Kementrian Lembaga: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

  • Kasus TPPU Zarof Ricar, Kejagung Cekal 2 Petinggi Sugar Group ke Luar Negeri – Page 3

    Kasus TPPU Zarof Ricar, Kejagung Cekal 2 Petinggi Sugar Group ke Luar Negeri – Page 3

    Sebelumnya, Zarof Ricar mengaku pernah menerima uang sebesar Rp50 miliar untuk mengurus perkara perdata terkait kasus gula Marubeni.

    Saat menjadi saksi mahkota (saksi sekaligus terdakwa) dalam kasus dugaan pemufakatan jahat dan gratifikasi, ia mengungkapkan uang tersebut diterimanya untuk memenangkan Sugar Group Company dalam kasus gula.

    “Ini uang yang paling besar yang saya terima,” ujar Zarof Ricar dalam sidang pemeriksaan saksi mahkota di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (7/5).

    Kendati demikian, Zarof mengaku lupa apakah perusahaan yang memberikan uang tersebut merupakan pihak penggugat atau pihak yang digugat.

    Selain itu, Zarof juga lupa mengenai rentang waktu perkara tersebut. Dia hanya mengingat kasus itu terjadi antara tahun 2016 hingga 2018.

    Kala itu, dia juga meyakini bahwa perusahaan tersebut akan memenangkan kasasi di MA setelah mengetahui rekam jejaknya dalam perkara gula.

    “Saya dapat informasi bahwa perusahaan ini di pengadilan negeri menang, di pengadilan tinggi juga. Jadi, saya berspekulasi pasti menang ini,” ucap Zarof.

     

  • Heran dengan Vonis Hakim, Analisa Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak UI: Impor Gula Tom Lembong Justru Untungkan Negara

    Heran dengan Vonis Hakim, Analisa Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak UI: Impor Gula Tom Lembong Justru Untungkan Negara

    Kemudian yang kedua, soal kemahalan, bisa dilihat dari fenomena yang terjadi. Menurutnya, jangan sampai gara-gara kasus tersebut, pemerintah tidak memperhatikan pemenuhan cadangan gula atau stabilisasi.

    “Langsung saja impor GKP. Buat saya itu, apa namanya. Sedih sekali begitu. Sedih sekali industri dalam negeri jika itu memang dipilih,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membacakan vonis terhadap Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

    Dalam sidang putusan itu, Tom Lembong kata hakim terbukti bersalah melakukan korupsi impor gula yang merugikan keuangan negara, sehingga dia dijatuhi hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara.

    “Menyatakan terdakwa Thomas Trikasih Lembong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam dakwaan primer,” kata Ketua Majelis Hakim, Dennie Arsan Fatrika saat membacakan vonis.

    Selain hukuman badan, Tom Lembong juga dijatuhkan hukuman denda Rp750 juta apabila tidak dibayarkan diganti dengan hukuman kurungan 6 bulan penjara.

    “Pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan,” ujar Hakim.

    Dalam menjatuhkan putusan, Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan, terdakwa saat menjadi Menteri Perdagangan terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan dengan sistem ekonomi demokrasi.

    “Hal meringankan, belum pernah dihukum, tidak menikmati hasil korupsi yang dilakukan, bersikap sopan dan tidak mempersulit persidangan, ada uang yang dititipkan pada saat proses penyidikan,” tegas Hakim.

  • Eks Pimpinan KPK Pertanyakan Pengawasan KY di Sidang Tom Lembong
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juli 2025

    Eks Pimpinan KPK Pertanyakan Pengawasan KY di Sidang Tom Lembong Nasional 26 Juli 2025

