Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Hakim Singgung Sumber Uang Suap Harun Masiku dari Djoko Tjandra

    Hakim Singgung Sumber Uang Suap Harun Masiku dari Djoko Tjandra

    GELORA.CO – Majelis Hakim yang mengadili perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekjen DPP PDIP menyinggung soal sumber uang suap yang berasal dari pengusaha Djoko Soegiarto Tjandra.

    Awalnya, Hakim Anggota 2, Sigit Herman Binaji mendalami keterangan saksi Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner KPU yang mendengar percakapan antara dua kader PDIP, yakni Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri.

    “Tadi saya mendengar saudara menerangkan pernah mendengar percakapan antara Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri dari PDIP, bahwa uang-uang yang saudara terima itu bersumber dari terdakwa Hasto Kristiyanto, itu di mana dan kapan?” tanya Hakim Anggota 2, Sigit Herman Binaji kepada saksi Wahyu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025.

    Wahyu kembali menjelaskan bahwa dirinya mendengar percakapan Donny dan Saeful ketika di ruang merokok di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan ketika ditangkap pada Januari 2020 lalu.

    “Bukan uang-uang pak, jadi pada waktu itu dialognya uang operasional yang tahap pertama,” kata Wahyu.

    Selanjutnya, Hakim Sigit menyinggung soal adanya pemberitaan terkait pemeriksaan yang dilakukan tim penyidik KPK kepada Djoko Tjandra.

    “Ini sedikit menyimpang, tapi ada kaitannya ya. Saya baca di media, mungkin sudah nggak asing lagi bahwa Djoko S Tjandra pengusaha itu diperiksa. Bahwa di katanya di media ini, bahwa dia juga salah satu ditanya apakah uang Harun Masiku itu dari Djoko S Tjandra, saudara tahu nggak berita itu?” tanya Hakim Sigit.

    Wahyu menjawab bahwa dirinya juga membaca terkait pemberitaan tersebut. Hakim selanjutnya meminta pendapat Wahyu mengenai hal dimaksud.

    “Saudara sebagai seorang politik, yang saudara pahami seperti itu apa dimungkinkan, seorang pengusaha kemudian membayari gitu lah, mungkin nggak?” tanyanya lagi.

    “Saya tidak bisa memberikan penjelasan tentang itu Yang Mulia, karena KPU justru syaratnya adalah bukan anggota partai politik Yang Mulia. Jadi kami bertujuh bukan politisi,” jawab Wahyu menutup.

  • Wahyu Setiawan Ternyata Pernah Minta Rp50 Juta Ganti Biaya Ngopi

    Wahyu Setiawan Ternyata Pernah Minta Rp50 Juta Ganti Biaya Ngopi

    GELORA.CO – Mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan mengaku pernah meminta uang Rp50 juta ke kader PDIP untuk mengganti uang nongkrong dan ngopi bersama dua kader PDIP lainnya saat membahas soal pergantian caleg terpilih PDIP Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hal itu terungkap dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto dengan saksi Wahyu Setiawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025.

    Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dwi Novantoro mendalami saksi Wahyu terkait adanya komunikasi dengan Agustiani Tio Fridelina yang merupakan kader PDIP yang juga mantan anggota Bawaslu.

    “Saudara saksi pernah menghubungi Agustiani Tio Fridelina untuk meminta transfer uang, pernah meminta uang?” tanya Jaksa Dwi.

    Wahyu pun mengakui bahwa dirinya pernah meminta ditransfer uang kepada Tio.

    “Pada waktu itu minta 50 pak, iya (Rp50 juta)” kata Wahyu.

    Jaksa Dwi selanjutnya mendalami alasan tujuan Wahyu meminta uang Rp50 juta kepada Tio.

    “Pada waktu itu ada kebutuhan, saya mengeluarkan uang pribadi sekitar Rp50 juta. Ya beberapa kali ngopi, nongkrong. Saya pernah ngopi dengan Pak Donny, Saeful,” jawab Wahyu.

    Sebelumnya, Wahyu Setiawan juga menyebut bahwa dirinya didekati oleh anak buah terdakwa Hasto, yakni Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah untuk membantu pengurusan pergantian caleg terpilih dari PDIP Dapil Sumsel 1 dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hal itu terungkap ketika Jaksa Moch Takdir Suhan membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Wahyu nomor 13 poin c. Di sana, Wahyu menyatakan bahwa anak buah dari Hasto di antaranya Donny, Agustiani Tio, Saeful Bahri mendekatinya untuk membantu PDIP agar membuat Harun Masiku terpilih menjadi anggota DPR periode 2019-2024 menggantikan Riezky Aprilia.

