Kementrian Lembaga: NASA

  • NASA PHK 550 Karyawan Unit Penelitian JPL, Ini Alasannya – Page 3

    NASA PHK 550 Karyawan Unit Penelitian JPL, Ini Alasannya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Jet Propulsion Laboratory (JPL), unit penelitian dan pengembangan yang didanai NASA, mengumumkan bakal melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 550 karyawannya, yang setara dengan 11% dari total tenaga kerja JPL.

    Mengutip laman CNN, Kamis (16/10/2025), alasan NASA mengambil langkah ini adalah sebagai bagian dari upaya restrukturisasi internal.

    Direktur JPL, Dave Gallagher, dalam pesan yang diunggah di situs web laboratorium, menegaskan bahwa pemangkasan tersebut “tidak terkait dengan penutupan pemerintahan saat ini (government shutdown)”.

    JPL sendiri merupakan laboratorium yang didanai badan antariksa federal AS, NASA, dan dikelola oleh California Institute of Technology (Caltech).

    Dalam memo terpisah kepada karyawan dan kontraktor JPL, Gallagher menulis, “Meskipun tidak mudah, saya yakin bahwa mengambil tindakan ini sekarang akan membantu laboratorium bertransformasi pada skala dan kecepatan yang diperlukan untuk membantu mencapai ambisi terliar umat manusia di luar angkasa.”

    Gallagher mencatat bahwa reorganisasi JPL telah dimulai sejak Juli 2025, dan selama beberapa bulan terakhir, pihaknya telah berkomunikasi secara terbuka dengan karyawan mengenai tantangan dan pilihan sulit yang ada di depan.

    “Tindakan minggu ini, meski tidak mudah, sangat penting untuk mengamankan masa depan JPL dengan menciptakan infrastruktur yang lebih ramping, berfokus pada kemampuan teknis inti kami, menjaga disiplin fiskal, dan memposisikan kami untuk bersaing dalam ekosistem ruang angkasa yang terus berkembang–sambil terus menjalankan pekerjaan vital kami untuk NASA dan negara,” tegas Gallagher.

    Menurut pengumuman tersebut, para karyawan JPL telah diberitahu mengenai status pekerjaan mereka dan struktur laboratorium yang baru mulai berlaku efektif pada Rabu (15/10/2025).

     

  • Artemis II NASA & CSA Akan Kelilingi Bulan untuk Uji Coba

    Artemis II NASA & CSA Akan Kelilingi Bulan untuk Uji Coba

    Video: Artemis II NASA & CSA Akan Kelilingi Bulan untuk Uji Coba

    2,159 Views | Selasa, 14 Okt 2025 22:54 WIB

    Alifia Nur Fadillah – 20DETIK

  • NASA Umumkan Tanggal Misi Berawak ke Bulan, Pertama Setelah 50 Tahun

    NASA Umumkan Tanggal Misi Berawak ke Bulan, Pertama Setelah 50 Tahun

    Jakarta

    Hasrat manusia untuk menjelajahi bulan kembali bergelora. NASA resmi mengumumkan bahwa misi Artemis II, misi berawak pertama ke bulan dalam lebih dari setengah abad, akan diluncurkan pada April 2026. Misi ini menandai kembalinya manusia ke orbit bulan setelah misi terakhir Apollo 17 pada 1972.

    Sejarah eksplorasi bulan dimulai sejak peluncuran Sputnik I pada 1957, yang membuka jalan bagi misi Apollo 11 pada 1969, saat manusia pertama kali menginjakkan kaki di bulan. Meski sempat menghadapi tantangan, seperti kegagalan dramatis Apollo 13, keinginan untuk memahami dan bahkan mendiami bulan terus mendorong inovasi.

    Namun, selama 50 tahun terakhir, hanya wahana robotik yang menjelajahi bulan, hingga akhirnya program Artemis muncul untuk mengubah hal itu.

    Artemis II

    Setelah kesuksesan Artemis I, uji coba tanpa awak pada November 2022, Artemis II akan menjadi misi berawak pertama yang membawa empat astronaut dalam perjalanan 10 hari mengelilingi bulan. Misi ini bertujuan menguji wahana antariksa Orion, memastikan keandalannya untuk misi-misi masa depan.