    Eks Pimpinan KPK Pertanyakan Pengawasan KY di Sidang Tom Lembong
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
    Saut Situmorang
    mempertanyakan
    Komisi Yudisial
    (KY) dalam mengawasi jalannya sidang kasus impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
    Menurut Saut, KY tidak bisa tinggal diam karena vonis 4,5 tahun penjara terhadap
    Tom Lembong
    sudah menjadi perbincangan publik.
    “Bagaimana dengan KY, itu sudah dilaporin loh. Kalau KY enggak hadir juga di sana, dia salah besar tuh. Karena ini kasus sudah dibicarakan di mana-mana,” kata Saut dalam program
    Gaspol! Kompas.com
    , dikutip pada Sabtu (26/7/2025).
    Saut berpandangan, bila berkaca dari jalannya sidang, Tom Lembong semestinya dibebaskan.
    Sebab, menurut dia, ada banyak hal yang janggal dari kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong.
    Misalnya, ia mempersoalkan Tom Lembong diputus bersalah padahal Tom sama sekali tidak menerima keuntungan dari kebijakan impor gula yang dia teken.
    Saut juga menyebutkan bahwa ada banyak menteri perdagangan yang mengambil kebijakan impor serupa, tetapi tidak diseret ke muka hukum seperti Tom Lembong.
    “Kalau memang kita mau bertanya kenapa kok seperti saat itu, saya udah ngikutin betul dari awal case ini gitu. Dan saya sudah terbiasa bentuk-bentuk kayak begini. Yang menurut saya, memang Tom Lembong harus dibebaskan,” kata Saut.
    Ia mengatakan, jika KY tidak turun tangan atas
    vonis Tom Lembong
    , hal itu semakin menunjukkan bermasalahnya hukum di Indonesia,
    “Kalau KY tidak hadir memantau itu, dan mereka menganggap ini tidak sesuatu abuse of power oleh tiga orang yang logika, nalar, argumentasinya, hukumnya sama,” kata Saut.
    “Gue bilang, oh iya benar rupanya. Hakim Indonesia ini memang pendidikannya memang mereka tuh jauh di bawah kalau hakim-hakim di luar negeri,” ujar dia.
    Tom Lembong dihukum 4,5 tauhn penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena dianggap terbukti melakukan perbuatan korupsi terkait impor gula kristal mentah.
    Menurut majelis hakim, kebijakan Tom Lembong mengimpor gula kristal mentah telah merugikan negara sebesar Rp 194.718.181.818,19 atau Rp 194,7 miliar.
    Kerugian itu timbul akibat kemahalan harga pembelian gula kristal putih (GKP) PT PPI kepada perusahaan gula swasta yang mengimpor gula kristal mentah (GKM) atas izin Tom Lembong.
    Dalam putusan tersebut, hakim juga mempertimbangkan hal-hal meringankan dalam putusan Tom Lembong.
    Salah satunya, Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi tersebut.
    “Terdakwa tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan. Terdakwa bersikap sopan di persidangan, tidak mempersulit dalam persidangan,” ujar hakim anggota Alfis Setiawan saat membacakan pertimbangan hukum putusan
    Vonis yang dijatuhkan hakim itu lantas menuai kritik dari publik dan pakar hukum.
    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berpandangan, Tom semestinya tidak dihukum karena jalannya persidangan tidak menemukan niat jahat atau
    mens rea
    dalam perbuatan Tom Lembong.
    “Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan
    mens rea
    atau niat jahat,” kata Mahfud, Selasa (22/7/2025).
    Mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyinggung kebijakan impor gula yang dilakukan oleh Tom Lembong itu dilakukan atas perintah.
    Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan Tom Lembong itu berasal dari hulu yang mengalir kepadanya, untuk diteruskan lagi sampai ke hilir.
    “Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan. Dalilnya ‘
    geen straf zonder schuld
    ‘, artinya ‘tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan’. Unsur utama kesalahan itu adalah
    mens rea
    . Nah, di kasus Tom Lembong tidak ditemukan
    mens rea
    karena dia hanya melaksanakan tugas dari atas yang bersifat administratif,” kata Mahfud.
    Mahfud menambahkan, vonis Tom Lembong juga mempunyai sejumlah kelemahan, misalnya tidak menunjukkan rangkaian logis tentang actus reus atau perbuatan pidana yang dilakukan Tom Lembong.
    Pakar hukum tata negara ini juga menilai vonis tersebut lemah karena hakim membuat hitungan kerugian negaranya dengan cara sendiri, bukan merujuk pada perhitungan resmi yang dibuat oleh BPKP.
    “Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” ujar Mahfud.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengacara Hasto Kritik Hakim yang Selalu Bermasker

    Pengacara Hasto Kritik Hakim yang Selalu Bermasker

    GELORA.CO  — Sidang putusan terhadap Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, memanas bukan hanya karena vonis yang dijatuhkan, melainkan juga karena kontroversi yang muncul soal kebiasaan Ketua Majelis Hakim Rios Rahmanto menggunakan masker sepanjang proses sidang.

    Protes resmi disampaikan oleh tim kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, yang mempertanyakan transparansi persidangan terbuka.

    Menanggapi hal tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan klarifikasi secara menyeluruh tentang alasan masker menjadi bagian rutin pengadilan.

    Sidang vonis yang digelar hari Jumat, 25 Juli 2025, berlangsung di ruang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan Ketua Majelis Rios Rahmanto yang tetap mengenakan masker hitam mulai dari awal hingga akhir persidangan.

    Ronny Talapessy secara keras menyuarakan protes setelah sidang usai dengan menyatakan bahwa praktik itu menimbulkan kesan bahwa persidangan sesungguhnya tidak sepenuhnya terbuka.

    Ia bahkan menegaskan bahwa sidang tersebut terkesan sebagai “pesanan politik” karena ketua majelis tak memperlihatkan wajahnya sejak dakwaan dibacakan hingga vonis diucapkan.

