Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Harvey Moeis Harus Bayar Berapa usai Vonisnya Naik Jauh Lebih Berat?

    Harvey Moeis Harus Bayar Berapa usai Vonisnya Naik Jauh Lebih Berat?

    PIKIRAN RAKYAT – Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman terdakwa Harvey Moeis dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Bukan hanya kurungan penjara, nominal denda dan uang ganti yang harus dibayarkan Harvey juga bertambah banyak.

    Dalam keputusan banding kemarin, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, dari asalnya hanya 6 tahun dan 6 bulan penjara.

    Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto memberi kesempatan kepada publik untuk menilai putusan yang menggegerkan tersebut. Ia mengaku tak punya hak mengklaim adil tidaknya putusan.

    “Masalah adil atau tidak, biar masyarakat yang menilai. Kami tidak bisa komentar. Kita tidak bisa mengomentari produk kita sendiri,” ujar Yanto saat konferensi pers, di Media Center MA, Jakarta, Kamis, 13 Februario 2025.

    “Saya enggak boleh komentar. Terhadap perkara yang sedang berjalan, hakim dilarang, baik itu yang sedang berjalan maupun tidak,” katanya lagi.

    Harvey Moeis Harus Bayar Segini

    Bukan hanya kurungan bui yang lebih lama, Harvey juga harus membayarkan sejumlah uang ganti dan denda.

    Atas kasusnya, Harvey kena denda Rp1 miliar subsider 8 bulan kurungan. Sementara, uang pengganti yang harus dipenuhi ialah sebesar Rp420 miliar subsider 10 tahun penjara.

    Putusan banding ini diambil dengan mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan, salah satunya adalah tindakan Harvey yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

    “Perbuatan terdakwa juga sangat menyakiti hati rakyat karena di saat ekonomi susah, terdakwa melakukan tindak pidana korupsi,” ucap Hakim Ketua Teguh Harianto di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

    Sekilas Kasus

    Sebelumnya, pada tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Harvey dengan pidana penjara 6 tahun dan 6 bulan, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.

    Harvey terbukti bersalah atas korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun. Kerugian tersebut terdiri dari Rp2,28 triliun akibat kerjasama sewa-menyewa alat pengolahan dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun dari pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, dan Rp271,07 triliun kerugian lingkungan.

    Selain itu, Harvey juga terbukti menerima uang sebesar Rp420 miliar dan terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim. Harvey melanggar berbagai pasal, termasuk Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • PT DKI Jakarta perberat hukuman Helena Lim jadi 10 tahun penjara

    PT DKI Jakarta perberat hukuman Helena Lim jadi 10 tahun penjara

    Majelis Hakim membacakan putusan banding atas terdakwa Helena Lim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kamis (13/2/2025). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

    PT DKI Jakarta perberat hukuman Helena Lim jadi 10 tahun penjara
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 13 Februari 2025 – 14:23 WIB

    Elshinta.com – Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa Helena Lim selaku Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) menjadi 10 tahun penjara terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022.

    Hakim Ketua Teguh Harianto menjelaskan Majelis Hakim PT DKI Jakarta tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengenai lamanya pidana penjara, pidana denda, pidana tambahan yang dibebankan kepada Helena maupun status barang bukti yang telah disita.

    “Tetapi untuk pertimbangan yang lain, pada pokoknya kami sependapat dengan majelis hakim pengadilan tingkat pertama,” ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan banding oleh majelis hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Kamis.

    Selain pidana penjara, Majelis Hakim turut memperberat pidana denda yang telah dijatuhkan kepada Helena menjadi Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Sementara untuk pidana tambahan berupa uang pengganti, PT DKI Jakarta memutuskan pidana tambahan dengan besaran yang sama dengan Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakarta Pusat, yakni Rp900 juta.

    Namun, Majelis Hakim memperberat lamanya hukuman pengganti apabila Helena tidak membayar uang pengganti, yakni menjadi 5 tahun.

    Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakarta Pusat memvonis Helena dengan pidana penjara selama 5 tahun, pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan pidana kurungan, serta uang pengganti Rp900 juta subsider 1 tahun penjara terkait kasus korupsi timah.

