Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Istri Hakim Pemvonis Bebas Ronald Tanur Sedih Lihat Saldo ATM Rp0 – Page 3

    Istri Hakim Pemvonis Bebas Ronald Tanur Sedih Lihat Saldo ATM Rp0 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Istri hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya Erintuah Damanik, Rita Sidauruk, mengaku sedih saat melihat saldo ATM yang menunjukkan nol rupiah (Rp0) karena seluruh uangnya disita terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian vonis bebas kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada 2024.

    Rita, saat menjadi saksi dalam persidangan perkara tersebut, mengaku sampai memarahi sang suami karena telah terjerat dalam kasus itu sehingga menyebabkan seluruh uangnya disita.

    “Saya dua kali datang ke ATM selalu tulisannya saldo Anda nol. Dalam hati kecil saya bertanya, kok bisa begini, kami alami kenapa begini Tuhan,” kata Rita pada sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (7/1/2025) seperti dilansir Antara.

    Dia menjelaskan kondisi yang membuatnya semakin sedih saat melihat saldo ATM lantaran sejak Desember 2024 sang suami tak lagi mendapatkan gaji bulanan yang mencapai Rp28 juta.

    Padahal, dia memiliki tiga anak yang saat ini duduk di perguruan tinggi, dengan satu anak bungsunya menempuh perkuliahan di perguruan tinggi swasta sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar.

    Oleh karena itu, Rita saat ini meminta bantuan sang kakak kandungnya serta kakak iparnya untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya sehari-hari.

    “Selain itu, namanya ibu-ibu juga saya ada kecil-kecil punya perhiasan. Itu saya geser supaya bisa bertahan karena sekarang untuk membayar uang kuliah juga anak-anak pak,” tuturnya.

  • Istri Hakim Erintuah Kaget Apartemennya Digeledah Jaksa Pagi-pagi Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur – Halaman all

    Istri Hakim Erintuah Kaget Apartemennya Digeledah Jaksa Pagi-pagi Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rita Sidauruk, istri Erintuah Damanik Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur kaget ketika apartemennya didatangi jaksa pagi-pagi.

    Apalagi, jaksa mendatangi apartemen Rita dan Erintuah untuk melakukan penggeledahan.

    Keterangan tersebut diungkapkan Rita pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang membelit suaminya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/1/2025).

    Awalnya Rita menceritakan awal mula penyidik Kejaksaan Agung menggeledah apartemen yang dihuninya bersama Erintuah Damanik pada 23 Oktober 2024.

    Kata Rita pada saat itu penyidik datang ke kamar apartemennya sekitar pukul 06.30 WIB ketika dirinya tengah bersiap memasak.

    “Belum saya memasak, pintu sudah diketuk,” kata Rita pada Jaksa.

    Ia pun menerangkan pada saat penyidik datang, Erintuah juga masih berada di lokasi dan baru saja bangun tidur.

    Kemudian Erintuah pun ucap Rita meminta agar dirinya membuka pintu dan mengaku kaget ketika mengetahui yang ada datang adalah penyidik dari Kejaksaan.

    “Saya buka nah terus mereka masuk semua. Katanya dari Kejaksaan Agung, kita buka pintu masuk semua. Saya terus terang pak shock di situ, kaget saya, ada apa kan gitu, saya gak bisa ngomong, saya diam,” ucap Rita.

    Rita menuturkan bahwa pada saat itu penyidik langsung melakukan penggeledahan di berbagai ruangan yang ada di apartemennya, termasuk ruang kamar.

    “Sampai selesainya itu hampir sore kayaknya jam 3-an kalau gak salah itu, Pak,” jelasnya.

    Setelah proses penggeledahan yang cukup panjang, Rita pun mengaku kepada Penuntut Umum bahwa suaminya langsung dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur oleh penyidik.

    Saat itu sejatinya hanya Erintuah yang hendak diboyong jaksa penyidik ke Kejati Jatim, namun Rita kala itu meminta agar turut serta mendampingi suaminya.

    “Saya mohon sama Jaksa waktu itu ‘pak saya ikut, saya mau lihat suami saya mau dibawa kemana’. Jadi saya minta ikut waktu itu,” tuturnya.

    Pada saat Erintuah dibawa ke Kejati Jatim, Rita mengaku bertambah stres lantaran harus berpisah dengan suaminya.

    Pasalnya saat itu sekitar pukul 22.00 WIB Rita diminta oleh penyidik untuk pulang terlebih dahulu sedangkan Erintuah tidak diizinkan pulang.