    Meski sempat mengalami penundaan, NASA kini menetapkan April 2026 sebagai jadwal peluncuran.Misi ini akan dipimpin oleh Komandan Reid Wiseman, veteran Angkatan Laut dan astronaut NASA sejak 2009.

    Awak Arthemis 2 Foto: via BGR

    Ia didampingi pilot Victor Glover, yang memiliki pengalaman 168 hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), serta dua spesialis misi: Christina Koch, pemegang rekor wanita terlama di luar angkasa (328 hari), dan Jeremy Hansen, pilot pesawat tempur yang menjadi orang Kanada pertama yang dilatih NASA sebagai kandidat astronaut.

    Keempat astronaut ini akan menjalani pengujian biologis, termasuk pengambilan sampel darah sebelum dan sesudah misi, untuk mempelajari dampak perubahan gravitasi dan radiasi luar angkasa terhadap tubuh manusia.

    Artemis III dan IV

    Jika Artemis II sukses, NASA akan melanjutkan dengan Artemis III pada pertengahan 2027. Misi ini akan membawa empat astronaut untuk mendarat di Kutub Selatan bulan selama sekitar satu minggu.

    Misi Arthemis 2 Foto: via BGR

    Langkah berikutnya, Artemis IV, akan melibatkan pembangunan stasiun luar angkasa Gateway, yang dirancang sebagai pangkalan permanen untuk mendukung misi antar-jemput ke bulan.

    NASA menyebut visi ini sebagai “Artemis Generation Science,” dengan logo Artemis yang melambangkan anak panah dewi bulan menuju simbol bulan. Stasiun Gateway diharapkan menjadi fondasi untuk kehadiran manusia yang berkelanjutan di bulan, demikian dilansir dari BGR.

    (afr/afr)

  • Pengumuman Besar NASA Setelah 50 Tahun, 4 Astronaut Jadi Saksi

    Pengumuman Besar NASA Setelah 50 Tahun, 4 Astronaut Jadi Saksi

    Jakarta, CNBC Indonesia – NASA memberikan pengumuman besar terkait rencananya untuk segera kembali ke Bulan pada 2026 mendatang. Jika misi Artemis II berhasil maka menandakan kembalinya lembaga antariksa Amerika Serikat (AS) ke satelit Bumi itu setelah 50 tahun.

    Pada 1972, Apollo 17 jadi misi terakhir manusia ke Bulan. Saat itu para astronaut menghabiskan waktu tiga hari untuk menjelajahi dan mengumpulan sampel di sana.

    Sementara Artemis II bersiap untuk lebih lama di Bulan. Empat astronaut disiapkan ke Bulan dalam misi 10 hari, dikutip dari BGR, Jumat (10/10/2025).

    Salah seorang yang akan mengisi kursi misi tersebut adalah Reid Wiseman. Komandan misi itu telah berpengalaman menjadi astronaut NASA sejak 2009 dan pernah bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

    Bertindak sebagai pilot adalah Victor Glover. Dia telah menjadi astronaut sejak 2013 dan tinggal di ISS selama 168 hari.

    Spesialis misi kali ini adalah Christina Koch, seorang astronaut sejak 2013. Dia pemegang gelar wanita yang tinggal di luar angkasa terlama selama 328 hari.

    Terakhir adalah Jeremy Hansen yang memiliki latar belakang pilot pesawat tempur. Dia menjadi warga negara Kanada pertama yang dilatih sebagai kandidat astronaut oleh NASA dan menjadi yang pertama dari negaranya ke Bulan.

    Misi itu bertujuan untuk melakukan penerbangan lintas Bulan dalam rangka menguji wahana antariksa Orion. Para astronaut bekerja untuk memastikan fungsinya berjalan optimal dan mengatasi masalah yang mungkin muncul.

    NASA telah menjalani misi Artemis pertamanya pada November 2022. Saat itu, dilakukan uji coba penerbangan tanpa awak.

    Jika Artemis II berhasil, maka NASA akan melanjutkannya ke jilid III. Misi itu ditargetkan akan meluncur pertengahan 2027 dan membawa empat orang lain.