    Sebagai tanggapan, Juru Bicara PN Jakarta Pusat, Andi Saputra yang juga menjabat sebagai Jubir I khusus isu korupsi menegaskan bahwa kebiasaan mengenakan masker oleh Hakim Rios bukan hal baru dan bukan berkaitan dengan kasus tertentu.

    Ia menjelaskan bahwa hakim tersebut pernah dua kali terinfeksi COVID‑19 dan sejak itu nyaman memakai masker sebagai langkah menjaga kesehatan, terutama di tengah polusi udara yang kerap buruk di Jakarta.

    Kebiasaan ini juga diterapkan di sidang-sidang lainnya, tidak hanya saat mengadili Hasto, sehingga protes tim hukum dipandang tidak berdasar.

    Sidang tersebut berakhir dengan vonis pidana penjara selama 3,5 tahun dan denda Rp 250 juta terhadap Hasto Kristiyanto, yang terbukti melakukan suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR RI Harun Masiku. Majelis hakim menyatakan bahwa tuduhan perintangan penyidikan tidak terbukti, sehingga vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang sebelumnya mengancam tujuh tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan

    Sebelum vonis ini, Ronny Talapessy secara konsisten menyuarakan keberatan terhadap tuntutan jaksa. Sejak tuntutan dibacakan pada awal Juli 2025, Ronny menilai tuntutan jaksa KPK tidak logis, tidak berdasar fakta sidang, dan banyak ditopang asumsi tanpa bukti kuat.

    Ia menyoroti tidak ditemukan saksi yang menyatakan keterlibatan langsung Hasto dalam dugaan suap maupun perintangan penyidikan, serta tidak ada motif menguntungkan yang terbukti secara nyata

    Selain itu, peran sistem keamanan sidang juga menjadi sorotan. Sebanyak 1.087 personel gabungan dikerahkan untuk menjaga jalannya sidang agar tetap aman dan tertib.

    Namun, meski pengamanan ketat diterapkan, kerumunan massa dan pihak media tetap menyoroti aspek transparansi prosedural persidangan yang seharusnya menjadi barometer keterbukaan institusi peradilan

  • Vonis Hasto: Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku, Dihukum karena Suap
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juli 2025

    Vonis Hasto: Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku, Dihukum karena Suap Nasional 26 Juli 2025