    Setelah dirinya kembali ke apartemen, Rita kembali syok ketika melihat Jaksa penyidik masuk ke ruang apartemen yang bersebelahan dengan kamar yang ia huni bersama Erintuah

    “Karena waktu penggeledahan itu ternyata karena (Jaksa penyidik) ada beberapa yang duduk, saya bilang ‘pak berbaring aja pak disini saya kasih alas tidur’ saya lihat Jaksa masuk ke sebelah, ke sebelah apartemen saya,” ucapnya.

    “Itu yang buat saya, saya enggak berani melihat orang lagi pak, ketakutan yang sangat mencekam sampai beberapa minggu. Terus kadang abis itu juga ada ketuk-ketuk, saya gak bisa tidur berhari-hari,” pungkasnya.

    Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • KPK Masih Dalami Strategi Penggelapan Pembelian LNG Pertamina

    KPK Masih Dalami Strategi Penggelapan Pembelian LNG Pertamina

    Jakarta, CNN Indonesia

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pembagian bonus di PPT Energy Trading Singapore (ETS) diduga sebagai strategi penggelapan untuk menguntungkan beberapa orang di Pertamina yang juga menjabat di PPT ETS.

    Materi itu digali tim penyidik kepada Operation Manager PPT ETS September 2016-Mei 2021 Bayu Satria Irawan dan International Director PPT ET Singapore tahun Januari 2017-Januari 2020 Mochamad Harun lewat pemeriksaan Senin (6/1).

    “Saksi didalami terkait dengan pembagian bonus di PPT ETS yang diduga menyalahi aturan dan penyidik mendalami apakah bonus yang menyalahi aturan tersebut merupakan strategi ‘penggelapan’ yang bertujuan untuk menguntungkan beberapa orang di Pertamina yang turut menjabat di PPT ETS,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto melalui keterangan tertulis, Selasa (7/1).

    PPT ETS merupakan “cucu” dari PT Pertamina. Perusahaan ini menjadi salah satu pihak pembeli LNG Pertamina.

    “PPT ETS ini mendapatkan untung besar atas penjualan LNG (Liquefied Natural Gas) yang dibeli dari Pertamina,” kata Tessa.

    Kemarin, penyidik KPK juga memeriksa VP LNG PT Pertamina tahun 2019-2024 Achmad Khoiruddin guna mendalami transaksi LNG CCL (Corpus Christi Liquefaction) di 2019-2021.

    Pendalaman materi juga menyasar soal kerugian yang dialami Pertamina sebesar US$124 juta untuk periode 2019-2021 karena LNG yang dibeli tidak dapat diserap pasar.

    Tim penyidik KPK juga menggali perihal penandatanganan kontrak pembelian LNG padahal saat itu Pertamina belum mempunyai calon pembeli.

    Hal ini ditanyakan penyidik kepada tiga orang saksi yaitu VP SPBD PT Pertamina tahun Agustus 2013-Mei 2014 Ginanjar; Manager Legal Services Product Pertamina Oktober 2013-Juni 2016 Cholid; dan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2012-2014 Hanung Budya Yuktyanta.

    Lembaga antirasuah mengembangkan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan LNG di PT Pertamina tahun 2011-2021 dengan menetapkan dua orang penyelenggara negara sebagai tersangka.

    Para tersangka dimaksud ialah Direktur Gas PT Pertamina periode 2012-2014 Hari Karyuliarto dan Senior Vice President (SVP) Gas & Power PT Pertamina tahun 2013-2014 Yenni Andayani.

    Mereka diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan keuangan negara.

    Sebelum ini, majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menghukum Direktur Utama PT Pertamina periode 2009-2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

    Karen dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam kasus korupsi terkait pengadaan LNG tahun 2011-2021.

    Vonis tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat Nomor: 12/Pid.Sus-TPK/2024/PN.JKT. PST.

    Perkara nomor: 41/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini diperiksa dan diadili oleh ketua majelis hakim Sumpeno dengan anggota Brmargareta Yulie Bartin Setyaningsih dan Gatut Sulistyo. Panitera pengganti Haiva. Putusan dibacakan pada Jumat, 30 Agustus 2024.

    Majelis hakim memutuskan sejumlah barang bukti dikembalikan kepada penuntut umum KPK untuk digunakan dalam perkara lain atas nama tersangka Hari Karyuliarto dan Yenni Andayani.