    Dalam kasus itu, Helena terbukti membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp420 miliar.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Perbuatan para terdakwa dalam kasus timah, termasuk Helena, diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.

    Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) pelogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

    Dengan demikian, Helena terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Sumber : Antara

  • Perjalanan Hukuman Harvey Moeis: Divonis Ringan, Disentil Prabowo, Kini 20 Tahun Penjara

    Perjalanan Hukuman Harvey Moeis: Divonis Ringan, Disentil Prabowo, Kini 20 Tahun Penjara

    Perjalanan Hukuman Harvey Moeis: Divonis Ringan, Disentil Prabowo, Kini 20 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Hukuman suami aktris Sandra Dewi,
    Harvey Moeis
    , dalam perkara korupsi tata niaga komoditas timah diperberat menjadi 20 tahun penjara di tingkat banding.
    Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjatuhkan putusan ultrapetita atau penjatuhan hukuman yang melebihi tuntutan atas dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
    Pada pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Harvey dituntut jaksa selama 12 tahun penjara.
    Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 6,5 tahun bui.
    Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Eko Aryanto menilai, tuntutan yang diajukan jaksa terhadap Harvey terlalu tinggi.
    “Menimbang bahwa tuntutan pidana penjara selama 12 tahun penjara terhadap diri terdakwa Harvey Moeis majelis hakim mempertimbangkan tuntutan pidana penjara tersebut terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara,” kata hakim Eko, 23 Desember 2024.
    Hukuman terhadap Harvey pada pengadilan tingkat pertama ini pun menjadi buah bibir di tengah masyarakat karena dianggap terlalu rendah dan tidak sebanding dengan kerugian Rp 300 triliun akibat praktik korupsi.
    Bahkan, Presiden Prabowo Subianto ikut menyentil vonis terhadap koruptor yang menurutnya terlalu ringan.
    “Saya mohon ya, kalau sudah jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsur lah, terutama juga hakim-hakim, ya vonisnya jangan terlalu ringan lah. Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi,” ujar Prabowo, 30 Desember 2024 lalu.
    Prabowo menilai masyarakat juga menyadari bahwa vonis terhadap Harvey, yang merugikan negara ratusan triliun, hanya beberapa tahun penjara.
    “Tapi rakyat pun ngerti. Rakyat di pinggir jalan ngerti. Rampok triliunan, ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV, tolong Menteri Pemasyarakatan ya,” kata dia.
    Prabowo pun memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengajukan banding atas vonis terhadap Harvey Moeis.
    Menurut Prabowo, praktik korupsi yang merugikan negara begitu besarnya harus dibalas dengan hukuman penjara selama 50 tahun.
    “Jaksa Agung, naik banding enggak? Naik banding ya. Naik banding,” kata Prabowo.
    “Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira,” imbuh dia.
    Pada tingkat banding inilah hukuman Harvey diperberat jauh di atas tuntutan jaksa dan hukuman majelis hakim tingkat I.
    Majelis Hakim PT Jakarta menilai, Harvey Moeis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama.
    “Menjatuhkan pidana kepada Harvey Moeis selama 20 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim, Teguh Harianto, dalam sidang di ruang sidang PT Jakarta, Kamis (13/2/2024).
    Selain pidana badan dan denda, majelis hakim banding juga menambah hukuman pidana pengganti Harvey Moeis dari Rp 210 miliar menjadi Rp 420 miliar.
    Jika uang tersebut tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan dirampas untuk negara.
    Dalam hal Harvey tidak memiliki harta untuk menutup uang pengganti, hukumannya akan ditambah 10 tahun.
    Teguh menyatakan, hukuman tersebut dijatuhkan karena perbuatan korupsi Harvey telah menyakiti masyarakat Indonesia.
    “Perbuatan terdakwa sangatlah menyakiti hati rakyat, di saat ekonomi susah terdakwa melakukan tindak pidana korupsi,” kata hakim Teguh.
    Berdasarkan surat dakwaan, Harvey selaku perwakilan PT RBT sekitar 2018 hingga 2019 disebut menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021.
    Komunikasi Harvey dan Riza dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
    Keduanya sepakat untuk menjalin kerja sama dalam kegiatan pertambangan ilegal yang dibungkus dengan sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.
    Harvey menginstruksikan kepada para pemilik smelter tersebut untuk menyetorkan sebagian keuntungan bagi dirinya dan para tersangka lain, seolah-olah sebagai dana
    corporate social responsibility
    (CSR).
    Dalam perkara ini, Harvey bertindak sebagai pihak yang mewakili PT RBT, bersama dengan Dirut PT Timah Riza Pahlevi, kongkalikong mencari keuntungan dalam kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
    Harvey dan Riza beberapa kali bertemu dan bersepakat agar kegiatan di pertambangan liar tersebut diakali dengan dalih sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah.
    Untuk melancarkan aksinya, Harvey menghubungi sejumlah perusahaan smelter guna mengakomodasi rencana tersebut.
    Kasus korupsi timah yang menyeret Harvey Moeis telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 300 triliun.
    Berdasarkan surat dakwaan, kerugian negara ratusan triliun ini timbul dari pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
    Jumlah tersebut didapat dari kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta Rp 2,265 triliun, kerugian pembayaran biji timah Rp 26,649 triliun, dan kerugian lingkungan Rp 271,1 triliun.
    Adapun kerugian lingkungan dihitung berdasarkan total luas galian yang mencapai 170.363.064 hektar di kawasan hutan dan nonkawasan hutan Bangka Belitung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Zarof Ricar Sering Lihat Lisa Rachmat Mondar-mandir di MA, Tapi Baru Dihubungi Setelah Pensiun – Halaman all