    “Ketiganya menyampaikan bahwa terdapat dana operasional yang tidak terbatas. Ini saya bacakan dari BAP. Demikian saudara saksi sampaikan pada saat penyidikan. Kami butuh penegasan lagi makna dana operasional tidak terbatas ini maksudnya apa yang saksi pahami?” tanya Jaksa Takdir.

    Wahyu pun mengaku bahwa dirinya memahami bahwa terdapat anggaran operasional yang besar dalam pengurusan pergantian caleg terpilih dimaksud.

    “Saya memahaminya ada anggaran operasional yang besar. Itu tafsir saya saja. Tapi yang menyampaikan ada dana operasional tak terbatas kan bukan saya, sehingga saya tidak mengetahui konteks persisnya apa. Tapi kalau Penuntut Umum menanyakan tafsir saya ya saya menafsirkan berarti ada uang besar,” pungkas Wahyu.

    Dalam sidang ini, tim JPU KPK juga menghadirkan 1 orang saksi lainnya, yakni mantan Ketua KPU Arief Budiman. Sedangkan 1 orang saksi lainnya tidak hadir, yakni Agustiani Tio Fridelina.

  • Wahyu Setiawan Pernah Menguping Obrolan Donny dan Saeful Bahri, Ungkap Sumber Uang Suap Harun Masiku – Halaman all

    Wahyu Setiawan Pernah Menguping Obrolan Donny dan Saeful Bahri, Ungkap Sumber Uang Suap Harun Masiku – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengaku pernah mendengar soal sumber uang suap pergantian antar waktu (PAW) calon anggota DPR RI Harun Masiku berasal dari Hasto Kristiyanto.

    Wahyu mengatakan informasi itu ia peroleh setelah mendengar obrolan dari kader PDIP sekaligus mantan terpidana kasus Harun Masiku, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri.

    Adapun pernyataan itu Wahyu sampaikan saat hadir sebagai saksi sidang kasus suap dan perintangan penyidikan pergantian antar waktu (PAW) calon anggota DPR RI, Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/4/2025).

    Pengakuan Wahyu itu bermula saat dirinya dicecar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai pengetahuannya soal sumber uang suap kasus Harun Masiku.

    “Saudara saksi mengenai sumber uang, apakah saudara juga pernah mendengar orang menyatakan bahwa duit itu bersumber dari Pak Hasto?” tanya Jaksa.

    “Pernah,” kata Wahyu.

    “Siapa yang menyampaikan pada saudara?” tanya Jaksa.

    “Antara Donny dan Saeful,” jawab Wahyu.

    Setelah itu Wahyu pun bercerita awal mula ia mendengar informasi tersebut.

    Wahyu menjelaskan, informasi itu ia dapatkan saat mendengar obrolan Donny dan Saeful di Gedung KPK usai ditangkap dalam kasus Harun Masiku.

    Di sela-sela proses pemeriksaan Wahyu menyebut dirinya sempat beristirahat sambil merokok sementara Donny dan Saeful mengobrol.

    “Pada waktu itu saya diamankan di KPK itu saya merokok, jadi pada waktu itu saya merokok, mereka ngobrol,” ucap Wahyu.

    “Intinya dia menyampaikan bahwa tahap pertama itu, Ini kata obrolan mereka (Donny dan Saeful) itu dari Pak Hasto (soal sumber uang). Itu saya dalam posisi diam dan saya tidak tahu itu, tapi saya mendengar obrolan itu,” kata Wahyu.

    “Yang tahap pertama itu?” tanya Jaksa.

    “Kalau pemahaman saya yang itu dari Pak Hasto,” jawab Wahyu.

    Wahyu pun kembali menegaskan bahwa informasi tersebut dirinya dapatkan dari hasil obrolan Donny dan Saeful serta bukan berasal dari penyampaiannya.

    “Bukan saya yang menyampaikan, jadi saya mendengar mereka ngobrol itu kemudian akhir-akhir ini saya membaca media bahwa Pak Saeful pernah menyampaikan itu,” ucap Wahyu.

    Seperti diketahui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum’at (14/3/2025).

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaannya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dolar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    “Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.

    Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

    Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

    Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

    Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

    “Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.

    Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

    Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

    Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

    “Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.

    Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

    Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

    Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

    Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

  • Johan Budi Disebut di Persidangan oleh Wahyu Setiawan, Ini Penjelasannya

    Johan Budi Disebut di Persidangan oleh Wahyu Setiawan, Ini Penjelasannya

    PIKIRAN RAKYAT – Nama mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) sekaligus eks Juru Bicara KPK, Johan Budi, muncul di persidangan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Nama Johan Budi disebut dalam kesaksian eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.

    Adapun Wahyu Setiawan dihadirkan oleh jaksa di persidangan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Wahyu Setiawan, yang pernah divonis dalam kasus suap serupa, hadir sebagai saksi.

    Di hadapan majelis hakim dan tim jaksa dari KPK, Wahyu mengisahkan banyak pihak yang ia sebut sebagai makelar dalam upaya meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019–2024. Dari pengakuan itulah, nama Johan Budi mengemuka.

    Semua berawal ketika jaksa KPK membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) nomor 15 milik Wahyu yang pernah menyampaikan pesan kepada Ketua KPU saat itu, Arief Budiman. Pesan tersebut adalah permintaan agar Arief, yang akan melakukan kunjungan kerja bersama Johan Budi menyampaikan kepada Johan bahwa permintaan PDIP untuk mengondisikan agar Harun Masiku bisa lolos ke Senayan tidak bisa dikabulkan. Wahyu mengaku kasihan terhadap Harun lantaran banyak makelar yang datang menemuinya.

    “Saudara jelaskan terkait upaya saudara membuat Harun Masiku terpilih menjadi Anggota DPR 2019-2024. Ini jawaban saudara ya; ‘Pada kesempatan lain saya menyampaikan ke saudara Arief Budiman (Ketua KPU saat itu) apabila bisa berkomunikasi dengan saudara Harun Masiku, sampaikan bahwa permintaan PDIP terkait hal tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena kasihan Harun Masiku karena banyak makelar’. Maksudnya gimana banyak makelar?” tanya jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, 17 April 2025.

    Banyak Makelar, Apa Maksudnya?

    Jaksa meminta Wahyu untuk menjelaskan lebih dalam apa yang dimaksud dengan makelar. Wahyu menjelaskan bahwa istilah itu ia gunakan untuk menggambarkan banyaknya pihak yang mendatanginya, seolah bisa memengaruhi proses PAW Harun Masiku, padahal secara aturan tidak mungkin dilakukan.

    “Itu bahasa saya yang bisa ditafsirkan. Karena banyak pihak yang menemui saya, sementara sebenarnya tidak bisa, kan kasihan,” tutur Wahyu.

    Mengapa Harun Masiku Tak Dihubungi Langsung?

    Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah mengapa Wahyu tidak menyampaikan langsung kepada Harun Masiku? Ternyata, menurut pengakuannya, ia sama sekali tidak pernah bertemu ataupun memiliki kontak Harun. Karena itu, ia menyampaikan pesannya lewat Arief Budiman, yang dalam pikirannya bisa menyampaikan kepada Johan Budi sebagai representasi PDIP.

    “Saya belum pernah ketemu Harun Masiku, dan saya memang tidak punya kontak dan komunikasi, saya sampaikan kepada ketua ‘mas minta tolong sampaikan ke Pak Johan’ kenapa Pak Johan? Karena PDIP,“ ucap Wahyu.

    Dakwaan Hasto

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Hasto Kristiyanto menyuap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta. Suap diberikan dengan tujuan memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku.

    Jaksa dalam surat dakwaannya menyebut, Hastomenyuap Wahyu bersama-sama advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku pada Juni 2019 hingga Januari 2020.

    “Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku,” kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat, 14 Maret 2025.

    Jaksa juga mendakwa Hasto merintangi penyidikan kasus Harun Masiku. Jaksa menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku merendam ponsel ke dalam air setelah mendapat kabar Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan terkena operasi tangkap tangan (OTT) pada 8 Januari 2020.

    “Sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku,” kata jaksa.

    “Terdakwa mendapatkan informasi bahwa Wahyu Setiawan telah diamankan oleh Petugas KPK, kemudian Terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masikuagar merendam telepon genggam miliknya kedalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu (standby) di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh petugas KPK,” ucap jaksa melanjutkan.

