Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Hervey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp210 M

    Hervey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp210 M

    JABAR EKSPRES – Terdakwa Harvey Moeis dituntut pidana 12 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022.

    Tuntutan ini disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung), Agung Ardito Muwardi, dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/12/2024).

    “Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.

    Selain pidana penjara, Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) juga dituntut pidana dengan denda Rp1 miliar, subsider kurungan satu tahun.

    BACA JUGA:Suasana Duka Selimuti Kediaman Fathir yang Meninggal Saat Hendak Menonton Persib vs PSS Sleman di Solo

    Kemudian, JPU menuntut majelis hakim agar menjatuhkan pidana tambahan kepada suami Sandra Dewi tersebut, berupa pembayaran uang penggani sebesar Rp210 miliar. Dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam tahun.

    Atas tuntutan JPU tersebut, Harvey telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.

    Adapun dalam melayangkan tuntutannya, JPU mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan. Perbuatan Harvey yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

    Kemudian, perbuatan Harvey dinilai turut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, hingga Rp300 triliun. Dan Harvey telah menikmati hasil tindak pidana sebesar Rp210 miliar, serta Helena berbelit-belit dalam memberikan keterangan dalam persidangan. Menjadi faktor yang memberatkan tuntutan JPU terhadap Harvey.

    BACA JUGA:Daily Login Bisa Dapat Rp320.000 di Aplikasi Penghasil Uang Ini

    Sementara itu, fakta bahwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya menjadi hal yang dipertimbangkan JPU untuk meringankan tuntutannya. “Namun terdapat pula hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya,” ujar JPU.

  • Ketua KPK Sebut Pejabat Isi LHKPN Abal-abal, Fortuner Dihargai Rp 6 Juta

    Ketua KPK Sebut Pejabat Isi LHKPN Abal-abal, Fortuner Dihargai Rp 6 Juta

    Ketua KPK Sebut Pejabat Isi LHKPN Abal-abal, Fortuner Dihargai Rp 6 Juta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) Nawawi Pomolango menyebut, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (
    LHKPN
    ) lebih banyak diisi dengan data abal-abal dan amburadul.
    Menurut Nawawi, banyak LHKPN yang diisi para wajib lapor tidak sesuai dengan harta kekayaan yang mereka miliki.
    “Kita minta perhatian dari pemerintah bahwa ternyata pengisiannya itu lebih banyak abal-abal daripada benarnya, fakta pengisian itu enggak benar lebih banyak gitu,” kata Nawawi dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) di Mahmakah Agung, Senin (9/12/2024).
    Ia mencontohkan, tedapat wajib lapor yang menyampaikan LHKPN dengan menyebut Fortuner seharga Rp 6 juta.
    Mantan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu menyebut, meski tingkat kepatuhan pelaporan LHKPN tinggi, tetapi tidak dilakukan dengan jujur.
    “Pengisian LHKPN kan lebih banyak amburadulnya ada Fortuner diisi harganya Rp 6 juta kita nanya ke dia gitu di mana dapat Fortuner Rp 6 juta kita pengen beli juga 10 gitu kan,” ujar Nawawi.
    Menurutnya, KPK memiliki tiga kasus perkara korupsi yang lahir dari temuan tim LHKPN. Saat itu, kata Nawawi, ramai fenomena pejabat memamerkan kekayaan atau
    flexing.

    KPK kemudian melakukan pemeriksaan LHKPN dan menemukan sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan tidak mengisi LHKPN sesuai kekayaan yang mereka miliki.
    Ketiga pejabat itu adalah eks Kepala Bea Cukai Makassar Andi Pramono, eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, dan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo.
    “Apa yang kita temukan itu jungkir balik faktanya itu ada ratusan bahkan lebih daripada itu yang kita temukan bahwa ketidakjujuran dalam pengisian LHKPN,” tuturnya.
    Nawawi mengaku pernah meminta Direktorat Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN di KPK untuk memberi perhatian khusus kepada Mahkamah Agung.
    Menurutnya, terdapat pejabat tinggi di MA yang dinilai menyampaikan laporan LHKPN tidak wajar.
    “Dalam pengisiannya itu lebih dari seperdua pimpinan Mahkamah Agung yang disinyalir pengisiannya itu tidak didasarkan pada fakta yang sebenarnya,” kata Nawawi.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hari Ini Harvey Moeis Jalani Sidang Pembacaan Tuntutan, Sandra Dewi Nonton dari Rumah

    Hari Ini Harvey Moeis Jalani Sidang Pembacaan Tuntutan, Sandra Dewi Nonton dari Rumah

    ERA.id – Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) akan menjalani sidang pembacaan surat tuntutan terkait kasus dugaan korupsi timah dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Harvey didakwa terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    Sidang dijadwalkan mulai pada pukul 10.00 WIB dan akan dipimpin oleh Hakim Ketua Eko Aryanto.

