Kementrian Lembaga: OJK

  • Respons KPK Soal Bantahan Anggota Komisi XI Terima Dana CSR BI dan OJK

    Respons KPK Soal Bantahan Anggota Komisi XI Terima Dana CSR BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi XI Melchias Markus Mekeng membantah sebagian besar Anggota Komisi XI menerima dana CSR BI dan OJK sebagaimana disampaikan oleh salah satu tersangka dalam kasus ini, Satori (ST).

    Pernyataan dari fraksi partai Golkar itu disampaikan di Komplek Parlemen, Jumat (8/8/2025). Dia menjelaskan dana untuk kegiatan sosial itu langsung disalurkan ke pihak yang dituju seperti gereja, masjid, atau UMKM.

    Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyidik tetap mengusut tuntas perkara dugaan korupsi CSR BI dan OJK ini.

    “Penyidik tentu akan mendalami setiap keterangan dari para pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka ataupun saksi-saksi yang dipanggil untuk dimintai keterangannya dalam perkara ini,” kata Budi kepada wartawan, Senin (11/8/2025).

    Terutama, katanya, dugaan dana yang mengalir ke sebagian Anggota Komisi XI DPR RI, partai-partai terkait, atau pihak lainnya yang terlibat dalam penyelewengan dana Program Sosial Bank Indonesia (PBSI) ini.

    “Hal ini untuk memastikan setiap rupiah uang negara tidak disalahgunakan untuk keuntungan pribadi maupun pihak-pihak lainnya, dengan berbagai modus tindak pidana korupsi,” tambahnya.

    Diketahui, minggu lalu KPK menetapkan dua tersangka yang merupakan anggota Komisi Keuangan atau XI DPR periode 2019-2024. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers, Kamis (7/8/2025). 

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, tersangka berinisial ST menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Keduanya menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan, membeli tanah dan bangunan, membuka showroom, hingga untuk mengelola kedai minuman.

    Adapun para tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Heboh BI Intip Seluruh Transaksi Via Payment ID, Cek Detailnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Rencana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem pemantauan transaksi melalui Payment ID memicu kontroversi. Meski sejatinya sistem ini bisa mendorong transparansi dan mencegah penyalahgunaan transaksi, namun belum jelasnya infrastruktur keamanan dan aturan main, membuat banyak pihak mempertanyakan urgensi penerapan sistem pengawasan transaksi yang akan diluncurkan 17 Agustus 2025 itu.

    Anggota Komisi I DPR RI dari PDI Pejuangan (PDI) Sarifah Ainun Jariyah, misalnya, meminta pelaksanaannya ditunda. Menurutnya, pengawasan melekat melalui Payment ID rentan karena infrastruktur keamanan yang dinilai belum siap.

    “Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi. Komisi I DPR akan terus mengawal isu ini untuk memastikan hak warga terlindungi,” kata Sarifah dikutip dari Antara, Minggu (10/8/2025).

    Lantas Apa Itu Payment ID?

    Payment ID secara sederhana dimaknai sebagai sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia. Nantinya, setiap orang akan memiliki identitas pembayaran yang terintegrasi dengan nomor induk kependudukan alias NIK sehingga BI memantau seluruh transaksi, baik perbankan, multifinance, pinjol, hingga e-wallet.

    Dalam catatan Bisnis, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Dudi Dermawan menjelaskan bahwa Payment ID merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Dalam Payment ID, setiap orang akan memiliki kode unik untuk mengidentifikasi transaksi pembayaran.

    “Payment ID di-generate dari NIK, NIK di-generate dari data kependudukan. Jadi, seluruh data di bank nantinya terkait dengan nomor rekening maka akan ada ekuivalen yang terkait dengan Payment ID-nya,” ujar Dudi katanya Juli lalu.

    Adapun berdasarkan BSPI 2030, pemanfaatan Payment ID mencakup tiga fungsi. Pertama, kunci identifikasi untuk membentuk data profil pelaku sistem pembayaran. Kedua, kunci otentifikasi data dalam pemrosesan transaksi. Ketiga, kunci unik dalam proses agregasi antara data profil individu dengan data transaksional.

    Dudi menjelaskan bahwa Payment ID dapat mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan dengan identitas tersebut. Misalnya, BI dapat mengidentifikasi seseorang yang memiliki lebih dari satu rekening bank, memiliki pinjaman/kredit di multifinance, memiliki akun e-wallet dan uang elektronik, hingga memiliki akun pinjaman online atau pinjol.