    (ryn/tsa)

    [Gambas:Video CNN]

  • Istri Hakim Erintuah Kaget Apartemennya Digeledah Jaksa Pagi-pagi Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur – Halaman all

    Jawaban Hakim PN Surabaya Ditanya Istri Soal Vonis Bebas Ronald Tannur: Itu Urusanku, Tak Usah Tanya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Istri Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Mangapul, Martha Panggabean mengungkap pernah menanyakan soal vonis bebas Ronald Tannur kepada suaminya tersebut.

    Pasalnya kata Martha, kabar bebasnya Ronald Tannur dari jeratan hukum sempat viral di tengah masyarakat.

    Hal itu Martha ungkapkan saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus suap yang membelit suaminya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/1/2025).

    Pernyataan itu bermula ketika Martha ditanya oleh Jaksa bagaimana awal mula dirinya mengetahui perkara suap vonis bebas Ronald Tannur yang melibatkan Mangapul.

    Dalam ceritanya, awalnya Martha mengetahui bahwa vonis bebas Ronald Tannur itu telah viral di sosial media berdasarkan informasi dari kakak iparnya.

    “Abang ipar saya memberitakan, itu sudah putus perkaranya viral,” ucap Martha menirukan ucapan kaka iparnya.

    Setelah mendapat informasi itu, sejatinya Martha langsung bertanya mengenai kebenaran kabar tersebut kepada sang suami melalui sambungan telepon yang kala itu dalam perjalanan menuju Medan kota dia mereka.

    Namun sayang, pada saat itu ponsel Mangapul tidak aktif, sebab Martha menduga sang suami masih di dalam pesawat sehingga tidak bisa mengaktifkan telepon genggam.

    “Bapak waktu itu mau ke Medan, transit di Batam. Saya menghubungi bapak tidak bisa, karena transit tidak turun dari pesawat. Mungkin mode pesawat itu HP-nya, tidak bisa,” kata dia.

    Setibanya Mangapul di Medan, Martha kemudian baru kesampaian menanyakan soal vonis bebas Ronald Tannur ke suaminya yang sebelumnya dikabarkan sang kaka ipar.

    Akan tetapi saat itu Mangapul kata Martha ogah memberikan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya.

    Adapun saat itu Mangapul kata Martha hanya mengatakan agar dirinya tidak perlu membahas putusan tersebut.

    “Setelah kami bertemu, saya tanya (soal vonis Ronald Tannur), bapak bilang ‘ya itu urusanku lah, tidak usah lagi tanya’,” ucap Mangapul yang ditirukan oleh Martha.

    Sejak saat itu Martha mengaku tidak pernah lagi menanyakan hal yang sama kepada suaminya tersebut.

    Sebab Mangapul lanjut Martha tergolong sosok yang tertutup jika berkaitan dengan perkara-perkara yang selama ini ditangani selama menjadi seorang hakim.

    Hanya saja suaminya itu kata dia, pernah meminta doa restu ketika hendak menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, salah satunya kasus tragedi Kanjuruhan.

    “Kalau urusan-urusan perkara tidak pernah bapak ceritakan kepada saya. Cuma kadang-kadang dia minta doa, seperti kemarin menangani kasus Kanjuruhan, ‘tolong doakan saya, mau putus (vonis)’. Begitu begitu saja pak,” pungkasnya.

    Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Kesaksian Istri Hakim PN Surabaya Pemvonis Bebas Ronald Tannur

    Kesaksian Istri Hakim PN Surabaya Pemvonis Bebas Ronald Tannur

    Jakarta, CNN Indonesia

    Istri dari dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur (31) yakni Erintuah Damanik dan Mangapul memberikan kesaksian mengenai penggeledahan dan detik-detik suaminya ditangkap tim kejaksaan.

    Kesaksian itu disampaikan para saksi tersebut dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (7/1).

    Jaksa penuntut mencecar Rita Sidahuluk, istri dari Erintuah, mengenai penukaran valuta asing (valas) senilai Rp1 miliar.

    Jaksa memulai dengan mengungkap fakta soal Rita yang sempat menukar valas di PT Golden Trimulia Valasindo pada Agustus 2024. Namun, Rita mengaku lupa nominalnya.

    “Ibu pernah tukar di Golden Trimulia Valasindo?” tanya jaksa.

    “Pernah,” jawab Rita.

    “Masih ingat berapa total yang pernah ibu tukarkan?” timpal jaksa.

