Kementrian Lembaga: P2TP2A

  • Polres Malang Miliki Satuan Reserse Pidana Perdagangan Orang

    Polres Malang Miliki Satuan Reserse Pidana Perdagangan Orang

    Malang (beritajatim.com) — Kepolisian Resor Malang kini memiliki Satuan Reserse yang khusus menangani Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO). Pembentukan satuan ini tindak lanjut dari persetujuan di tingkat Polda Jawa Timur. Nantinya akan ada lima Polres, termasuk Polres Malang, yang membentuk satuan khusus ini.

    Kapolres Malang AKBP Danang Setyo Pambudi menjelaskan, fasilitas fisik untuk Satres PPA dan PPO di Polres Malang sudah disiapkan. Saat ini tinggal menunggu tahap operasional dan penempatan pejabat dari Polda, termasuk personel yang akan mengawaki satuan tersebut.

    “Pembentukan Satres PPA dan TPPO ini menjadi salah satu bentuk komitmen Polres Malang dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, khususnya di bidang penegakan hukum,” ucap Danang, Senin (8/12/2025), usai peresmian gedung PPA dan PPO.

    Danang menyebut, jelang akhir tahun 2025, terjadi peningkatan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak-anak, perempuan, dan juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Satres PPA dan TPPO akan berkolaborasi dengan dinas-dinas terkait dan jajaran Polsek untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat di Kabupaten Malang,” tegas Danang.

    Menurut Danang, terbentuknya Satres PPA dan PPO bertujuan mereduksi kejadian tindak pidana yang melibatkan anak berhadapan dengan hukum, anak bermasalah dengan hukum, dan juga KDRT, sesuai norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Satres PPA dan TPPO nantinya akan dijabat Kepala Satuan (Kasat) secara tersendiri. “Akan ada tiga Kepala Unit (Kanit), sumber daya manusia (SDM), dan kelengkapan pejabat lainnya,” beber Danang.

    Satuan tersebut, lanjut Danang, akan berkolaborasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Perlindungan Anak dan Wanita (P2TP2A), Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) anak.

    “Pembentukan satuan ini di tingkat Mabes Polri dan Polda adalah bagian dari cita-cita untuk peningkatan pelayanan terhadap warga negara Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan wanita, anak-anak, dan isu imigran, yang berada di bawah naungan Satres PPA dan PPO,” tuturnya.

    Hingga kini, Polres Malang masih menunggu arahan dari Polda Jawa Timur untuk jadwal operasionalnya. Terdapat lima Polres yang ditunjuk oleh Mabes Polri dalam satuan PPA dan PPO selain Polres Malang, yakni Polrestabes Surabaya, Polresta Sidoarjo, Polres Batu, dan Polres Probolinggo Kota. (yog/kun)

  • Walikota Jaksel: Perlindungan anak tanggung jawab bersama

    Walikota Jaksel: Perlindungan anak tanggung jawab bersama

    Jakarta (ANTARA) – Walikota Administrasi Jakarta Selatan M Anwar menegaskan perlindungan anak merupakan tugas bersama, bukan hanya pemerintah ataupun guru, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

    Pernyataan itu dia sampaikan saat membuka kegiatan Sosialisasi Pencegahan Tindakan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di lingkungan Satuan Pendidikan Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan.

    “Kasus pengaduan terkait pelecehan anak di sekolah menjadi perhatian serius, terlebih sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) yang memiliki kewajiban memberikan keteladanan bagi para siswa,” kata Anwar dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Dia menjelaskan sejumlah kasus pelecehan akhir-akhir ini justru dilakukan oleh oknum guru yang seharusnya menjadi pendidik dan teladan dalam kehidupan sosial. Kejadian itu pun dinilai bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan norma yang berlaku di masyarakat.

    “Dampaknya, siswa menjadi trauma, kehilangan semangat belajar, bahkan enggan bersekolah,” ujar Anwar.

    Oleh karena itu, dia berharap berbagai narasumber dalam sosialisasi tersebut dapat memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai ketentuan hukum, sanksi dan langkah pencegahan terkait tindak pelecehan terhadap siswa.

    “Agar para guru dapat menjadi pelindung dan teladan bagi siswanya,” tegas Anwar.