    Data Transaksi Mencurigakan Januari – Juni 2025

    Sumber: PPATK, non bank termasuk e-wallet

    Integrasi itu membuat otoritas moneter bisa mengetahui aktivitas pembayaran, transfer, dan seluruh transaksi. BI juga bisa mengetahui nominal dan sumber pendapatan seseorang, kewajiban dan utang yang sedang dimiliki, penempatan investasi, hingga aktivitas pinjol.

    Data tersebut menurutnya bisa menjadi acuan untuk menilai kesehatan keuangan seseorang, apakah rasio pinjaman atau kreditnya masih dalam batas aman terhadap total penghasilannya, juga profil keuangan seseorang yang terkait dengan aktivitas berisiko seperti pinjol ilegal. “Payment ID ini sangat powerful … Ini jauh lebih akurat dibandingkan sistem penilaian konvensional seperti SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK],” ujarnya.

    Diterapkan Bertahap

    Adapun BI mengungkapkan implementasi sistem pemantauan transaksi seluruh warga Indonesia alias Payment ID akan berlangsung bertahap mulai 2026. 

    “Payment ID sebagai bagian dari pengembangan infrastruktur data SP akan diimplementasikan secara bertahap mulai 2026,” ungkap Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dicky Kartikoyono dalam keterangan resmi, Senin (28/7/2025). 

    Pada tahap awal, Dicky menyampaikan bahwa pengembangan sistem itu akan diawali dengan tahap eksperimentasi untuk menguji model bisnis, mekanisme pembentukan, dan pemanfaatan Payment ID. 

    Eksperimentasi dilakukan secara terbatas, antara lain pada use case penyaluran bantuan sosial (Bansos) untuk mendukung program digitalisasi Bansos yang dilakukan oleh pemerintah.

    Dicky menjelaskan bahwa BI akan mengembangkan Payment ID sebagai unique identifier yang merepresentasikan pelaku sistem pembayaran, baik individu maupun entitas. Tujuannya, untuk mendukung penguatan integritas transaksi pembayaran, perluasan inklusi keuangan, dan perumusan kebijakan.

    Nantinya, format Payment ID terdiri dari 9 digit alfanumerik yang akan dibentuk berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang di-hash dengan formula enkripsi terkini.

    Adapun pembentukan dan pemanfaatan Payment ID akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keamanan data sesuai Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), antara lain pemanfaatan Payment History hanya dapat dilakukan setelah memperoleh consent atau persetujuan dari individu pemilik data.

    Dicky berharap implementasi secara bertahap ini setidaknya memberikan manfaat bagi masing-masing pelaku terkait. Pertama, bagi pemerintah hal ini akan mendukung program transformasi digital pemerintah dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kedua, bagi Bank Indonesia, hal ini memperkuat kapabilitas bank sentral dalam memelihara stabilitas sistem pembayaran, mencapai stabilitas nilai rupiah, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Ketiga, bagi industri, Payment ID menjadi alat untuk menjamin ekosistem dan integritas transaksi, serta mendukung sistem keuangan yang built on trust.

    Sementara bagi masyarakat, pembentukan payment history akan mendukung perluasan akses pembiayaan dan kualitas kredit.

  • Rp 100.000 Dikali 120 juta Orang?

    Rp 100.000 Dikali 120 juta Orang?

    GELORA.CO  – Ustaz Dasad Latif mengaku kecewa dengan kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Dirinya menduga adanya motif ekonomi dibalik kebijakan tersebut.

    Hal tersebut disampaikan Ustaz Dasad Latif dalam sebuah wawancara yang diunggah akun instagram @terkinidotid pada Jumat (8/8/2025).

    Dalam video tersebut, dirinya mengaku masih merasakan kekecewaan atas pemblokiran rekening bank pribadinya.

    Menurutnya, gerakan menabung yang digaungkan pemerintah itu justru dibalas dengan pemblokiran.

    “Saya kecewa sebab ajakan menabung justru dibalas dengan blokir. Sehingga ada sangka-sangka, bahwa ini ada transaksi ekonomi dalam blokir itu,” ungkap Ustaz Dasad Latif.

    “Misalnya Ketika pengaktifan kan harus bayar lagi Rp 100.000. Nah itu kalau misalnya diblokir 120 juta orang, kali itu Rp 100.000, berapa?” tanyanya.

    Tak hanya berbayar, proses pembukaan pemblokiran pun dinilainya sangat menyulitkan masyarakat.

    Pasalnya, rekening yang telah diblokir baru bisa kembali terbuka dan digunakan setelah 7 hari kerja.

    “Padahal, Bapak Presiden sudah bilang. ‘komplain hari ini, hari ini buka’. Saya disuruh menunggu tujuh hari,” imbuhnya. 

    Terlepas dari dugaan adanya motif ekonomi dan proses yang berbelit, dampak negatif dari kebijakan ini ditegaskannya adalah tercorengnya citra baik.

    Sebab menurutnya, seseorang yang rekeningnya diblokir oleh bank adalah orang yang tersangkut dengan hukum.

    Rekening yang diblokir adalah rekening yang dicurigai adanya transaksi dari hasil kejahatan. 

    “Kemudian, yang paling penting bukan sekedar blokir, adalah citra nama baik. Setahu saya, orang yang diblokir keuangannya itu dicurigai ada tindak pidana, ada transaksi kejahatan,” ungkap Ustaz Dasad Latif.

    “Nah masa kau anggap saya ini ada transaksi kejahatan!?” tegasnya.

    Dirinya mengaku heran dengan keputusan pemblokiran.

    Sebab, uang dalam rekeningnya itu hanya sebesar Rp 300 juta lebih.

    Uang yang ditabung pun sengaja ditabung untuk modal pembangunan masjid.

    “Andai saja duit saya di situ tiba-tiba ada misalnya satu triliun (rupiah), nah itu pasti ada mencurigakan ini uangnya, ‘kok tiba-tiba ada uangnya satu triliun?’. (tabungan sebesar) Rp 300 juta lebih. Jadi tidak masuk akal!?” tegasnya.

    Pernyataan Ustaz Dasad Latif pun ditanggapi ramai masyarakat.

    Pro dan kontra dituliskan dalam kolom komentar.

    Ustaz Dasad Latif Tak Bisa Lanjutkan Bangun Masjid

    Diberitakan sebelumnya, Kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kritik dari Ustaz Dasad Latif. 

    Melalui unggahan video di akun Instagramnya, @dasadlatif1212 pada Kamis (7/8/2025), ia mengaku mengalami langsung dampak dari kebijakan tersebut saat hendak mencairkan dana untuk pembangunan masjid.

    Dalam pernyataannya, Ustaz Dasad menceritakan rekening miliknya yang disimpan di salah satu bank milik pemerintah tidak dapat diakses karena telah diblokir. 

    Alasannya, rekening tersebut dianggap tidak aktif selama tiga bulan terakhir atau tergolong dormant.

    “Saya hari ini berencana membayar besi semen untuk pembangunan masjid saya. Jadi saya datanglah mengambil uang yang saya tampung di bank pemerintah. Setelah saya tiba, ternyata rekening saya diblokir karena tidak aktif selama tiga bulan,” ujarnya dalam video pada Kamis (7/8/2025).

    Kebijakan ini, menurut Ustaz Dasad Latif, bertolak belakang dengan kampanye nasional yang selama ini mendorong masyarakat untuk giat menabung. 

    Ia menilai, fungsi menabung seharusnya adalah menyimpan dana, bukan mengharuskan nasabah untuk terus melakukan transaksi berkala.

    “Setahu saya selalu diiklankan oleh negara, ayo menabung. Menabunglah saya, tapi kenapa malah diblokir? Namanya menabung, disimpan uangnya. Kalau tidak disimpan, itu bukan menabung,” kata dia.

    Ustaz Dasad Latif menegaskan dirinya memahami niat pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan rekening oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. 

    Namun, menurut dia, pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan tersebut justru kini menimbulkan keresahan di masyarakat.

    “Saya berharap pemerintah membuat keputusan yang betul-betul elegan, tidak meresahkan masyarakat, dan tidak menyusahkan rakyat kecil,” tuturnya.

    Ia pun mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali cara penyampaian dan pelaksanaan kebijakan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat luas.

    “Saya tidak ahli perbankan, tidak ahli ekonomi, tapi falsafah dari semua pada negara adalah supaya bisa melayani masyarakat,” ucapnya.

    Di akhir video, Ustaz Dasad Latif menekankan kritik yang disampaikannya bukan untuk menentang kebijakan, melainkan sebagai bentuk aspirasi warga negara kepada pemerintah. 

    Ia berharap apa yang dialaminya tidak terjadi pada masyarakat lain yang mungkin lebih rentan secara ekonomi.