    “Enggak,” sebut Rita

    Mendengar jawaban tersebut, jaksa kemudian membeberkan data perihal penukaran valas yang dilakukan oleh Rita pada periode Maret 2022 hingga 4 Juni 2024 dengan total mencapai Rp1 miliar

    Meski demikian, di hadapan majelis hakim, Rita menyatakan tak mengingat semua penukaran valas tersebut.

    “Ini kalau lihat data-data sekitar Rp1 miliar, Bu. Dimulai dari Maret 2022 dan 4 Juni 2024. Kalau khusus 2024-nya bu, ada dimulai dari 15 Maret 2024 penukaran 20.000 dolar AS, nilainya Rp311 juta dengan 4 Juni 2024,” ungkap jaksa.

    “Ini kan data yang kami terima, kami konfrontasi ke ibu data-data ini, ini ibu yang menukarkan. Langsung atau pernah menyuruh orang atas nama ibu atau seperti apa?” sambung jaksa terus menekan.

    “Aduh enggak ingat saya pak,” jawab Rita.

    Selain itu, Rita mengaku trauma dengan proses penggeledahan dan penangkapan suaminya beberapa waktu lalu. Ia mengaku dilanda ketakutan selama berminggu-minggu.

    “Itu yang buat saya enggak berani sambil lihat orang lagi pak, ketakutan yang sangat mencekam saya sampai berapa minggu,” ujar Rita di hadapan majelis hakim.

    “Terus kadang habis itu juga ada ketuk-ketuk (pintu). Saya enggak bisa tidur berhari-hari pak,” kata Rita menceritakan trauma usai penggeladahan apartmen oleh penyidik kejaksaan.

    Jaksa lantas mencari tahu penyebab sebenarnya dari ketakutan yang dialami Rita tersebut.

    Kata Rita, trauma dan ketakutan yang dialaminya muncul karena suaminya terjerat kasus dugaan tindak pidana korupsi.

    “Karena dilakukan proses hukum terhadap suami ibu ya?” tanya jaksa.

    “Iya,” ucap Rita mengamini.

    Sementara itu, Marta Pangabean juga mengaku kaget saat mendengar kabar apartemen suaminya (Mangapul) di Surabaya, Jawa Timur, digeledah tim kejaksaan. Ia mengatakan saat itu sedang berada di Medan.

    “(Tahu) dari kakak saya, masuk ke handphone. Itu bapak, kalau bapak dipanggil bapak Jeo. Bapak Jeo itu ada penggeledahan ini katanya sama saya. Dari anak juga, dari media juga,” kata Marta.

    Setelah mendengar kabar tersebut, Marta tidak langsung menuju Surabaya karena tidak mendapatkan tiket pesawat.

    “Saya tidak langsung berangkat besoknya karena tiket tidak tersedia pada saat itu. Besoknya saya berangkat ke Surabaya, Surabaya tiga jam penerbangan. Saya sampai di apartemen, tetapi apartemen dikunci,” tutur Marta.

    “Lalu, saya tanya ponakan saya juga, seorang jaksa juga. Saya tanya dia, karena dia pasti tahu. ‘Coba, di mana keberadaan Om-mu?’ Saya tanya begitu. Dia suruh saya kembali, sudah di Kejaksaan Agung. Balik lagi, tante balik lagi dulu, balik dulu ke Kejaksaan Agung padahal bapak masih di Kejaksaan Tinggi (Kejati Jatim),” sambungnya.

    Marta mengungkapkan pada momen tersebut dirinya merasa sangat capek atau lelah.

    “Seumur-umur tidak pernah saya mengalami seperti ini,” ungkap dia.

    Erintuah, Mangapul dan satu hakim PN Surabaya lainnya yaitu Heru Hanindyo didakwa menerima suap sejumlah Rp1 miliar dan Sin$308.000 diduga untuk mengurus perkara terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Mereka juga didakwa menerima gratifikasi dianggap suap.

    Erintuah disebut menerima gratifikasi dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing. Yakni uang sebesar Rp97.500.000, Sin$32.000 dan RM35.992,25.

    Ia menyimpan uang-uang tersebut di rumah dan apartemen miliknya. Ia tidak melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sehingga dianggap sebagai gratifikasi.

    Sementara Heru disebut menerima gratifikasi berupa uang tunai sebesar Rp104.500.000, US$18.400, Sin$19.100, ¥100.000 (Yen), €6000 (Euro) dan SR21.715 (Riyal Saudi). Heru menyimpan uang-uang tersebut di Safe Deposit Box (SDB) Bank Mandiri Kantor Cabang Cikini Jakarta Pusat dan rumahnya.

