Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Eksepsi eks Pejabat MA Zarof Ricar Tidak Diterima, Sidang Pemufakatan Jahat Ronald Tannur Berlanjut – Halaman all

    Eksepsi eks Pejabat MA Zarof Ricar Tidak Diterima, Sidang Pemufakatan Jahat Ronald Tannur Berlanjut – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak menerima eksepsi atau nota keberatan eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum terkait kasus pemufakatan jahat kasasi terdakwa Ronald Tannur.

    Dalam pertimbangannya, Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti menyebut bahwa dalam menguraikan surat dakwaan, Jaksa dinilai telah melakukannya dengan cermat.

    Terutama perihal tindak pidana pemufakatan jahat yang dilakukan Zarof dengan pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat untuk menyuap Hakim Agung Soesilo guna mempengaruhi putusan kasasi di Mahkamah Agung.

    “Mengadili, satu, Menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa Zarof Ricar tidak dapat diterima,” ucap Hakim Rosihan saat bacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/2/2025).

    Atas dasar itu Hakim pun menilai bahwa surat dakwaan yang telah diuraikan oleh Jaksa dapat digunakan sebagai dasar untuk melanjutkan pemeriksaan dalam tahap persidangan.

    “Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan atas nama terdakwa Zarof Ricar berdasarkan surat dakwaan penuntut umum,” jelas Hakim.

    Adapun sebelumnya dalam sidang pembacaan eksepsi, Zarof Ricar meminta agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membebaskannya dari tahanan atas kasus pemufakatan suap perkara Gregorius Ronald Tannur di tingkat kasasi.

    Adapun hal itu diungkapkan Zarof melalui tim penasihat hukumnya ketika menyampaikan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/2/2025).

    “(Meminta agar majelis hakim) mengeluarkan terdakwa dari tahanan,” ucap tim penasihat hukum Zarof di ruang sidang.

    Selain itu Zarof juga meminta agar hakim tidak menerima surat dakwaan baik dakwaan kumulatif pertama alternatif kesatu dan atau kedua dan dakwaan kumulatif kedua yang dikeluarkan oleh Jaksa.

    “Atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan Jaksa penuntut umum tersebut batal demi hukum,” jelasnya.

    Penasihat hukum menjabarkan, bahwa dalam dakwaan kumulatif alternatif kesatu, Jaksa hendak menguraikan bahwa uang Rp 5 miliar ada sesuatu yang dijanjikan terhadap hakim kasasi.

    Namun dalam dakwaan tersebut, menurut penasihat hukum, penuntut umum tidak dapat menyebutkan jika uang itu akan dijanjikan untuk Hakim Soesilo yang kala itu bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim kasasi Ronald Tannur.

    “Sebagaimana hakim yang ditujukan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diadilinya,” kata tim hukum.

    Tak hanya itu dalam eksepsinya menurut tim hukum, dalam dakwaan kumulatif alternatif kesatu tersebut, Jaksa justru menjelaskan bahwa Zarof meyakinkan Lisa Rachmat soal kemungkinan menyampaikan ke Hakim Soesilo untuk mempengaruhi putusan kasasi.

    Akan tetapi dalam dakwaan tersebut tim hukum beranggapan, Jaksa juga tidak menjelaskan kapasitas dari Zarof sehingga bisa mempengaruhi Hakim Soesilo saat mengambil putusan kasasi terhadap Ronald.

    “Yang mana dalam uraian dakwaan dengan jelas diketahui jika terdakwa memang tidak memiliki kapasitas atau kemampuan tersebut, sehingga perbuatan yang dilakukan terdakwa bukanlah sebagaimana seperti yang dimaksud dalam dakwaan alternatif tersebut,” pungkasnya.

     

    Didakwa Janjikan Rp 5 Miliar untuk Hakim Kasasi

    Sebelumnya, Eks Pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar didakwa melakukan permufakatan jahat dengan menjanjikan uang Rp 5 miliar untuk diberikan kepada majelis hakim yang tangani kasasi perkara Gregorius Ronald Tannur.

    Dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jaksa Penuntut Umum (Jpu) menyebut bahwa Zarof bersama pengacara Ronald, Lisa Rachmat hendak memberikan uang tersebut kepada tiga majelis hakim kasasi yang akan menyidangkan kasus Ronald Tannur.