    Surat tuntutan Harvey akan dibacakan bersamaan dengan tuntutan JPU terhadap Suparta selaku Direktur Utama PT RBT dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, yang juga menjadi terdakwa.

    Kepada wartawan, penasihat hukum Harvey, Harris Arthur mengatakan istri kliennya, Sandra Dewi tidak akan menghadiri sidang pembacaan tuntutan terhadap Harvey hari ini. “Ibu Sandra akan memantau dari rumah saja,” kata Harris.

    Kasus dugaan korupsi timah antara lain menyeret Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sebagai terdakwa.

    Akibat perbuatan para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi timah, keuangan negara tercatat mengalami kerugian sebesar Rp300 triliun.

    Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

    Dalam kasus itu, Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.

    Kedua orang tersebut juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun, karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 Miliar

    Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara dan Denda Rp 1 Miliar

    Jakarta, Beritasatu.com – Tersangka kasus korupsi timah, Harvey Moeis, mendapat tuntutan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menuntut agar Harvey membayar uang pengganti sebesar Rp 1 miliar.

    “Menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun, dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani, dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan,” kata jaksa dalam sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pada Senin (9/12/2024).

    Tidak hanya pidana penjara, Jaksa juga menuntut agar Harvey membayar uang pengganti sebesar Rp 1 miliar, yang harus dilunasi paling lambat satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Apabila Harvey tidak dapat membayar uang pengganti tersebut, Jaksa mengancam akan melelang harta benda milik terdakwa.

    Jika hasil lelang tidak mencukupi, Harvey akan dikenai pidana tambahan.

    Harvey Moeis dituntut 12 tahun penjara setelah dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ke-1 KUHP.

    Sebagai informasi, Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin, diduga melakukan kerja sama ilegal dengan PT Timah, BUMN sektor pertambangan. Jaksa mengungkapkan bahwa Harvey memanfaatkan smelter untuk memurnikan timah dari tambang ilegal milik PT Timah.

    Sebagian keuntungan dari aktivitas ilegal tersebut diduga disisihkan dengan dalih program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Total kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 420 miliar.

    Jaksa juga menuduh Harvey menggunakan uang hasil kejahatan untuk memperkaya diri dan untuk berbagai keperluan pribadi, termasuk mentransfer dana kepada istrinya, artis Sandra Dewi, serta asistennya, Ratih Purnamasari. Rekening atas nama Ratih diduga digunakan untuk kebutuhan rumah tangga Harvey dan Sandra.

    Sebagian besar uang tersebut juga digunakan untuk membeli barang mewah, termasuk 88 tas bermerek, 141 perhiasan, properti dan aset di luar negeri, serta mobil mewah seperti Mini Cooper, Porsche, Lexus, dan Rolls Royce. Dari seluruh tuduhan itu, jaksa kemudian menuntut Harvey Moeis 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar.

  • Suap Eksekusi Lahan, Uang Rp 202 Juta Dari Eks Panitera PN Jakarta Timur Sempat Dibelikan Mobil – Halaman all

    Suap Eksekusi Lahan, Uang Rp 202 Juta Dari Eks Panitera PN Jakarta Timur Sempat Dibelikan Mobil – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saksi Dede Rahmana mengaku menerima uang Rp 202,5 juta dari eks panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi terkait kasus suap eksekusi lahan milik PT Pertamina.

    Dede menganggap uang tersebut sebagai rezeki untuk anak.

    Hakim Anggota Suparman Nyompa awalnya curiga dengan nilai uang yang diterima Dede dari Rina.

    Menurut hakim uang Rp 202,5 juta yang diterima Dede cukup besar.

    “Kok bisa terlalu besar 200 juta, biasanya orang kalau diberikan, istilahnya cuma buat uang-uang rokok atau apa, ini kok besar sekali 200 juta?” tanya Hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Mendengar pertanyaan tersebut, Dede yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi untuk terdakwa Rina Pertiwi mengaku tak tahu.

