Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Sidang TPPU Korupsi Pertambangan Nikel, Karyawan PT LAM Buka Rekening BCA Uang Masuk Capai Rp 40 M – Halaman all

    Sidang TPPU Korupsi Pertambangan Nikel, Karyawan PT LAM Buka Rekening BCA Uang Masuk Capai Rp 40 M – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menggelar sidang lanjutan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi pertambangan ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), Rabu (23/4/2025).

    Adapun dalam perkara ini yang menjadi terdakwa yakni Pemilik PT Lawu Agung Mining (PT LAM), Windu Aji Sutanto dan pelaksana lapangan PT LAM Glenn Ario Sudarto.

    Persidangan kali ini jaksa menghadirkan saksi atas nama Wiwit Yusmiati Teller Bank BCA KCU Gajah Mada. 

    Di persidangan jaksa menanyakan kepada Wiwit apakah para terdakwa pernah membuka rekening Bank BCA.

    “Kalau untuk nama-nama terdakwa tidak ada di cabang kami. Atas nama Supriyono karyawan dari Lawu Agung Mining,” kata Wiwit di persidangan.

    Kemudian jaksa menanyakan kapan Supriyono membuka rekening tersebut.

    “Pembukaan rekening di tahun 2021 pada tanggal 1 Desember. Ditutup di tahun 9 Maret 2023,” jelasnya.

    Jaksa lalu menanyakan selama pembukaan tersebut apakah ada transaksi yang mencurigakan.

    “Untuk transaksinya memang kebanyakan dia itu ada kiriman uang ke bank lain. Nominalnya beragam Rp 100 juta sampai  Rp 1 miliar,” jelasnya.

    Kemudian jaksa menanyakan rekapan uang masuk di rekening Supriyono tersebut.

    “Untuk yang total uang masuk selama pembukaan rekening sampai penutupan rekening itu sekitar Rp40,6 miliar,” jawab Wiwit.

    Diketahui dalam perkara ini para terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan mengirimkan hasil penjualan ore nikel ilegal dari Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) ke rekening pribadi.

    Dalam surat dakwaaan jaksa menyatakan hasil penjualan ore nikel ilegal itu seharusnya masuk ke dalam rekening PT LAM. 

    Namun oleh Glenn Ario Sudarto meminta kepada para penambang mengirimkan ke rekening atas nama Supriono dan Opah Erlangga Pratama.

    Total uang yang masuk dalam rekening Supriono dan Opah Erlangga Pratama mencapai Rp 135.836.898.026.

    Sebagian uang tersebut, telah digunakan terdakwa untuk membayar keperluan pribadi, diantaranya pembelian 1 unit kendaraan roda empat merk Toyota Land Cruiser 70 V8 2022.

    Pembelian kendaraan roda empat merk Mercedes Benz Maybach GLS 600 dan kendaraan roda empat merk Toyota Alphard. Pembelian tersebut seolah-olah kepemilikannya terdaftar atas nama PT Lawu Agung Mining.

    Atas perbuatan terdakwa tersebut baik bertindak sendiri atau secara bersama-sama merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010. Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke -1 KUHP.

  • 3 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Dituntut 9-12 Tahun, Mengapa Tuntutan Heru Hanindyo Paling Tinggi? – Halaman all

    3 Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Dituntut 9-12 Tahun, Mengapa Tuntutan Heru Hanindyo Paling Tinggi? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, menggelar sidang tuntutan untuk tiga terdakwa hakim non aktif PN Surabaya Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur, Selasa (22/4/2025) 

    Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum, menuntut tiga terdakwa dengan hukuman penjara berbeda-beda.

    Terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul dituntut 9 tahun penjara serta denda sebesar Rp 750 juta.

    Sementara itu untuk terdakwa Heru Hanindyo dituntut dengan hukuman paling berat penjara selama 12 tahun. Serta denda sebesar Rp 750 juta dalam perkara tersebut.

    Dalam surat tuntutannya, jaksa menyatakan perbuatan para terdakwa telah mencederai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan.

    Sementara itu khusus untuk terdakwa Heru Hanindyo, jaksa menilai terdakwa tidak bersikap kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya. 

    Hal itu memperberat tuntutan hukuman untuk terdakwa Heru Hanindyo.

    Adapun untuk hal-hal yang meringankan para terdakwa belum pernah dihukum.

    Jaksa dalam tuntutannya meyakini ketiga terdakwa melanggar Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Sidang selanjutnya bakal digelar Selasa (20/4/2025) agenda pembelaan dari pada terdakwa dan kuasa hukumnya.

    Ditemui setelah persidangan, kuasa hukum Erintuah Damanik dan Mangapul, Philipus Harapanta Sitepu sejatinya menginginkan kliennya mendapatkan hukuman paling ringan.