    Jaksa menyebutkan, bahwa uang Rp 5 miliar itu akan diberikan ke tiga hakim kasasi melalui Hakim Soesilo yang dalam sidang tersebut bertindak sebagai Ketua majelis hakim.

    “Yaitu dengan maksud untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi tersebut untuk menjatuhkan putusan Kasasi yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya,” ucap Jaksa di ruang sidang, Senin (10/2/2025).

    Adapun pemufakatan itu bermula ketika Lisa melakukan pengurusan perkara Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabaya.

    Untuk memuluskan niatnya, Lisa pun menghubungi Zarof agar dikenalkan dengan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya saat itu yakni Rudi Suparmono dan Zarof pun mengakomodir permintaan tersebut.

    Setelah itu Lisa pun menindaklanjutinya dengan melakukan pendekatan dengan majelis hakim PN Surabaya yang dikenalnya melalui Ketua PN Surabaya.

    Dalam pendekatannya itu Lisa Rachmat mempengaruhi Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo untuk memutus bebas Ronald Tannur dari kasus pembunuhan.

    Ketiga hakim itu pun kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024.

    Dalam putusan itu hakim menilai bahwa Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dari seluruh dakwaan Penuntut Umum.

    Menyikapi vonis itu, Penuntut umum saat itu pun lantas mengajukan upaya kasasi di Mahkamah Agung pada 6 September 2024.

    Adapun susunan majelis Hakim kasasi yang memeriksa perkara Ronald Tannur yakni Ketua Majelis Soesilo dan dua anggota majelis yaitu Sutarjo dan Ainal Mardhiah.

    Selanjutnya pada September 2024 Lisa mengetahui terkait susunan majelis kasasi tersebut.

    Setelah mengetahui hal itu, Lisa kembali menghubungi Zarof dan melakukan pertemuan di kediaman terdakwa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
    Dalam pertemuan tersebut, Lisa Rachmat menyampaikan kepada terdakwa
    bahwa salah satu Hakim yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur adalah Soesilo.

    Lisa pun meminta agar Zarof untuk mempengaruhi Sosilo agar memperkuat putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

    “Kemudian sebagai upaya untuk mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi sesuai keinginan Lisa Rachmat maka Lisa Rachmat akan memberikan uang sebesar Rp6.000.000.000,00 dengan pembagian Rp5.000.000.000,00 untuk Majelis Hakim Kasasi sedangkan Rp1.000.000.000,00 untuk terdakwa ZAROF RICAR dimana atas penyampaian tersebut maka terdakwa ZAROF RICAR menyetujui,” jelas Jaksa.

    Setelah mendapat tawaran itu Zarof pun menindaklanjutinya dengan melakukan pertemuan dengan Hakim Soesilo dalam sebuah acara pengukuhan guru besar di Universitas Negeri Makassar.

    Saat itu Zarof memastikan pada Soesilo bahwa dirinya benar merupakan majelis hakim yang tangani kasasi Ronald Tannur.

    Soesilo yang kemudian membenarkan hal itu lalu ditawarkan Zarof untuk membantu kasasi Ronald dengan memperkuat putusan PN Surabaya.

    “Selanjutnya Susilo menanggapi dengan menyampaikan akan melihat perkaranya
    terlebih dahulu,” ujarnya.

    Kemudian Lisa dan Zarof pun selanjutnya aktif berkomunikasi terkait kepengurusan perkara tersebut.

    Hingga akhirnya Lisa Rachmat menyerahkan uang total sebesar Rp 5 miliar secara bertahap kepada Zarof dan disimpan oleh eks Pejabat MA itu di rumahnya di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

    “Bahwa pada tanggal 22 Oktober 2024 Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari Susilo (Ketua), Ainal Mardhiah (anggota I) dan Sutarjo (anggota II) menjatuhkan putusan Kasasi GREGORIUS RONALD TANNUR dimana terhadap putusan tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh hakim Susilo yang pada pokoknya menyatakan GREGORIUS RONALD TANNUR tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum,” pungkasnya.