    Sedangkan Mangapul disebut menerima penerimaan yang tidak sah menurut hukum dengan rincian Rp21.400.000,00, US$2.000 dan Sin$6.000. Ia menyimpan uang tersebut di apartemennya.

    (ryn/kid)

    [Gambas:Video CNN]

  • KPK Panggil Eks Dirut Pertamina Dwi Soetjipto Terkait Kasus Korupsi LNG

    KPK Panggil Eks Dirut Pertamina Dwi Soetjipto Terkait Kasus Korupsi LNG

    KPK Panggil Eks Dirut Pertamina Dwi Soetjipto Terkait Kasus Korupsi LNG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) memanggil mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero)
    Dwi Soetjipto
    terkait kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina Tahun 2011-2014.
    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Senin (7/1/2024).
    Selain Dwi Soetjipto, KPK juga memeriksa enam orang lainnya sebagai saksi untuk kasus yang sama.
    Mereka adalah Aji Saputra selaku Analyst Direktorat Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko (PIMR); Luhut Budi Djatmika selaku mantan Direktur Umum PT Pertamina periode 2012-2014; dan Amir Harahap selaku Manager LNG Transportasion–Direktorat Gas (PT Pertamina).
    Kemudian, Tanudji Darmasakti selaku mantan SVP Gas & LNG Management PT Pertamina; Hari Karyuliarto selaku mantan Direktur Gas PT Pertamina (Persero); dan Ali Mundakir selaku mantan VP Corporate Communication PT Pertamina.
    Sebelumnya, KPK diketahui mengembangkan kasus korupsi pengadaan gas cair alam atau LNG di PT Pertamina.
    Pada 2 Juli 2024, KPK menetapkan dua pejabat PT Pertamina lainnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut yaitu, Senior Vice President (SVP) Gas & Power PT Pertamina tahun 2013-2014 Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina Periode 2012-2014 Hari Karyuliarto.
    Adapun Eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan telah divonis sembilan tahun penjara dalam kasus korupsi tersebut.
    Karen dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.
    Majelis Hakim menilai perbuatan Karen melanggar Pasal Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” ujar Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat pada 24 Juni 2024.
    Vonis tersebut lebih ringan dua tahun dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Karen dibui selama 11 tahun.
    Atas vonis itu, Karen mengajukan banding. Kemudian, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan hukuman sembilan tahun penjara terhadap Karen Agustiawan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau LNG di PT Pertamina.
    Dalam putusan perkara nomor 41/PID.SUS-TPK/2024/PT DKI ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menguatkan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
    “Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 12/Pid.Sus-TPK/2024/PN.JKT. PST, tanggal 24 Juni 2024,” demikian bunyi amar putusan banding yang dikutip di situs Mahkamah Agung (MA) pada 2 September 2024.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasib Istri Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur, Ngaku Syok Hingga Tak Bisa Tidur Berhari-hari – Halaman all

    Nasib Istri Hakim yang Vonis Bebas Ronald Tannur, Ngaku Syok Hingga Tak Bisa Tidur Berhari-hari – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Rita Sidauruk, istri Erintuah Damanik yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas Ronald Tannur, mengaku syok hingga tak bisa tidur berhari-hari usai jaksa penyidik menggeledah kamar apartemennya di Surabaya.

    Adapun hal itu diungkapkan Rita pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang membelit suaminya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/1/2025).

    Rita menceritakan awalnya penyidik Kejaksaan Agung menggeledah apartemen yang dihuninya bersama sujami, Erintuah Damanik, pada pagi buta, 23 Oktober 2024 lalu.

    Kata Rita pada saat itu penyidik datang ke kamar apartemennya sekitar pukul 06.30 WIB ketika dirinya tengah bersiap memasak.

    “Belum saya memasak, pintu sudah diketuk,” kata Rita pada Jaksa.

    Ia pun menerangkan, pada saat penyidik datang, Erintuah juga masih berada di lokasi dan baru saja bangun tidur.

    Kemudian Erintuah pun, ucap Rita, meminta agar dirinya membuka pintu dan mengaku kaget ketika mengetahui yang ada datang adalah penyidik dari Kejaksaan.

    “Saya buka nah terus mereka masuk semua. Katanya dari Kejaksaan Agung, kita buka pintu masuk semua. Saya terus terang pak shock disitu, kaget saya, ada apa kan gitu, saya gak bisa ngomong, saya diam,” ucap Rita.