    Sementara itu, Kepala Inspektur Pembantu Wilayah Kota Jakarta Selatan M Nirwan Nawawi menuturkan sosialisasi tersebut diikuti oleh 250 peserta dari Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sekolah jenjang SD, SMP, SMA/K pada Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Jakarta Selatan.

    Sebelumnya, dia menambahkan kegiatan serupa juga pernah digelar pada Agustus 2025, yang diikuti oleh 250 peserta dari Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Jakarta Selatan.

    “Tujuan acara ini, yaitu memberikan pemahaman yang komprehensif kepada Satuan Pendidikan khususnya Tim TPPK mengenai ketentuan hukum, sanksi dan langkah pencegahan agar para guru dapat menjadi pelindung dan teladan bagi siswanya sehingga tercipta lingkungan sekolah yang nyaman, aman dan ramah anak,” tutur Nirwan.

    Dalam kegiatan sosialisasi itu, dia meminta agar tim TPPK ataupun tenaga pendidik dapat berkomitmen mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman dan mencerdaskan.

    “Sehingga dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, namun juga menjadi generasi yang memiliki integritas, kreatif dan inovatif,” pungkas Nirwan.

    Sejumlah narasumber dalam sosialisasi itu, di antaranya perwakilan dari UPT Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pelayanan Terpadu (P2TP2A), Unit VI Reskrimsus Polres Metro Jakarta Selatan, Praktisi SDM Aparatur dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

    Pewarta: Ilham Kausar
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kapolres Serang Mediasi Kasus Penganiayaan Senior ke Junior di Pondok Pesantren

    Kapolres Serang Mediasi Kasus Penganiayaan Senior ke Junior di Pondok Pesantren

    Jakarta

    Kapolres Serang AKBP Condro Sasongko mediasi kasus dugaan penganiayaan santri oleh senior di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Petir. Menurut Condro, mediasi menghasilkan kesepakatan damai antara korban dan pelaku.

    Salah seorang santri dilaporkan ke Mapolres Serang karena diduga telah melakukan kekerasan terhadap adik kelas pada Rabu (17/9).

    Peristiwa itu berawal ketika terduga pelaku melihat kamar santri adik kelasnya tidak bersih. Terduga kemudian memberi tugas pada korban menghafal satu juz. Namun tugas yang diberikan seniornya tersebut tidak terpenuhi, sehingga terjadi penganiayaan.

    Sementara itu, mediasi digelar di Mapolres Serang, Banten, dalam acara Ngariung Iman, Ngariung Aman. Kapolres menghadirkan pihak keluarga korban, terduga pelaku, pengurus pondok pesantren, serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Serang.

    Turut hadir Kasatreskrim AKP Andi Kurniady ES, Iptu Iwan Rudini, dan personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim selaku pihak yang menangani perkara.

    Kapolres berharap pihak sekolah ke depan harus menjaga komunikasi dan terbuka jika ada kejadian agar peristiwa seperti ini tidak terulang.

    “Jadi ini yang terakhir kali, jangan sampai terulang lagi. Sebab saat ini pondok pesantren merupakan pilot project, jangan ada kekerasan di sana dan ini bukan zamannya lagi,” kata Condro.

    (aik/whn)

  • Guru di Kota Serang Ajak Siswi Check in ke Hotel, Polisi Buka Peluang Ada Tersangka Lain

    Guru di Kota Serang Ajak Siswi Check in ke Hotel, Polisi Buka Peluang Ada Tersangka Lain

    Siswi yang menjadi korban sudah melapor ke P2TP2A Kota Serang. Korban belum mau berbicara banyak. Diduga masih trauma dan ada rasa ketakutan. Meski begitu, P2TP2A dan Polresta Serkot berjanji akan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.

    “Memang kita dapat info, ada pengakuan itu dari korban, tapi saat kita kroscek, ternyata korban masih belum mau melaporkan,” ujar Hena Arlina, Ketua tim kerja Perlindungan Khusus Anak, Rabu, (30/07/2025).

    Sebelumnya ramai diberitakan, terjadi dugaan pelecehan seksual dari oknum guru ke murid di SMAN 4 Kota Serang, Banten. Polresta Serkot saat ini telah menetapkan satu orang tenaga pendidik berinisial HD, karena merudapaksa siswinya berinisial SR sebanyak 3 kali pada 2023 silam.

  • Komisi VIII: Perlu aksi kolektif hadapi data kekerasan perempuan-anak

    Komisi VIII: Perlu aksi kolektif hadapi data kekerasan perempuan-anak

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Atalia Praratya mengatakan perlu perhatian serius dan aksi kolektif untuk menghadapi tingginya data kekerasan perempuan dan anak tahun 2025.

    Adapun data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak (PPPA) tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga Juni 2025, tercatat sebanyak 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    “Angka ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa perjuangan kita untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan masih jauh dari kata selesai,” ujar Atalia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

    Ia menyampaikan keprihatinan mendalam karena setiap angka di dalam data tersebut merepresentasikan kisah pilu, trauma, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa diabaikan.

    Di sisi lain, Atalia berpendapat bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan sering kali berhubungan dengan ketidakberdayaan ekonomi, sehingga program pemberdayaan ekonomi perempuan juga menjadi kunci untuk meningkatkan kemandirian dan daya tawar mereka agar lebih terlindungi dari potensi kekerasan.

    Kendati demikian, dia mengapresiasi kerja keras Kementerian PPPA dalam mendata dan merilis informasi tersebut, yang merupakan langkah krusial dalam memahami skala permasalahan, namun turut menekankan pentingnya respons yang lebih komprehensif dan terkoordinasi dari semua pihak.

    Menurutnya, data yang dirilis tidak hanya menunjukkan jumlah kasus, tetapi juga mengindikasikan adanya gunung es permasalahan yang lebih besar.

    “Banyaknya kasus kekerasan, sayangnya, masih belum terungkap atau dilaporkan karena berbagai faktor, mulai dari rasa takut, stigma sosial, hingga minimnya akses terhadap keadilan,” ungkapnya.

    Anggota komisi yang membidangi isu agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak itu turut menyoroti perlunya penguatan sistem pelaporan dan penjangkauan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

    Ditambahkan bahwa pemerintah dan masyarakat perlu terus berupaya memperkuat sistem pelaporan yang mudah diakses, aman, dan responsif.

    Untuk itu, Atalia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa para korban merasa aman untuk melapor dan mendapatkan pendampingan yang mereka butuhkan.

    Hal tersebut, kata dia, termasuk peningkatan kapasitas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan layanan pengaduan lainnya di seluruh wilayah.

    “Kekerasan adalah hasil dari pola pikir dan konstruksi sosial yang salah. Oleh karena itu, edukasi dan pencegahan harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat,” tutur Atalia.

    Dengan demikian, dia berharap seluruh pihak harus bisa mengajarkan kesetaraan gender, membangun budaya saling menghormati, dan menolak segala bentuk diskriminasi serta kekerasan.

    Selain itu, dikatakan bahwa berbagai program edukasi tentang persetujuan, hak-hak perempuan, dan cara-cara melaporkan kekerasan harus diintensifkan.

    Ia pun berharap agar pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang adil dan konsisten, sambung dia, akan memberikan efek jera serta menjamin keadilan bagi para korban.

    Dirinya menambahkan bahwa penting pula untuk meningkatkan pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum terhadap isu kekerasan berbasis gender.

    “Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat, mahasiswa, dan komunitas punya peran vital dalam mengubah narasi dan mendukung korban,” ucap dia.

    Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak untuk membangun lingkungan yang suportif, di mana korban berani bersuara dan mendapatkan dukungan penuh dari sekitar.

    Atalia menegaskan komitmen Fraksi Golkar di DPR untuk terus mengawal isu tersebut melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

    “Kami akan terus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang memadai, memperkuat regulasi yang ada, dan memastikan implementasi kebijakan yang efektif demi tercapainya Indonesia, yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan,” ujar Atalia menambahkan.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mahasiswi di Karawang Diperkosa, Lapor Polisi Diminta Damai, Dinikahi Sehari lalu Dicerai
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        27 Juni 2025

    Mahasiswi di Karawang Diperkosa, Lapor Polisi Diminta Damai, Dinikahi Sehari lalu Dicerai Bandung 27 Juni 2025

