Kementrian Lembaga: Ombudsman

  • Video: Tujuan Mulia MBG, Selamatkan 60% Anak dari Gizi Tak Seimbang

    Video: Tujuan Mulia MBG, Selamatkan 60% Anak dari Gizi Tak Seimbang

    Jakarta, CNBC Indonesia- Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana memastikan pelaksanaan dan pengembangan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ditujukan untuk menyelamatkan generasi mendatang dan menciptakan generasi berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.

    MBG diharapkan dapat mengatasi persoalan pemenuhan gizi anak Indonesia utamanya 60% anak dari keluarga miskin dan rentan miskin yang belum bisa mengakses menu gizi seimbang yang tersebar di daerah padat penduduk seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga sebagian DKI Jakarta

    Dalam menghadapi berbagai kasus keracunan program MBG, BGN terus memperkuat pengawasan internal dan eksternal yang bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah hingga Ombudsman.

    Saat ini BGN hampir memasak 1 Miliar porsi masakan dalam 9 bulan berjalan, meski menghadapi tantangan terkait 4.711 kasus gangguan kesehatan. BGN juga memastikan gizi dalam makanan MBG harus memenuhi standar kualitas gizi dengan harga bahan baku yang disesuaikan dengan wilayah.

    Sementara terkait penyerapan anggaran MBG, BGN terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan RI dalam pengelolaan anggaran MBG. Dimana besaran penyerapan MBG berkorelasi dengan jumlah penerima manfaat, jika target 10.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di September maka anggaran Rp 10 Triliun di Oktober 2025 bisa diserap.

    Ditargetkan pembentukan setiap SPPG akan mempekerjakan 50 yakni 3 pegawai BGN dan 47 relawan orang dengan 15 suplier bahan pangan yang mempekerjakan100 penduduk lokal. Sehingga MBG akan menciptakan ekonomi baru di kawasan SPPG mulai dari petani padi, petani pisang, peternak ayam hingga ikan bandeng.

    Seperti apa perkembangan program MBG? Selengkapnya simak dialog Syarifah Rahma dengan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Kamis, 25/09/2025)

  • Keracunan, Calo, dan Masa Depan Makan Bergizi Gratis
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 September 2025

    Keracunan, Calo, dan Masa Depan Makan Bergizi Gratis Nasional 28 September 2025

    Keracunan, Calo, dan Masa Depan Makan Bergizi Gratis
    Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.
    PRESIDEN
    Prabowo Subianto mengusung Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai program andalan pemerintahannya.
    Tujuan program ini jelas, yakni memberikan makanan sehat kepada anak-anak dan kelompok rentan agar tidak kekurangan gizi, menekan angka stunting, serta membentuk generasi masa depan yang lebih sehat dan produktif.
    Gagasan ini bukan sekadar janji politik, melainkan investasi strategis negara yang selaras dengan agenda pembangunan jangka panjang.
    Negara maju telah membuktikan bahwa pembangunan sumber daya manusia melalui perbaikan gizi jauh lebih murah daripada menanggung biaya kesehatan dan kerugian ekonomi di kemudian hari.
    Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana niat baik. Belakangan publik diramaikan laporan kasus keracunan massal dari program MBG.
    Data pemantauan CISDI yang dihimpun dari pemberitaan media mencatat lonjakan kasus signifikan: Januari 99 kasus, April 1.226, Agustus 1.285, dan September bahkan mencapai 1.726 kasus.
    Ribuan anak jatuh sakit akibat makanan yang seharusnya menjadi sarana perbaikan gizi. Fakta ini menjadi alarm keras bagi pemerintah bahwa ada persoalan serius dalam implementasi di lapangan.
    Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), program MBG saat ini telah mnjangkau 29,8 juta penerima manfaat melalui 8.018 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia.
     