    Akibat perbuatannya itu Zarof pun diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a jo.Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • Eksepsi Tak Diterima, Persidangan Zarof Ricar Tetap Dilanjutkan

    Eksepsi Tak Diterima, Persidangan Zarof Ricar Tetap Dilanjutkan

    loading…

    Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan eksepsi kubu eks Pejabat MA Zarof Ricar tidak dapat diterima. Foto/Nur Khabibi

    JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan eksepsi kubu eks Pejabat MA Zarof Ricar tidak dapat diterima. Akan hal itu, persidangan dengan terdakwa Zarof Ricar tetap dilanjutkan ke tahap perbuktian.

    “Mengadili, satu, menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa Zarof Ricar tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/2/2025).

    “Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama Zarof Ricar berdasarkan surat dakwaan penuntut umum tersebut di atas,” ujarnya.

    Sekadar informasi, sidang dengan terdakwa Zarof Ricar akan dilanjutkan pada Senin (3/3/2025). Sidang tersebut dengan agenda pemeriksaan saksi.

    Sebelumnya, Zarof Ricar meminta agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membebaskannya dari tahanan atas kasus pemufakatan suap perkara Gregorius Ronald Tannur di tingkat kasasi.

    Hal itu sebagaimana disampaikan penasihat hukum Zarof saat menyampaikan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/2/2025).

    “(Meminta majelis hakim) mengeluarkan terdakwa dari tahanan,” ucap tim penasihat hukum Zarof di ruang sidang.

    (rca)

  • Tok! Korupsi Emas Antam, Hukuman Budi Said Diperberat Jadi 16 Tahun Penjara

    Tok! Korupsi Emas Antam, Hukuman Budi Said Diperberat Jadi 16 Tahun Penjara

    Jakarta, Beritasatu.com – Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Budi Said menjadi 16 tahun penjara lewat putusan banding. Pengusaha yang dijuluki crazy rich Surabaya itu dinyatakan terbukti melakukan korupsi jual beli logam mulia emas PT Antam Tbk.

    Hakim Ketua Herri Swantoro menyatakan hukuman Budi Said diperberat setelah pihaknya menerima permohonan banding yang diajukan jaksa penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa.

    “Mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekadar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan,” katanya dalam salinan putusan banding yang diterima di Jakarta, Jumat (21/2/2025).

    Majelis hakim menetapkan besaran denda yang dikenakan kepada Budi Said tetap sebesar Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. 

    Namun pada pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, hakim menambahkan hukuman Budi Said berupa pembayaran 1.136 kilogram emas Antam atau setara Rp 1,07 triliun, berdasarkan harga pokok produksi emas Antam per Desember 2023 atau setidak-tidaknya setara dengan nilai emas pada saat pelaksanaan eksekusi dengan memperhitungkan dana provisi yang dibukukan dalam laporan.

    Dengan demikian, hukuman itu menambah pidana uang pengganti yang awalnya hanya berupa 58,841 kg emas Antam atau setara dengan Rp 35,53 miliar kepada Budi Said.

    “Apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, tetapi apabila tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun,” kata hakim ketua dikutip dari Antara.

    Dalam menjatuhkan putusan banding, majelis hakim mempertimbangkan beberapa keadaan yang memberatkan, yakni perbuatan Budi Said tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

    Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Budi Said dengan pidana 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan, serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar 58,841 kg emas Antam atau Rp 35,53 miliar subsider delapan tahun penjara.

    Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara bersama-sama dan berlanjut sesuai dengan dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer.

    Budi Said dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Dalam kasus tersebut, Budi Said didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,07 triliun akibat perbuatan korupsi dan pencucian uang.

    Perbuatan korupsi dilakukan Budi Said dengan menerima selisih lebih emas Antam sebesar 58,13 kg atau senilai Rp 35,07 miliar yang tidak sesuai dengan faktur penjualan emas dan tidak ada pembayarannya kepada Antam.

    Selain itu, terdapat kewajiban kekurangan serah emas Antam dari Antam kepada Budi sebanyak 1.136 kg berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1666 K/Pdt/2022 tanggal 29 Juni 2022.

    Tak hanya melakukan korupsi, Budi Said juga terbukti melakukan TPPU dari hasil korupsinya, antara lain, dengan menyamarkan transaksi penjualan emas Antam hingga menempatkannya sebagai modal pada CV Bahari Sentosa Alam.