    Zarof Ricar Sering Lihat Lisa Rachmat Mondar-mandir di MA, Tapi Baru Dihubungi Setelah Pensiun – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar mengaku sering melihat pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat mondar-mandir di Gedung Mahkamah Agung ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Kapusdiklat) periode 2012-2022.

    Adapun hal itu diungkapkan Zarof saat hadir sebagai saksi dalam sidang kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang menjerat tiga Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (11/2/2025).

    Kesaksian itu Zarof sampaikan bermula ketika ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) perihal perkenalannya dengan Lisa Rachmat.

    Zarof menyatakan, bahwa dirinya pernah melihat Lisa di MA hanya saja pada saat itu belum mengenal secara pribadi.

    Barulah setelah dirinya pensiun dari MA, Lisa kata Zarof mulai menghubunginya.

    “Waktu itu dia pernah sering saya lihat mondar-mandir di MA. Tapi saya nggak pernah tegur, enggak tahu tiba-tiba setelah saya pensiun dia telpon saya,” kata Zarof.

    Namun ketika ditelusuri lebih jauh oleh Jaksa soal latarbelakang Lisa saat itu, Zarof mengaku tidak begitu tahu.

    Ia juga mengatakan tidak tahu secara pasti mengenai pekerjaan dari Lisa yang juga merupakan terdakwa dalam kasus Ronald Tannur tersebut.

    “Enggak tahu, saya pikir apa ini pengacara atau apa saya juga engga jelas,” pungkasnya.

    3 Hakim PN Surabaya Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dollar Singapura

    Sebelumnya, Tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

     

     

  • Ibu Ronald Tannur Suap Hakim PN Surabaya, Gelontorkan Miliaran Rupiah demi Anaknya Bebas

    Ibu Ronald Tannur Suap Hakim PN Surabaya, Gelontorkan Miliaran Rupiah demi Anaknya Bebas

    PIKIRAN RAKYAT – Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Widjaja memberikan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Suap diberikan agar Ronald Tannur divonis bebas dalam kasus penghilangan nyawa, Dini Sera Afrianti.

    Jaksa menyebut Meirizka Widjaja menggelontorkan uang suap sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dollar Singapura. Suap diterima oleh Hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Meirizka melakukan tindak pidana suap bersama Lisa Rachmat selaku pengacara Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Lisa Rachmat, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim yaitu memberi uang tunai keseluruhan sebesar Rp1 miliar dan SGD308 ribu,” kata jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    Jaksa menjelaskan uang suap diberikan

    Meirizka melalui perantara Lisa Rachmat dengan tiga kali pemberian. Pertama, Lisa memberi suap sebesar Rp1 miliar dan SGD120 ribu untuk Heru Hanindyo. Kedua, Lisa Rachmat memberikan uang suap secara tunai kepada tiga hakim dengan perincian Erintuah Damanik senilai 38 ribu dollar Singapura, Mangapul 36 ribu dollar Singapura, dan Heru sebesar 36 ribu dollar Singapura.