    Angka ini mencerminkan jangkauan yang luas. Namun, jangkauan semata tidak cukup sebagai tolok ukur keberhasilan. Mutu makanan dan dampak nyata pada gizi masyarakat adalah ukuran sesungguhnya.
    Kasus keracunan tidak bisa dianggap sebagai kecelakaan teknis belaka. Masalah ini harus dilihat sebagai sinyal bahwa sistem pengawasan, keamanan pangan, dan kualitas pelayanan dapur MBG belum berjalan dengan baik.
    Persoalan keracunan massal tidak dapat dipandang sebagai kegagalan teknis dapur semata. Ombudsman RI secara terbuka menyebut adanya “calo-calo yayasan” yang bergentayangan dalam pelaksanaan MBG, berperan sebagai perantara dalam penunjukan mitra dapur.
    Praktik ini membuka ruang biaya tambahan yang seharusnya tidak ada. Kepala BGN sendiri mengakui telah menerima laporan tentang SPPG “nakal” yang diduga menyunat anggaran atau melakukan pemotongan tak resmi, dan menegaskan akan meminta pengembalian dana jika terbukti.
    Fakta ini menunjukkan bahwa isu calo bukan sekadar rumor, melainkan kenyataan yang telah diamati oleh lembaga pengawas dan diakui oleh pejabat terkait.
    Konsekuensinya jelas: margin keuntungan mitra dapur tergerus sebelum kegiatan dimulai. Untuk menutup kerugian, penyedia terpaksa menurunkan kualitas bahan makanan, mengabaikan standar higienitas, atau memangkas pelatihan tenaga masak.
    Hasilnya, makanan yang seharusnya meningkatkan gizi justru menjadi sumber penyakit. Keracunan massal adalah wajah nyata dari tata kelola yang rapuh.
    Di sisi lain, praktik percaloan juga berpengaruh pada serapan anggaran. Proses penunjukan mitra menjadi lambat karena adanya “deal” tidak resmi.
    Inilah salah satu alasan mengapa serapan anggaran MBG tahun 2025 hingga awal September baru sekitar Rp 13 triliun dari pagu Rp 71 triliun, atau hanya 18,3 persen. Anggaran jumbo yang seharusnya segera memberi manfaat justru tersendat oleh permainan rente.
    Dalam APBN 2026 yang baru saja disahkan, pemerintah telah menetapkan alokasi sebesar Rp 335 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis, menjadikannya salah satu pos terbesar dalam delapan agenda prioritas pembangunan nasional.
    Angka jumbo ini memperlihatkan betapa strategisnya MBG bagi pemerintahan saat ini.
    Namun pertanyaannya, apakah lonjakan anggaran sebesar itu akan benar-benar sebanding dengan peningkatan kualitas layanan?
    Tanpa tata kelola yang transparan, alokasi besar justru berisiko menjadi ladang rente dan membuka ruang praktik korupsi sistemik.
    Menilai MBG secara keseluruhan memang masih terlalu dini. Manfaat jangka panjang seperti perbaikan gizi kolektif dan kualitas sumber daya manusia baru akan terlihat beberapa tahun ke depan.
    Namun, evaluasi berjalan sangat penting agar tujuan mulia program ini tidak menyimpang.
    Dalam literatur evaluasi, Ralph Tyler, seorang pendidik Amerika yang banyak berkarya di bidang asesmen dan evaluasi, menekankan pentingnya pendekatan berorientasi tujuan.
    Tujuan utama program Makan Bergizi Gratis adalah meningkatkan status gizi masyarakat, terutama anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui, untuk menekan stunting dan malnutrisi, sekaligus mempersiapkan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan kuat menyongsong Indonesia Emas 2045.
    Sementara itu, model CIPP (Context, Input, Process, Product) yang diperkenalkan Daniel Stufflebeam, salah satu tokoh penting dalam bidang evaluasi, menawarkan kerangka kerja komprehensif untuk menilai relevansi program dengan kebutuhan masyarakat, kualitas input yang digunakan, proses implementasi, hingga hasil yang dicapai.
    Evaluasi proses dapat memantau kegiatan operasional harian, mulai dari standar kebersihan dapur, rantai pasok, hingga distribusi makanan.
    Adapun evaluasi dampak berfokus pada hasil jangka panjang, seperti penurunan prevalensi stunting dan peningkatan status kesehatan anak.
    Indikator terukur yang perlu digunakan meliputi prevalensi stunting secara periodik, kasus keracunan sebagai indikator mutu implementasi, efisiensi penggunaan anggaran, kualitas dapur dan tenaga kerja SPPG, distribusi ke daerah dengan prevalensi stunting tinggi, serta transparansi publik mengenai mitra dan kontrak.
    Dengan indikator ini, pemerintah dapat mendeteksi gangguan lebih dini dan melakukan koreksi tanpa menghentikan program.
    Untuk memastikan MBG benar-benar menjadi instrumen transformasi gizi bangsa, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi khusus yang mempertegas mandat, standar gizi, serta mekanisme koordinasi lintas lembaga.
    Transparansi anggaran wajib diperkuat, termasuk daftar mitra, kontrak pengadaan, dan audit publik.
    Peran pemerintah daerah, ahli gizi, dan masyarakat sipil dalam pengawasan harus diperluas. Praktik percaloan dan pungutan liar perlu diberantas melalui audit independen dan sanksi tegas.
     
    Selain itu, prioritas harus diberikan pada daerah dengan angka stunting tertinggi, terutama di kawasan timur Indonesia. Tidak boleh ada kesenjangan geografis dalam program sebesar ini.
    Data terbaru tentang 29,8 juta penerima manfaat melalui 8.018 SPPG adalah capaian awal yang signifikan. Namun, jumlah semata bukan ukuran keberhasilan.
    Mutu layanan, keamanan pangan, dan dampaknya pada kesehatan masyarakat adalah ujian sebenarnya.
    Kasus keracunan massal harus menjadi momentum refleksi dan perbaikan, bukan sekadar catatan buruk. Dengan evaluasi berjalan yang serius, pemerintah bisa melakukan koreksi tanpa mematikan program.
    Jika koreksi tidak dilakukan, maka MBG akan terus dibayangi ironi: makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan justru membuat anak-anak sakit, dan dana besar negara bocor ke tangan calo.
    Presiden Prabowo masih memiliki kesempatan untuk mengubah arah. Dengan perbaikan regulasi, transparansi, dan pengawasan, MBG dapat menjadi warisan emas bangsa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara Nasional 27 September 2025

    Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    PADA
    Mei 2025 lalu, penulis telah menyoroti persoalan keracunan massal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui opini berjudul “
    Bukan Sekadar Statistik: Keracunan Massal MBG dan Alarm bagi Komitmen HAM
    ” (Kompas.com, 14/05/2025).
    Kala itu, kasus di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan, menyebabkan ratusan anak dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap MBG. Peristiwa ini telah diperingatkan sebagai alarm dini atas bahaya sistemik dalam pelaksanaan program.
    Kini, peringatan itu bukan hanya terbukti, melainkan menjelma menjadi tragedi besar. Di Bandung Barat saja, lebih dari 1.300 siswa dilaporkan keracunan MBG pada September 2025, menjadikannya episentrum krisis gizi yang ironis.
    Secara nasional, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari hingga September 2025, sedangkan CISDI menemukan sedikitnya 6.600 kasus melalui pemantauan media massa.  Perbedaan angka ini menunjukkan adanya persoalan transparansi, sekaligus menandakan kemungkinan besar bahwa jumlah korban sesungguhnya jauh lebih besar dari data resmi.
    Fakta bahwa program yang dirancang untuk memenuhi gizi anak justru telah mencatat lebih dari lima ribu kasus keracunan dalam sembilan bulan pertama adalah bukti kegagalan negara. Krisis ini tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah teknis distribusi pangan semata, melainkan telah beralih menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia — khususnya hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan hidup yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.
    Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, kasus keracunan massal MBG tidak dapat dipandang sekadar sebagai kelalaian administratif, melainkan merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, khususnya anak-anak.
    Konstitusi Indonesia telah secara tegas memberikan jaminan. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
    Sementara itu, Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    Namun, fakta ribuan anak justru mengalami keracunan akibat program negara memperlihatkan bahwa jaminan konstitusional tersebut telah nyata tercederai. Tidak hanya dalam tataran konstitusi, hukum nasional juga mengatur kewajiban negara untuk memastikan pelindungan hak anak dan keamanan pangan.
    UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hak setiap anak atas pelindungan, kesejahteraan, dan perawatan yang layak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014, memandatkan negara untuk menjamin kesehatan anak serta menyediakan sarana layanan kesehatan yang aman. Pun, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memberikan pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
    Maka, keracunan massal MBG menandakan tidak dijalankannya kewajiban hukum positif yang sudah lama berlaku di Indonesia. Kewajiban negara semakin jelas ketika dilihat dari perspektif hukum internasional.
    Konvensi Hak Anak (CRC) 1989, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, mewajibkan negara menjamin hak hidup dan standar kesehatan tertinggi bagi anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 dan 24. Demikian pula, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), yang telah diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005, mengikat Indonesia untuk menjamin hak atas standar hidup layak, termasuk pangan yang aman dan bergizi (Pasal 11), serta hak atas kesehatan (Pasal 12).
    Prinsip
    non-retrogression
    dalam ICESCR secara tegas melarang negara mengambil kebijakan yang menyebabkan kemunduran dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Keracunan massal akibat MBG dengan sendirinya merupakan bentuk regresi yang serius, sebab program yang ditujukan untuk meningkatkan gizi anak justru menurunkan kualitas kesehatan mereka secara signifikan.
    Maka, tragedi MBG bukan hanya kesalahan teknis dalam tata kelola distribusi makanan, melainkan kegagalan struktural negara dalam memenuhi kewajiban
    to respect, to protect, and to fulfill
    hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak. Negara tidak hanya lalai dalam menyediakan makanan yang aman, tetapi juga gagal melindungi anak-anak dari bahaya yang dihasilkan oleh programnya sendiri.
    Situasi ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap konstitusi, undang-undang nasional, maupun instrumen HAM internasional yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia.
    Alih-alih menjadi solusi atas masalah gizi anak, program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini justru dijuluki sinis sebagai “Makan Beracun Gratis” oleh sebagian masyarakat. Julukan ini bukanlah sekadar ekspresi emosional, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan publik akibat berulangnya insiden keracunan massal.
    Program yang di atas kertas diproyeksikan untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, dalam praktiknya berubah menjadi sumber ketakutan baru: apakah makanan yang dikonsumsi anak di sekolah benar-benar aman?
    Dalam kerangka teori legitimasi kebijakan publik, suatu program hanya dapat dipertahankan ketika tujuan normatifnya selaras dengan hasil empiris yang dirasakan masyarakat (Suchman, 1995). MBG dirancang sebagai instrumen keadilan sosial, namun kegagalan memastikan aspek keamanan pangan membuatnya kehilangan legitimasi.
    Ketika masyarakat menyebutnya “beracun”, hal itu menandakan hilangnya kepercayaan sosial (
    social trust
    ) terhadap negara sebagai penyelenggara layanan dasar. Kritik ini pun dapat dibaca melalui konsep “banalitas keburukan” (
    banality of evil
    ) ala Arendt. Bahaya bukan hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari kelalaian sistemik yang dinormalisasi.
    Ketika keracunan ribuan anak direduksi menjadi “hanya sebagian kecil” atau dianggap
    acceptable risk
    dari sebuah program nasional, negara sedang melakukan banalitas terhadap penderitaan manusia—membiarkan pelanggaran hak anak berlangsung di bawah retorika keberhasilan statistik.
    Istilah “Makan Beracun Gratis” merupakan simbol perlawanan moral, yang menyuarakan bahwa setiap nyawa anak tidak boleh ditukar dengan klaim administratif tentang distribusi gizi. Negara tidak bisa menjustifikasi keracunan ribuan anak dengan narasi pencapaian angka, sebab dalam hukum hak asasi manusia, satu nyawa yang terabaikan saja sudah terlalu banyak.
    Tragedi berulang yang menimpa ribuan anak menunjukkan bahwa program MBG tidak dapat lagi dipertahankan dengan logika tambal sulam. Evaluasi parsial terhadap dapur atau sekadar pemberhentian sementara penyedia layanan tidak akan cukup. Yang dibutuhkan adalah evaluasi total terhadap desain, tata kelola, dan mekanisme implementasi program MBG.
    Hal ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian (
    precautionary principle
    ) dalam layanan publik: ketika suatu kebijakan berisiko besar menimbulkan bahaya, negara wajib menghentikan atau mengubah kebijakan tersebut hingga dapat dipastikan aman bagi penerima manfaat.
    Salah satu opsi reformasi yang patut dipertimbangkan adalah desentralisasi mekanisme penyediaan makanan, misalnya dengan mengalihkan sebagian besar anggaran MBG ke sekolah dan orang tua melalui skema yang lebih transparan dan partisipatif.
    Model distribusi terpusat yang bergantung pada ribuan dapur SPPG terbukti rawan salah kelola, tidak efisien dalam logistik, serta berulang kali menimbulkan insiden keracunan massal. Alternatifnya, dana bisa disalurkan untuk memperkuat kantin sekolah berbasis lokal atau langsung diberikan kepada keluarga dalam bentuk bantuan gizi, sehingga ada kontrol kualitas yang lebih dekat dan sesuai kebutuhan anak.
    Pun, evaluasi total juga harus mencakup aspek akuntabilitas dan transparansi. Negara perlu membuka kanal pelaporan publik, melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan yang cepat dan efektif bagi korban.
    Tanpa langkah ini, MBG akan terus menjadi sumber ancaman, bukan pelindungan. Intinya, program yang semula digadang sebagai simbol kepedulian negara terhadap gizi anak telah kehilangan legitimasi moral dan hukum akibat kegagalannya menjamin keamanan.
    Jika pemerintah sungguh ingin menjaga masa depan generasi, maka moratorium MBG untuk evaluasi total adalah keharusan, bukan pilihan. Reformasi mekanisme, partisipasi masyarakat, dan pengawasan independen harus menjadi fondasi baru agar tragedi keracunan massal tidak lagi berulang pada masa depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polisi Bantah Siksa Tahanan Demo Rusuh di Bandung: Penganiayaan Itu Tidak Ada