    Rita menuturkan bahwa pada saat itu penyidik langsung melakukan penggeledahan di berbagai ruangan yang ada di apartemennya, termasuk ruang kamar.

    “Sampai selesainya itu hampir sore kayaknya jam 3n kalau gak salah itu pak,” jelasnya.

    Setelah proses penggeledahan yang cukup panjang, Rita pun mengaku kepada Penuntut Umum bahwa suaminya langsung dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) oleh jaska penyidik.

    Saat itu sejatinya hanya Erintuah yang hendak diboyong jaksa penyidik ke Kejati Jatim, namun Rita kala itu meminta agar turut serta mendampingi suaminya.

    “Saya mohon sama Jaksa waktu itu ‘pak saya ikut, saya mau lihat suami saya mau dibawa kemana’. Jadi saya minta ikut waktu itu,” tuturnya.

    Pada saat Erintuah dibawa ke kantor Kejati Jatim, Rita mengaku bertambah stres lantaran harus berpisah dengan suaminya.

    Sebab, saat itu sekitar pukul 22.00 WIB Rita diminta oleh penyidik untuk pulang terlebih dahulu sedangkan Erintuah tidak diizinkan pulang.

    Setelah dirinya kembali ke apartemen, Rita kembali syok ketika melihat jaksa penyidik masuk ke ruang apartemen yang bersebelahan dengan kamar yang ia huni bersama Erintuah

    “Karena waktu penggeledahan itu ternyata karena (Jaksa penyidik) ada beberapa yang duduk, saya bilang ‘pak berbaring aja pak disini saya kasih alas tidur’ saya lihat Jaksa masuk ke sebelah, ke sebelah apartemen saya,” ucapnya.

    “Itu yang buat saya, saya enggak berani melihat orang lagi pak, ketakutan yang sangat mencekam sampai beberapa minggu. Terus kadang abis itu juga ada ketuk-ketuk, saya gak bisa tidur berhari-hari,” pungkasnya.

    Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura

    Proses pelimpahan tersangka dan barang bukti (tahap II) perkara dugaan korupsi berupa suap yang menjerat tiga tersangka hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Kantor Kejari Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024). (Dok. Istimewa)

    Tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas terdakwa kasus penganiayaan Ronald Tannur, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu, keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Pengamat: Vonis Ringan Koruptor Timah Nodai Semangat Pemerintahan Prabowo dalam Berantas Korupsi – Halaman all

    Pengamat: Vonis Ringan Koruptor Timah Nodai Semangat Pemerintahan Prabowo dalam Berantas Korupsi – Halaman all

    Pengamat sebut Vonis Ringan Koruptor Timah Nodai Semangat Pemerintahan Prabowo Berantas Korupsi

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyebut, vonis ringan koruptor timah, Harvey Moeis, telah menodai semangat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi di Tanah Air.

    Ada pun Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara meskipun negara dirugikan hingga Rp 300 triliun.

    “Hukuman yang tak sebanding dengan nilai kerugian negara Rp 300 triliun itu telah menodai semangat pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi,” kata dia dalam keterangannya Jumat (3/1/2025).

    Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu mengungkapkan vonis ringan, baik dari segi hukuman penjara maupun denda menjadi pertanyaan publik. 

    Masyarakat bahkan mempertanyakan siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus tambang timah ilegal tersebut.

    “Dan mengapa penerapan hukumnya terasa begitu lunak? Integritas para penegak hukum pun kembali dipertanyakan,” ucapnya.

    Di sisi lain, Pieter Zulkifli menyebut tidak adil jika tanggung jawab atas kerusakan dan kerugian negara akibat rasuah timah itu hanya dibebankan pada seorang Harvey, sementara sejauh ini sudah ada 22 tersangka dalam kasus itu.

    “Jaksa penuntut dan pengadilan tampaknya mengabaikan penerapan hukum yang benar untuk mendalami akar masalah perkara korupsi tata niaga timah, yaitu aktor-aktor besar di balik operasi tambang ilegal,” ucap dia.

    Pieter Zulkifli juga menyinggung beberapa pelaku kasus korupsi timah yang mendapat vonis ringan selain Harvey tapi luput dari sorotan publik. 

    Mereka antara lain Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin yang mendapat hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang menginginkan 14 tahun penjara.

    Lalu, ada Reza Andriansyah sebagai Direktur Pengembangan Usaha perusahaan yang sama hanya divonis 5 tahun penjara dengan denda Rp750 juta. 