    Mahasiswi di Karawang Diperkosa, Lapor Polisi Diminta Damai, Dinikahi Sehari lalu Dicerai
    Tim Redaksi
    KARAWANG, KOMPAS.com
    – N (19), seorang mahasiswi di Kabupaten
    Karawang
    , Jawa Barat, diduga menjadi korban pemerkosaan seorang pria berinisial J. Korban melapor ke polisi, tapi diminta berdamai.
    Korban lantas dinikahi oleh pelaku, namun sehari kemudian diceraikan.
    Kuasa hukum korban, Gary Gagarin menuturkan, peristiwa ini terjadi saat N sedang berada di rumah neneknya di Kecamatan Majalaya, Karawang, pada 9 April 2025.
    Saat itu, J yang mengetahui keberadaan N lalu menyusul. J mengaku ingin bertemu N karena belum sempat berlebaran.
    J diketahui merupakan guru ngaji dan masih memiliki ikatan keluarga dengan korban.
    “Ketemu salaman lah dengan pelaku, setelah itu dia menjadi tidak sadar, dibawa ke kamar dan dilakukanlah kekerasan seksual di situ. Tepergok si nenek, dipanggil warga lalu diamankan,” kata Gary kepada
    Kompas.com
    , Kamis (27/6/2025). 
    Gary mengatakan, N baru sadar setelah berada di klinik. Sementara J lqngsung digiring keluarga N ke Polsek Majalaya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akan tetapi, polisi justru memediasi kasus tersebut dan menyarankan perdamaian.
    Gary mengatakan, kesepakatan damai itu berisi pernyataan J bersedia menikahi korban dan keduanya tidak akan saling menuntut di kemudian hari.
    Gary menyesalkan Polsek Majalaya tidak mengarahkan kasus ini ke Unit PPA Polres Karawang. Gary juga menyebut ada tekanan terhadap keluarga N untuk melakukan pernikahan dengan alasan aib desa.
    “Enggak masuk akal pernikahan pun selang sehari langsung diceraikan. Ini harus dipahami penegak hukum, jangan dibiasakan pelaku kekerasan seksual didamaikan,” kata Gary.
    Hingga saat ini, kata Gary,  J masih menjalankan aktivitas seperti biasa sebagai seorang guru. Sementara N terus berupaya memperjuangkan keadilan atas nasibnya.
    “Dari situ ternyata korban coba lapor ke Satgas TPKS di kampus, tapi tidak ada tindak lanjut dan terkesan didiamkan,” kata Gary.
    Gary mengatakan, kondisi psikis N terganggu. N bahkan menyatakan ingin berhenti kuliah kepada orangtuanya. Sebab, keluarga N sering menerima ancaman dari keluarga J karena dianggap menghancurkan karir J sebagai seorang guru.
    “Rumah korban sampai dilempari batu, padahal klien kami adalah korban. Antara korban dan pelaku juga masih ada hubungan keluarga,” kata Gary.
    Gary mengatakan, pada Mei 2025, tim kuasa hukum sebetulnya sudah melaporkan lagi kasus ini ke Unit PPA Polres Karawang. Akan tetapi, laporan itu tidak bisa diproses lantaran sebelumnya ada surat pernyataan damai.
    “Akhirnya kita ke P2TP2A untuk meminta pendampingan psikis agar kondisi korban bisa pulih. Kita akan bersurat ke Kapolres untuk minta atensi,” kata Gary.
    Gary menilai, apa yang menimpa N harus dikawal hingga tuntas melalui proses hukum. Sebab, tindak kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan perjanjian damai.
    Kasi Humas Polres Karawang Ipda Cep Wildan membenarkan kasus tersebut difasilitasi penyelesaiannya oleh Polsek Majalaya.
    Polisi menilai kasus tersebut tidak bisa diproses ke Unit PPA Polres Karawang karena korban bukan anak di bawah umur. Polisi juga menganggap kasus tersebut sebagai perkara suka sama suka.
    “Korban sudah 19 tahun, jadi bukan anak di bawah umur. Kalau ke PPA, itu untuk anak-anak karena
    lex specialis
    , makanya kemarin difasilitasi untuk berdamai,” ujar Wildan.
    Meski begitu, Wildan mempersilakan soal rencana korban akan kembali melapor ke kepolisian.
    “Sah-sah saja untuk laporan, cuma dilihat juga delik aduan yang disangkakan ke pelaku apa,” kata Wildan.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jakarta harus jadi kota yang aman bagi perempuan dan anak