    Polisi Bantah Siksa Tahanan Demo Rusuh di Bandung: Penganiayaan Itu Tidak Ada

    Sebelumnya diberitakan Liputan6.com, Tim Advokasi Bandung Melawan melapor ke Ombudsman Jabar terkait kasus dugaan penyiksaan polisi terhadap Ferry Kurnia Kusuma, seorang korban salah tangkap saat unjuk rasa protes tunjangan DPR RI berujung rusuh di Bandung, akhir Agustus 2025 silam.

    Dugaan penyiksaan itu terjadi usai Ibu Ferry, Iyen, mendapatkan pengakuan dari anaknya yang ditahan polisi sejak Selasa (2/9/2025), saat bertemu langsung di Gedung Tahanan dan barang Bukti (Tahti) Kepolisian Jawa Barat.

    Dari wajahnya, Iyen merasakan betul bagaimana kondisi psikologis anaknya saat bertemu langsung meski dibatasi dinding kaca. Badannya gemetar menandakan sang anak masih di bawah tekanan. Obrolan keduanya juga dilakukan bisik-bisik, sampai akhirnya sang ibu bertanya pelan, apakah penyiksaan di malam itu saja?

    “Setiap hari juga masih disiksa, dikepretan, ditampar, sama ditendang,” kata Iyen, menirukan omongan sang anak, sambil menahan tangis, Rabu (24/9/2025).

    Iyen menegaskan, dirinya tidak akan pernah menerima sang anak diperlakukan dengan banyak tekanan, kekerasan, serta intimidasi verbal dan nonverbal.

    Dari pertemuan singkat itu, Iyen mendapati kondisi sang anak dengan pelipis mata kanan sobek, kondisi mata kanan dan kiri lebam membiru, dua kelopak mata memerah menandakan adanya pendarahan di sepasang mata, dua tangannya gemetar, dan kondisi tubuh lesu terdampak dari mental di bawah tekanan dan disetrum.

    “Menemui Kepala Unit (Kanit) bernama Jujun, dalam percakapan kami lebih memilih untuk segera membebaskan Ferry. Namun jawaban dari Kanit, ‘Ibu maaf, anak ibu sudah mengakui kesalahannya. Ibu tahu tidak isi percakapan ataupun chatting anak ibu itu apa? Perihal pembebasan anak ibu, saya belum bisa memutuskan karena belum ada perintah dari atasan’,” kata Iyen menceritakan.

    Di lokasi yang sama adik korban salah tangkap polisi, Ivan Ferdiansyah, menjelaskan awalnya tidak memberitahu kedua orang tuanya saat mendapat kabar kakaknya ditangkap aparat keamanan.

    Perhitungannya adalah jangan sampai membawa berita buruk bagi kedua orang tuanya. Namun usai menguruskan kakaknya di Kepolisian Daerah Jabar tidak kunjung berhasil, maka kedua orang tuanya pun diberitahukan informasi Ferry, kakaknya ditangkap polisi.

    “Namun dikarenakan tidak ada kepastian terus menerus ketika saya di Polda dari hari awal saya ke sana, makanya kami menghubungi, memberitahu mamah dan bapak saya, bahwa kakak saya telah berada di Polda. Namun setelah sekian lama menunggu, saya merasa adik tidak menerima dan merasa seperti dimainkan. Dan ketika di sana saya sudah bertanya beberapa kali dan jawaban masih dalam penyelidikan. Entah itu penyelidikan apa, sampai saya menunggu hingga jam 3 subuh,” terang Ivan.

    Ivan menerangkan kepolisian juga menjanjikan akan memberikan keterangan melalui aplikasi perpesanan WhatsApp kepadanya. Tetapi usai 20 hari berlalu ucap Ivan, tidak ada kabar soal kakaknya yang kini ditahan.