    Kemudian bertempat di sekitar salah satu hotel di Jakarta Pusat, Harun Masiku bertemu Nurhasan. Menindaklanjuti perintah Hasto atas bantuan Nurhasan, telepon genggam milik Harun Masiku tidak aktif dan tidak terlacak.

    Perbuatan merintangi penyidikan lainnya yakni, Hasto sempat dipanggil KPK sebagai saksi dalam perkara Harun Masiku pada 10 Juni 2024. Atas pemanggilan tersebut, pada 6 Juni 2024, Hasto memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya sebagai antisipasi upaya paksa oleh Penyidik KPK. Kusnadi pun menuruti perintah Hasto.

    “Bahwa pada tanggal 10 Juni 2024 Terdakwa bersama dengan Kusnadi menghadiri panggilan sebagai saksi di KPK. Sebelum Terdakwa diperiksa sebagai saksi, Terdakwa menitipkan telepon genggamnya kepada Kusnadi, namun pada saat penyidik KPK menanyakan telepon genggam milik Terdakwa, Terdakwa menjawab tidak memiliki telepon genggam,” ucap jaksa.

    Berdasarkan informasi yang diperoleh penyidik KPK, kata Jaksa, diketahui telepon genggam milik Hasto dititipkan kepada Kusnadi sehingga penyidik menyita ponsel Hasto dan Kusnadi. Akan tetapi, penyidik tidak menemukan telepon genggam milik Kusnadi yang berisi informasi terkait Harun Masiku.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Satgas PDI-P Amankan Penyusup di Sidang Hasto, Mengaku Dibayar Rp 50.000
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 April 2025

    Satgas PDI-P Amankan Penyusup di Sidang Hasto, Mengaku Dibayar Rp 50.000 Nasional 17 April 2025

    Satgas PDI-P Amankan Penyusup di Sidang Hasto, Mengaku Dibayar Rp 50.000
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Satgas Cakra Buana
    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
    PDI-P
    ) mengamankan sejumlah orang yang diduga sebagai penyusup dalam persidangan Sekretaris Jenderal PDI-P
    Hasto Kristiyanto
    di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (17/4/2025).
    Pengamanan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya keributan dan kegaduhan selama jalannya persidangan. Padahal, sekitar pukul 09.45 WIB, ruang sidang ditutup oleh petugas pengamanan lantaran telah penuh.
    Sejumlah pendukung Hasto yang masih mencoba masuk juga tidak diperkenankan masuk karena keterbatasan kapasitas.
    Tak lama berselang, salah satu anggota Satgas Cakra Buana mendapati sejumlah orang yang diduga penyusup berada di dalam ruang sidang.
    Mereka berbaur dengan massa pendukung Hasto dan diduga berniat memicu kericuhan.
    Satgas Cakra Buana bersama politisi PDI-P Guntur Romli kemudian menyisir area sekitar ruang sidang dan menemukan dua orang yang diduga penyusup berada di dalam toilet.
    Keduanya diinterogasi dan diminta menjelaskan maksud kehadiran mereka, terlebih karena mengenakan kaus merah bertuliskan “Dukung KPK, Tangkap Hasto”.
    Penyisiran berlanjut, dan ditemukan sekitar empat orang lainnya yang mengenakan kaus serupa dan diduga sebagai bagian dari kelompok penyusup.
    Tak hanya di luar, Satgas juga menyisir bagian dalam ruang sidang dan menemukan tiga orang lain yang diduga hendak membuat kegaduhan.
    Ketiganya langsung diamankan dan dibawa keluar ruang sidang.
    Suasana sempat memanas, namun kembali kondusif setelah mereka dikeluarkan.
    Satgas PDI-P kemudian menyerahkan para terduga penyusup tersebut kepada pihak kepolisian.
    Salah satu di antaranya mengaku hanya disuruh dan dibayar sebesar Rp 50.000.
    Juru Bicara PDI-P Guntur Romli mengatakan, persidangan Hasto bersifat terbuka untuk umum.
    Namun, ia menyayangkan adanya pihak-pihak yang datang dengan niat memprovokasi.
    “Yang mau datang nonton silakan, tapi yang kami temukan adalah penyusup dari pihak lawan. Mereka mengenakan kaus provokatif, tapi ditutupi dengan kemeja agar tidak mencolok—mereka benar-benar berniat menyusup,” kata Guntur.
    “Menurut kami, itu tindakan yang tidak benar karena bisa memancing provokasi. Di dalam banyak massa PDI-P dan Satgas. Kalau dibiarkan, bisa timbul keributan,” ucapnya.
    Guntur menegaskan bahwa langkah penyisiran dan pengamanan dilakukan dengan koordinasi bersama Pamdal dan pihak kepolisian yang bertugas.
    “Silakan datang, ini sidang terbuka. Tapi tolong jangan gunakan cara-cara provokatif, cara yang bisa mengadu domba dan memancing keributan,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ganjar Pranowo Pakai Baju Hitam Hadiri Sidang Kasus Sekjen PDIP di Pengadilan: Semangat Mas Hasto – Halaman all