    Sisa uang 30.000 dollar Singapura disimpan oleh Erintuah Damanik. Ketiga, Lisa kembali menyerahkan uang tunai 48 ribu dollar Singapura kepada Erintuah. Jaksa kembali menegaskan uang suap itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara Ronald Tannur.

    “Untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili yaitu supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara pidana Gregorius Ronald Tannur menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh Dakwaan Penuntut Umum,” ucap jaksa.

    Jaksa menyatakan Meirizka melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kilogram Emas

    Dalam kasus ini, jaksa mendakwa mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menerima gratifikasi senilai total Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Jaksa menjelaskan Zarof Ricar menerima uang ratusan miliar tersebut secara tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing (valas).

    Jumlah gratifikasi tersebut adalah nilai total suap yang diterima Zarof Ricar dalam pengurusan perkara Gergorius Ronald Tannur di tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK).

    “Terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan permintaan para pihak berperkara,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    “Sehingga terdakwa menerima pemberian suap berupa uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing (valuta asing) yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915.000.000.000,00 (sembilan ratus lima belas miliar rupiah) dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram,” ucap jaksa melanjutkan.

    Adapun mata uang asing yang diterima Zarof Ricar di antaranya dolar Singapura, Amerika Serikat hingga dolar Hongkong. Jaksa menyebut Zarof tidak melaporkan penerimaan uang dan emas tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 hari setelah penerimaan. Dia juga tidak pernah melaporkan kepemilikan uang ratusan miliar rupiah dan emas itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

    “Perbuatan terdakwa menerima uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas,” ujar jaksa.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Terungkap di Sidang, Percakapan Zarof Ricar dan Lisa Rachmat Hingga Swafoto dengan Hakim Soesilo – Halaman all

    Terungkap di Sidang, Percakapan Zarof Ricar dan Lisa Rachmat Hingga Swafoto dengan Hakim Soesilo – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (Jpu) mengungkap percakapan yang dilakukan eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dengan pengacara Lisa Rachmat.

    Percakapan ini terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

    Selain percakapan dengan Lisa, Jaksa juga mengungkapkan bahwa Zarof juga sempat melakukan swafoto dengan Ketua Majelis Hakim yang menangani kasasi Ronald yakni Hakim Soesilo.

    Adapun swafoto itu dilakukan Zarof sebagai bukti bahwa dirinya telah melaksanakan permintaan Lisa untuk mengurus perkara kliennya.

    Hal itu Jaksa ungkapkan saat membacakan surat dakwaan Zarof Ricar terkait kasus pemufakatan jahat dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (10/2/2025).

    Jaksa menyatakan, peristiwa itu ketika Lisa Rachmat melakukan pertemuan dengan Zarof usai mengetahui susunan majelis Hakim kasasi.

    Adapun majelis hakim kasasi yang dimaksud yakni Soesilo selaku Ketua Majelis dan Sutarjo serta Ainal Mardhiah selaku anggota majelis hakim.

    Dalam pertemuan itu Lisa menyampaikan pada Zarof bahwa salah satu Hakim yang menangani perkara Ronald di tingkat kasasi adalah Hakim Soesilo.

    “Dan terdakwa menyampaikan kepada Lisa Rachmat bahwa terdakwa (Zarof) mengenal hakim Susilo,” kata Jaksa di ruang sidang.

    Lisa kemudian meminta agar Zarof untuk mempengaruhi hakim kasasi agar memperkuat vonis bebas Ronald yang telah diputus di Pengadilan Negeri Surabaya.

    Untuk memuluskan niatnya, Lisa pun menyodorkan total Rp 6 miliar kepada Zarof yang dimana Rp 5 miliar diperuntukkan bagi tiga Hakim kasasi dan Rp 1 miliar sebagai jatah untuk eks Pejabat MA tersebut.