     

  • Polisi Diduga Siksa Korban Salah Tangkap Demo Rusuh di Bandung, Tim Advokasi Bandung Melawan Lapor ke Ombudsman

    Polisi Diduga Siksa Korban Salah Tangkap Demo Rusuh di Bandung, Tim Advokasi Bandung Melawan Lapor ke Ombudsman

    Liputan6.com, Bandung – Tim Advokasi Bandung Melawan melapor ke Ombudsman Jabar terkait kasus dugaan penyiksaan polisi terhadap Ferry Kurnia Kusuma, seorang korban salah tangkap saat unjuk rasa protes tunjangan DPR RI berujung rusuh di Bandung, akhir Agustus 2025 silam.

    Dugaan penyiksaan itu terjadi usai Ibu Ferry, Iyen, mendapatkan pengakuan dari anaknya yang ditahan polisi sejak Selasa (2/9/2025), saat bertemu langsung di Gedung Tahanan dan barang Bukti (Tahti) Kepolisian Jawa Barat.

    Dari wajahnya, Iyen merasakan betul bagaimana kondisi psikologis anaknya saat bertemu langsung meski dibatasi dinding kaca. Badannya gemetar menandakan sang anak masih di bawah tekanan. Obrolan keduanya juga dilakukan bisik-bisik, sampai akhirnya sang ibu bertanya pelan, apakah penyiksaan di malam itu saja?

    “Setiap hari juga masih disiksa, dikepretan, ditampar, sama ditendang,” kata Iyen, menirukan omongan sang anak, sambil menahan tangis, Rabu (24/9/2025).

    Iyen menegaskan, dirinya tidak akan pernah menerima sang anak diperlakukan dengan banyak tekanan, kekerasan, serta intimidasi verbal dan nonverbal.

    Dari pertemuan singkat itu, Iyen mendapati kondisi sang anak dengan pelipis mata kanan sobek, kondisi mata kanan dan kiri lebam membiru, dua kelopak mata memerah menandakan adanya pendarahan di sepasang mata, dua tangannya gemetar, dan kondisi tubuh lesu terdampak dari mental di bawah tekanan dan disetrum.

    “Menemui Kepala Unit (Kanit) bernama Jujun, dalam percakapan kami lebih memilih untuk segera membebaskan Ferry. Namun jawaban dari Kanit, ‘Ibu maaf, anak ibu sudah mengakui kesalahannya. Ibu tahu tidak isi percakapan ataupun chatting anak ibu itu apa? Perihal pembebasan anak ibu, saya belum bisa memutuskan karena belum ada perintah dari atasan’,” kata Iyen menceritakan.

    Di lokasi yang sama adik korban salah tangkap polisi, Ivan Ferdiansyah, menjelaskan awalnya tidak memberitahu kedua orang tuanya saat mendapat kabar kakaknya ditangkap aparat keamanan.

    Perhitungannya adalah jangan sampai membawa berita buruk bagi kedua orang tuanya. Namun usai menguruskan kakaknya di Kepolisian Daerah Jabar tidak kunjung berhasil, maka kedua orang tuanya pun diberitahukan informasi Ferry, kakaknya ditangkap polisi.

    “Namun dikarenakan tidak ada kepastian terus menerus ketika saya di Polda dari hari awal saya ke sana, makanya kami menghubungi, memberitahu mamah dan bapak saya, bahwa kakak saya telah berada di Polda. Namun setelah sekian lama menunggu, saya merasa adik tidak menerima dan merasa seperti dimainkan. Dan ketika di sana saya sudah bertanya beberapa kali dan jawaban masih dalam penyelidikan. Entah itu penyelidikan apa, sampai saya menunggu hingga jam 3 subuh,” terang Ivan.

    Ivan menerangkan kepolisian juga menjanjikan akan memberikan keterangan melalui aplikasi perpesanan WhatsApp kepadanya. Tetapi usai 20 hari berlalu ucap Ivan, tidak ada kabar soal kakaknya yang kini ditahan.

     

  • Tambang Emas Runtuh, 23 Orang Terjebak-Begini Nasibnya Sekarang

    Tambang Emas Runtuh, 23 Orang Terjebak-Begini Nasibnya Sekarang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebanyak 23 penambang berhasil diselamatkan setelah terjebak selama hampir dua hari di tambang emas bawah tanah La Reliquia, Kolombia. Insiden ini menyoroti kembali tingginya risiko di sektor pertambangan emas negara tersebut.

    Badan Pertambangan Nasional Kolombia mengonfirmasi bahwa para penambang keluar dengan selamat pada Rabu (24/9/2025) setelah 43 jam terperangkap akibat runtuhnya pintu masuk utama tambang di wilayah Antioquia.

    “Penyebab runtuhnya tambang adalah kegagalan geomekanik,” jelas lembaga tersebut dalam keterangan resmi, seperti dikutip The Associated Press.

    Momen penyelamatan disambut haru keluarga yang telah menunggu berjam-jam di lokasi. Video yang dirilis otoritas memperlihatkan para pekerja menggunakan tali untuk memanjat pintu masuk tambang yang curam. Kondisi kesehatan mereka belum diumumkan secara detail.

    Tambang La Reliquia dimiliki Aris Mining Corp asal Kanada, namun dioperasikan oleh koperasi lokal. Aris Mining menyatakan pihaknya telah menyediakan makanan, air, dan ventilasi selama proses penyelamatan.

    “Keselamatan pekerja adalah prioritas utama kami. Kami bekerja sama dengan otoritas untuk memastikan operasi berjalan sesuai standar,” kata perwakilan Aris Mining.

    Perusahaan itu mengelola dua konsesi di Kolombia dengan produksi emas mencapai 6,6 ton pada 2024. Secara nasional, produksi emas Kolombia meningkat menjadi 67 ton, terdorong oleh harga logam mulia yang melonjak.