    “Saya menabung ini untuk aman dan membantu negara, tapi ternyata saya diblokir. Mudah-mudahan hanya saya yang mengalami, bukan masyarakat kecil lainnya,” ujarnya.

    Ia mengajak agar kritik ini tidak dianggap sebagai serangan, melainkan sebagai masukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan keuangan negara.

    “Saya yakin, kalau niatnya baik, pasti Allah tunjukkan jalan yang baik,” ujarnya diakhir video.

    Melengkapi postingannya, Ustaz Dasad Latif menegaskan agar pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

    Kebijakan yang berorisntasi kepada hal baik, bukan justru mempersulit masyarakat.

    “Ke-BIJAK-an yg elegan harus berorientasi kemaslahan dan tidak menimbulkan masalah baru,” tulis Ustaz Dasad Latif.

    “Ini wujud aspirasi saya dalam mencintai negara ini, di negara ini saya hidup, beribadah dan mencari nafka, maka wajib bagiku memberikan masukan konstruktif demi indonesia Raya,” tambahnya.

    Pernyataan Ustaz Dasad Latif seketika ramai diserbu masyarakat.

    Beragam masukan hingga kritik dituliskan masyaraklat terkait kebijakan PPATK dalam kolom komentar postingannya.

    @phelereagel_al: Beleng-beleng memang @ppatk_indonesia

    @raden_boby_ibrahim: @ppatk_indonesia noh dengerin,,kalian nyusahin emng

    @sam.devidcris: @ppatk_indonesia agak laen ini emang

    @antok_nur: Ya allah 

    @soi_fah: @hotmanparisofficial

    @theshe_sahota: menyesal aku pilih @prabowo 2x sy kira rakyat makmur sm beliau tpi ternyata malah menyusahkan rakyat, bagus golput aja lagi

    @fakhru_ans_official: HARUS VIRAL INI, PENTING SEKALI.

    @indraapriana81: Yg ngambil kebijakan emang paling bijak sepertinya tadz..

    @muh_ali_imron: Itu yģ buat kebijakan gila.. Semoga Ri1 dengar @prabowo .. biar g tambah gila kebijakan ini

    @pita_keanu: Bapak presiden @prabowo,

    @aidiuas_97: Lawan terus kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat, harus tuntas.

    @ancha_andhi: Tandanya mereka malas berpikir akhirnya masyarakat jadi korban, bikin dulu kebijakan tanpa kajian mendalam padahal sudah digaji besar

    @bang_syahrul_2: @ppatk_indonesia @ppid_ppatk dengar baik2 sai kdg

    Prof UGM Sebut Kebijan Kurang Matang

    Dikutip dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, kebijakan pemblokiran rekening ‘menganggur’ oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kontroversi di masyarakat. 

    Ratusan juta rekening yang tidak menunjukan aktivitas dalam tiga bulan terakhir dikategorikan sebagai dormant atau rekening pasif.

    Dikatakan bahwa pemblokiran dilakukan untuk mencegah tindak pidana penyalahgunaan rekening pasif untuk praktik ilegal, seperti pencucian uang dan jual beli rekening.

    Meski 122 juta rekening sudah dibuka, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo menyebut, kebijakan PPATK tersebut termasuk salah satu bentuk “brute-force” atau kebijakan yang sifatnya coba-coba dan kurang memertimbangkan banyak aspek.

    Menurutnya, bukan pertama kali pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang kurang matang.

    “Sudah sekian kali rakyat menyaksikan bahwa kebijakan yang diambil oleh rezim pemerintah sekarang ini kurang profesional yang jika dibiarkan berulang-kali terjadi akan berpotensi semakin menggerus legitimasi Presiden,” ucapnya, Rabu (6/8/2025).

    Nilai kepemilikan rekening bank masyarakat Indonesia cukup fantastis.

    Laporan PPATK menyebut total nilai rekening yang diblokir mencapai Rp 428,61 miliar.

    Di antara jumlah tersebut tentunya ada berbagai alasan pembukaan rekening yang mengakibatkan rekening menjadi pasif atau tidak ada aktivitas dalam tiga bulan terakhir, seperti mendapatkan promo, pembukaan rekening untuk demonstrasi layanan bank, untuk penyaluran bantuan sosial, atau sebagian nasabah lupa bahwa pernah membuka rekening di bank tertentu.

    Faktor-faktor tersebutlah yang luput dipertimbangkan pemerintah.