    Vonis Hasto: Tak Terbukti Rintangi Kasus Harun Masiku, Dihukum karena Suap
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Sidang kasus suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
    Hasto Kristiyanto
    telah berakhir.
    Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 3,5 tahun penjara terhadap Hasto karena dinilai terbukti menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2017-2022 Wahyu Setiawan.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata ketua majelis hakim Rios Rahmanto di ruang sidang Kusumah Atmaja, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
    Selain pidana badan, Hasto juga dihukum membayar denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
    Vonis terhadap Hasto ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni 7 tahun penjara.
    Hakim menilai, Hasto terbukti menyiapkan uang Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR periode 2019-2024 lewat mekanisme pergantian antarwaktu.
    Namun, hakim berpandangan bahwa Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan Harun Masiku sebagaimana dakwaan pertama jaksa KPK.
    Bagaimana jelasnya putusan hakim pada
    sidang vonis Hasto
    Kristiyanto kemarin?
    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Hasto tidak terbukti merintangi penyidikan
    kasus Harun Masiku
    .
    Anggota majelis hakim dalam sidang tersebut, Sunoto, menyampaikan, majelis sependapat dengan ahli pidana Khairul Huda dan Mahrus Ali bahwa Pasal 21 itu merupakan delik materiil yang mensyaratkan adanya bukti nyata penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang yang gagal.
    “Namun dalam perkara ini tidak terbukti adanya kegagalan penyidikan karena faktanya penyidikan terhadap Harun Masiku tetap berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku,” kata Sunoto.
    Menurut hakim, fakta persidangan menunjukkan bahwa KPK yang mengusut perkara ini, pada kenyataannya, melanjutkan penyidikan kasus Harun Masiku.
    Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) tanggal 9 Januari 2020 yang menetapkan sejumlah tersangka terkait Harun Masiku.
    Di sisi lain, tudingan jaksa bahwa Hasto memerintahkan stafnya, Kusnadi, untuk merendam handphone pada 6 Juni 2024 juga terbantahkan karena perangkat keras itu disita KPK pada 10 Juni 2024.
    “(Handphone) dapat disita KPK pada 10 Juni 2024, pengakuan saksi penyidik bahwa koordinat Harun Masiku sudah diketahui KPK,” tutur Sunoto.
    Menurut hakim, jaksa hanya berasumsi bahwa sosok “Bapak” yang memerintahkan Harun Masiku merendam handphone adalah Hasto.
    Adapun kata “Bapak” menjadi salah satu materi yang dinilai sebagai indikasi dan terkait bukti bahwa Hasto mengarahkan Harun sehingga lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 8 Januari 2020.
    Pesan untuk merendam
    handphone
    disampaikan petugas keamanan Rumah Aspirasi, Nurhasan, kepada Harun melalui telepon yang disadap KPK.
    “Menimbang bahwa terhadap replik JPU yang menyatakan Nurhasan dan Harun Masiku sudah jelas memahami siapa ‘Bapak’ yang dimaksud tanpa perlu bertanya lebih lanjut, majelis perlu mempertimbangkan bahwa interpretasi ini bersifat asumtif dan tidak didukung bukti konkrit yang menunjukkan langsung kepada terdakwa,” ujar hakim Sunoto.
    Sementara, majelis hakim menyatakan Hasto terbukti menyediakan dana Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu Setiawan guna memuluskan pengurusan PAW Anggota DPR Harun Masiku.
    “Menimbang berdasarkan analisis komprehensif terhadap bukti komunikasi yang otentik, inkonsistensi pernyataan saksi antara persidangan terdahulu dengan persidangan ini serta analisis linguistik yang memperkuat interpretasi komunikasi, majelis berkesimpulan bahwa dana Rp 400 juta yang diserahkan Kusnadi kepada Doni Tri Istiqomah pada 16 Desember 2019 berasal dari terdakwa (Hasto) bukan dari Harun Masiku sebagaimana yang dipersidangkan terlebih dahulu,” kata hakim.
    Hakim mengatakan, pernyataan Hasto yang menyebutkan tidak menyerahkan uang Rp 400 juta tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
    “Menimbang bahwa dengan demikian, pernyataan terdakwa yang tidak menyerahkan dana Rp 400 juta tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah terdakwa yang menyediakan dana tersebut untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan,” ujarnya.
    Hakim juga menyebut Hasto Kristiyanto sejak awal berkomitmen menyediakan dana talangan suap sebesar Rp 1,5 miliar untuk Harun Masiku.
    “Menimbang pola komunikasi yang konsisten pada rekaman percakapan 13 Desember 2019 yang menyebutkan ‘jadi mas Hasto nalangi full 1,5 (Rp 1,5 miliar)’ menunjukkan sejak awal terdakwa (Hasto Kristiyanto) berkomitmen untuk menyediakan dana talangan penuh apabila diperlukan,” kata hakim Sigit Herman Binaji 
    Sigit mengatakan, komitmen Hasto tersebut terbukti saat adanya penyerahan dana sebesar Rp 400 juta melalui staf pribadinya.
    “Realisasinya terbukti pada penyerahan dana Rp 400 juta pada 16 Desember 2019,” ujar Sigit.
    Majelis hakim menilai Hasto telah merusak citra lembaga Pemilu.
    Selain itu, Hasto dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
    “Perbuatan terdakwa dapat merusak citra lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya independen dan berintegritas,” tutur hakim.
    Di sisi lain, ada sejumlah hal yang meringankan
    vonis Hasto
    .
    Hasto telah bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, dan memiliki tanggungan keluarga.
    “Terdakwa (juga) telah mengabdi pada negara melalui berbagai posisi publik,” ucap Hakim.
    Hal meringankan selanjutnya adalah Hasto punya tanggungan keluarga.
    “Terdakwa memiliki tanggungan keluarga,” ujar Hakim Ketua Rios Rahmanto di tempat yang sama.
    Menanggapi putusan tersebut, Hasto menilai dirinya telah menjadi korban dari komunikasi anak buahnya.
    “Saya menjadi korban dari komunikasi anak buah, di mana di dalam persidangan ini juga, seluruh dana, di bawah sumpah ya, itu dana berasal dari Harun Masiku,” jelasnya.
    Ia menjelaskan bahwa di dalam Putusan Nomor 18 dan 28 Tahun 2020 terkait perkara yang sama telah terungkap bahwa seluruh dana yang diduga dipakai untuk menyuap penyelenggara pemilu berasal dari Harun Masiku.
    “Termasuk ada suatu fakta yang sangat penting, bahwa dana dari Harun Masiku yang pertama itu bukanlah Rp 400 juta, sebagai hasil utak atik gathuk Rp 600 (juta) dikurangi Rp 200 (juta) menjadi Rp 400 (juta),” kata Hasto.
    “Tetapi adalah Rp 750 juta. Dan itu yang juga kami tegaskan di pleidoi juga di dalam sidang Nomor 18 dan 28/2020 tersebut,” ucap dia.
    Kendati demikian, ia menerima vonis tersebut dengan kepala tegak.
    “Karena itulah kepada simpatisan anggota PDI-P khususnya dari DPP, DPD, DPC, seluruh anak ranting, ranting PAC, rapdam hingga satgas partai kami mengucapkan terima kasih atas dukungannya, dengan putusan ini kepala saya tegak,” ujar Hasto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Majelis Hakim Tegaskan Tuntutan JPU KPK ke Hasto Bukan Pesanan

    Majelis Hakim Tegaskan Tuntutan JPU KPK ke Hasto Bukan Pesanan

    GELORA.CO -Bela Tim JPU KPK, Majelis Hakim sebut tuntutan 7 tahun terhadap Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto bukan berdasarkan pesanan atau tekanan pihak manapun.