    Ganjar Pranowo Pakai Baju Hitam Hadiri Sidang Kasus Sekjen PDIP di Pengadilan: Semangat Mas Hasto – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hadir langsung menyaksikan sidang lanjutan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

    Sidang beragendakan pembuktian jaksa KPK itu digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (17/4/2025).

    Ganjar hadir mengenakan kemeja hitam. 

    Dia duduk pada bangku pengunjung yang berada di baris paling depan.

    Ganjar menegaskan dukungannya kepada Sekjen PDI Perjuangan itu.

    “(Mendukung Hasto) iya tentu,” ucap Ganjar.

    Dia menyampaikan agar Hasto tetap semangat untuk menghadapi persoalan yang dihadapinya.

    “Semangat Mas Hasto. Bisa menghadapi tantangan,” ucapnya sambil mengangkat tangan kanan yang terkepal.

    Tak hanya Ganjar Pranowo, beberapa kawan sesama kader PDI Perjuangan juga tampak hadir.

    Mereka diantaranya Deddy Sitorus, Guntur Romli, dan Ono Surono.

    Istri Hasto, Maria Stefani Ekowati, turut hadir mendampingi sang suami menjalani sidang lanjutan.

    Maria tampak duduk disamping Hasto sebelum persidangan dimulai.

    Agenda Sidang

    Sidang hari ini beragenda pembuktian dari jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Pantauan Tribunnews.com sekira pukul 08.50 WIB, menjelang sidang lanjutan untuk perkara nomor 36/Pid Sus.TPK/2025/PN Jkt.Pst itu, puluhan pasukan Satgas Cakra Buana telah hadir di Pengadilan Tipikor.

    Mereka tampak mengenakan seragam warna hitam berlogo Satgas Cakra Buana dan baret warna merah.

    Beberapa diantara personel Satgas Cakra Buana ada juga yang mengenakan kaus yang di punggungnya bertuliskan “#BebaskanHasto”.

    Di sisi lain, pihak kepolisian tampak memperketat pengamanan jelang sidang tersebut.

    Lebih dari sepuluh barrier berukuran besar dipasang di jalan raya yang berada di depan Gedung Pengadilan Tipikor.

    Masing-masing barrier tersebut berukuran sekira 2×2 meter dan dipasang sekitar 50 meter panjangnya.

    Ratusan personel kepolisian juga tampak menggelar apel di halaman Pengadilan Tipikor.

    Usai menggelar apel, kepolisian menambah piranti pengamanan, dengan memasang pagar besi di sisi depan Gedung Pengadilan Tipikor.

    Selain itu, pada pukul 09.08 WIB, pihak kepolisian menutup ruas Jalan Bungur Besar Raya yang mengarah ke Gunung Sahari menggunakan pagar besi.

    Pagar besi tersebut dipasang melintang agar tidak ada kendaraan yang melintas.

    Sedangkan, polisi masih membuka arus lalu lintas di Jalan Bungur Besar Raya yang mengarah ke Stasiun Pasar Senen. Situasi padat merayap kendaraan terjadi di ruas jalan tersebut.

    Kasus Hasto

    Seperti diketahui   Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum’at (14/3/2025).

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    “Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.

    Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

    Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

    Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

    Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

    “Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.

    Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

    Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

    Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

    “Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.

    Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

    Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

    Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

    Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

     

  • Eks Ketua KPU Arief Budiman Bakal Hadir Sebagai Saksi Sidang Hasto Kristiyanto Hari Ini – Halaman all

    Eks Ketua KPU Arief Budiman Bakal Hadir Sebagai Saksi Sidang Hasto Kristiyanto Hari Ini – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman bakal hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap dan perintangan penyidikan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (17/4/2025).