    “Resiko penyalahgunaan rekening menganggur untuk hasil judi online atau pencucian uang memang ada. Tapi tindakan pemblokiran tanpa melihat alasan mengapa rekening itu menganggur juga bukan tindakan bijaksana,” tutur Wahyudi.

    Ia menambahkan, pemerintah kurang bisa menerapkan prosedur RIA (Regulatory Impact Assessment) sehingga dampak negatif dari sebuah kebijakan tidak diantisipasi sejak dini.

    Akibatnya, masyarakat kembali menjadi korban dari kebijakan pemerintah.

    Jika memang ingin mendeteksi atau mencegah penyalahgunaan rekening untuk tindakan ilegal, PPATK bisa bekerja sama dengan instansi yang mengawasi aktivitas keuangan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan perbankan.

    Perlu ada pencatatan dan kategorisasi rekening berdasarkan riwayat rekening tersebut sejak pembukaan hingga beberapa bulan terakhir. Analisis tersebut akan memberikan gambaran apakah pemblokiran rekening memang diperlukan atau tidak.

    “Teknologi untuk mengidentifikasi rekening-rekening itu semestinya sudah tersedia, dan informasi nasabah dari perbankan semestinya sudah sangat lengkap untuk melacak rekening menganggur tersebut,” ujar Wahyudi.

    Meskipun kini sekian ratus juta rekening sudah kembali dipulihkan, namun tetap ada evaluasi yang perlu dilakukan.

    Kebijakan seharusnya diimplementasikan secara terstruktur dan tidak terburu-buru. Pemilik nasabah juga memiliki hak keterbukaan informasi atas rekeningnya sendiri.

    Wahyudi menyarankan agar pemerintah perlu memperbaiki sistem kebijakan yang akan dilakukan, tidak hanya pada kasus pemblokiran rekening saja.

    Pertimbangan matang akan mengarahkan pada implementasi kebijakan yang baik dengan mitigasi resiko, sehingga tidak perlu melakukan “blanket-policy” atau kebijakan tidak transparan.

    Tindakan tanpa pertimbangan justru akan menghasilkan inefisiensi dan penurunan kredibilitas dan visibilitas pemerintah di mata masyarakat

  • Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami aliran dana CSR BI-OJK. Tersangka yang diperiksa KPK menyebutkan bahwa banyak anggota Komisi XI juga mendapatkan dana tersebut.

    Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers penetapan tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan tersangka ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Asep menekankan penyidik akan mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. Adapun aliran dana CSR BI-OJK dibahas dalam rapat tertutup di DPR.
    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Dari hasil penyidikan sementara, KPK menemukan ada dugaan korupsi dalam penyaluran dana CSR BI-OJK. Selain tersangka ST (Satori), KPK juga menetapkan HG (Heri Gunadi). Keduanya merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Asep menuturkan, HG diduga menerima Rp15,8 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti seperti pembangunan rumah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian tanah dan kendaraan.

    Sementara total ST menerima uang Rp12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Selain itu, mereka juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

  • Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Bisnis.com, JAKARTA – Tersangka kasus korupsi CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai terkuak. KPK mendapati tersangka berasal dari anggota DPR yang menyelewengkan dana.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik sedang mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. KPK menetapkan dua anggota DPR sebagai tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Temuan KPK adalah 2 anggota Komisi XI periode 2019-2024 ditetapkan tersangka terduga kasus pencucian uang yakni Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan HG menerima total uang Rp15,58 miliar, sedangkan ST sebesar Rp12,52 miliar.

    “Penyidik telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang korupsi CSR BI dan OJK, diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku. 

    Lebih rinci, tersangka HG menggunakan dana tersebut untuk pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil.

    Selanjutnya, ST menerima Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI.

    Asep menuturkan tersangka ST menggunakan uang kegiatan sosial untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan pembelian aset lainnya

    Meski telah menetapkan tersangka, Asep mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman kasus karena diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Adapun KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Kronologi Dana CSR BI dan OJK, Mengalir ke Yayasan Fiktif 

    Kejahatan korupsi terselubung ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Mereka membahas ini dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020.

    Anehnya, sejak 2020, pembahasan dan kesepakatan penyaluran dana CSR dari OJK dan BI untuk kegiatan sosial juga lahir di dalam rapat tertutup. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR. 

    Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.

    “Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.

    ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.

    “Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor,” ujar Asep. 

    KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.

    Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.

    “Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.

    Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.

    Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.

    Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.

    “Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.

  • Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang Nasional 9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pada Kamis (7/8/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua Anggota DPR, yakni Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2020-2023.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menuturkan, perkara ini bermula dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK dan Pengaduan Masyarakat.
    Komisi XI DPR pernah membentuk Panitia Kerja (Panja) dan mengadakan rapat tertutup.
    Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi XI memiliki beberapa mitra kerja, di antaranya BI dan OJK.
    “Adapun khusus terhadap BI dan OJK, Komisi XI memiliki kewenangan tambahan yaitu mewakili DPR memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga tersebut setiap tahunnya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    KPK mengatakan, rapat tertutup menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya sebagai berikut:
    1. BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI dengan alokasi kuota yaitu dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 sampai dengan 24 kegiatan per tahun.
    2. Dana program sosial diberikan kepada anggota Komisi XI DPR RI melalui yayasan yang dikelola oleh anggota DPR Komisi XI.
    3. Teknis pelaksanaan penyaluran dana bantuan sosial dibahas lebih lanjut oleh Tenaga Ahli (TA) dari masing-masing anggota DPR Komisi XI dan pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
    Kemudian, rapat lanjutan dilakukan untuk membahas beberapa hal, di antaranya jumlah yayasan, teknis pengajuan proposal, teknis pencairan uang, dokumen laporan pertanggungjawaban (LPJ), serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota DPR RI Komisi XI per tahunnya.
    Setelah rapat panja, Komisi XI DPR RI akan melaksanakan rapat kerja terkait persetujuan rencana anggaran.
    Dari rapat ini, Heri Gunawan dan Satori melancarkan aksinya.
    Heri disebut menugaskan tenaga ahli, sedangkan Satori menugaskan orang kepercayaannya.
    Heri mengajukan 4 yayasan, sementara Satori mengajukan 8 yayasan.
    Namun, keduanya tidak melaksanakan kegiatan sosial seperti yang disyaratkan dalam proposal.
    Asep mengatakan, Heri Gunawan diduga menerima uang Rp 15,86 miliar.
    Politikus Partai Gerindra ini disebut meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
    Rincian uang yang diterima Heri sebanyak Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “HG (Heri Gunawan) menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar dia.
    Sementara, Satori diduga menerima uang senilai Rp 12,52 miliar.
    Ia diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    Dengan rincian, sejumlah Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur dia.
    Perkara ini tidak berhenti di Heri dan Satori.
    KPK mendalami dugaan bahwa mayoritas Anggota Komisi XI DPR menerima CSR dari BI dan OJK untuk periode 2020-2023.
    Dugaan tersebut didalami KPK berangkat dari pengakuan Satori yang menyebut sebagian besar anggota Komisi XI DPR juga menerima dana tersebut.
    “Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Menanggapi dugaan itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
    “Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
    Namun, Misbakhun belum menjelaskan lebih lanjut apakah Komisi XI bakal memanggil BI dalam rapat di DPR RI untuk evaluasi atau penjelasan.
    Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng membantah dugaan tersebut.
    Mekeng mengeklaim bahwa anggaran CSR tidak pernah dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, tetapi langsung dibagikan kepada pihak yang meminta.
    “Jadi, anggaran CSR itu tidak dibagikan ke anggota. Itu dibagikan langsung kepada yang minta, misalnya rumah ibadah, gereja, masjid, atau UMKM. Anggota tidak pernah megang uang sama sekali,” ujar Mekeng, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
    Mekeng mengatakan, anggota hanya menyampaikan kepada Bank Indonesia terkait rumah ibadah yang membutuhkan dana untuk renovasi.
    “Itu diproses langsung oleh Bank Indonesia, uangnya langsung ke masjidnya. Jadi, enggak ada anggaran dikasih ke anggota,” sambung Mekeng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ramalan Harga Kripto: Bullish Gagal Total?

    Ramalan Harga Kripto: Bullish Gagal Total?

    Jakarta

    Aset keuangan digital kripto diramal sulit kembali ke tren bullish atau kenaikan harga, kendati sinyal penguatan mulai tampak. Sebab saat ini, dinamika pasar kripto sedang mengalami aksi profit taking.

    Berdasarkan data CoinShare, terjadi arus keluar pertama dalam 15 minggu terakhir dengan nilai US$ 223 juta dari produk investasi aset digital. Aksi profit taking ini terjadi menyusul pertemuan FOMC yang bernada hawkish dan rilis data ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan.