    Hal itu disampaikan langsung hakim anggota, Sunoto saat membacakan pertimbangan surat putusan perkara suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 25 Juli 2025.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim turut merespons soal pembelaan dan duplik terdakwa Hasto yang mendalilkan bahwa dirinya mengalami berbagai tekanan politik sejak Agustus 2023, hingga adanya ancaman akan dijerat hukum jika tetap bersikap kritis.

    Bahkan kata Sunoto, terdakwa Hasto mendalilkan pada 13 Desember 2024 didatangi beberapa orang yang meminta mundur dari jabatan sekjen dengan ancaman akan ditetapkan sebagai tersangka jika tidak mundur, dan setelah pemecatan 3 orang pada 16 Desember 2024 terdakwa Hasto ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Desember 2024.

    “Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil tersebut, majelis hakim perlu menegaskan prinsip fundamental dalam sistem peradilan Indonesia bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 45 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24 Ayat 1 UUD 45 di mana hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hanya tunduk pada hukum dan keadilan, tidak pada tekanan politik, opini publik atau kepentingan kelompok manapun,” jelas Sunoto.

    Selain itu, ia juga merespons soal dalil Hasto yang menyebut ada kekuatan besar yang mempengaruhi proses hukum, termasuk tuntutan 7 tahun penjara dari tim JPU KPK.

    “Namun terhadap dalil tersebut majelis hakim mempertimbangkan bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah pelaksanaan fungsi penuntutan yang independen berdasarkan hasil pembuktian dalam persidangan, bukan berdasarkan pesanan atau tekanan pihak manapun, dan yang terpenting majelis hakim tidak terikat pada tuntutan penuntut umum sebagaimana terbukti dalam putusan ini di mana majelis membebaskan terdakwa dari salah satu dakwaan tersebut,” jelasnya lagi.

    Tak hanya itu, Sunoto menegaskan bahwa seluruh pertimbangan dan putusan Majelis Hakim juga semata-mata berdasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan, alat bukti yang sah menurut hukum, keterangan saksi di bawah sumpah, barang bukti yang diajukan, hingga keterangan terdakwa, serta ketentuan hukum yang berlaku.

    “Sementara majelis hakim menolak dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik dari pihak manapun, opini publik atau pemberitaan media, kepentingan politik atau golongan tertentu, spekulasi kekuatan besar, maupun isu-isu di luar fakta persidangan,” pungkas Sunoto.

    Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku, sehingga Hasto dibebaskan dari dakwaan dimaksud sebagaimana dakwaan Kesatu.

    Sementara terkait kasus suapnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP

  • Hasto Tetap Keukeuh Merasa Korban Komunikasi Anak Buah

    Hasto Tetap Keukeuh Merasa Korban Komunikasi Anak Buah

    GELORA.CO – Dinyatakan terbukti menyediakan dana operasional suap, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tetap menganggap dirinya menjadi korban komunikasi anak buahnya.

    Hal itu disampaikan langsung Hasto usai divonis penjara 3,5 tahun karena terbukti melakukan suap terkait pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.

    “Terhadap tuduhan suap, saya dinyatakan bersalah. Padahal, di dalam putusan nomor 18 dan 28/2020, seluruh fakta-fakta yang tadi dinyatakan baru, itu bukanlah fakta baru,” kata Hasto kepada wartawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 25 Juli 2025.

    Padahal, lanjut dia, dalam persidangan terungkap bahwa pernyataan dari Saeful Bahri, dan Donny Tri Istiqomah terkait sumber dana adalah berasal dari Harun Masiku.

    “Saya menjadi korban dari komunikasi anak buah, di mana di dalam persidangan ini juga sudah menyatakan seluruh dana, di bawah sumpah, itu berasal dari Harun Masiku,” terang Hasto.

    Meski dinyatakan terbukti dalam perkara suap, Hasto mengaku tetap menghormati Majelis Hakim.

    “Tetapi dengan adanya berbagai fakta yang masih disembunyikan tersebut, berupa aliran dana yang seharusnya adalah tahap pertama Rp750 juta, tapi kemudian dikatakan Rp400 juta, maka ini telah menyentuh aspek keadilan itu. Karena itulah tema dari pledoi kami adalah menggugat keadilan. Sehingga, ini adalah realitas, sebagaimana dialami oleh sahabat Tom Lembong, bagaimana hukum telah menjadi alat kekuasaan,” pungkas Hasto.

    Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku, sehingga Hasto dibebaskan dari dakwaan dimaksud sebagaimana dakwaan Kesatu.

    Sementara terkait kasus suapnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” kata Hakim Ketua, Rios Rahmanto.

    Selain itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Hasto sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

    “Menetapkan masa penangkapan dan Penahanan yang dijalankan terdakwa dikurangi. Menetapkan terdakwa tetap ditahan,” pungkas Hakim Ketua Rios.

    Putusan itu diketahui lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut agar Hasto dipidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam surat dakwaan, Hasto didakwa melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020.

    Perintangan penyidikan itu dilakukan Hasto dengan cara memerintahkan Harun Masiku melalui Nurhasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan KPK kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022.

    Selain itu, Hasto juga memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK pada saat pemeriksaan sebagai saksi pada 10 Juni 2024. Perbuatan Hasto itu mengakibatkan penyidikan atas nama tersangka Harun Masiku terhambat.

    Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

    Selanjutnya, Hasto juga didakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022 mengupayakan agar KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. 

  • Hakim: Hasto Terbukti Beri Suap Rp400 Juta untuk Loloskan Harun Masiku ke DPR

    Hakim: Hasto Terbukti Beri Suap Rp400 Juta untuk Loloskan Harun Masiku ke DPR

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) terbukti memberikan suap Rp400 juta untuk meloloskan mantan caleg PDIP, Harun Masiku menjadi anggota DPR. 

    Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, Hasto selaku Sekjen PDIP memiliki kewenangan organisasional dan motif kuat untuk memastikan Harun Masiku menjadi anggota DPR daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I, menggantikan almarhum Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. 

    Padahal, suara terbanyak kedua setelah Nazarudin saat itu adalah Riezky Aprilia, yang pada akhirnya menjadi anggota DPR pada periode lalu. 

    Upaya untuk meloloskan Harun dilakukan dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA), sekaligus meminta fatwa MA. Tujuannya, agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyerahkan kewenangan pergantian antarwaktu (PAW) ke partai. 

    “Namun ketika upaya formal tersebut gagal, terdakwa bersama dengan Saeful Bahri, Donny Tri Istiqomah dan Harun Masiku melakukan upaya ilegal melalui pemberian uang kepada Wahyu Setiawan [anggota KPU 2017-2022],” terang Hakim Anggota Sunoto di PN Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025). 

    Menurut Hakim, Hasto lalu terbukti menyediakan uang suap sebesar Rp400 juta sebagai bagian dari total dana yang dijanjikan untuk Wahyu Setiawan. 

    “Terdakwa terbukti menyediakan dana sebesar Rp400 juta dari total Rp1,25 miliar yang disiapkan untuk operasional suap sebagaimana terbukti dari percakapan WhatsApp dan rekaman telepon,” ujar Hakim Sunoto. 

    Dalam pertimbangannya, Hakim menyatakan keterlibatan Hasto dalam menyuap Wahyu terbukti dari komunikasi intensif dengan Saeful Bahri untuk pelaksanaan skema suap. Hasto berperan sebagai penyedia dana. 

    Adapun, bantahan Hasto terhadap dakwaan JPU KPK itu dinyatakan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan alat bukti yang sah, serta keterangan saksi-saksi yang konsisten. 

    “Argumen penasihat hukum tentang daur ulang perkara, ketidaklogisan dan status DPO Harun Masiku tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana terdakwa,” ujar Hakim Sunoto.

    Meski demikian, Hakim menyatakan dakwaan jaksa terkait dengan perintangan penyidikan oleh Hasto tidak dapat dibuktikan. 

    “Dapat disimpulkan, pertama meskipun unsur setiap orang telah terpenuhi pada terdakwa Hasto Kristiyanto sebagai individu yang mampu berbuat dan bertanggung jawab secara hukum, namun unsur kedua yang merupakan unsur inti dari delik tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan,” kata Sunoto.

    Dia lalu memaparkan bahwa unsur dengan sengaja merintangi atau menggagalkan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di persidangan tidak terbukti, lantaran tidak adanya alat bukti konkret dari JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Hasto dijatuhi hukuman pidana penjara 3,5 tahun dan denda Rp250 juta subsidair 3 bulan kurungan. Vonis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu 7 tahun dan denda Rp600 juta subsidair 6 bulan kurungan. 

  • Perjalanan Kasus Hasto Kristiyanto: dari Tersangka KPK hingga Vonis 3,5 Tahun Penjara

    Perjalanan Kasus Hasto Kristiyanto: dari Tersangka KPK hingga Vonis 3,5 Tahun Penjara

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah perjalanan empat bulan persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya memutuskan vonis penjara 3,5 tahun kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

    Hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor PN Jakpus itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, yakni 7 tahun penjara. Hasto dinyatakan terbukti memberikan uang suap secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif JPU.