    Zarof yang menyetujui hal tersebut lantas menindaklanjutinya dengan melakukan pertemuan dengan Hakim Soesilo dalam acara pengukuhan guru besar di Universitas Negeri Makassar pada 27 September 2024.

    Pertemuan itu dilakukan untuk memastikan apakah Soesilo merupakan hakim yang menangani kasasi Ronald Tannur.

    Setelah dibenarkan oleh Hakim Soesilo, Zarof pun menyampaikan pada hakim agung itu bahwa ada permintaan untuk membantu menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur seperti yang dijatuhkan PN Surabaya.

    “Selanjutnya Susilo menanggapi dengan menyampaikan akan melihat perkaranya
    terlebih dahulu,” jelas Jaksa.

    Tak hanya itu bahkan kata Jaksa dalam pertemuan itu, Zarof diketahui juga melakukan swafoto dengan Hakim Soesilo.

    “Kemudian terdakwa mengirim foto tersebut melalui Whatsapp yang diterima oleh Lisa Rachmat dengan membalas pesan “siap pak terima kasih”,” ungkap Jaksa.

    Setelah itu pada 1 Oktober 2024, Lisa kembali menghubungi Zarof untuk memastikan tindaklanjut pertemuan dengan Hakim Soesilo tersebut.

    Adapun saat itu Lisa menjalin komunikasi dengan Zarof melalui pesan WhatsApp.

    “Dengan menyampaikan “selamat siang pak, tentang Pak Soesilo Note ya pak” yang diterima oleh terdakwa dengan membalas pesan “oke saya tinggal dtg ke Agung” dan dijawab kembali oleh Lisa Rachmat “Siap Pak terima kasih”,” beber Jaksa.

    Kemudian keesokan harinya yakni 2 Oktober 2024, Lisa kembali berkomunikasi dengan Zarof kali ini menindaklanjuti perihal penyerahan uang untun pengurusan kasasi.

    Saat itu Lisa menghubungi Zarof untuk mendatangkan ke kediaman Zarof di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

    “Lisa Rachmat menyampaikan pesan Whatsapp kepada terdakwa dengan kalimat “Selamat malam pak saya malam ini bisa mampir kah” kemudian terdakwa membalas pesan dengan kalimat “bisa”, selanjutnya Lisa Rachmat membalas dengan kalimat “siap otw pak”,” kata Jaksa.

    Dalam pertemuan itu Lisa pun menyerahkan uang dalam bentuk pecahan Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp 2,5 miliar untuk biaya pengurusan perkara kasasi Ronald Tannur.

    Tak berhenti disitu, setelah penyerahan uang pertama, Zarof aktif memberikan informasi kepada Lisa perihal kepengurusan perkara Ronald Tannur itu.

    Dalam komunikasinya dengan Lisa, Zarof menyampaikan bahwa dirinya telah melaksanakan tugasnya dengan menemui sejumlah pihak yang akan menangani kasasi Ronald.

    ““tugas sdh dilaksanakan, semua sdh saya datangi, terima kasih.” Kemudian Lisa Rachmat membalas “Siap mampir Jumat ya pak”,” ujar Jaksa membeberkan percakapan Zarof dan Lisa.

    Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2024 Lisa Rachmat menyerahkan uang dalam bentuk pecahan mata uang Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp2.500.000.000,00.

    Sehingga terdakwa telah menerima total keseluruhan uang untuk pemberian kepada hakim sebagai upaya mempengaruhi putusan Kasasi Gregorius Ronald Tannur dari Lisa Rachmat berupa pecahan mata uang Dollar Singapura dengan nilai sebesar Rp5.000.000.000,00 (Rp 5 miliar) yang terdakwa simpan di rumah terdakwa.

    “Bahwa pada tanggal 22 Oktober 2024 Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari Susilo (Ketua), Ainal Mardhiah (anggota I) dan Sutarjo (anggota II) menjatuhkan putusan Kasasi GREGORIUS RONALD TANNUR dimana terhadap putusan tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh hakim Susilo yang pada pokoknya menyatakan GREGORIUS RONALD TANNUR tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum,” pungkas Jaksa.