    Dalam kondisi ini, Bitcoin (BTC) menjadi koin yang paling terdampak. Berdasarkan data perdagangan Coinmarketcap Jumat kemarin, BTC tercatat menguat 1,75% pada perdagangan 24 jam terakhir. Kemudian menguat 1,31% selama sepekan dengan harga sebesar US$ 116.856 atau sekitar Rp 1,90 miliar (asumsi kurs Rp 16.294).

    Angka tersebut tercatat jauh lebih menguat dibanding perdagangan di hari sebelumnya, di mana harga BTC tercatat sebesar US$ 114.721 atau sekitar Rp 1,87 miliar. Meski begitu, perdagangan kripto secara umum disebut masih akan menghadapi tantangan.

    “Momentum pemulihan Bitcoin terhenti karena banyaknya sinyal bearish yang muncul di pasar on-chain dan derivatif,” tulis analisis Coinmarketcap dalam laman resminya, Jumat kemarin.

    Sementara di Indonesia sendiri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya penurunan transaksi kripto yang signifikan secara bulanan (month-to-month/mtm). Transaksi mata uang digital ini tercatat sebesar Rp 32,31 triliun pada Juni 2025, turun 34,83% dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei.

    Chairman Indodax, Oscar Darmawan, menjelaskan penurunan transaksi kripto merupakan hal yang normal terjadi dalam dinamika pasar. Ia menyebut, pelemahan jumlah transaksi itu juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor global dan domestik.

    “Penurunan nilai transaksi kripto dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei menjadi Rp 32,31 triliun di bulan Juni 2025 memang mencerminkan adanya siklus normal dalam dinamika pasar kripto,” terang Oscar saat dihubungi detikcom.

    Secara global, terang Oscar, dinamika pasar pada bulan Juni sempat mengalami fase konsolidasi usai bullish rally dari pertama kali konfirmasi kenaikan pada bulan April. Dalam kondisi tersebut, banyak investor yang ambil untung atau profit taking.

    “Beberapa investor cenderung melakukan profit-taking, sehingga volume transaksi menurun,” terangnya.

    (kil/kil)

  • Minat Kripto Warga RI Lompat 5%, Industri Koin Diramal Makin Kinclong

    Minat Kripto Warga RI Lompat 5%, Industri Koin Diramal Makin Kinclong

    Jakarta

    Mata uang kripto kian digandrungi warga RI saat ini. Hal ini tercermin dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana investor kripto di Indonesia tercatat sebanyak 15,85 juta per Juni 2025. Jumlah itu meningkat 5,18% dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 15,07 juta.

    Chairman Indodax, Oscar Darmawan, menilai catatan ini menjadi bukti tingginya minat masyarakat terhadap aset digital. Saat ini, ia menyebut aset kripto semakin diterima sebagai alternatif investasi.

    Di sisi lain, Oscar menyebut pemerintah tengah berupaya untuk memperkuat pengawasan dan tata kelola industri kripto. Hal ini terlihat dari peralihan tugas pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi ke OJK.

    “Saya optimistis bahwa ke depan kita akan melihat peningkatan kepercayaan publik, regulasi yang lebih terintegrasi, dan perlindungan konsumen yang makin baik,” ujar Oscar kepada detikcom, Jumat (8/8/2025).

    Sementara untuk penerapan pajak baru bagi kripto, Oscar mendukung kebijakan pemerintah, termasuk penyempurnaan regulasi pajak terhadap aset kripto. Menurutnya, pajak yang jelas dan terstruktur menunjukkan posisi aset kripto setara dengan instrumen keuangan lainnya yang sah.

    Diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghapus pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan aset kripto mulai 1 Agustus 2025. Hal itu dikarenakan adanya pergeseran status kripto di Indonesia dari komoditas menjadi aset keuangan digital dengan karakteristik surat berharga.

    Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Aturan ini menggantikan aturan sebelumnya yang menjadikan aset kripto sebagai objek langsung PPN dengan besaran 0,11% (Bappebti) dan 0,22% (non Bappebti).

    “Kami percaya bahwa dengan sinergi antara regulator dan pelaku industri, pertumbuhan industri ini akan semakin berkelanjutan dan inklusif di masa depan,” ungkapnya.

    Kendati secara transaksi melemah 34,83% dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei 2025 menjadi Rp 32,31 triliun pada Juni, Oscar meyakini fondasi industri kripto akan mengalami pertumbuhan secara jangka panjang.

    “Jadi meskipun ada fluktuasi jangka pendek dalam volume transaksi, secara fundamental industri ini terus bertumbuh dan bergerak menuju arah yang lebih sehat dan teratur,” tutupnya.

    (kil/kil)

  • Transaksi Kripto RI Ambruk Gegara Aksi Ambil Untung Investor

    Transaksi Kripto RI Ambruk Gegara Aksi Ambil Untung Investor

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya penurunan transaksi kripto yang signifikan secara bulanan (month-to-month/mtm). Transaksi mata uang digital ini tercatat sebesar Rp 32,31 triliun pada Juni 2025, turun 34,83% dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei.

    Chairman Indodax Oscar Darmawan menjelaskan penurunan transaksi kripto merupakan hal yang normal terjadi dalam dinamika pasar. Ia menyebut, pelemahan jumlah transaksi itu juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor global dan domestik.

    “Penurunan nilai transaksi kripto dari Rp 49,57 triliun di bulan Mei menjadi Rp 32,31 triliun di bulan Juni 2025 memang mencerminkan adanya siklus normal dalam dinamika pasar kripto,” terang Oscar saat dihubungi detikcom, Jumat (8/8/2025).

    Secara global, terang Oscar, dinamika pasar pada bulan Juni sempat mengalami fase konsolidasi usai bullish rally dari pertama kali konfirmasi kenaikan pada bulan April. Dalam kondisi tersebut, banyak investor yang ambil untung atau profit taking.

    “Beberapa investor cenderung melakukan profit-taking, sehingga volume transaksi menurun,” terangnya.

    Selain itu, pasar kripto secara global juga masih menanti sentimen baru yang cukup kuat untuk mengembalikan posisi transaksi. Beberapa sentimen tersebut mencakup penerbitan lisensi ETF baru atau adopsi kripto yang dilakukan oleh institusi. Menurutnya, hal ini yang mendorong para investor cenderung wait-and-see.

    Meski begitu, Oscar meyakini ekosistem kripto di RI akan terus tumbuh. Hal ini didorong peralihan pengawasan kripto dari Bappebti ke OJK. Menurutnya, ini adalah langkah strategis untuk memperkuat tata kelola industri.

    “Jadi meskipun ada fluktuasi jangka pendek dalam volume transaksi, secara fundamental industri ini terus bertumbuh dan bergerak menuju arah yang lebih sehat dan teratur,” ujar dia.

    Diberitakan sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyebut adanya tren penurunan transaksi, menjadi sebesar Rp 32,31 triliun di bulan Juni dari posisi Mei 2025 yang tercatat Rp 49,57 triliun.

    Sementara secara akumulasi, nilai transaksi aset kripto sepanjang 2025 mencapai Rp 224,11 triliun. Di sisi lain, jumlah pengguna kripto sendiri terpantau naik di bulan Juni, menjadi sebesar 15,85 juta dari 15,07 juta di bulan sebelumnya.

    “Per Juni 2025 jumlah konsumen berada dalam tren peningkatan yaitu mencapai angka 15,85 juta konsumen, meningkat signifikan 5,18% dibanding posisi Mei 2025,” ungkapnya dalam konferensi pers RDK secara virtual, Senin (4/8/2025).

    Lihat juga Video: Harga Bitcoin Sentuh Rp 1,8 M, Apa Penyebabnya?

    (kil/kil)

  • Anggota DPR Bangun Rumah Makan hingga Showroom Pakai Dana CSR BI-OJK

    Anggota DPR Bangun Rumah Makan hingga Showroom Pakai Dana CSR BI-OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Dua anggota Komisi XI periode 2019-2024 ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus pencucian uang kegiatan sosial BI dan OJK. Uang digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Mereka adalah Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST. Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan HG menerima total uang Rp15,58 miliar, sedangkan ST sebesar Rp12,52 miliar.

    “Penyidik telah menemukan sekurang-sekurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Secara rinci Asep menyampaikan perolehan dana tersebut. HG menerima Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DRP RI lainnya.

    Asep menjelaskan HG menggunakan dana tersebut untuk pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil.

    Selanjutnya, ST menerima Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI.

    Asep menuturkan tersangka ST menggunakan uang kegiatan sosial untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan pembelian aset lainnya

    Meski telah menetapkan tersangka, Asep mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman kasus karena diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Adapun, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo memanggil eks Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia berinisal EH dan Deputi Direktur Departemen Hukum Bank Indonesia berinisial IRW, yang diperiksa sebagai saksi untuk mendalami kasus tersebut pada Jumat (8/8/2025).