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan [3,5 tahun] dengan pidana denda sebesar Rp 250 juta. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” ujar Hakim Ketua Rios Rahmanto di PN Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).

    Selain penjara 3,5 tahun, denda yang dijatuhi ke Hasto juga lebih ringan, yaitu sebesar Rp600 juta subsider enam bulan kurungan.

    Adapun, Hasto dibebaskan dari dakwaan kesatu JPU yakni perintangan penyidikan sebagaimana diatur pada pasal 21 UU Tipikor jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

    JPU dinilai tidak bisa membuktikan dan memberikan bukti konkret di pengadilan terkait dengan upaya Hasto merintangi maupun mencegah penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan saksi di persidangan.

    Dengan dijatuhinya vonis terhadap Hasto, maka total empat orang termasuk dirinya sudah diseret ke pengadilan. Tiga orang sebelumnya adalah Wahyu, mantan anggota Bawaslu Agustina Tio Fridelina dan orang kepercayaan Hasto, Saeful Bahri. Ketiga orang itu telah menyelesaikan hukuman pidana penjaranya pada awal-awal penanganan perkara yang bermula dari OTT 2020 itu. 

    Tuntutan JPU kepada Hasto

    Pada sidang pembacaan tuntutan dari JPU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (3/7/2025), Hasto dituntut hukuman pidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan kurungan.

    JPU meminta Majelis Hakim menyatakan Hasto terbukti melakukan obstruction of justice, yakni mencegah penyidikan pada 8 Januari 2020, serta merintangi penyidikan pada 6 Juni 2024. Hakim juga diminta menyatakan Hasto terbukti ikut memberikan suap kepada Wahyu Setiawan, di antaranya senilai Rp400 juta. 

    KPK pun menyatakan bahwa sudah berusaha menyampaikan seluruh bukti keterlibatan Hasto, yang diperoleh dari penyelidikan hingga penuntutan perkara tersebut. Lembaga antirasuah memastikan bakal menghormati putusan hakim. 

    Sementara itu, usai pembacaan duplik, Jumat (18/7/2025), Hasto kukuh menyatakan bahwa perkara yang menjeratnya ini semakin membuktikan adanya rekayasa hukum dan kriminalisasi. 

    Sekjen PDIP sejak 2015 itu lalu berpesan kepada para kader, anggota dan simpatisan Partai Banteng itu, untuk menunggu keputusan hakim dengan memohon doa kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

    “Dan apapun putusan yang diterima, yang diputuskan dalam pengadilan ini tradisi kita ketika peristiwa 27 Juli, adalah taat kepada hukum. Keputusan akan diambil 2 hari jelang 27 Juli peringatan Kuda Tuli yang terjadi pada 1996, semoga ini menjadi suatu nafas bagi berhembusnya angin keadilan dan kebenaran di dalam penegakan hukum yang sarat tekanan-tekanan politik ini,” ucapnya. 

    Kronologi Keterlibatan Hasto di Pusaran Kasus Harun Masiku 

    Berdasarkan catatan Bisnis, Hasto resmi ditetapkan tersangka oleh KPK pada 23 Desember 2024. Pada saat itu, pimpinan KPK jilid VI baru saja selesai serah terima jabatan dari pimpinan periode 2019-2024. 

    Sebelumnya, KPK memeriksa Hasto pada 10 Juni 2024 sebagai saksi. Pada pemeriksaan itu, penyidik turut menyita ponsel dan buku catatan Hasto yang berisi informasi kepartaian. 

    Tidak hanya itu, penyidik turut menyita ponsel dan barang-barang milik staf DPP PDIP yang kerap mengawal Hasto, yaitu Kusnadi. 

    Status saksi Hasto pada perkara Harun Masiku bertahan hanya sampai dengan Desember 2024. Pada 23 Desember, KPK resmi menaikkan status Hasto dan advokat sekaligus kader PDIP, Donny Tri Istiqomah, ke tersangka. 

    Rumah Hasto lalu digeledah pada 7 Januari 2025 di Bekasi, Jawa Barat dan Kebagusan, Jakarta. KPK menyebut terdapat beberapa bukti yang disita berupa catatan dan bukti elektronik. Kemudian, pada 13 Januari 2025, Hasto diperiksa sebagai tersangka selama 3,5 jam. Namun, saat itu, penyidik memutuskan belum menahannya. 

    Sebelum ditahan, Hasto dan tim penasihatnya pun melakukan berbagai perlawanan hukum dengan mengajukan praperadilan. Pada Juni 2024, pada bulan yang sama penyitaan ponsel Hasto, tim penasihat hukumnya mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik KPK di PN Jakarta Selatan. 