     

  • Skandal Gratifikasi Eks Pejabat MA, Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    Skandal Gratifikasi Eks Pejabat MA, Zarof Ricar Didakwa Terima Rp915 Miliar dan 51 Kg Emas

    PIKIRAN RAKYAT – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menerima gratifikasi senilai total Rp915 miliar dan 51 kilogram emas. Jaksa menjelaskan Zarof Ricar menerima uang ratusan miliar tersebut secara tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan mata uang asing (valas).

    Jumlah gratifikasi tersebut adalah jumlah total yang diterima Zarof Ricar dalam pengurusan perkara Gergorius Ronald Tannur di tingkat pengadilan pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Ronald Tannur adalah terdakwa kasus penghilangan nyawa, Dini Sera Afrianti.

    “Terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan permintaan para pihak berperkara,” kata jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin 10 Februari 2025.

    “Sehingga terdakwa menerima pemberian suap berupa uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing (valuta asing) yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915.000.000.000,00 (sembilan ratus lima belas miliar rupiah) dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram,” ucap jaksa melanjutkan.

    Adapun mata uang asing yang diterima Zarof Ricar di antaranya dolar Singapura, Amerika Serikat hingga dolar Hongkong. Jaksa menyebut Zarof tidak melaporkan penerimaan uang dan emas tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tenggang waktu 30 hari setelah penerimaan. Dia juga tidak pernah melaporkan kepemilikan uang ratusan miliar rupiah dan emas itu ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

    “Perbuatan terdakwa menerima uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp915 miliar dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 Kilogram haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas,” ujar jaksa.

    Selain Zarof Ricar, jaksa hari ini juga membacakan dakwaan untuk terdakwa Lisa Rachmat dan Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja. Susunan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah ketua majelis hakim Rosihan Juhriah Rangkuti, hakim Purwanto dan Sigit Herman Binaji duduk sebagai hakim anggota.

    “Sidang perdana. Senin 10 Februari 2025,” demikian dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, Senin 10 Februari.

    Kejagung Tetapkan Ibu Ronald Tannur Tersangka

    Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Widjaja (MW) sebagai tersangka kasus suap terkait vonis bebas anaknya dalam perkara penghilangan nyawa Dini Sera Afriyanti. Dia menjadi tersangka usai diperiksa penyidik di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur pada Senin, 4 November 2024.

    “Setelah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi terhadap MW, penyidik telah menemukan bukti yang cukup adanya tidak pidana korupsi yaitu suap atau gratifikasi yang dilakukan oleh MB sehingga penyidik meningkatkan status MB (ibu terpidana Ronald Tannur) dari status semula yaitu saksi menjadi tersangka,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar dalam keterangan pers, Senin, 4 November 2024

    Abdul Qohar mengatakan, tim penyidik Jampidsus telah melakukan pemeriksaan secara maraton terhadap Meirizka Widjaja (MW). Setelah pemeriksaan ditemukan kecukupan bukti bahwa ibu Ronnald Tannur tersebut terlibat kasus dugaan suap.

    “Tim penyidik Jampidsus telah melajukan pemeriksaan secara maraton terhadap saksi MW yaitu orang tua atau ibu Ronald Tannur di Kejati Jatim,” tuturnya.

    Abdul Qohar menyebut, Meirizka Widjaja telah mengenal Lisa Rahmat yang kemudian menjadi pengacara Ronald Tannur. Adapun Lisa Rahmat juga telah berstatus tersangka.

    “Tersangka MW Ibu Ronald Tannur awalnya menghubungi LR untuk minta yang bersangkutan menjadi penasehat hukum RT, kita ketahui ibunda RT berteman akrab dengan LR karena anak LR dan RT pernah satu sekolah,” ucap Abdul Qohar.

    Tangkap Hakim PN Surabaya

    Kejagung sebelumnya menangkap dan menetapkan tiga hakim PN Surabaya sebagai tersangka dugaan suap. Mereka adalah, Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Selain itu, pengacara Ronald Tannur, Lisa Rahmat juga turut menyandang status sebagai tersangka pemberi suap.

    Kejagung menetapkan tersangka lainnya yakni mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil MA Zarof Ricar. Dia berperan menjembatani Lisa untuk memberikan uang suap ke hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur.