    Begitu pula dengan Tamron Tamsil, Suwito Gunawan, dan Robert Indarto yang juga mendapat hukuman ringan dan jauh lebih ringan dibandingkan kerugian negara.

    “Fenomena ini mencerminkan lemahnya penerapan prinsip efek jera dalam penegakan hukum di Indonesia,” ucap dia.

    Pieter Zulkifli mengatakan ketidaksesuaian antara tuntutan dan vonis itu menimbulkan spekulasi adanya kesepakatan tidak transparan antara jaksa, hakim, dan para terdakwa. 

    Lebih jauh, kritik juga mengarah pada proses awal penyidikan yang diduga tidak berjalan dengan maksimal.

    “Jika proses hukum sejak penyidikan sudah bermasalah maka hasil akhirnya, termasuk vonis, sulit diharapkan mencerminkan keadilan,” ujarnya.

    Atas vonis ringan terhadap para pelaku korupsi timah itu, dia menekankan perlunya reformasi sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam penerapan TPPU. Pieter Zulkifli menyatakan dalam konteks korupsi besar seperti itu, aset terdakwa harus ditelusuri, disita, dan digunakan untuk memulihkan kerugian negara.

    “Pembuktian terbalik harus menjadi instrumen utama untuk memastikan bahwa setiap aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana dapat dikembalikan kepada negara,” ujarnya.

    Selain itu, dia menegaskan untuk memberikan efek jera bagi koruptor, negara harus memiliki regulasi, peraturan perundang-undangan yang tegas, bukan vonis lamanya terdakwa harus dihukum, tetapi aset-aset terdakwa harus bisa ditelusuri dan disita Negara.

    Oleh sebab itu, kata Pieter Zulkifli, negara dan pemimpin partai politik harus jujur dan serius menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang tegas dan membuat efek jera. 

    Sebagai perbandingan, Singapura berhasil menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang efektif meskipun hukuman penjaranya relatif ringan.

    “Di sana, hukuman maksimal bagi koruptor hanya 6 bulan penjara, tapi semua aset-aset terdakwa disita oleh negara. Tak hanya itu, setelah terdakwa menjalani hukuman penjara, selamanya mereka tidak boleh lagi memiliki rekening bank, SIM dan paspor mantan terdakwa korupsi dicabut, kegiatan sehari-hari harus menggunakan transportasi umum, dan bahkan KTP diberi tanda khusus. Keluarga mantan terdakwa korupsi juga di bawah pengawasan negara. Pendekatan seperti ini menciptakan efek jera yang nyata,” ujar dia.

    Pieter Zulkifli mengingatkan jika penilaian baik kepemimpinan Prabowo tidak hanya dari kebijakan ekonominya saja, tetapi juga dari keberhasilannya mereformasi sistem hukum dan memberantas korupsi. 

    Di samping dari itu, Prabowo juga harus sadar bahwa kritik terhadap pemerintahannya kali ini memiliki agenda tersembunyi, seperti upaya delegitimasi oleh pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu ini untuk melemahkan kredibilitasnya. 

    Dia berpandangan Prabowo perlu memastikan bahwa gaya kepemimpinannya bisa menciptakan suasana yang nyaman bagi kabinetnya. 

    Kepemimpinan yang terlalu kaku dan militeristik hanya akan menciptakan ketakutan di kalangan menteri, sehingga laporan dan aspirasi bisa terhambat.

    “Sebagai presiden, Prabowo harus menjadi seorang negarawan yang mampu memimpin dengan pendekatan yang humanis dan inklusif,” kata dia.

    Pieter kembali menegaskan bahwa untuk memberantas korupsi dengan efektif, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang lebih transparan dan tegas. 

    Penegakan hukum tidak boleh hanya fokus pada individu tertentu seperti Harvey, tetapi harus menyentuh seluruh aktor utama dan sistem yang mendukung praktik korupsi.

    Selanjutnya, penyelidikan, penyidikan, dan penerapan pasal harus dilakukan dengan cermat dan konsisten agar keadilan tidak hanya menjadi slogan. 

    Tak hanya itu, Presiden dan pemimpin politik harus bersikap sebagai negarawan yang mampu menciptakan sistem yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

    Namun, diakui Pieter Zulkifli jika langkah itu membutuhkan keberanian, kejujuran, dan komitmen yang tak tergoyahkan. Jangan sampai hukum hanya menjadi alat permainan elite, sementara keadilan bagi rakyat tetap menjadi angan-angan belaka.

    “Tanpa langkah nyata, korupsi besar seperti kasus timah ini hanya akan menjadi episode berikutnya dalam drama panjang ketidakadilan di Indonesia,” pungkasnya.

    Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. 

    Selain itu, Harvey diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar atau subsider 6 tahun penjara jika tidak melunasi.

    Ia terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

    Harvey juga dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

  • Anggota DPR Desak KPK dan Kejaksaan Agung Selidiki Hakim yang Vonis Rendah Harvey Moeis – Halaman all

    Anggota DPR Desak KPK dan Kejaksaan Agung Selidiki Hakim yang Vonis Rendah Harvey Moeis – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan untuk menyelidiki kemungkinan pelanggaran oleh hakim yang memvonis ringan terdakwa Harvey Moeis. 

    Harvey hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara meskipun negara dirugikan hingga Rp 300 triliun dalam kasus yang melibatkan sektor timah.

    “Ya saya selaku anggota DPR RI mendorong agar Kejaksaan dan KPK sesuai kewenangannya melakukan penyelidikan dalam perkara ini,” kata Umbu saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (3/1/2025).

    Umbu menilai, vonis 6,5 tahun untuk Harvey Moeis sangat menciderai rasa keadilan di masyarakat.

    Dia mengaitkan kasus Harvey Moeis dengan vonis bebas terhadap Ronald Tanur di Surabaya dalam dugaan pembunuhan.

    Kasus tersebut kemudian terungkap melibatkan tindak pidana suap, di mana hakim, pengacara, dan pihak lain menjadi tersangka.

    “Nah, hal ini yang kita khawatirkan. Bukan tidak mungkin atau patut diduga perkara-perkara sejenis ini akan terjadi seperti ini. Maka kita minta mendorong Kejaksaan, KPK untuk menjalankan tugas dan kewenangannya membuka tabir perkara ini,” ujar Umbu.

    Umbu juga mengapresiasi langkah Kejaksaan yang telah mengajukan banding atas putusan Harvey Moeis. 

    Umbu berharap putusan di tingkat banding dapat mencerminkan keadilan dan memberikan efek jera, terutama dalam upaya menyelamatkan aset negara.

    “Rp 300 triliun ini sangat besar, orang mencuri ayam saja ancamannya 5 tahun kan begitu. Jadi itu yang kami dorong agar adanya rasa keadilan di masyarakat tumbuh kembali,” ungkapnya.

    Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. 

    Selain itu, Harvey diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar atau subsider 6 tahun penjara jika tidak melunasi.

    Ia terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

    Harvey juga dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

     

     

  • Mahfud MD Tegur Etika Sidang Vonis Harvey: Ini Aneh

    Mahfud MD Tegur Etika Sidang Vonis Harvey: Ini Aneh

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Menkopolhukam, Prof Mahfud MD, menyampaikan kritik tajam terhadap jalannya sidang vonis Harvey Moeis.

    Dikatakan Mahfud, ada pelanggaran tata tertib (tatib) dalam prosedur persidangan yang seharusnya dijalankan dengan penuh disiplin.

    “Tatibnya, saat hakim masuk dan keluar ruang sidang pengunjung bersikap sempurna,” ujar Mahfud dalam keterangannya di aplikasi X @mohmahfudmd (3/12/2024).

    Namun, ia menyebut bahwa dalam sidang vonis Harvey Moeis, situasinya berjalan di luar kebiasaan.

    “Tapi sidang pengucapan vonis Harvey ini aneh,” cetusnya.

    Setelah mengetukkan palu, hakim tetap duduk di tempatnya dan membiarkan Harvey merayakan putusan di depan majelis hakim.

    “Setelah mengetukkan palu vonisnya hakim malah tetap duduk dan membiarkan Harvey bersukaria di depan majelis,” Mahfud menuturkan.

    Mahfud bilang, dalam prosedur sidang yang benar, hakim seharusnya meninggalkan ruangan terlebih dahulu sebelum pengunjung atau pihak lain berdiri dan beraktivitas.

    “Harusnya hakim keluar dulu, baru yang lain boleh berdiri,” kuncinya.

    Untuk diketahui, nama Hakim Eko Aryanto mendadak ramai diperbincangkan publik setelah memimpin sidang kasus korupsi timah dengan kerugian negara mencapai Rp271 triliun.

    Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar.

    Bukan hanya itu, Ketua Majelis Hakim juga hanya menjatuhkan kewajiban mengganti kerugian negara sebesar Rp210 miliar kepada terdakwa Harvey Moeis, suami selebritis Sandra Dewi.