    “Ndak tahu Pak,” ucap Dede.

    Tak berhenti di situ, Hakim kembali mencecar Dede soal peranya dalam perkara sehingga bisa menerima uang ratusan juta dari Rina.

    Hakim bahkan membandingkan uang yang terima Dede dengan jasa makelar tanah yang biasanya mendapatkan fee 2,5 persen.

    “Atau memang saudara punya jasa besar untuk urusan ini, karena kalau hitung-hitungan besar sekali loh 200 juta. Kalau hitung-hitungan Rp 1 miliar, berarti 200 juta, 20 persen. Kalau jasa jual tanah saja, misalnya makelar kan 2,5 persen, ini 20 persen besar sekali loh?” tanya Hakim.

    Dede menyebut pada saat itu dirinya menganggap uang-uang yang diterimanya merupakan rejeki untuk anak-anaknya.

    “Rezeki saja pak. Tak tahu karena saya berdoa mudah-mudahan itu rezeki anak-anak, itu saja mikirnya,” kata dia.

    Dede pun menyebut uang tersebut sempat ia belikan mobil meskipun pada akhirnya dijual kembali.

    Setelah kasus tersebut mencuat, Dede mengaku telah menyerahkan uang yang diterimanya kepada pihak penyidik Kejaksaan.

    Adapun dari total Rp 202.500.000 yang diterimanya, Rp 200 juta di antaranya telah dikembalikan.

    “Diserahkan ke penyidik berapa?” tanya Hakim.

    “Rp 200 juta,” ucapnya.

    Dalam perkara ini sebelumnya, Mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi didakwa telah menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait kepengurusan eksekusi lahan milik PT Pertamina.

    Sidang pembacaan dakwaan tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/11/2024).

    Adapun dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Rina disebut telah menerima Rp 797,5 juta dari total suap Rp 1 Miliar.

    Jaksa menilai Rina selaku Pegawai Negeri Sipil (PN) patut diduga telah menerima suap dan atau gratifikasi disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.

    “Yang bertentangan dengan kewajibannya jika diantara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut,” kata Jaksa Arief Setia Nugroho saat bacakan berkas dakwaan Rina di ruang sidang.

    Perkara itu bermula atas adanya gugatan secara perdata berupa ganti rugi yang diajukan ahli waris di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terhadap PT Pertamina atas lahan yang terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.

    Terkait gugatan ini, ahli waris pun menunjuk kuasa terhadap seseorang bernama Ali Sofyan.

    Kemudian gugatan itu pun telah diputus PN Jakarta Timur sampai dengan putusan di tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Yang pada pokoknya menghukum PT Pertamina Persero membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000,” kata Jaksa.

    Setelah ada putusan PK tersebut, Ali Sofyan selaku kuasa ahli waris pada November 2019 menghubungi seseorang bernama Yohanes Jamburmias dan Sareh Wiyono untuk meminta bantuan persoalan tanahnya.

    Di mana kata Jaksa, Ali Sofyan meminta bantuan kepada Yohanes untuk menyelesaikan proses eksekusi ganti rugi yang belum dibayarkan PT Pertamina.

    Ketiganya pun sempat menggelar pertemuan beberapa kali untuk membicarakan hal tersebut di sebuah hotel di wilayah Bogor, Jawa Barat.

    Singkatnya, atas permintaan bantuan Ali Sofyan, Sareh menghubungi Rina yang saat itu menjabat Panitera PN Jakarta Timur untuk turut membantu proses eksekusi putusan PK tersebut.

    “Atas permintaan Sareh Wiyono tersebut kemudian terdakwa menyetujuinya,” ucap Jaksa.

    Setelah itu Sareh, Ali, dan Rina pun melakukan pertemuan di rumah Sareh di Cibinong, Kabupaten Bogor.

    Dari hasil pertemuan tersebut Ali Sofyan pun kemudian membuat surat kuasa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk melakukan kepengurusan eksekusi putusan PK.

    Ketika memasukkan permohonan surat kuasa itu di PTSP PN Jakarta Timur, Ali Sofyan pun bertemu dengan terdakwa Rina Pertiwi.

    Sebelum adanya pertemuan antara Ali dan Rina, Sareh Wiyono kata Jaksa telah menghubungi Rina terlebih dahulu.