    Arief dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi untuk terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

    Jaksa KPK, M Takdir Suhan mengatakan selain Arief, pihaknya juga menghadirkan mantan komisioner KPU yang juga terpidana dalam kasus ini yaitu Wahyu Setiawan serta eks Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina.

    “(Saksi yang hadir) Arief Budiman mantan Ketua KPU, Agustiani Tio Fridelina dan Wahyu Setiawan,” kata Takdir saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (17/4/2025).

    Takdir menjelaskan ketiga saksi itu telah menyatakan diri bakal hadir dalam sidang tersebut.

    “Sudah konfirmasi hadir mereka,” katanya.

    Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum’at (14/3/2025).

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    “Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.

    Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.

    Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.

    Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.

    Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.

    “Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.

    Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.

    Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.

    Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.

    “Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.

    Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.

    Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.

    Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.

    Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

     

     

  • KPK Hadirkan Tiga Saksi di Sidang Hasto, Ada Mantan Ketua KPU

    KPK Hadirkan Tiga Saksi di Sidang Hasto, Ada Mantan Ketua KPU

    GELORA.CO – Tiga saksi akan dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    Hal itu disampaikan Anggota Tim JPU KPK, Moch Takdir Suhan kepada RMOL pada Kamis pagi, 17 April 2025. 

    “Arief Budiman (mantan Ketua KPU), Agustiani Tio Fridelina, Wahyu Setiawan,” beber Takdir.

    Ketiganya sudah konfirmasi bakal hadir di sidang yang akan digelar sekitar pukul 09.00 WIB di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Dalam surat dakwaan, Hasto didakwa melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020.

    Perintangan penyidikan itu dilakukan Hasto dengan cara memerintahkan Harun Masiku melalui Nurhasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan KPK kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022.

    Selain itu, Hasto juga memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK pada saat pemeriksaan sebagai saksi pada 10 Juni 2024. Perbuatan Hasto itu mengakibatkan penyidikan atas nama tersangka Harun Masiku terhambat.

    Atas perbuatannya, Hasto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

    Hasto juga didakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022 mengupayakan agar KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

  • KPK Geledah 3 Rumah di Surabaya, Terungkap Temuan Penting dalam Kasus Dana Hibah Jatim

    KPK Geledah 3 Rumah di Surabaya, Terungkap Temuan Penting dalam Kasus Dana Hibah Jatim

    PIKIRAN RAKYAT – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah tiga rumah pribadi di Surabaya, Jawa Timur, sejak Senin, 14 April hingga Rabu, 16 April 2025. Penggeledahan terkait penyidikan kasus dugaan suap pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur (Jatim) tahun anggaran 2021–2022. Salah satu yang digeledah adalah rumah mantan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti (LN).

    “Sampai dengan hari ini penyidik telah melakukan kegiatan penggeledahan sekitar hari Senin, ada tiga lokasi di Kota Surabaya. Tiga lokasi adalah rumah pribadi. Salah satunya merupakan rumah yang tadi disebut saudara LN,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika kepada wartawan, Rabu, 16 April 2025.

    Dari penggeledahan ini, penyidik KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang diduga berkaitan dengan kasus korupsi dana hibah tersebut. Barang bukti ini akan dianalisis dan dikonfirmasi lebih lanjut kepada para saksi yang diperiksa.

    “Dari tiga hari tersebut, penyidik telah melakukan penyitaan berupa dokumen dan barang bukti elektronik. Jadi, tidak spesifik disampaikan barang bukti elektronik dan dokumen tersebut disita dan di mana,” ucap Tessa.

    Terkait pernyataan La Nyalla yang mengklaim tidak ditemukan barang bukti apa pun di rumahnya, KPK tidak ambil pusing. Menurut Tessa, penyidik tentu memiliki alasan saat melakukan penggeledahan di suatu tempat.

    “Penyidik tentunya memiliki petunjuk dan kewenangan untuk melakukan proses pengeledahan, termasuk salah satunya di rumah saudara LN walaupun dinyatakan oleh yang bersangkutan tidak ditemukan apa pun,” tutur Tessa.

    Penyidik menggeledah rumah La Nyalla Mahmud Mattalitti yang berada di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin, 14 April 2025. Penggeledahan ini ternyata berkaitan dengan jabatan La Nyalla yang pernah menjabat Wakil Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jawa Timur periode 2010–2019.

    Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto pun membenarkan bahwa proses penyidikan yang tengah dilakukan lembaganya memiliki kaitan dengan jabatan La Nyalla di KONI Jatim.

    “Terkait dengan penyidikan perkara dana hibah, pada saat yang bersangkutan sebagai ketua KONI,” kata Fitroh kepada wartawan, Rabu, 16 April 2025.

    KPK Geledah Kantor KONI Jawa Timur

    Setelah menggeledah rumah La Nyalla, penyidik KPK kembali melakukan penggeledahan di Kota Surabaya. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, membenarkan adanya kegiatan penggeledahan tersebut, namun ia belum menyebut lokasinya. Akan tetapi, berdasarkan informasi yang dihimpun, penyidik menggeledah Kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Jatim.

    “Benar. Penyidik sedang melakukan kegiatan penggeledahan di Kota Surabaya, terkait penyidikan perkara dana hibah Pokmas Jatim,” kata Tessa kepada wartawan, Selasa, 15 April 2025.

    Tessa juga belum membeberkan secara terperinci mengenai temuan barang bukti di lokasi penggeledahan. Ia menyatakan, informasi lebih lanjut akan disampaikan setelah seluruh proses penggeledahan rampung.

    “Untuk detil penjelasan lebih lanjut akan disampaikan setelah seluruh rangkaian kegiatan penggeledahan selesai dilaksanakan,” ucap Tessa.

    KPK Tetapkan 21 Tersangka

    KPK menetapkan 21 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan suap pengelolaan dana hibah dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2019–2022. Empat orang di antaranya adalah tersangka penerima suap. Sedangkan, 17 lainnya merupakan tersangka pemberi suap.

    Akan tetapi, lembaga antirasuah belum mau mengungkap identitas lengkap para tersangka. Sebab, KPK baru akan mengumumkan identitas tersangka dan kontruksi perkara ketika mereka akan ditahan.

    Sebagai informasi, penyidikan terhadap 21 tersangka ini adalah hasil pengembangan dari perkara yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur periode 2019–2024 Sahat Tua P. Simandjuntak (STPS) dan kawan-kawan. Sahat telah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan divonis sembilan tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, pada 26 September 2023.

    Selain itu, Sahat juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp39,5 miliar paling lambat satu bulan setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Di dalam vonis hakim, Sahat terbukti secara sah dan meyakinkan menerima ijon fee dana hibah pokok pikiran (pokir) masyarakat yang berasal dari APBD Jawa Timur tahun anggaran 2020–2022 serta APBD 2022–2024 yang masih bakal ditetapkan bagi wilayah Kabupaten Sampang. Adapun anggaran Pemprov Jawa Timur untuk dana hibah kelompok masyarakat adalah Rp200 miliar.***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kita Masih Konsentrasi Persoalan Geopolitik

    Kita Masih Konsentrasi Persoalan Geopolitik

    PKIRAN RAKYAT – Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan bahwa partainya akan menggelar Kongres partai pada tahun 2025. Namun, Djarot belum dapat menyampaikan terkait kapan kepastian waktu penyelenggaraan kongres itu.

    “Pelaksanaannya di tahun 2025, bulannya masih belum gitu ya,” kata Djarot usai mengikuti pertunjukan teater seni musik kerja sama antara Indonesia dan Uzbekistan yang dihadiri Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa malam, 15 April 2025.

     

    Menurut Djarot pelaksanaan kongres partainya itu tidak perlu dilakukan secara terburu-buru. “Tidak perlu terburu-buru ya.”

    Kendati, saat ditanya apakah pelaksanaannya baru akan dilakukan setelah tuntas sidang kasus Hasto Kristiyanto di pengadilan, Djarot tidak memberikan jawaban tegas. Djarot hanya menjawab bahwa partainya masih konsentrasi di beberapa isu hal yang saat ini penting.

     

    “Terutama sekarang menghadapi perang tarif dengan AS. Ya persoalan-persoalan global geopolitik itu penting, persoalan tentang bagaimana Indonesia mengantisipasi berbagai macam kemungkinan terjadi dengan perubahan geopolitik,” ucapnya.

     

    Terkait kasus hukum Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP itu telah menjalani sidang putusan sela yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat, 11 April 2025. Majelis hakim menolak eksepsi atau nota keberatan yang diajukan oleh Hasto.

     

    Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, majelis hakim pun memerintahkan Jaksa Penuntut Umum melanjutkan pemeriksaan pokok perkara dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi.***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News