    Hal itu lantaran kedua kliennya menjadi justice collaborator dalam perkara tersebut.

    “Sebagai pembela tentu kami berharap pidana minimal. Pidana minimal tadi disebutkan kan pasal 6 ayat 2, pidana minimalnya itu adalah 3 tahun,” kata Philipus kepada awak media setelah persidangan.

    Sementara itu kuasa hukum Heru Hanindiyo, Farih Romdoni mempertanyakan kliennya mendapatkan tuntutan penjara paling lama.

    Padahal kata Farih, kliennya tidak pernah menerima uang secara langsung dari Lisa Rachmat dan Erintuah.

    “Kami nanti dalam pledoi akan menunjukkan bukti bagi-bagi itu tidak pernah ada. Karena Pak Heru tidak pernah di lokasi pada saat diduga bagi-bagi uang tersebut,” jelas Farih.

    Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang vonis bebas terpidana Ronald Tannur menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (24/12/2024).

    Dalam sidang tersebut ketiga Hakim PN Surabaya yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo didakwa telah menerima suap sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000 atau Rp 3,6 miliar terkait kepengurusan perkara Ronald Tannur.

    Uang miliaran tersebut diterima ketiga hakim dari pengacara Lisa Rahmat dan Meirizka Wijaja yang merupakan ibu dari Ronald Tannur.

    “Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, berupa uang tunai sebesar Rp 1 miliar dan SGD 308.000,” ucap Jaksa Penuntut Umum saat bacakan dakwaan.

    Pada dakwaannya, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyebut bahwa uang miliaran itu diterima para terdakwa untuk menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald Tannur.

    “Kemudian terdakwa Erintuah Damanik, Heru Hanindyo dan Mangapul menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dari seluruh dakwaan Penuntut Umum,” ucapnya.

    Lebih lanjut Jaksa menuturkan, bahwa uang-uang tersebut dibagi kepada ketiga dalam jumlah yang berbeda.

    Adapun Lisa dan Meirizka memberikan uang secara tunai kepada Erintuah Damanik sejumlah 48 Ribu Dollar Singapura.

    Selain itu keduanya juga memberikan uang tunai senilai 48 Ribu Dollar Singapura yang dibagi kepada ketiga hakim dengan rincian untuk Erintuah sebesar 38 Ribu Dollar Singapura serta untuk Mangapul dan Heru masing-masing sebesar 36 Ribu Dollar Singapura.

    “Dan sisanya sebesar SGD30.000 disimpan oleh Terdakwa Erintuah Damanik,” jelas Jaksa.

    Tak hanya uang diatas, Lisa dan Meirizka diketahui kembali memberikan uang tunai kepada terdakwa Heru Hanindyo sebesar Rp 1 miliar dan 120 Ribu Dollar Singapura.

    “Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,” kata dia.

    Akibat perbuatannya itu ketiga terdakwa pun didakwa dengan dan diancam dalam Pasal 12 huruf c jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Bebaskan Ronald Tannur, Hakim Erintuah Dituntut 9 Tahun Penjara

    Bebaskan Ronald Tannur, Hakim Erintuah Dituntut 9 Tahun Penjara

    Jakarta, Beritasatu.com – Erintuah Damanik, ketua majelis hakim yang memutus bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera, akhirnya dituntut 9 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU). Tuntutan ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (22/4/2025).

    Jaksa menyatakan Erintuah terbukti menerima suap dan gratifikasi sebagai imbalan atas vonis bebas Ronald Tannur, yang sebelumnya terseret dalam kasus kematian Dini Sera.

    Dalam tuntutannya, jaksa menegaskan Erintuah telah melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun,” kata jaksa di hadapan majelis hakim.

    Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Erintuah untuk membayar denda sebesar Rp 750 juta. Apabila tidak dibayarkan, denda tersebut akan diganti dengan hukuman tambahan selama 6 bulan kurungan terkait kasus suap vonis Ronald Tannur.

    Dalam perkara ini, Erintuah Damanik tidak sendirian. Jaksa mendakwa dua hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yaitu Heru Hanindyo dan Mangapul. Dalam dakwaan, mereka menerima suap sebesar Rp 1 miliar serta 308.000 dolar Singapur setara dengan Rp 3,6 miliar, dari pihak yang berkepentingan dengan vonis bebas Ronald Tannur.

    Ketiganya diduga kuat memanfaatkan jabatan untuk mengatur hasil sidang yang berpihak kepada terdakwa, dengan imbalan sejumlah uang tunai. Vonis bebas Ronald Tannur sebelumnya memicu kemarahan publik, terutama keluarga korban Dini Sera, yang menduga ada permainan hukum dalam persidangan.

    Kasus suap vonis Ronald Tannur menambah daftar panjang dugaan praktik mafia peradilan di Indonesia dan menjadi perhatian publik atas integritas sistem hukum di Tanah Air.