    “Dan saat itu Sareh Wiyono menyampaikan bahwa yang akan memasukkan permohonan eksekusi putusan PK perkara perdata adalah saksi Ali Sofyan agar dibantu terkait permohonan eksekusi dari saksi Ali Sofyan,” tutur Jaksa.

    Surat permohonan eksekusi itu pun kemudian diteruskan ke meja Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dilakukan disposisi kepada Rina selaku panitera.

    Setelah menerima disposisi, Rina kemudian membuat resume nomor 11 di mana salah satu isi dari resume tersebut adalah bahwa PT Pertamina selaku termohon eksekusi merupakan BUMN, maka penyitaan tidak bisa dilakukan.

    Hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara.

    “Karena itu, maka pelaksanaan eksekusi tidak didahului dengan sita eksekusi dan pelaksanaan eksekusi membebankan pemenuhan isi putusan tersebut untuk dimasukkan dalam anggaran DIPA Pada para termohon eksekusi tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya,” jelas Jaksa.

    Namun, lanjut Jaksa, pada faktanya Rina selaku Panitera tidak menjalankan aturan yang tertera dalam resume tersebut.

    Di mana kata Jaksa Rina tetap melakukan proses eksekusi keputusan PK tersebut dengan menyita rekening sebesar Rp 244.604.172 milik PT Pertamina.

    “Bahwa pada tanggal 2 Juni 2020 juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama Asmawan mendatangi BRI Jakarta Veteran untuk melakukan sita eksekusi berdasarkan surat tugas Nomor 05 tgl 29 Mei 2020 dan Berdasarkan berita acara eksekusi tgl 2 Juni 2020 nomor 5 Jo Nomor 11 Jo 127 Jo 162 Jo 1774 K Jo Nomor 79 PK telah dilakukan blokir rekening atas nama PT Pertamina Persero yang tersimpan di BRI Cabang Jakarta Veteran Jakarta Pusat sebesar Rp 244.604.172,” terang Jaksa.

    Setelah adanya penyitaan, tahap selanjutnya adalah proses pencairan uang ganti rugi yang kemudian diserahkan kepada Ali Sofian.

    Usai menerima uang ganti rugi, Ali Sofian kemudian memberikan uang kepada para pihak yang telah membantu proses eksekusi tersebut termasuk Rina.

    Adapun dalam dakwaannya, Jaksa menyebut bahwa Rina telah menerima suap total Rp 1 miliar dari Ali Sofyan selaku pemberi hadiah.

    “Maka total uang yang diterima terdakwa dari saksi Ali Sofian melalui saksi Dede Rahmana yaitu sebesar Rp 1 miliar dengan rincian sebesar Rp 797.500.000 diterima oleh terdakwa dan sisanya sebesar Rp 202.500.000 diberikan oleh terdakwa kepada saksi Dede Rahmana,” pungkasnya.

  • Korupsi Dana Bantuan Rp 437 Juta, Kepala Desa Adat di Buleleng Dituntut 5 Tahun 3 Bulan Penjara
                
                    
                        
                            Denpasar
                        
                        9 Desember 2024

    Korupsi Dana Bantuan Rp 437 Juta, Kepala Desa Adat di Buleleng Dituntut 5 Tahun 3 Bulan Penjara Denpasar 9 Desember 2024

    Korupsi Dana Bantuan Rp 437 Juta, Kepala Desa Adat di Buleleng Dituntut 5 Tahun 3 Bulan Penjara
    Tim Redaksi
    BULELENG, KOMPAS.com
    – Pria bernama I Nyoman Supardi yang menjabat sebagai Bendesa atau Kepala Desa Adat Tista di Kecamatan
    Buleleng
    , Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, dituntut 5 tahun 3 bulan penjara.
    Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Buleleng menilai terdakwa mengorupsi dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) sebesar Rp 437 juta.
    Tuntutan ini dilayangkan jaksa di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, yang diketuai Hermayanti dalam sidang yang berlangsung virtual pada Senin (9/12/2024) siang.
    “Dalam pembacaan tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut terdakwa 5 tahun 3 bulan penjara,” kata Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Buleleng, I Dewa Gede Baskara Haryasa, Senin di Buleleng.
    Dalam sidang tersebut, JPU juga menuntut terdakwa lainnya bernama I Kadek Budiasa yang merupakan Bendahara Desa Adat Tista. Ia dituntut dengan hukuman 5 tahun penjara.
    Jaksa juga menuntut terdakwa I Nyoman Supardi dengan pidana denda sebesar Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara terdakwa I Kadek Budiasa dituntut denda sebesar Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
    “Membebankan kepada terdakwa I Nyoman Supardi untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 225.820.200 dan terdakwa I Kadek Budiasa sebesar Rp 174.100.000,” kata Baskara.
    Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti tersebut.
    “Dalam hal para terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara terdakwa I Nyoman Supardi selama 3 tahun dan terdakwa I Kadek Budiasa selama 2 tahun 6 bulan,” lanjut dia.
    Ia menambahkan, terdakwa I Nyoman Supardi dan I Kadek Budiasa dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer dari jaksa.
    Pasal dakwaan yang dibuktikan terhadap keduanya adalah Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    “Adapun perbuatan para terdakwa tersebut telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 437.420.200,” ungkapnya.
    Ia menyebut, perbuatan korupsi dana bantuan keuangan khusus dari Pemerintah Provinsi Bali itu dilakukan kedua terdakwa sepanjang tahun 2015 hingga 2021.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gus Muhdlor Ajukan Pembelaan Usai Dituntut 6 Tahun 4 Bulan Penjara

    Gus Muhdlor Ajukan Pembelaan Usai Dituntut 6 Tahun 4 Bulan Penjara

    Liputan6.com, Surabaya – Kuasa hukum terdakwa mantan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) Mustofa Abidin menyebut pihaknya akan mengajukan pledoi atau keberatan atas tuntutan jaksa pada persidangan pekan depan.

    “Kami akan ajukan pledoi pelan depan, ditunggu saja,” ujarnya usai sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin (9/12/2024).

    Secara subjektif, pihaknya memiliki analisa tersendiri atas fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang tentunya berseberangan dengan pihak Jaksa Penuntut Umum.

    Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa mantan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) dengan hukuman 6 tahun 4 bulan penjara atas dugaan korupsi pemotongan dana insentif ASN BPPD Sidoarjo sebesar Rp 1,4 miliar.

    Selain hukuman penjara, JPU KPK juga menuntut terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.

    “Terdakwa sebagaimana kami dakwaan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan pertama. Adanya permintaan pemotongan atau penerimaan uang atau hak-hak milik pegawai BPPD,” ujar JPU KPK, Andry Lesmana di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Senin (9/12/2024).

    JPU juga meminta terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar. Jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan, maka terdakwa akan dijatuhi pidana tambahan berupa kurungan penjara selama 3 tahun.

    “Dengan terbukti adanya permintaan pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo, JPU KPK meminta Majelis Hakim agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar,” tambah Andry.

    Dalam pembacaan tuntutan, JPU menyebutkan bahwa Ahmad Muhdlor memenuhi unsur dakwaan pertama berdasarkan Pasal 12 huruf f jo Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

     

  • Jaksa KPK Tuntut Terdakwa Gus Muhdlor Hukuman 6 Tahun 4 Bulan Penjara

    Jaksa KPK Tuntut Terdakwa Gus Muhdlor Hukuman 6 Tahun 4 Bulan Penjara

    Liputan6.com, Surabaya – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa mantan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) dengan hukuman 6 tahun 4 bulan penjara atas dugaan korupsi pemotongan dana insentif ASN BPPD Sidoarjo sebesar Rp1,4 miliar.

    Selain hukuman penjara, JPU KPK juga menuntut terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.

    “Terdakwa sebagaimana kami dakwakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan pertama. Adanya permintaan pemotongan atau penerimaan uang atau hak-hak milik pegawai BPPD,” ujar JPU KPK, Andry Lesmana di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Senin (9/12/2024).

    JPU juga meminta terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar. Jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan, maka terdakwa akan dijatuhi pidana tambahan berupa kurungan penjara selama 3 tahun.

    “Dengan terbukti adanya permintaan pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo, JPU KPK meminta Majelis Hakim agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar,” tambah Andry.

    Dalam pembacaan tuntutan, JPU menyebutkan bahwa Ahmad Muhdlor memenuhi unsur dakwaan pertama berdasarkan Pasal 12 huruf f jo Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

    JPU juga memaparkan faktor-faktor yang memperberat tuntutan. Ahmad Muhdlor dianggap tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi meskipun menjabat sebagai pejabat daerah.

    Selain itu, terdakwa dinilai memberikan keterangan yang berbelit-belit sehingga menyulitkan jalannya persidangan.

    Namun, JPU juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan terdakwa. “Terdakwa belum pernah menjalani hukuman semasa hidupnya dan mempunyai tanggungan keluarga,” ujar Andry.

    Hal ini menjadi salah satu alasan JPU tidak menjatuhkan tuntutan maksimal. Sidang yang berlangsung selama hampir 45 menit dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Ni Putu Sri Indayani.

    Dalam kesempatan tersebut, Majelis Hakim memberikan waktu kepada terdakwa untuk menyampaikan pembelaan terhadap tuntutan yang diajukan oleh JPU.

    Majelis Hakim menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pembelaan atau pledoi pada Senin, 16 Desember 2024.

  • Vonis untuk Harvey Moeis Diketok sebelum Perayaan Natal

    Vonis untuk Harvey Moeis Diketok sebelum Perayaan Natal

    Jakarta, Beritasatu. com – Nasib suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan komoditas timah akan terang tidak lama lagi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan memberikan putusan sebelum perayaan natal.

    Pada hari ini Harvey Moeis sedianya menjalani sidang tuntutan pada pukul 10.00 WIB. Namun hingga menjelang sore, ruang sidang Pengadilan Tipikor itu masih tertutup.

    Ketua majelis hakim Eko Aryanto menjelaskan, sidang tuntutan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan komoditas timah ini dijadwalkan dengan rencana agenda sebagai berikut, pada 9 Desember 2024 akan dibacakan tuntutan terhadap terdakwa. Kemudian, pada 16 Desember 2024 akan dilanjutkan dengan pembacaan pleidoi, replik, dan duplik.

    “Sebelum Natal, kita vonis, seperti itu,” ujar ketua majelis hakim Eko Aryanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024).

    Pada sidang tuntutan ini, Eko Aryanto kembali memimpin persidangan dengan jaksa penuntut umum (JPU) yang akan membacakan tuntutan hukuman terhadap Harvey Moeis.

    Namun, sidang dijadwalkan dimulai pukul 10.00 WIB, hingga pukul 10.30 WIB, ruang sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, tepatnya di Ruang Prof Dr H Muhammad Hatta Ali masih belum dibuka.

    Para hakim, jaksa, terdakwa, dan saksi-saksi belum terlihat di lokasi hingga waktu tersebut. Sejumlah peserta sidang, termasuk awak media, telah menunggu di lokasi.

    Akibat ketidakjelasan agenda sidang, pada pukul 11.00 WIB ruang sidang yang disediakan untuk persidangan kasus Harvey Moeis akhirnya digunakan untuk persidangan lainnya.

    Sebelumnya, Harvey Moeis telah didakwa dalam kasus korupsi yang terkait dengan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk untuk periode 2015-2022.

    Kejaksaan Agung menyebutkan, tindakannya merugikan negara hingga mencapai Rp 300 triliun.

  • Hervey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp210 M

    Harvey Moeis Jalani Sidang Pembacaan Tuntutan Hari Ini

    JABAR EKSPRES – Terdakwa kasus dugaan korupsi timah Harvey Moeis akan menjalani sidang pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/12/2024).

    Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), didakwa terlibat dalam kasus dugaan korupsi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada 2015-2022.

    Sidang pembacaan tuntutan ini dijadwalkan mulai pukul 10.00 WIB, dipimpin oleh Hakim Ketua Eko Aryanto. Adapun pembacaan tuntutan terhadap Harvey akan dibacakan versama dengan tuntutan JPU terhadap dua terdakwa lainnya.

    Dua terdakwa dimaksud yakni Suparta selaku Direktur Utama PT RBT dam Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.

    BACA JUGA:Positif SCAM? Website Aplikasi Kantar Work Tak Bisa Diakses lagi

    Sementara itu, istri Harvey, Sandra Dewi tidak akan menghadiri sidang pembacaan tuntutan terhadap suaminya. “Ibu Sandra akan memantau dari rumah saja,” ujar penasihat hukum Harvey, Harris Arthur kepada wartawan.

    Kasus dugaan korupsi timah tersebut menyeret Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sebagai terdakwa.

    Sementara itu, dalam kasus tersebut, Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSC) Helena Lim. Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara hingga Rp300 triliun tersebut.

    BACA JUGA:Viral Kasus Pengamen Adu Mulut dengan Sopir Angkot di Cileunyi Berakhir Damai

    Adapun kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun dari aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

    Selain itu, keduanya juga didakwa melakukan TPPU dari dana yang diterimanya. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.