    Namun, industri emas di Kolombia masih menghadapi tantangan besar. Ombudsman Hak Asasi Manusia Kolombia pada 2023 melaporkan bahwa lebih dari 80% emas di negara tersebut ditambang secara ilegal, sering kali melibatkan penambang rakyat maupun kelompok bersenjata.

    Kecelakaan tambang kerap terjadi akibat kondisi kerja yang buruk. Pada Sabtu lalu, jenazah tujuh penambang ditemukan setelah sembilan hari upaya evakuasi di tambang ilegal di Provinsi Cauca.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ombudsman: Pengawasan penyaluran subsidi pupuk tekan keluhan petani

    Ombudsman: Pengawasan penyaluran subsidi pupuk tekan keluhan petani

    Dari pengawasan itu, banyak hasil yang sudah kami lakukan, tetapi walau pun banyak hasilnya, ternyata tidak menyurutkan keluhan para petani kita terhadap subsidi pupuk

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mendaku/klaim pengawasan penyaluran subsidi pupuk yang telah dilakukannya mampu menekan laporan keluhan petani terkait kebijakan subsidi pupuk.

    “Pada periode tahun 2023-2024, hiruk-pikuk terhadap keluhan pupuk itu makin mengecil,” ujar Yeka saat membuka diskusi publik bertajuk Evaluasi Tata Kelola Subsidi Pupuk Saat Ini di Jakarta, Kamis.

    Terhadap kebijakan subsidi pupuk, Ombudsman telah melakukan pengawasan, yang dimulai dalam bentuk kajian tinjauan sistematis pada tahun 2021.

    Pada tahun 2022, lanjut dia, Ombudsman melaksanakan investigasi atas prakarsa sendiri atas kebijakan subsidi pupuk, yang dilanjutkan dengan pengawasan pada tahun 2023 sampai 2024.

    “Dari pengawasan itu, banyak hasil yang sudah kami lakukan, tetapi walau pun banyak hasilnya, ternyata tidak menyurutkan keluhan para petani kita terhadap subsidi pupuk,” ucap dia.

    Berdasarkan pengawasan Ombudsman, ditemukan bahwa keluhan petani terhadap subsidi pupuk disebabkan oleh seringnya pergantian kebijakan tanpa perencanaan yang matang.

    Yeka mencontohkan, salah satunya saat penyaluran subsidi sudah diatur, namun tiba-tiba kebijakan berubah serta saat subsidi pupuk berupa barang diubah menjadi subsidi langsung.

    “Mau jalan dibatalkan lagi, ganti lagi kebijakan lagi. Yang repot di lapangan, ini yang membuat keluhan-keluhan, sehingga dalam short term terjadi banyak keluhan,” ungkap Yeka.

    Kendati demikian, Ombudsman melihat berbagai keluhan tersebut hanya banyak dilaporkan para petani pada tahun 2021 dan 2022, sedangkan pada periode 2023-2024 laporan yang diadukan relatif berkurang.

    Maka dari itu, dirinya menegaskan Ombudsman akan terus melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan subsidi pupuk, di mana terhadap permasalahan perubahan kebijakan pihaknya terus menekankan perencanaan yang matang sejak dari hulu.

    “Ombudsman hadir, ada masalah kami bantu untuk selesaikan. Ada masalah di petani, kami coba bantu,” tutur dia.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • ORI: 70 persen tugas berantas kemiskinan sukses bila petani sejahtera

    ORI: 70 persen tugas berantas kemiskinan sukses bila petani sejahtera

    Jadi, saya berkeyakinan dengan menyejahterakan petani kita, maka secara otomatis kita turut membantu untuk memastikan agar kemiskinan di Indonesia sudah terselesaikan

    Jakarta (ANTARA) – Ombudsman RI (ORI) menyebutkan lebih dari 70 persen tugas negara untuk memberantas kemiskinan itu sudah tercapai atau sukses bila pemerintah bisa membantu para petani untuk mencapai hidup yang layak dan sejahtera.

    Saat membuka diskusi publik bertajuk Evaluasi Tata Kelola Subsidi Pupuk Saat Ini di Jakarta, Kamis, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan salah satu kantong kemiskinan di Indonesia berada di sektor pertanian.

    “Jadi, saya berkeyakinan dengan menyejahterakan petani kita, maka secara otomatis kita turut membantu untuk memastikan agar kemiskinan di Indonesia sudah terselesaikan,” kata Yeka.

    Maka dari itu, kata dia, pupuk subsidi bukan hanya persoalan komoditas, melainkan bentuk kehadiran negara untuk membantu para petani di Tanah Air.

    Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), ia menuturkan saat ini masih terdapat beberapa indikator yang memperlihatkan petani belum sejahtera. Indikator pertama, yakni banyaknya rumah tangga petani yang meninggalkan sektor pertanian dalam 10 tahun terakhir.

    Yeka mengungkapkan terdapat sekitar 200 ribu rumah tangga yang meninggalkan sektor tersebut dalam periode 10 tahun atau sekitar total 600 ribu orang dengan perhitungan tiga orang dalam tiap rumah tangga.

    “Ada orang yang berpikir bagus itu berarti sudah sejahtera. Iya kalau memang begitu sudah sejahtera, tapi kalau tidak sejahtera, tidak makin membaik juga, itu menjadi persoalan lain,” tuturnya.

    Indikator kedua, sambung dia, semakin banyaknya petani yang sudah tidak berdaulat atas lahannya. Hal tersebut berdasarkan pengamatan Yeka saat kunjungan kerja.