  • Tom Lembong Klaim Masyarakat Lebih Suka Gula Lokal karena Lebih Kuning, Ini Kata Eks Pejabat BUMN – Halaman all

    Tom Lembong Klaim Masyarakat Lebih Suka Gula Lokal karena Lebih Kuning, Ini Kata Eks Pejabat BUMN – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Eks Menteri Perdagangan Tom Lembong mengklaim bahwa masyarakat Indonesia lebih suka gula lokal karena lebih kuning dan butirannya besar.

    Adapun hal tersebut diungkapkan Tom Lembong dalam sidang lanjutan kasus dirinya dalam dugaan korupsi impor gula Kementerian Perdagangan periode 2015-2016 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/4/2025). 

    “Jadi, apakah benar bahwa yang namanya gula putih atau gula konsumsi Indonesia itu cukup unik, karena lebih kuning dan butirnya lebih besar daripada standar gula pasir di luar?” tanya Tom Lembong kepada saksi Deputi Bidang Usaha Industri Argo dan Farmasi Kementerian BUMN periode 2015-2016, Wahyu Kuncoro di persidangan.

    Wahyu menerangkan memang karakteristik gula yang dihasilkan dari pabrik-pabriknya BUMN itu lebih kuning warnanya dibandingkan gula rafinasi. 

    Ia melanjutkan mengapa gula lokal lebih kuning karena teknologi yang digunakan pabrik gula BUMN, masih menggunakan sulfur untuk memutihkan gula tersebut. 

    “Sementara kalau di luar pabrik-pabrik yang teknologinya maju itu menggunakan karbonasi,” jawab Wahyu.

    Kemudian Tom Lembong mengatakan hal itu menjadi preferensi konsumen Indonesia.

    “Dimana konsumen Indonesia sukanya gula pasir yang butirnya emang besar, kasar, dan lebih kuning?” tanya Tom.

    Wahyu menerangkan belum ada penjelasan ilmiah terkait hal itu.

    “Tapi paling tidak masyarakat itu memahami yang kuning itu lebih manis,” jawab Wahyu.

    “Betul, kami juga dengar begitu,” respon Tom Lembog.

    “Berarti gula putih, gula kristal putih yang dikonsumsi di Indonesia boleh dibilang cukup unik. Hanya Indonesia yang produksi dan hanya pabrik gula BUMN yang memproduksi,” tanya Tom Lembong.

    “Saya tidak mengetahui persisnya. Intinya pabrik gula kami yang di BUMN itu memang outputnya, gulanya itu memang tidak sebagus gula yang diolah di pabrik rafinasi. Satu karena pabriknya tua, kemudian dua teknologinya sudah teknologi tingkatan zaman Belanda, cuman kami ini mengolah tebu rakyat, jadi tadi kristalnya lebih besar, warnanya lebih kuning,” jelas Wahyu.

    “Tapi, gula itu selalu laris kan? Selalu terjual habis kan?” tanya Tom Lembong.

    “Karena supply and demand memang tidak imbang kan Pak Tom. Jadi karena produksinya di BUMN itu hanya 1,6 juta, butuhnya 3 juta, apapun jenisnya ya diserap,” tegas Wahyu.

    Seperti diketahui dalam perkara ini Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar dan memperkaya 10 orang akibat menerbitkan perizinan importasi gula periode 2015-2016.

    Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (6/3/2025).

    Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut, kerugian negara itu diakibatkan adanya aktivitas impor gula yang dilakukan Tom Lembong dengan menerbitkan izin impor gula kristal mentah periode 2015-2016 kepada 10 perusahaan swasta tanpa adanya persetujuan dari Kementerian Perindustrian.

    Jaksa menyebut Tom telah memberikan izin impor gula kristal mentah kepada:

    Tony Wijaya NG melalui PT Angels Products (AP),
    Then Surianto Eka Prasetyo melalui PT Makassar Tene (MT),
    Hansen Setiawan melalui PT Sentra Usahatama Jaya (SUJ),
    Indra Suryaningrat melalui PT Medan Sugar Industry (MSI),
    Eka Sapanca melalui PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU),
    Wisnu Hendra ningrat melalui PT Andalan Furnindo (AF),
    Hendrogiarto A. TiwowMmelalui PT Duta Sugar International (DSI),
    Hans Falita Hutama melalui PT Berkah Manis Makmur (BMM),
    Ali Sandjaja Boedidarmo melalui PT Kebun Tebu Mas (KTM),
    Ramakrishna Prasad Venkatesha Murthy melalui PT Dharmapala Usaha Sukses (DUS).

    “Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian memberikan surat Pengakuan Impor atau Persetujuan Impor Gula Kristal Mentah (GKM) periode tahun 2015 sampai dengan periode tahun 2016,” kata Jaksa saat bacakan berkas dakwaan.