  • 10
                    
                        Hukuman "Crazy Rich" Surabaya Budi Said Diperberat, Bayar 1,136 Ton Emas Antam
                        Nasional

    10 Hukuman "Crazy Rich" Surabaya Budi Said Diperberat, Bayar 1,136 Ton Emas Antam Nasional

    Hukuman “Crazy Rich” Surabaya Budi Said Diperberat, Bayar 1,136 Ton Emas Antam
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman
    crazy rich
    Surabaya,
    Budi Said
    dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar 1.136 kilogram (kg) emas
    Antam
    atau setara dengan Rp 1.073.786.839.584 ( Rp 1 triliun).
    Budi Said merupakan terdakwa kasus korupsi manipulasi pembelian emas Antam yang dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan membayar 58,841 kilogram emas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
    Ketua Majelis Hakim PT DKI Jakarta, Herri Swantoro mengatakan, hukuman ini menjadi bagian dari pidana tambahan kepada Budi Said.
    “1.136 kg emas
    antam
    atau setara dengan nilai Rp 1.073.786.839.584 berdasarkan harga pokok produksi emas Antam per Desember 2023 atau setidak-tidaknya setara dengan nilai emas pada saat pelaksanaan eksekusi,” kata Hakim Herri dalam salinan putusan yang diterima
    Kompas.com
    , Jumat (21/2/2025).
    Hakim Herri mengatakan, pidana tambahan 1,136 ton emas ini memperhitungkan dana provisi yang dibukukan dalam Laporan Keuangan PT Antam per 30 Juni 2022 sebesar Rp 952.446.824.636 (Rp 952 miliar).
    Selain pidana tambahan, majelis hakim tingkat banding juga memperberat hukuman pidana badan Budi Said dari 15 tahun menjadi 16 tahun penjara.
    Budi dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang secara bersama-sama.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Budi Said oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” kata Hakim Herri.
    Dalam perkara ini, jaksa menduga Budi Said bersama Eksi dan sejumlah pegawai PT Antam memanipulasi transaksi jual beli 1.136 kilogram emas senilai Rp 505 juta per kilogram.
    Hal ini menimbulkan kerugian Rp 1.073.786.839.584 atau Rp 1 triliun.
    Kemudian, Budi Said juga melakukan pembelian emas yang tidak sesuai prosedur di BELM Surabaya 01 sebanyak 152,80 kilogram senilai Rp 92,2 miliar.
    Secara keseluruhan, dugaan kerugian negara yang timbul mencapai Rp 1.166.044.097.404.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hukuman “Crazy Rich” Surabaya Budi Said Diperberat Jadi 16 Tahun Penjara

    Hukuman “Crazy Rich” Surabaya Budi Said Diperberat Jadi 16 Tahun Penjara

    Hukuman “Crazy Rich” Surabaya Budi Said Diperberat Jadi 16 Tahun Penjara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat hukuman pengusaha “crazy rich Surabaya”,
    Budi Said
    dari 15 tahun menjadi 16 tahun penjara dalam kasus korupsi manipulasi pembelian
    emas Antam
    .
    Ketua Majelis Hakim tingkat banding, Herri Swantoro dalam putusannya menyatakan, menerima permohonan banding yang diajukan jaksa dan kuasa hukum Budi Said.
    Majelis hakim tinggi menyatakan, Budi tetap terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Budi Said oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” kata Hakim Herri dalam salinan putusan yang diterima
    Kompas.com
    , Jumat (21/2/2025).
    Budi Said juga dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan.
    Selain itu, Budi dihukum dengan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti berupa 58,841 kilogram emas Antam atau yang setara dengan Rp 35.526.893.372,99.
    Kemudian, Herri juga harus membayar 1.136 kilogram emas atau setara dengan Rp 1.073.786.839.584 (Rp 1 triliun) sesuai dengan harga pokok produksi emas Antam per Desember 2023.
    “Atau setidak-tidaknya setara dengan nilai emas pada saat pelaksanaan eksekusi dengan memperhitungkan dana provisi yang dibukukan dalam Laporan Keuangan PT Antam per 30 Juni 2022 sebesar Rp 952.446.824.636,” ujar Hakim Herri.
    Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menghukum Budi Said 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
    Kemudian, mengganti 58,841 kilogram emas Antam dan denda Rp 35.526.893.372,99 (Rp 35,5 miliar).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ibu Ronald Tannur Tuding Kuasa Hukum Dini Minta Uang Rp 800 Juta Syarat Temui Keluarga Korban – Halaman all

    Ibu Ronald Tannur Tuding Kuasa Hukum Dini Minta Uang Rp 800 Juta Syarat Temui Keluarga Korban – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ibu Gregorius Ronald Tannur, Meirizka Widjaja menuding bahwa kuasa hukum Dini Sera Afrianti Dimas Yemahura meminta uang hingga Rp 800 juta dalam kasus anaknya.

    Meirizka mengatakan, bahwa uang Rp 800 juta yang diminta oleh Dimas sebagai syarat supaya dirinya bisa menemui keluarga Dini Sera di Sukabumi, Jawa Barat.

    Adapun hal itu diungkapkan Meirizka saat hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus suap vonis bebas Ronald Tannur yang menyeret tiga Hakim Pengadilan Negeri Surabaya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/2/2025).

    Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo.

    Mulanya pengakuan tersebut ia sampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum yang menghadirkannya sebagai saksi di ruang sidang.

    Kepada Jaksa Meirizka menyebut, bahwa awalnya ia hendak memberikan uang santunan kepada keluarga Dini usai wanita muda itu menjadi korban pembunuhan Ronald Tannur.

    Ketika hendak memberikan santunan, Meirizka mengklaim bahwa Dimas justru meminta uang sejumlah Rp 800 juta yang dimana dirinya tidak sanggupi.

    “Enggak tahu kenapa, PH-nya mungkin minta Rp 800 juta. Kita bilang Rp 500 juta aja kita cuma mampu 500 karena kita juga harus membayar fee ke Bu Lisa kan belum lunas, masih banyak pengeluaran,” kata Meirizka di ruang sidang.

    Selain terhadap Jaksa, hal yang sama juga Meirizka ungkapkan ketika ditanya oleh terdakwa Erintuah Damanik.

    Kepada Erintuah, Meirizka menyebut bahwa penasihat hukum Dini yang meminta uang ratusan juta adalah Dimas.

    Dalam pernyataannya, uang Rp 800 juta itu kata Meirizka nantinya akan dibagi untuk dua pihak yakni Rp 500 juta untuk keluarga Dini dan Rp 300 juta untuk Dimas pribadi.

    “Alasannya apa dia minta Rp 300 juta itu?,” tanya Erintuah.

    “Kurang tahu saya,” jawab Meirizka.

    “Apakah kemudian saudara kabulkan Rp 800 juta itu?,” tanya Erintuah lagi.

    “Tidak, kita bilang 500,” ucap Meirizka.

    Lantaran tidak memenuhi permintaan itu, Meirizka pun menuding Dimas kemudian menghalanginya bertemu dengan keluarga Dini Sera.

    Kemudian terdakwa selanjutnya yakni Heru Hanindyo pun turut menanyakan hal serupa kepada Meirizka.

    Disana Heru mendalami soal permintaan uang tersebut.

    Kemudian Meirizka mengatakan, bahwa uang yang diminta oleh Dimas disampaikan melalui pengacara Ronald Tannur yakni Lisa Rachmat.

    “Dia meminta melalui Lisa,” kata Meirizka.

    “Apakah meminta suatu hal yang dengan bersyarat artinya boleh bertemu dengan keluarga tapi saya diberikan apa atau diberikan apa?” tanya Heru.

    “Iya itu, maksudnya saya mau ngasih santunan 800, 300 buat dia, 500 buat keluarga. Kalau saya tidak mengabulkan 800 saya kasih cuma 500 dia menghalangi, tidak boleh (bertemu keluarga Dini),” pungkasnya.

    3 Hakim PN Surabaya Didakwa Terima Suap Rp 1 M dan 308 Ribu Dolar Singapura

    Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang perdana tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dolar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dolar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Saya Punya Hak ya untuk Bicara

    Saya Punya Hak ya untuk Bicara

    PIKIRAN RAKYAT – Terdakwa dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong (TTL) alias Tom Lembong tegas menolak saat petugas Kejaksaan menyeretnya menjauhi kumpulan wartawan melarangnya wawancara door stop.

    Tampak kesal lantaran merasa dihalangi berbicara dengan media, Tom Lembong menegaskan dirinya punya hak untuk bertemu wartawan. Momen itu terekam kamera pers, Jumat, 14 Februari 2025.

    Tepatnya, ketika Tom Lembong bersama berkas perkara dan bukti-bukti terkait kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.

    Mulanya, usai proses pelimpahan perkara selesai, Tom Lembong yang sedang digiring keluar dari gedung Kejari Jakarta Pusat terlihat ingin memberikan pernyataan kepada wartawan yang telah menunggunya.

    Namun, petugas Kejaksaan yang berada di sampingnya tampak berusaha mengarahkannya langsung ke mobil tahanan.

    Petugas itu bahkan terus memegangi bahu Tom Lembong untuk memastikan dia berjalan terus menuju mobil tahanan.

    Mantan Menteri Perdagangan tersebut kemudian menyatakan protesnya. Dengan wajah yang kesal, Tom Lembong menegaskan bahwa ia tetap memiliki hak untuk berbicara atau memberikan pernyataan kepada media.

    “Saya punya hak ya untuk berbicara,” kata Tom Lembong, meskipun tangannya diborgol, dikutip Sabtu, 15 Februari 2025.

    “Betul Pak Tom,” ujar wartawan yang hadir, mendukungnya dan menyatakan bahwa Tom Lembong memang memiliki hak tersebut.

    Kemudian, saat Tom Lembong baru saja mengucapkan satu kalimat, petugas yang sama mencoba kembali memaksanya pergi dari lokasi.

    “Saya bukannya punya hak untuk bicara ya?” kata Tom Lembong dengan tegas kepada petugas tersebut.

    Untuk menjaga situasi tetap kondusif, petugas Kejaksaan lainnya mengingatkan agar Tom Lembong tidak berbicara terlalu lama dengan media. “Sebentar saja ya,” katanya.

    “Saya akan terus kooperatif dan berupaya untuk kondusif, tapi bagi saya ini prosesnya agak lama ya,” jawab Tom Lembong.

    Tom Lembong Ditarik-tarik ke Mobil Tahanan

    Tak sampai di sana, untuk ketiga kalinya, Tom Lembong kembali diinterupsi petugas Kejaksaan.

    Seorang petugas Kejaksaan berbaju batik biru dari belakang Tom Lembong mendekat dan berusaha memegangnya untuk meminta agar ia kembali melanjutkan langkah.

    “Makin lama, makin lama ya Pak kalau diinterupsi terus begini, maaf,” ujar Tom Lembong yang tampak berusaha sabar.

    “Jadi rasanya prosesnya agak lama ya, sprindik terbitnya Oktober 2023. Katanya penyidikan sudah berjalan 12 bulan,” kata Tom melanjutkan.

    Saat ia mengungkapkan tentang lamanya penyidikan, petugas Kejaksaan yang mengenakan batik coklat memberi kesempatan Tom untuk berbicara, tetapi kemudian langsung memotong.

    Petugas itu mengatakan bahwa pernyataan Tom Lembong sudah masuk dalam materi perkara.

    “Kalau sudah itu, sudah masuk pokok perkara Pak. Jadi nanti saja Pak,” ujar petugas kepada Tom Lembong.

    Namun, Tom Lembong menjawab bahwa pernyatannya belum masuk dalam pokok perkara.

    “Ini tidak pokok perkara, ini proses,” kata Tom Lembong dengan tegas.

    “Jadi ini saya sudah ditahan tiga bulan. Jadi, buat saya sih agak lama ya prosesnya. Terima kasih,” ujarnya lagi sambil berjalan menuju mobil tahanan.

    Update Perkara

    Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, mengungkapkan bahwa pada 14 Februari 2025, pihaknya menerima pelimpahan dua tersangka, Tom Lembong dan Charles Sitorus, beserta barang bukti terkait kasus dugaan korupsi impor gula.

    Kedua tersangka akan ditahan selama 20 hari, hingga 5 Maret 2025, dengan Tom Lembong ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan Charles Sitorus di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

    Mereka akan menunggu penyelesaian surat dakwaan dari jaksa penuntut umum untuk tahap selanjutnya.

    Kejaksaan Agung telah menetapkan 11 tersangka dalam kasus ini, termasuk Tom Lembong, Menteri Perdagangan periode 2015-2016, dan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI.

    Mereka diduga terlibat dalam tindakan melawan hukum terkait impor gula yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp578 miliar, berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Surat dakwaan yang tengah disiapkan akan diserahkan dalam tahap pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kasus Impor Gula Segera Disidangkan, Tom Lembong Beri Pernyataan Mengejutkan

    Kasus Impor Gula Segera Disidangkan, Tom Lembong Beri Pernyataan Mengejutkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kejaksaan Agung (Kejagung) melimpahkan barang bukti dan dua tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat (Jakpus), Jumat, 14 Februari 2025.

    Dua tersangka itu adalah mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong dan mantan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus (CS).

    “Terhadap Tersangka TTL dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan sampai dengan 5 Maret 2025 di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan Tersangka CS dilakukan penahananselama 20 hari ke depan di Rumah Tahanan Negara SalembaCabang Kejaksaan Agung,” kata Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar dalam keterangannya, Jumat, 14 Februari 2025.

    Harli mengungkapkan peran Tom Lembong dan Charles Sitorus dalam kasus ini. Adapun Tom Lembong, tanpa didasarkan Rapat Koordinasi antarKementerian dan tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian menerbitkan surat pengakuan Impor atau persetujuan Impor Gula Kristal Mentah (GKM) periode 2015 sampak 2016 kepada sembilan perusahan gula swasta.

    Kemudian, kata Harli, Tom Lembong memberikan pengakuan sebagai importir produsen atau persetujuan impor pada periode 2015-2016, untuk mengimpor gula kristal merah yang nantinya diolah menjadi Gula Kristal Putih (GKP).

    “Padahal mengetahui perusahaan tersebut seharusnya tidak berhak mengolah GKM menjadi GKP karena perusahaan tersebut merupakan perusahan gula rafinasi,” tutur Harli.

    Selanjutnya pada 2015 Tom Lembong memberikan surat pengakuan sebagai importir produsen gula kristal merah kepada perusahan gula swasta untuk diolah menjadi GKP dilakukan saat produksi GKP di dalam negeri mencukupi dan pemasukan atau realisasi impor GKP tersebut terjadi pada musim giling.

    Lalu, Tom Lembong memberi penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pengadaan GKP dengan cara bekerjasama dengan produsen gula rafinasi. Hal itu dilakukan karena sebelumnya Charles Sitorus bersama-sama para direktur sembilan perusahaan gula swasta telah menyepakati pengaturan harga jual gula dari produsen kepada PT PPI dan pengaturan harga jual dari PT PPI kepada distributor diatas Harga Patokan Petani (HPP).

    Dalam proses penyidikan kasus ini, Kejagung kemudian menetapkan tersangka lainnya sebanyak sembilan orang. Perbuatan para tersangka telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar. Angka tersebut diperoleh berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan negara BPKP RI.

    “Bahwa dengan adanya importasi gula yang dilakukansecara melawan hukum pada Kemnterian Perdagangan RI tahun 2015 s.d 2016 tersebut telah memperkaya/menguntungkan pihak lain dan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp578 miliar,” ujar Harli.

    Tom Lembong Siap Jalani Persidangan

    Dengan pelimpahan barang bukti dan tersangka ini maka Tom Lembong dan Charles Sitorus akan segera diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Saat ditemui di kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Tom Lembong menyatakan siap menjalani persidangan.

    “Pelimpahan berkas ke jaksa penuntut. Harus selalu siap,” kata Tom Lembong.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Profil Teguh Harianto, Hakim yang Berani Vonis Harvey Moeis 20 Tahun Penjara

    Profil Teguh Harianto, Hakim yang Berani Vonis Harvey Moeis 20 Tahun Penjara

    loading…

    Hakim Teguh Harianto tengah menjadi perhatian usai memperberat vonis Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Foto/SindoNews

    JAKARTA – Hakim Teguh Harianto tengah menjadi perhatian usai memperberat vonis Harvey Moeis yang terjerat kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Adapun hal yang memberatkan suami Sandra Dewi itu karena dinilai tak mendukung upaya pemberantasan korupsi dan menyakiti hati rakyat Indonesia.

    Diketahui, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengubah vonis Harvey Moeis menjadi 20 tahun. Putusan disampaikan langsung oleh Hakim Ketua Teguh Harianto, Kamis, 13 Februari 2025.

    “Perbuatan terdakwa sangatlah menyakiti hati rakyat, di saat ekonomi susah terdakwa melakukan tindak pidana korupsi,” ucap Teguh, dikutip Jumat (14/2/2025).

    Profil Hakim Teguh HariantoTeguh Harianto merupakan salah seorang Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Berdasarkan informasi dari situs resmi PT DKI Jakarta, dia sudah bertugas sejak 2022.

    Teguh memiliki pangkat Pembina Utama (IV/e) dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 195901111986121001. Dia diketahui menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S-2 dan memiliki gelar lengkap Teguh Harianto, S.H., M.Hum.

    Melihat rekam jejaknya, Teguh dikenal sebagai hakim yang berani memberikan hukuman berat bagi koruptor. Teguh sangat tegas dalam menangani berbagai kasus korupsi yang merugikan negara.

    Sebelum bertugas di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Teguh pernah menjadi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu, Teguh sempat juga menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Palembang.

    Bicara kekayaan, data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK mengungkap kekayaan Teguh Harianto mencapai Rp1,021 miliar. Hartanya itu terdiri dari beberapa komponen berbeda. Berikut di antaranya:

    A. Tanah dan Bangunan Rp800.000.000

  • Kejari Madiun Perpanjang Penahanan Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Tol

    Kejari Madiun Perpanjang Penahanan Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Tol

    Madiun (beritajatim.com) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Madiun memperpanjang masa penahanan mantan Camat Sawahan Mashudi, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk proyek tol ruas Madiun-Kertosono.

    Mashudi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi dalam proyek pembebasan tanah tol di Desa Cabean, Kecamatan Sawahan, pada periode 2016-2017. Perpanjangan masa penahanan dilakukan mulai 11 Februari 2025 hingga 22 Maret 2025 atas dasar permohonan penyidik.

    “Perpanjangan penahanan atas dasar permohonan dari penyidik, selaku penuntut umum yang diajukan ke Kajari,” ujar Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kabupaten Madiun, Inal Sainal Saiful, Kamis (13/2/2025).

    Inal menjelaskan, ada beberapa berkas yang masih perlu dilengkapi agar kasus ini bisa segera masuk tahap dua dan dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. “Kami berkomitmen secepatnya melengkapi berkas agar unsur formil dan materil terpenuhi, sehingga kasus tersebut dapat segera disidang,” lanjutnya.

    Mashudi diduga terlibat dalam proses pelepasan hak dan tukar-menukar Tanah Kas Desa (TKD) di Desa Cabean yang terkena proyek pembangunan jalan tol ruas Mantingan-Kertosono tahun 2016-2017. Dalam perkara ini, kapasitas Mashudi adalah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS).

    Kajari Kabupaten Madiun, Oktario Hartawan Achmad, mengungkapkan bahwa Mashudi menerbitkan Akta Jual Beli atas tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) tanpa melalui sidang akad yang seharusnya dihadiri oleh pihak penjual dan pembeli.

    “Saat itu menerbitkan Akta Jual Beli terhadap objek tanah dengan SHM tidak melalui sidang akad, yang seharusnya dihadiri para pihak penjual dan pembeli tanah, di mana atas objek tanah tersebut telah dilakukan pembayaran kurang lebih sebesar Rp320.433.000,” jelas Oktario.

    Selain itu, transaksi jual beli tersebut hanya dihadiri oleh Wahyudi, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Desa Cabean. “Kemudian tanpa adanya kuasa, akan tetapi akad jual beli hanya dihadiri oleh Wahyudi selaku Sekdes pada saat itu, tidak ada jual beli yang nyata yang bersifat terang dan tunai,” tambah Oktario.

    Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp217 juta. Oktario menegaskan bahwa Mashudi menganggap tindakan yang dilakukannya sudah benar dan sesuai prosedur.

    Mashudi dijerat dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di antaranya:

    Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

    Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

    Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

    Dengan perpanjangan penahanan ini, Kejari Kabupaten Madiun berupaya menyelesaikan berkas perkara agar segera dilimpahkan ke pengadilan untuk proses hukum lebih lanjut. [fiq/beq]