    Setiap dirinya bertanya kepada petani saat kunjungan kerja, sekitar 90 persen petani zaman sekarang cenderung merupakan penggarap lahan orang lain, bukan pemilik.

    Sementara sisanya pun, lanjut dia, mayoritas hanya menguasai lahan sekitar 0,1 hektare sampai 0,2 hektare atau 1.000 meter persegi sampai 2.000 meter persegi.

    Menurut Yeka, kondisi tersebut sangat disayangkan lantaran apabila dihitung jumlah pendapatan satu petani dari luas lahan tersebut, paling besar hanya Rp300 ribu per bulan.

    “Bisa jadi bahkan zonk kalau gagal panen. Nah, itu adalah bentuk ketidakberdayaan para petani kita,” ungkap Yeka.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 3
                    
                        Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
                        Nasional

    3 Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR Nasional

    Kala Menteri-menteri Prabowo “Disemprot” Aktivis Agraria di Rapat DPR
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dua menteri kabinet Merah Putih kena “semprot” ketika pemerintah dan DPR RI pada peringatan Hari Tani Nasional.
    Momentum ini terjadi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
    Pertemuan di ruang rapat dihadiri lima menteri, yaitu Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.
    Kemudian, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, serta Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari.
    Dalam momen pertemuan itu, pemerintah, DPR, dan organisasi petani membahas sejumlah konflik agraria yang tidak kunjung selesai selama puluhan tahun dan merugikan petani.
    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, akhirnya menyemprot Menhut Raja Juli karena dinilai tidak bisa menyelesaikan konflik agraria yang berlangsung selama puluhan tahun.
    Selama puluhan tahun itu, kata Dewi, masyarakat telah menyampaikan aduan dan persoalan yang mereka rasakan. Namun, persoalan ini tidak kunjung ditangani pemerintah.
    Salah satunya adalah konflik agraria lahan pertanian dengan perusahaan BUMN, Perum Perhutani, di Desa Bulupayung, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
    “Di Kementerian Kehutanan, Bapak Raja Juli, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Saya pernah mengajak Bapak Raja Juli itu ke salah satu Desa Bulupayung di Cilacap,” ujar Dewi di Ruang Rapat Komisi XIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
    “Itu adalah konflik agraria puluhan tahun yang berkonflik dengan Perhutani,” lanjut Dewi.
    Aktivis agaria ini menjelaskan bahwa 9.000 hektar lahan pertanian di Cilacap merupakan lumbung pangan nasional.
    Saat bersama Raja Juli di daerah itu, kata Dewi, pihaknya sudah menunjukkan kejanggalan konflik lahan pertanian yang diklaim sebagai lahan Perhutani.
    Misalnya, di lokasi itu tidak ada kawasan hutan, tetapi diklaim sebagai kawasan hutan.
    “Mana ada hutan? Kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan? Tidak kunjung dilepaskan dari klaim Perhutani?” tanya Dewi.
    Akibatnya, para petani tidak bisa mengangkut hasil panen, dan program-program pertanian tidak bisa masuk.
    “Karena alasannya itu, ini adalah masih klaim Perhutani, masih PTPN (Perkebunan Nasional), masih kawasan hutan, masih di dalam HGU (Hak Guna Usaha),” tutur Dewi.
    Menanggapi itu, Raja Juli mengakui pernah datang ke Cilacap melihat hamparan padi yang menguning.
    Ia juga mengaku sudah berupaya melepaskan lahan pertanian itu dari kawasan hutan, namun terhambat.
    “Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting,” tutur Raja Juli.
    Nusron Wahid Tak Proses Data
    Bukan cuma Raja Juli, Dewi juga menyemprot Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Nusron Wahid karena tidak pernah memproses data-data yang diberikan oleh KPA.
    Dewi menyampaikan bahwa Kementerian ATR merupakan salah satu kementerian yang paling banyak diadukan terkait kasus-kasus pertanahan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI.
    “Ada banyak kanal pengaduan, di Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, bahkan mungkin di DPR. Tapi hanya untuk tempat mengadu, tidak ada kanal penyelesaian,” ujar Dewi.
    Padahal, KPA sudah berkali-kali menemui pihak ATR, bahkan bertemu langsung dengan Nusron Wahid untuk menyerahkan data yang dibutuhkan.
    “Jadi ada problem, data-data kami itu ditumpuk, diarsipkan, tapi tidak dikerjakan,” tutur Dewi.
    Nusron mengakui bahwa banyak data-data KPA yang diserahkan ke Kementerian ATR/BPN tetapi belum digarap.
    Ia menyatakan sependapat dengan usul KPA mengenai prinsip keadilan dalam redistribusi tanah.
    “Karena itu, sebagai bentuk komitmen kami mengamini data itu, kami sudah 10 bulan diangkat dipercaya menjadi Menteri ATR/BPN, kami belum tandatangani satupun perpanjangan dan pembaruan,” kata Nusron.
     