    Jakarta harus jadi kota yang aman bagi perempuan dan anak

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) Bernadia Irawati Tjandradewi dalam talkshow di sela kegiatan Jakarta Future Festival (JFF) 2025, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Sabtu (14/6/2025). (ANTARA/Siti Nurhaliza)

    Jakarta harus jadi kota yang aman bagi perempuan dan anak
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 14 Juni 2025 – 15:57 WIB

    Elshinta.com – Sekretaris Jenderal United Cities and Local Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC) Bernadia Irawati Tjandradewi mengemukakan, Jakarta harus mampu meningkatkan infrastruktur untuk menjadi kota yang aman bagi perempuan dan anak.

    “Jakarta harus bisa menjadi kota yang memiliki infrastruktur yang nyaman, kota yang aman untuk perempuan dan anak sehingga tidak perlu khawatir sebagai perempuan dan anak yang berada di Jakarta,” kata Bernadia dalam diskusi di “Jakarta Future Festival (JFF) 2025” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Sabtu.

    Selain itu, Bernadia menyebutkan, Jakarta harus meningkatkan semua sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pelayanan publik serta kenyamanan masyarakat. Seperti layanan transportasi dan kualitas udara.

    “Saya mau ada target, biasanya jalan kaki 5.000 langkah tapi di Jakarta susah, karena takut keserempet dan lain-lain. Jadi Jakarta harus memiliki transportasi yang lancar, kota harus aman untuk perempuan dan anak, kota bersih tidak ada polusi,” ujar Bernadia.

    Menurut Bernadia, mewujudkan Jakarta kota yang aman bagi perempuan dan anak tidak hanya menjadi tugas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Semua pihak di kalangan masyarakat termasuk komunitas harus bersama-sama mencari solusi. Untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global perlu adanya “branding” yang kuat bagi Jakarta. “Ini bukan hanya kerja pemerintah daerah (pemda) saja, semua harus terlibat, harus ikut sebagai bentuk bangga sebagai warga Jakarta,” katanya.

    Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) memperkuat peran pamong di tingkat kelurahan untuk mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurut Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Ali Maulana Hakim, para pamong khususnya lurah memegang peran strategis sebagai pemimpin yang paling dekat dengan masyarakat.

    Berdasarkan laman (web) Dinas PPAPP DKI Jakarta, layanan kasus kekerasan perempuan dan anak bisa diakses secara gratis bagi warga Jakarta ataupun bukan warga DKI Jakarta yang mengalami kekerasan di wilayah Jakarta. Layanan pengaduan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Layanan tersebut mencakup pendampingan, kesehatan, psikologis, hukum dan rujukan.

    Terdapat dua petugas layanan di setiap pos pengaduan yang terdiri dari konselor dan paralegal yang bertugas menerima pengaduan kekerasan,m dan melakukan asesmen awal kepada perempuan dan anak korban kekerasan. Adapun pos pengaduan kekerasan perempuan dan anak di Jakarta hadir di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersebar di lima wilayah kota administrasi dan Kepulauan Seribu.

    Total terdapat 44 pos pengaduan yang kini tersebar di setiap kecamatan di wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPPA Provinsi DKI Jakarta, terdapat 2.041 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2024. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 1.682 kasus.

    Sedangkan kasus kekerasan perempuan dan anak sepanjang Januari sampai Juni 2025 sebanyak 965 kasus.

    Sumber : Antara

  • PPAPP DKI perkuat peran tim terpadu cegah kekerasan perempuan dan anak

    PPAPP DKI perkuat peran tim terpadu cegah kekerasan perempuan dan anak

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) memperkuat peran tim terpadu untuk mencegah kasus kekerasan perempuan dan anak.

    “Kami membentuk tim terpadu yang tentunya bekerja sama dengan pihak pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya untuk bersama-sama berupaya mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta Iin Mutmainnah di Jakarta, Jumat.

    Tim terpadu tersebut bekerja sama dengan 10 perangkat daerah, seperti Asisten Kesejahteraan Rakyat (Kesra) DKI Jakarta, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), jajaran Dinas PPAPP, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Kependudukan, Dinas Pendidikan, dan Biro Kesejahteraan Sosial (Kesos).

    Iin menjelaskan, tim terpadu cegah kekerasan perempuan dan anak atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jakarta bertugas memberikan pelayanan secara terpadu, gratis, dan berkelanjutan bagi korban kekerasan perempuan dan anak di DKI Jakarta.

    Pelayanan ini mencakup pengaduan, konsultasi hukum, pendampingan, layanan medis dan psikologis, serta rehabilitasi. Selain itu, tim tersebut juga memberikan sosialisasi tentang kekerasan perempuan dan anak kepada berbagai kalangan, mulai dari sekolah, masyarakat, dan pamong di kelurahan setempat.

    “Pencegahan juga dapat dilakukan dengan membangun komunikasi dan kolaborasi antara berbagai pihak terkait. Karena ini merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah saja,” ujar Iin.

    Selain itu, upaya lain yang dilakukan Dinas PPAPP DKI Jakarta antara lain mengembangkan kebijakan dan regulasi, melaksanakan sosialisasi dan kampanye publik, penyediaan layanan pusat konsultasi keluarga (Puspa), penyusunan naskah akademik Ranperda perlindungan perempuan dan penyelenggaraan kota/kabupaten layak anak.

    Kemudian, pelatihan dan edukasi ke masyarakat, penyebarluasan media informasi tentang pencegahan dan pengamanan, melakukan Survei Pengalaman Hidup Anak Daerah (SPHAD) dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Daerah (SPHPD) bersama BPS Jakarta.

    Lalu, menggencarkan penyuluhan di sekolah dan komunitas, hingga penyediaan rumah aman melalui Dinas Sosial DKI Jakarta.

    “Kami juga berkomitmen melakukan penanganan laporan kekerasan secara kolaboratif. Tim terpadu akan menindaklanjuti mulai dari pengaduan awal, pelayanan kesehatan, pendamping korban, hingga perlindungan kepada korban,” kata mantan Wakil Wali Kota Jakarta Timur itu.

    Adapun pos pengaduan kekerasan perempuan dan anak di Jakarta hadir di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersebar di lima wilayah kota administrasi dan Kepulauan Seribu.

    Total terdapat 44 pos pengaduan yang kini tersebar di setiap kecamatan di wilayah DKI Jakarta.

    Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPPA Provinsi DKI Jakarta, terdapat 2.041 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2024. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 1.682 kasus.

    Sedangkan kasus kekerasan perempuan dan anak sepanjang Januari sampai Juni 2025 sebanyak 965 kasus.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Guru berperan penting deteksi kekerasan perempuan dan anak

    Guru berperan penting deteksi kekerasan perempuan dan anak

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meminta guru untuk bisa berperan penting dalam mendeteksi adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan sekolah.

    “Kejadian kekerasan perempuan dan anak di lingkungan sekolah juga perlu diperhatikan. Guru-guru harus tahu dan bisa mendeteksi kegiatan dan perilaku siswanya selama di sekolah,” kata Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah (Askesra Sekda) Provinsi DKI Jakarta, Ali Maulana Hakim di Jakarta, Jumat.

    Ali mengatakan guru dapat menjadi pembina utama dalam memberikan edukasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekolah. Sehingga siswa dapat lebih mengenali, mencegah, dan merespons tanda-tanda kekerasan.

    Edukasi yang dapat diberikan berupa bentuk-bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, verbal, seksual, psikologis, dan siber (online).

    Selain itu, Ali meminta guru lebih peka terhadap perubahan sikap anak selama beraktivitas di sekolah. Hal tersebut menyangkut pikiran, emosional, ataupun peristiwa yang sedang dirasakan siswa.

    “Kejadian di sekolah juga guru-guru harus memperhatikan, harus tahu perkembangan siswanya. Kalau ada yang tiba-tiba bengong, stres, guru harus cari tahu,” ujarnya.

    Menurut Ali, anak-anak biasanya akan ragu dan takut untuk menceritakan kekerasan yang mereka alami. Oleh karena itu, guru harus menjadi wadah pertama untuk mendeteksi, menampung cerita, dan membantu sistem pelaporan.