    Tom kata Jaksa juga memberikan surat pengakuan sebagai importir kepada sembilan pihak swasta tersebut untuk mengimpor GKM untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP).

    Padahal menurut Jaksa, perusahaan swasta tersebut tidak berhak melakukan mengolah GKM menjadi GKP lantaran perusahaan tersebut merupakan perusahaan gula rafinasi.

    “Padahal mengetahui perusahaan tersebut tidak berhak mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP), karena perusahaan tersebut merupakan perusahan gula rafinasi,” kata Jaksa.

    Selain itu, Tom Lembong juga didakwa melakukan izin impor GKM untuk diolah menjadi GKP kepada PT AP milik Tony Wijaya di tengah produksi gula kristal putih dalam negeri mencukupi.

    Tak hanya itu, dijelaskan Jaksa, bahwa pemasukan atau realisasi impor Gula Kristal Mentah (GKM) tersebut juga dilakukan pada musim giling.

    Dalam kasus ini, kata jaksa Tom juga melibatkan perusahaan swasta untuk melakukan pengadaan gula kristal putih yang dimana seharusnya hal itu melibatkan perusahaan BUMN.

    “Terdakwa Thomas Trikasih Lembong tidak melakukan pengendalian atas distribusi gula dalam rangka pembentukan stok gula dan stabilisasi harga gula yang seharusnya dilakukan oleh BUMN melalui operasi pasar dan atau pasar murah,” jelasnya.

    Dalam dakwaannya, Tom juga dianggap telah memperkaya diri sendiri dan 10 pihak swasta yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.

    Akibat perbuatannya, Tom Lembong menurut Jaksa telah kerugian keuangan negara sebesar Rp578.105.411.622,47 atau Rp 578 Miliar.

    Angka tersebut ditemukan berdasarkan hasil perhitungan dari Badan  Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).

    Tom Lembong diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)

  • Mbak Ita Didakwa Minta Rp 300 Juta dari Iuran ASN, Kuasa Hukum: Kebijakan Wali Kota Sebelumnya
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        21 April 2025

    Mbak Ita Didakwa Minta Rp 300 Juta dari Iuran ASN, Kuasa Hukum: Kebijakan Wali Kota Sebelumnya Regional 21 April 2025

    Mbak Ita Didakwa Minta Rp 300 Juta dari Iuran ASN, Kuasa Hukum: Kebijakan Wali Kota Sebelumnya
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryati Rahayu alias Mbak Ita didakwa menerima setoran uang dari iuran ASN yang dinamakan “iuran kebersamaan”. 
    Nilai uang setoran yang diberikan kepada Mbak Ita tersebut mencapai Rp 300 juta. 
    Hal ini terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025).
    Kuasa hukum terdakwa, Erna Ratnaningsih mengatakan, soal tuduhan pemerasan yang berkaitan dengan iuran insentif bukanlah kebijakan kliennya. 
    “Kebijakan dari wali kota sebelumnya,” kata Erna saat ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025). 
    Menurutnya, Mbak Ita hanya meneruskan kebijakan dari wali kota sebelumnya. Apalagi, saat itu kliennya juga menjadi Plt Wali Kota Semarang. 
    “Jadi iuran kebersamaan inilah yang apa tadi kita dengar diterima,” sebutnya. 
    Diberitakan sebelumnya, Mbak Ita disebut minta jatah Rp 300 juta dari uang iuran ASN yang dinamakan “iuran kebersamaan”. 
    Uang iuran tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai keperluan pegawai di luar yang telah dianggarkan, seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi bersama, bingkisan hari raya, membeli batik dan sejumlah kebutuhan lainnya. 
    Besaran iuran kebersamaan yang harus disetorkan oleh pegawai Bapenda Kota Semarang sudah diatur oleh Indriyasari selaku Kepala Bapenda Kota Semarang. 
    Kemudian iuran tersebut disetorkan kepada Sarifah, selaku Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Retribusi Kota Semarang. 
    Pada Desember 2022, Indriyasari mengajukan draf Surat Keputusan Wali Kota Semarang tentang alokasi besaran insentif pemungutan pajak atau tambahan penghasilan bagi pegawai ASN di Pemerintah Kota Semarang. 
    Atas pengajuan tersebut, Endang Sri Rejeki, selaku Kepala Sub Bagian Perencanaan Produk Hukum Penetapan dan Bagian Hukum Pemerintah Kota Semarang menyerahkan draf tersebut kepada terdakwa I atau Mbak Ita. 
    “Selanjutnya terdakwa I memanggil Endang Sri Rejeki dengan menyampaikan mengapa dalam hitungan nilai penerimaan insentif bagian terdakwa I lebih kecil dibandingkan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang dan menolak menandatangani surat keputusan itu,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Semarang.
    Setelah Mbak Ita menolak untuk berta tangan, kemudian Endang Sri Rejeki menyampaikan permasalahan tersebut kepada Indriyasari. 
    “Selanjutnya Indriyasari menghadapi terdakwa I (Mbak Ita) dengan menyampaikan dasar hukum pengajuan surat keputusan tambahan penghasilan pegawai Bapenda,” ucap dia. 
    Namun, Mbak Ita tetap menolak memberikan tanda tanan meski sudah dijelaskan soal dasar hukumnya. 
    Kemudian pada 22 Desember 2022, Indriyasari kembali menghadap Mbak Ita di kantornya.
    Dalam pertemuan tersebut, Indriyasari menyampaikan bahwa tambahan penghasilan pegawai Bapenda nilainya di bawah terdakwa. 
    “Atas penyampaian Indriyasari tersebut, terdakwa I (Mbak Ita) menyampaikan kalimat ‘kok sak mono’,” ungkap Wawan. 
    Kemudian Indriyasari menyampaikan kepada terdakwa I bahwa pegawai Bapenda mengumpulkan uang “iuran kebersamaan”. 
    Indriyasari kemudian menyampaikan bahwa uang yang terkumpul mencapai Rp 900 juta yang ditulis di kertas. 
    “Selanjutnya terdakwa I menyampaikan ‘yowis to’ sambil melihat tulisan di kertas tersebut dan terdakwa I menuliskan angka 300. Yang dimaksud adalah terdakwa I meminta uang Rp 300 juta dari iuran kebersamaan,” tambah dia. 
    Setelah adanya kesepakatan antara terdakwa I bersama dengan Indriyasari mengenai tambahan uang insentif, kemudian pencairan diserahkan ke terdakwa I pada 29 Desember 2022. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • “Kok Sak Mono” Mbak Ita Disebut Minta Jatah Rp 300 Juta Dari Iuran Pegawai Sebesar Rp 900 Juta