    Para petani di Desa Bulupayung yang sudah menggarap lahan pertanian sejak 1962, tetapi Perhutani mengeklaim kepemilikan Desa Bulupayung dan statusnya berubah menjadi bagian dari kawasan hutan.
    Meski masih diperbolehkan tinggal dan menggarap lahan pertanian di tanah seluas 2.000 hektar, sebanyak 3.000 keluarga petani tidak memperoleh bantuan dari negara, seperti pembangunan jalan dan irigasi, serta subsidi pupuk.
    Padahal, Desa Bulupayung termasuk sentra pertanian pangan di Cilacap.
    “Mereka harus mengeluarkan
    cost
    yang lebih ekstra atau biaya produksi pertanian. Belum terkait jaringan pasar yang memang tidak menentu dan juga dampak-dampak diklaim sebagai kawasan hutan. Akhirnya, dengan konflik yang terjadi di kehutanan ini, semakin terhimpit nasib para petani itu,” ujar Benny dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
    Kedua, para petani dari desa-desa di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, juga bernasib sama seperti petani di Desa Bulupayung.
    Petani Sukasari sudah menggarap lahan pertanian sejak 1965.
    Namun, status desa-desa di Kecamatan Sukasari berubah menjadi kawasan hutan pada 1996.
    Alhasil, para petani di Kecamatan Sukasari juga merasakan ketidakhadiran negara akibat diklaim sebagai kawasan hutan.
    Mereka memprotes tidak adanya pembangunan infrastruktur seperti jalan dan irigasi di Kecamatan Sukasari.
    Ketimpangan Penguasaan Tanah
    Menurut data yang ada, satu persen kelompok elite menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi di Indonesia, sementara 99 persen penduduk harus berebut sisa lahan yang ada.
    Dewi mengatakan, kondisi ini akhirnya semakin memperburuk ketimpangan ekonomi di sektor agraria.
    “Ketimpangan ini mengarah pada meningkatnya jumlah konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah,” jelas Dewi.
    Konflik-konflik agraria ini berdampak langsung pada 1,8 juta keluarga yang kehilangan tanah serta mata pencaharian mereka.
    Dewi juga menyoroti bahwa proyek-proyek investasi besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, kawasan ekonomi khusus, hingga militerisasi pangan terus meluas ke wilayah desa dan kampung, yang menyebabkan lahan petani dan wilayah adat semakin tergerus.
    “Proyek-proyek besar ini merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses mereka terhadap laut dan wilayah tangkapnya. Hal ini terjadi karena lahan sudah dikapling-kapling oleh pengusaha besar,” ungkap Dewi.
    KPA mengingatkan bahwa kegagalan reforma agraria yang terjadi dalam 10 tahun terakhir harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera bertindak.
    “Berkaca pada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional yang lebih otoritatif, yang berada langsung di bawah kendali Presiden,” kata Dewi mengakhiri pernyataan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KontraS Surabaya Ungkap Dugaan Penyiksaan dan Kekerasan Seksual oleh Aparat Saat Demo Surabaya

    KontraS Surabaya Ungkap Dugaan Penyiksaan dan Kekerasan Seksual oleh Aparat Saat Demo Surabaya

    Surabaya (beritajatim.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengungkap dugaan adanya penyiksaan dan kekerasan seksual yang dilakukan sejumlah oknum aparat kepolisian terhadap peserta aksi unjuk rasa 29–30 Agustus 2025 di Surabaya. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Surabaya, Selasa (23/9/2025).

    Dalam forum tersebut, KontraS menayangkan video pendek berisi kesaksian dua korban dengan nama samaran Warno dan Warni. Keduanya ditangkap aparat namun dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Mereka mengaku mengalami penganiayaan fisik maupun kekerasan seksual selama ditahan dan diperiksa di Mapolrestabes Surabaya.

    “Selang, tongkat, sabuk dipukulkan ke punggung berkali-kali. (jumlah orang yang mendapat tindak penganiayaan) sekitar 150-an,” kata Warno dalam cuplikan video tersebut.

    Sementara Warni mengungkap pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya saat menjalani tes urine. Ia mengaku dipaksa aparat untuk mengoleskan balsem pada kemaluannya, bergantian dengan korban lainnya. “Pas tes urin alat kelamin kita (sensor), dikasih balsem bagian (sensor). Gantian saya ngasih balsem duluan (kemudian berlanjut). Ya anak-anak (dipaksa) ayo kencing ayo kencing, terus misal kencingnya cuma satu tetes dua tetes langsung disikat (dipukul),” ujarnya.

    Kabiro Kampanye HAM KontraS Surabaya, Zaldi Maulana, menyebut kondisi psikologis korban maupun orang tua mereka masih terguncang. Ia menyoroti khususnya Warno yang masih berusia 18 tahun dan berstatus pelajar kelas XII SMK.

    “Untuk langkah hukum kami belum memutuskan, karena itu hak keputusan korban. Sampai hari ini kami masih terus berkoordinasi dengan orang tua, sebab kondisinya ini belum stabil masih ada rasa ketakutan,” jelasnya.

    Zaldi juga menekankan bahwa dugaan kekerasan seksual menimpa Warni dan sekitar 19 orang lainnya. Menurutnya, saat tes urine para korban dipaksa aparat untuk saling mengoleskan balsem pada kemaluan secara bergantian dan dalam jumlah banyak, tanpa diizinkan menggunakan kamar mandi.

    Hingga kini, Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Rina Shanty Dewi Nainggolan belum berkenan memberikan tanggapan resmi atas dugaan tersebut.

    KontraS Surabaya mendesak Polri menghentikan penangkapan massal, membebaskan seluruh tahanan, menghormati hak memilih penasihat hukum independen, serta menghentikan narasi kriminalisasi anarkisme. Mereka juga meminta pemerintah menegakkan penuh UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan prinsip diversi, sementara lembaga independen seperti Komnas HAM, KPAI, dan Ombudsman didesak segera melakukan investigasi.

    Selain itu, KontraS mendesak mekanisme HAM PBB menjadikan kasus ini sebagai indikator lemahnya implementasi ICCPR, CRC, dan CAT di Indonesia. [rma/beq]