    Zarof dan Lisa diduga bersekongkol akan menyuap hakim kasasi agar Ronald Tannur tetap divonis bebas sebagaimana putusangan PN Surabaya. Pengacara Ronald Tannur menyiapkan Rp5 miliar untuk hakim kasasi dan Rp1 miliar untuk Zarof.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Hari Ini, Sidang Perdana Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur

    Hari Ini, Sidang Perdana Mantan Pejabat MA Zarof Ricar Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur

    Jakarta, Beritasatu.com – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar dijadwalkan menjalani sidang perdana pada Senin (10/2/2025) terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus ini berhubungan dengan pemberian vonis bebas kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur pada 2024.

    Sidang perdana akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan pembacaan surat dakwaan pada pukul 09.00 WIB di ruang sidang Muhammad Hatta Ali.

    Sidang tersebut dipimpin oleh Hakim Ketua Rosihan Juhriah Rangkuti, dengan dua hakim anggota, Purwanto dan Sigit Herman Binaji. Selain Zarof Ricar, dalam sidang tersebut juga akan hadir ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, serta penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat.

    Berkas kasus Zarof Ricar dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (31/1/2025). Dalam kasus ini, Zarof diduga terlibat dalam pemufakatan jahat bersama Lisa Rachmat.

    Lisa dilaporkan meminta Zarof Ricar untuk mengupayakan agar hakim agung di MA tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam keputusan kasasi. Lisa menjanjikan uang sebesar Rp 5 miliar untuk tiga hakim agung yang berinisial S, A, dan S, sementara Zarof dijanjikan upah sebesar Rp 1 miliar atas jasanya. Namun, hingga kini, uang tersebut belum diberikan kepada ketiga hakim tersebut.

    Tim pemeriksa MA menemukan bukti bahwa Zarof Ricar pernah bertemu dengan Hakim Agung Soesilo (S) selaku ketua majelis yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur. Zarof dan Soesilo bertemu pada acara pengukuhan guru besar honoris causa di Universitas Negeri Makassar pada 27 September 2024. Dalam pertemuan tersebut, Zarof Ricar sempat menyinggung soal kasasi Ronald Tannur, tetapi Soesilo tidak memberikan respons.

  • Kubu Hasto Sebut Penyidik KPK Diduga Langgar Hukum dalam Kasus Sekjen PDIP – Halaman all

    Kubu Hasto Sebut Penyidik KPK Diduga Langgar Hukum dalam Kasus Sekjen PDIP – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penasehat Hukum Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis mengungkapkan bagaimana penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diduga melakukan pelanggaran hukum ketika menersangkakan kliennya.

    Todung mendasarkan pendapatnya itu pada fakta persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada Jumat (7/2/2025) kemarin, yang menghadirkan dua saksi, yakni Agustiani Tio Fridelina dan Kusnadi.

    Dia menjelaskan. dalam pemeriksaan terhadap Saksi Agustiani Tio dan Kusnadi terdapat tekanan agar para saksi menyebut nama Hasto Kristiyanto. 

    Bahkan Saksi Agustiani Tio mengatakan ia sempat diiming-imingi sejumlah uang sebelum pemeriksaan berjalan agar nama Hasto Kristiyanto disebut terlibat dalam perkara ini.

     “Dengan demikian, dari Jawaban KPK dan fakta persidangan hari ini semakin terang benderang terungkap sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam menersangkakan Hasto Kristiyanto,” kata Todung Mulya Lubis dalam keterangan resminya, Sabtu (8/2/2025).

    Todung juga menyebut, pihaknya juga berpendapat KPK melakukan tindakan ‘daur ulang’ bukti lama yang sudah tidak relevan, hingga membangun cerita berdasarkan imajinasi bukan berdasarkan bukti, serta melakukan tekanan-tekanan terhadap Saksi agar menyebut nama Hasto Kristiyanto.

    Kata Todung, sejumlah persoalan hukum ini sangat merusak tatanan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 

    “Dukungan dari semua pihak untuk upaya pemberantasan korupsi tidak boleh dirusak dan dinodai dengan praktik-praktik terlarang dan tidak beretika dalam penegakan hukum seperti yang terjadi saat ini. Dan, terutama jangan sampai penegakan hukum dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis,” terang Todung.

    Dia lantas mencontohkan sejumlah imajinasi dan daur ulang oleh pihak penyidik KPK.

    Pada halaman 12 sampai dengan 17 di Jawaban KPK, Penyidik menguraikan sejumlah tuduhan tentang peran dan keterlibatan Hasto. 

    KPK menyebutkan Hasto Kristiyanto memerintahkan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah di kantor DPP PDIP dan mengatakan ‘tolong kawal surat DPP PDI Perjuangan yang keluar berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI, amankan keputusan partai’.

    Hal ini jelas bukanlah perbuatan melawan hukum, justru posisi Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP memiliki tugas untuk memastikan surat DPP PDIP yang dibuat berdasarkan Putusan Mahkamah Agung agar ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku.

    Artinya, kata Todung, KPK seolah-olah memframing bahwa perintah ini adalah bagian dari rangkaian suap yang dilakukan untuk meloloskan Harun Masiku.

    “Padahal justru sesungguhnya Klien Kami sebagai petugas partai sedang memperjuangkan hak dan kewenangan partai yang dijamin oleh Putusan Mahkamah Agung dan bahkan ditegaskan oleh Fatwa MA,” ujar Todung.

    Selain itu, lanjut Todung, KPK membangun tuduhan berdasarkan imajinasi dan bukan berdasarkan bukti bahwa seolah-olah Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah melaporkan pada Hasto Kristiyanto terkait kesepakatan dengan Harun Masiku tentang dana operasional ke KPU, dan hal tersebut dipersilakan oleh Hasto. 

    KPK juga meneruskan cerita dengan menguraikan seolah-olah Hasto mempersilakan dan menyanggupi untuk menalangi dana operasional ke KPU, dan rangkaian cerita lainnya sebagaimana tertuang pada poin 6 di halaman 13-16.

    Cerita dan konstruksi perkara versi KPK tersebut telah diuji di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hasilnya telah dituangkan pada Putusan dengan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio dan Saeful Bahri. 

    “Menjadi pertanyaan, apa maksud KPK kembali menguraikan cerita lama yang sudah tidak terbukti di pengadilan dalam proses praperadilan ini? Bukti yang digunakan pun adalah bukti-bukti lama di bulan Januari 2020,” tandas Todung.

    Hingga berita ini diturunkan Tribunnews.com belum ada konfirmasi dari pihak KPK.

  • Hasto Ajukan Praperadilan, Pengacara: KPK Diduga Bangun Tuduhan Berdasarkan Imajinasi

    Hasto Ajukan Praperadilan, Pengacara: KPK Diduga Bangun Tuduhan Berdasarkan Imajinasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Penasehat hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis menduga adanya pelanggaran hukum oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penetapan tersangka kliennya.

    “Dugaan itu sesuai pada fakta persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (7/2), yang menghadirkan dua saksi, yakni mantan narapidana kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina dan staf Hasto, Kusnadi,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.

    Todung menjelaskan dalam pemeriksaan terhadap kedua saksi tersebut, terdapat tekanan agar para saksi menyebut nama Hasto. Bahkan, lanjut dia, Agustiani mengatakan sempat dijanjikan sejumlah uang sebelum pemeriksaan berjalan agar nama Hasto disebut terlibat dalam perkara ini.

    “Dengan demikian, jawaban KPK dan fakta persidangan kemarin semakin terang benderang terungkap sejumlah pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam menetapkan status tersangka Hasto,” kata Todung.

    Dirinya juga berpendapat adanya tindakan “daur ulang” bukti lama yang sudah tidak relevan dan membangun cerita berdasarkan imajinasi bukan berdasarkan bukti dalam kasus itu.

    Ia pun mencontohkan tindakan “daur ulang” yang dilakukan oleh pihak KPK, yakni meneruskan cerita dengan menguraikan seolah-olah Hasto mempersilakan dan menyanggupi untuk menalangi dana operasional ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan rangkaian cerita lainnya.

    Cerita dan konstruksi perkara versi KPK tersebut, diungkapkan ia, telah diuji di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hasilnya telah dituangkan pada putusan dengan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio, dan Saeful Bahri.