    “Kok Sak Mono” Mbak Ita Disebut Minta Jatah Rp 300 Juta Dari Iuran Pegawai Sebesar Rp 900 Juta

    TRIBUNJATENG.COM –  Sidang perdana kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang Mbak Ita dan suaminya digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025).

    Dalam sidang itu, Mbak Ita disebut meminta jatah sebesar Rp 300 juta dari dana “iuran kebersamaan” yang dikumpulkan dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang. 

    Hal ini terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025).

    SIDANG DAKWAAN – Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya Alwin Basri disidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang. (TRIBUN JATENG/RAHDYAN TRIJOKO PAMUNGKAS)

    Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wawan Yunarwanto, menyebut bahwa iuran kebersamaan tersebut dikumpulkan oleh pegawai untuk keperluan di luar anggaran resmi, seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi, bingkisan hari raya, hingga pembelian batik.

    Pengumpulan iuran ini diatur oleh Indriyasari, Kepala Bapenda Kota Semarang, dan disetorkan kepada Sarifah, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Retribusi.

    Menurut jaksa, pada Desember 2022, Indriyasari mengajukan draft Surat Keputusan Wali Kota mengenai alokasi insentif pajak atau tambahan penghasilan bagi ASN.

    Draft tersebut diserahkan Endang Sri Rejeki, Kepala Subbagian Perencanaan Produk Hukum, kepada Hevearita.

    “Terdakwa I (Mbak Ita) memanggil Endang dan menyatakan bahwa bagian insentif untuk dirinya lebih kecil dari Sekretaris Daerah. Ia kemudian menolak menandatangani surat itu,” jelas Wawan.

    Setelah itu, Indriyasari menjelaskan dasar hukum pengajuan insentif kepada Mbak Ita, namun tetap ditolak.

    Pada 22 Desember 2022, Indriyasari kembali menghadap Mbak Ita dan menyebutkan bahwa nilai tambahan penghasilan pegawai Bapenda lebih kecil dari yang diajukan untuk terdakwa.

    Dalam momen itu, Mbak Ita disebut menanggapi dengan kalimat, “kok sak mono”.

    “Indriyasari kemudian menjelaskan bahwa pegawai Bapenda telah mengumpulkan dana iuran kebersamaan sebesar Rp 900 juta,” ungkap jaksa.

     “Terdakwa I lalu mengatakan ‘yowis to’ sambil melihat tulisan angka di kertas dan menuliskan angka 300, yang dimaksud adalah permintaan jatah Rp 300 juta,” lanjutnya.

    Pencairan dana diserahkan ke Mbak Ita pada 29 Desember 2022 setelah kesepakatan tersebut.

    Bagian dari Kasus Korupsi Pemkot Semarang

    Perkara ini merupakan bagian dari kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Semarang yang dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Semarang.

     Juru Bicara PN Semarang, Haruno Patriadi, menyebut ada tiga berkas perkara yang dilimpahkan.

    Hevearita dan suaminya, Alwin Basri (mantan Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah), berada dalam satu berkas perkara.

    Dua berkas lainnya masing-masing atas nama Martono, Ketua Gapensi Kota Semarang, dan Rachmat Utama Djangkar, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.

    Keempatnya diduga terlibat dalam korupsi pengadaan barang/jasa serta gratifikasi di Pemkot Semarang pada periode 2023–2024.

    Hevearita dan Alwin diduga sebagai penerima suap, sedangkan Martono dan Rachmat sebagai pemberi. (*)

     

  • 8
                    
                        Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Minta Jatah Rp 300 Juta dari Uang Iuran ASN
                        Regional

    8 Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Minta Jatah Rp 300 Juta dari Uang Iuran ASN Regional

    Eks Wali Kota Semarang Mbak Ita Minta Jatah Rp 300 Juta dari Uang Iuran ASN
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Mantan
    Wali Kota Semarang
    , Hevearita Gunaryati Rahayu alias
    Mbak Ita
    , disebut meminta jatah sebesar Rp 300 juta dari dana “iuran kebersamaan” yang dikumpulkan dari pegawai Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang.
    Hal ini terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (21/4/2025).
    Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wawan Yunarwanto, menyebut bahwa iuran kebersamaan tersebut dikumpulkan oleh pegawai untuk keperluan di luar anggaran resmi, seperti kegiatan Dharma Wanita, rekreasi, bingkisan hari raya, hingga pembelian batik.
    Pengumpulan iuran ini diatur oleh Indriyasari, Kepala Bapenda Kota Semarang, dan disetorkan kepada Sarifah, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengembangan Pajak Daerah dan Retribusi.
    Menurut jaksa, pada Desember 2022, Indriyasari mengajukan draft Surat Keputusan Wali Kota mengenai alokasi insentif pajak atau tambahan penghasilan bagi ASN.
    Draft tersebut diserahkan Endang Sri Rejeki, Kepala Subbagian Perencanaan Produk Hukum, kepada Hevearita.
    “Terdakwa I (Mbak Ita) memanggil Endang dan menyatakan bahwa bagian insentif untuk dirinya lebih kecil dari Sekretaris Daerah. Ia kemudian menolak menandatangani surat itu,” jelas Wawan.
    Setelah itu, Indriyasari menjelaskan dasar hukum pengajuan insentif kepada Mbak Ita, namun tetap ditolak.
    Pada 22 Desember 2022, Indriyasari kembali menghadap Mbak Ita dan menyebutkan bahwa nilai tambahan penghasilan pegawai Bapenda lebih kecil dari yang diajukan untuk terdakwa. Dalam momen itu, Mbak Ita disebut menanggapi dengan kalimat, “kok sak mono”.
    “Indriyasari kemudian menjelaskan bahwa pegawai Bapenda telah mengumpulkan dana iuran kebersamaan sebesar Rp 900 juta,” ungkap jaksa.
    “Terdakwa I lalu mengatakan ‘yowis to’ sambil melihat tulisan angka di kertas dan menuliskan angka 300, yang dimaksud adalah permintaan jatah Rp 300 juta,” lanjutnya.
    Pencairan dana diserahkan ke Mbak Ita pada 29 Desember 2022 setelah kesepakatan tersebut.
    Perkara ini merupakan bagian dari kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kota
    Semarang
    yang dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Semarang.
    Juru Bicara PN Semarang, Haruno Patriadi, menyebut ada tiga berkas perkara yang dilimpahkan.
    Hevearita dan suaminya, Alwin Basri (mantan Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah), berada dalam satu berkas perkara.
    Dua berkas lainnya masing-masing atas nama Martono, Ketua Gapensi Kota Semarang, dan Rachmat Utama Djangkar, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.
    Keempatnya diduga terlibat dalam korupsi pengadaan barang/jasa serta gratifikasi di Pemkot Semarang pada periode 2023–2024. Hevearita dan Alwin diduga sebagai penerima suap, sedangkan Martono dan Rachmat sebagai pemberi.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Suap Vonis Bebas Ronald Tannur, Hakim Agung Soesilo Jadi Saksi

    Sidang Suap Vonis Bebas Ronald Tannur, Hakim Agung Soesilo Jadi Saksi

    loading…

    JPU menghadirkan Hakim Agung Soesilo sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/4/2025). Foto: Nur Khabibi

    JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Soesilo sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur . Soesilo merupakan ketua majelis hakim dalam kasasi Ronald Tannur.

    Duduk sebagai terdakwa yakni mantan pejabat MA Zarof Ricar dan pengacara Ronald Tannur Lisa Rachmat.

    Di hadapan Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti, Soesilo hanya mengenal Zarof. “Saya tidak kenal Lisa Rachmat,” ujar Soesilo di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/4/2025).

    Selain Soesilo, JPU juga menghadirkan pensiunan Hakim Ad Hoc MA Abdul Latif dan Kabid Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian Administrasi Kependudukan Disdukcapil Jakarta Santi sebagai saksi.

    Sebelumnya, Zarof didakwa terlibat dalam pemufakatan jahat untuk menyuap ketua majelis hakim sebesar Rp5 miliar terkait perkara kasasi Ronald Tannur.

    Hal tersebut sebagaimana disampaikan dalam surat dakwaan yang dibacakan JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025).

    “Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim yaitu memberi uang Rp5 miliar melalui terdakwa kepada hakim Soesilo selaku Ketua Majelis Hakim dalam perkara Gregorius Ronald Tannur pada tingkat Kasasi berdasarkan Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 1466/K/Pid/2024 tanggal 6 September 2024,” ujar JPU.

    “Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili yaitu dengan maksud mempengaruhi hakim yang mengadili perkara kasasi tersebut untuk menjatuhkan putusan kasasi yang menguatkan putusan PN Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024,” sambung jaksa.

    Suap berawal ketika Ronald Tannur yang dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan jaksa sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024. Jaksa yang keberatan dengan putusan tersebut, kemudian mengajukan kasasi ke MA.

  • Kejagung Mulai Periksa Pegawai Pengadilan di Kasus Vonis Lepas Korupsi Minyak Goreng – Page 3

    Kejagung Mulai Periksa Pegawai Pengadilan di Kasus Vonis Lepas Korupsi Minyak Goreng – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai melakukan pemeriksaan terhadap pegawai dari pengadilan terkait kasus vonis lepas terdakwa korporasi perkara korupsi minyak goreng. Sejauh ini, sudah ada empat hakim yang ditetapkan sebagai tersangka.

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyampaikan, ada tiga saksi yang diperiksa pada Jumat, 18 April 2025 di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta Selatan.

    “Ketiga orang saksi diperiksa terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan atau gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama tersangka WG dan kawan-kawan,” tutur Harli dalam keterangannya, Sabtu (19/4/2025).

    Para saksi yang diperiksa adalah BM selaku Pegawai pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), EI selaku Driver Wakil Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), dan IS selaku istri dari tersangka Agam Syarif Baharuddin (ASB) selaku hakim PN Jakpus.

    “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” kata Harli.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya proses tawar menawar uang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menjatuhkan vonis lepas bagi terdakwa korporasi perkara mafia minyak goreng. Tempat yang dikenal sebagai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu pun tercoreng dengan praktik suap dan gratifikasi.

    Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyampaikan, pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap Djuyamto (DJU) selaku hakim PN Jaksel yang dulunya menjadi ketua majelis hakim kasus tersebut, Agam Syarif Baharuddin (ABS) selaku hakim PN Jakpus, dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim ad hoc PN Jakpus.

    Kemudian saksi DAK dan LK selaku staf legal PT Daya Labuhan Indah Grup Wilmar, serta AH dan TH selaku karyawan Indah Kusuma, kantor pengacara Marcella Santoso (MS).

    “Adapun hasil dari pemeriksaan para saksi diperoleh fakta sebagai berikut. Bermula adanya kesepakatan antara Aryanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi minyak goreng dengan Wahyu Gunawan seorang panitera untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng, dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” tutur Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4/2025).

    Tersangka Wahyu Gunawan (WG) pun menyampaikan hal tersebut kepada tersangka Muhammad Arif Nuryanta (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus, agar perkara tersebut diputus onslag van rechtvervolging atau divonis lepas.

    “Dan Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag, namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan tiga, sehingga totalnya Rp60 miliar,” jelas dia.

    Tersangka Wahyu Gunawan lantas menyampaikan permintaan tersebut kepada tersangka Aryanto Bakri agar menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar dan hal itu pun disetujui. Beberapa waktu kemudian, tersangka Aryanto Bakri pun menyerahkan uang sebesar Rp60 miliar dalam bentuk dolar AS kepada tersangka Wahyu Gunawan.

    “Kemudian oleh Wahyu Gunawan uang sejumlah Rp60 miliar bila di-kurs-kan ya karena uang yang diserahkan adalah dolar AS, diserahkan kepada Muhammad Arif Nuryanta, dan pada saat itu Wahyu Gunawan diberi oleh Muhammad Arif Nuryanta sebesar 50 ribu US dolar sebagai jasa penghubung dari Muhammad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkap Qohar.

    Setelah menerima uang tersebut, tersangka Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus lantas menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan terdakwa korporasi di kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari 2021-April 2022.

    Mereka adalah Djuyamto (DJU) sebagai ketua majelis hakim, serta Agam Syarif Baharuddin (ABS) dan Ali Muhtarom (AM) sebagai hakim anggota. Setelahnya, tersangka Muhammad Arif Nuryanta kemudian memanggil hakim Djuyamto dan hakim Agam Syarif Baharuddin untuk bertemu.

    “Lalu Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dolar, bila di-kurs-kan ke dalam rupiah senilai Rp4,5 miliar, di mana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca bekas perkara. Dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkara diatensi,” kata Qohar.

    Menurutnya, setelah menerima uang senilai Rp4,5 miliar, tersangka Agam Syarif Baharuddin memasukkannya ke dalam goody bag. Saat keluar dari ruangan, uang tersebut dibagikan kepada tiga orang, yakni hakim Agam Syarif Baharuddin sendiri, hakim ad hoc Ali Muhtarom, dan hakim Djuyamto.

    “Bahwa pada bulan September atau Oktober, karena yang tersebut tadi tidak ingat karena sudah lama, pada tahun 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan kembali uang Dolar AS, bila dirupiahkan senilai Rp18 miliar kepada DJU, yang kemudian oleh DJU uang tersebut dibagi tiga,” jelas dia.

    Adapun penyerahan uang tersebut dilakukan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat, dengan porsi pembagian untuk hakim Agam Syarif Baharuddin menerima sekitar Rp4,5 miliar; kemudian hakim Djuyamto sekitar Rp6 miliar; dan hakim Ali Muhtarom sekitar Rp5 miliar.

    Sementara itu, hakim Djuyamto memangkas hasil suapnya senilai Rp300 juta untuk diberikan kepada tersangka Wahyu Gunawan, yang menjadi perantara pengurusan kasus.

    “Bahwa ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang, agar perkara tersebut diputus onslag, dan hal ini menjadi nyata ketika pada tanggal 19 Maret 2025 perkara korporasi minyak goreng telah diputus onslag oleh majelis hakim,” Qohar menandaskan.

     

  • Pengamat Hukum: Kasus Hakim Terima Suap Harus Jadi Pintu Masuk Bersihkan Peradilan – Halaman all

    Pengamat Hukum: Kasus Hakim Terima Suap Harus Jadi Pintu Masuk Bersihkan Peradilan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat hukum Masriadi Pasaribu menyampaikan apresiasi tinggi kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) yang membongkar praktik suap yang dilakukan hakim di Pengadilan Tipikor.

    Masri mengatakan praktik rasuah oleh hakim yang disebut sebagai ‘wakil tuhan’ sangat berbahaya. 

    Apalagi mereka yang terlibat hakim terpilih khusus menangani perkara korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).  

    “Miris jika hakim sudah korup, ini sangat berbahaya bagi sistem hukum dan keadilan. Sebab jelas hakim yang korup dapat mempengaruhi proses pengadilan dan menghasilkan keputusan yang tidak adil,” kata Masri dalam keterangan, Jumat (18/4/2025).

    “Ini sangat memprihatinkan. Hakim Tipikor seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam memberantas korupsi, namun jika mereka sendiri yang korup, maka itu dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum,” tambahnya.

    Masri menyebut sejumlah dampak akibat perilaku korup hakim. Pertama rusaknya kepercayaan masyarakat. 

    “Jika hakim Tipikor korup, maka masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum dan keadilan,” katanya.

    Akibatnya bisa memunculkan korupsi yang lebih parah, bahkan bisa disebut  
    bentuk kegagalan sistem hukum.

    “Hakim Tipikor korup, maka sistem hukum dapat gagal dalam menjalankan fungsinya untuk memberantas korupsi,” ucapnya.

    Lebih jauh Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) ini mengatakan bahwa kasus suap telah mencoreng nama baik lembaga peradilan di Indonesia. 

    Dirinya berharap tak ada lagi oknum hakim yang justru melaksanakan praktik haram dalam menjalankan tugas dan wewenang jabatannya.

    Dia menilai dengan penanganan kasus pembongkaran praktik korupsi dan suap hakim oleh Kejaksaan Agung bisa meningkatkan kepercayaan publik pada lembaga tersebut, bahkan lebih baik ketimbang Polri maupun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

    “Dengan dibongkarnya kasus-kasus yang melibatkan hakim sebagai pelaku yang nakal, maka akan membuat kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan meningkat. Hal ini menjadikan lembaga kejaksaan berada di depan KPK dan Polri dalam penanganan korupsi,” tuturnya.

    Diketahui Kejagung menetapkan tujuh tersangka, yakni WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, MS selaku advokat, AR selaku advokat, dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    Selain itu, Kejaksaan Agung juga menetapkan tiga hakim sebagai tersangka. 

    Mereka adalah DJU (Djuyamto), ASB (Agam Syarif Baharuddin), dan AM (Ali Muhtarom).

    Ketujuh tersangka diduga terlibat suap dan/atau gratifikasi terkait dengan putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.