    Kemudian, pada Januari 2025, dia juga mengajukan praperadilan untuk melawan status tersangka yang ditetapkan KPK terhadapnya pada Desember 2024.

    Namun, Hakim Tunggal Praperadilan PN Jakarta Selatan, Djuyamto saat itu menyatakan permohonan praperadilan Hasto untuk melawan status tersangka di kasus perintangan penyidikan dan suap, tidak dapat diterima. Putusan dibacakan pada 13 Februari 2025. 

    Hakim menyatakan Hasto tidak bisa mengajukan praperadilan untuk dua perkara sekaligus. Dia seharusnya mengajukan permohonan terpisah untuk masing-masing perkara. 

    Tim penasihat hukumnya pun langsung bergerak cepat untuk mengajukan kembali praperadilan dalam dua perkara berbeda di PN Jakarta Selatan setelah itu. 

    Namun demikian, penyidik KPK sudah terlebih dahulu melakukan penahanan terhadap Hasto pada 20 Februari 2025. 

    Proses penyelesaian penyidikan terhadap Hasto pun tak memakan waktu lama. Penyidik resmi menyerahkan berkas perkara kepada tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau pelimpahan Tahap 2 pada 6 Maret 2025. Sidang perdananya pun dijadwalkan pada 14 Maret 2024. 

    Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan di kasus Harun Masiku. Salah satu perbuatan yang ditudingkan kepada elite PDIP itu adalah memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air setelah tim KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan.

    Tidak hanya itu, Hasto juga didakwa ikut memberikan uang suap kepada Wahyu Setiawan. Berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan JPU Maret 2025 lalu, uang yang diberikan Hasto bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku adalah SGD57.350 dan Rp600 juta.

    Tujuannya, agar Wahyu bersama dengan Agustina Tio Fridelina menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 caleg terpilih Dapil Sumatera Selatan I. Permohonan itu ditujukan agar Riezky Aprilia diganti dengan Harun.

    Padahal, Riezky Aprilia merupakan caleg yang saat itu memeroleh suara kedua terbesar setelah Nazarudin Kiemas, caleg terpilih dapil Sumsel I yang meninggal dunia. Akan tetapi, Hasto menginginkan agar Harun yang lolos menjadi anggota DPR menggantikan almarhum.

    “Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU RI agar ditetapkan sebagai Anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku,” demikian bunyi dakwaan jaksa.

  • Hasto Dianggap Merusak Citra Lembaga Penyelenggara Pemilu

    Hasto Dianggap Merusak Citra Lembaga Penyelenggara Pemilu

    GELORA.CO – Terbukti menyediakan dana operasional suap, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dianggap merusak citra lembaga penyelenggara Pemilu.

    Hal itu merupakan keadaan yang memberangkatkan hukuman yang disampaikan Majelis Hakim saat membacakan putusan terhadap terdakwa Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat sore, 25 Juli 2025.

    Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti menyediakan dana Rp400 juta dari total Rp1,25 miliar untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan selaku mantan Komisioner KPU dalam rangka pergantian anggota DPR periode 2019-2024.

    Selain itu, Hasto juga terbukti melalui komunikasi WhatsApp dan rekaman telepon yang menunjukkan peran koordinatif terdakwa dalam skema suap.

    “Keadaan memberatkan, perbuatan terdakwa dapat merusak citra lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya independen dan berintegritas,” kata Hakim Ketua, Rios Rahmanto.

    Selain itu, perbuatan terdakwa Hasto tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan Tipikor.

    Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto Kristiyanto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku, sehingga Hasto dibebaskan dari dakwaan dimaksud sebagaimana dakwaan Kesatu.

    Sementara terkait kasus suapnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Hasto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan kedua alternatif pertama.

    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan,” tegas Hakim Ketua Rios.

    Selain itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda kepada Hasto sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

    “Menetapkan masa penangkapan dan Penahanan yang dijalankan terdakwa dikurangi. Menetapkan terdakwa tetap ditahan,” pungkas Hakim Ketua Rios.

    Putusan itu diketahui lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut agar Hasto dipidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Dalam surat dakwaan, Hasto didakwa melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor Sprin.Dik/07/DIK.00/01/01/2020 tanggal 9 Januari 2020.

    Perintangan penyidikan itu dilakukan Hasto dengan cara memerintahkan Harun Masiku melalui Nurhasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan KPK kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022.

    Selain itu, Hasto juga memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK pada saat pemeriksaan sebagai saksi pada 10 Juni 2024. Perbuatan Hasto itu mengakibatkan penyidikan atas nama tersangka Harun Masiku terhambat.

    Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

    Selanjutnya, Hasto juga didakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan.

    Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan selaku anggota KPU periode 2017-2022 mengupayakan agar KPU menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP