maka terdakwa akan menjalani pidana tambahan berupa penjara selama dua tahun.

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan pidana denda sejumlah Rp100 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan,” ucap hakim Ni Putu Sri Indayani.

    Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Tulungagung, Amri Rahmanto Sayekti, menyebut vonis tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, besaran uang pengganti lebih tinggi dari tuntutan yang diajukan.
    “Untuk sementara kami masih pikir-pikir dulu, sembari melaporkan hasil putusan ini ke pimpinan,” ujarnya.

    Kasus dugaan korupsi ini bermula ketika penyidik Tipikor Polres Tulungagung menahan Eko sejak 15 April 2025, sebelum akhirnya melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan pada 24 April 2025. Berdasarkan hasil penyidikan, praktik korupsi terjadi pada tahun anggaran 2020-2021 dengan modus pencairan dana yang tidak sesuai prosedur, penyaluran yang menyimpang dari peruntukan, serta proyek-proyek fiktif.

    Akibat perbuatannya, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp743 juta yang sebagian besar digunakan terdakwa untuk membayar utang pribadi. Selain Eko, Bendahara Desa Kradinan, Wiji Subagyo, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun hingga kini Wiji masih berstatus daftar pencarian orang (DPO). [nm/ian]

  • Hakim Putuskan Tidak Cabut Hak Politik Mbak Ita dan Suami, Beralasan Kategori Lansia

    Hakim Putuskan Tidak Cabut Hak Politik Mbak Ita dan Suami, Beralasan Kategori Lansia

    JAKARTA – Hakim memutuskan tidak mencabut hak politik mantan Wali Kota (Walkot) Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri, dalam putusan kasus korupsi di pemerintah kota tersebut pada kurun waktu 2022–2024 dengan pertimbangan keduanya sudah masuk kategori lanjut usia.

    “Terdakwa Hevearita Gunaryanti Rahayu sudah berusia 59 tahun dan terdakwa Alwin Basri berusia 61 tahun. Keduanya termasuk lanjut usia,” kata Hakim Ketua Gatot Sarwadi pada sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah, Rabu, disitat Antara.

    Sebelumnya, jaksa penuntut umum meminta hakim menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik atau sebagai pejabat politik selama dua tahun kepada terdakwa.

    Hakim berkeyakinan kedua terdakwa tidak akan mengulangi perbuatan tercela tersebut. Selain itu, perkara tindak pidana korupsi ini menjadi pembelajaran bagi para terdakwa.

    “Mendasarkan pada rasa keadilan, tidak perlu dilakukan pencabutan terhadap hak untuk dipilih dalam jabatan publik sebagaimana tuntutan penuntut umum,” kata Hakim Ketua.

    Sebelumnya, mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Mbak Ita) dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dalam perkara tindak perkara korupsi di Kota Semarang pada 2022-2024.

    Sementara suami Mbak Ita, Alwin Basri, dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dalam perkara yang sama.

    Kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf f dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.