    “Harus segera dilaporkan. Jadi, setiap perkembangan terhadap anak-anak, terhadap perempuan, harus mudah untuk melakukan pelaporannya. Tetapi, jangan salah, seringkali hal ini menjadi hal yang memalukan, hal yang ditutup-tutupi, aib bagi keluarga, jadi harus tetap menjaga privasi anak dan keluarga,” jelas Ali.

    Berdasarkan laman Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, layanan kasus kekerasan perempuan dan anak bisa diakses secara gratis bagi warga Jakarta ataupun bukan warga DKI Jakarta yang mengalami kekerasan di wilayah Jakarta.

    Layanan pengaduan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Layanan tersebut mencakup pendampingan, kesehatan, psikologis, hukum, dan rujukan.

    Terdapat dua petugas layanan di setiap pos pengaduan yang terdiri dari petugas yang memberikan bimbingan konseling (konselor) dan edukasi hukum (paralegal) yang bertugas menerima pengaduan kekerasan, dan melakukan asesmen awal kepada perempuan dan anak korban kekerasan.

    Adapun pos pengaduan kekerasan perempuan dan anak di Jakarta hadir di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang tersebar di lima wilayah kota administrasi dan Kepulauan Seribu.

    Total terdapat 44 pos pengaduan yang kini tersebar di setiap kecamatan di wilayah DKI Jakarta.

    Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPPA Provinsi DKI Jakarta, terdapat 2.041 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2024. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 1.682 kasus.

    Sedangkan kasus kekerasan perempuan dan anak sepanjang Januari sampai Juni 2025 sebanyak 965 kasus.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Ade irma Junida
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 37 Anak di Ngawi Ajukan Dispensasi Nikah, 15 di Antaranya Hamil
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        10 Juni 2025

    37 Anak di Ngawi Ajukan Dispensasi Nikah, 15 di Antaranya Hamil Surabaya 10 Juni 2025

    37 Anak di Ngawi Ajukan Dispensasi Nikah, 15 di Antaranya Hamil
    Tim Redaksi
    NGAWI, KOMPAS.com
    – Sebanyak 37
    anak di bawah umur
    di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, telah mengajukan
    dispensasi nikah
    . Data ini hingga akhir Mei 2025.
    Dari jumlah tersebut, 15 anak di antaranya dalam kondisi hamil sebelum menikah.
    Kepala UPTD P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPPPA-KB) Kabupaten Ngawi, Gatot Kariyanto, ungkap alasannya.
    Ia menyatakan bahwa
    pergaulan bebas
    dan pornografi menjadi salah satu pemicu tingginya angka pengajuan dispensasi nikah di kalangan anak-anak.
    “Keahlian anak-anak mengakses internet tidak selalu diimbangi dengan pemahaman yang baik. Kondisi itu menjadikan anak-anak terkadang membuka situs-situs yang tidak pantas,” ujar Gatot dalam konfirmasi pada Selasa (10/6/2025).
    Gatot merinci bahwa dari 37 anak yang mengajukan dispensasi, 31 di antaranya adalah perempuan dan enam lainnya laki-laki.
    Dari 31 anak perempuan tersebut, 15 di antaranya sudah hamil, bahkan tiga di antaranya telah melahirkan.
    Menurut Gatot, perangkat gawai seharusnya dapat dimanfaatkan untuk hal-hal positif, tetapi malah menjadi media bagi anak-anak untuk terpengaruh oleh konten negatif.
    Akibatnya, pergaulan bebas semakin marak dan banyak anak terjebak dalam hubungan seksual pra-nikah.
    Gatot menambahkan bahwa kasus kehamilan di kalangan anak di bawah umur dapat mempengaruhi masa depan mereka.
    “Kalau hamil duluan bukan hanya beban fisik. Tapi juga beban psikis dan sosial,” tuturnya.
    Menanggapi permasalahan ini, Gatot menyatakan bahwa jajarannya melakukan edukasi dan sosialisasi ke sekolah-sekolah.
    Dari sosialisasi tersebut, diharapkan dapat menekan angka pernikahan dini.
    “Pencegahan tidak bisa hanya dilakukan oleh instansi pemerintah saja. Membutuhkan peran keluarga, sekolah, dan masyarakat. Terlebih orang tua harus peduli dengan apa yang dilihat anak melalui gadgetnya masing-masing,” ujar Gatot.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.