    Namun Artemis III akan berlangsung lebih lama sekitar satu bulan. Kali ini para astronaut akan mendarat di Bulan dan tinggal di Kutub Selatan sekitar satu minggu.

    Saat semuanya berjalan lancar, Artemis IV siap diterbangkan. Para astronaut yang ikut akan tinggal dalam stasiun luar angkasa Bulan pertama bernama Gateway.

    Gateway bakal jadi pangkalan permanen yang dilengkapi dengan dok pesawat untuk bisa pulang dan pergi.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Elon Musk Dapat Proyek Rp 11 Triliun dari Trump, Sudah Baikan?

    Elon Musk Dapat Proyek Rp 11 Triliun dari Trump, Sudah Baikan?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberikan proyek senilai US$714 juta (Rp 11 triliun) pada perusahaan milik Elon Musk, SpaceX. Pemberian kontrak kerja ini terjadi setelah hubungan Musk dan Presiden AS Donald Trump memanas beberapa waktu lalu.

    Tahun ini memang jadi waktu yang sulit bagi hubungan keduanya. Usai bahu membahu memenangkan Trump ke kursi presiden, keduanya terlihat saling sindir dan mengecam satu sama lain.

    Termasuk saat Musk mengecam RUU One Big Beautiful Bill. Pemotongan pajak dan peningkatan pengeluaran yang dilakukan pemerintah disebut Musk sebagai kekejian dan menjijikan serta menyalahkan rancangan aturan untuk defisit federal yang terus membengkak.

    Namun, nampaknya hubungan keduanya, setidaknya secara bisnis, sudah mulai membaik. SpaceX diketahui mendapatkan kontrak besar dari Pentagon terkait luar angkasa.

    Kontrak itu berada dalam Program Peluncuran Luar Angkasa Keamanan Nasional (NSSL). Dua misi tersisa diberikan kepada United Launch Alliance (ULA) senilai US$428 juta (Rp 7 triliun).

    Sebelumnya NSSL memilih SpaceX, ULA dan Blue Origin menjalankan 54 misi. Proyek senilai US$13,5 miliar (Rp 223,4 triliun) dijadwalkan pada 2027 hingga 2032, dikutip dari Times of India, Kamis (9/10/2025).

    Khusus untuk SpaceX, misinya berupa peluncuran satelit komunikasi, tiga muatan rahasia dan satu satelit pengintai. Semuanya diperkirakan akan meluncur 2027 mendatang.

    NSSL belum memberikan sertifikasi pada roket New Glenn milik Blue Origin. Ini membuat perusahaan milik Jeff Bezos belum diberikan tugas apapun dalam siklus sekarang.

    Blue Origin baru memiliki peluang pada tahun fiskal 2027. Namun kemungkinan bisa lebih cepat dari perkiraan.

    Hal ini karena misi NASA untuk ke Mars. Misi ini sebelumnya ditunda dari tahun lalu dan kemungkinan diluncurkan akhir bulan nanti.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kronologi Dentuman Keras di Langit Tegal hingga Temuan Batu Hitam Diduga Meteor, Siap Dijual

    Kronologi Dentuman Keras di Langit Tegal hingga Temuan Batu Hitam Diduga Meteor, Siap Dijual

    GELORA.CO – Geger sebongkah batu yang diduga meteor jatuh di pekarangan warga Desa Jatilaba, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.

    Dilansir dari laman NASA, Meteor adalah saat meteoroid memasuki atmosfer Bumi (atau planet lain, seperti Mars) dengan kecepatan tinggi dan terbakar, berbentuk bola api atau “bintang jatuh”.

    Sementara meteoroid merupakan batuan yang masih berada di luar angkasa. 

    Ukuran meteoroid bervariasi, mulai dari butiran debu hingga asteroid kecil.

    Suara dentuman keras menggema di langit Desa Jatilaba, Kecamatan Margasari, Tegal, Minggu petang (5/10/2025).

    Tak hanya sekali, suara itu terdengar lima kali berturut-turut dari arah utara, mengejutkan warga yang tengah bersiap malam.

    Di tengah kehebohan itu, Wasroni (40), seorang warga setempat, menemukan sesuatu yang tak biasa sebuah batu hitam pekat.

    Beratnya sekitar 3 kilogram, tergeletak tak jauh dari rumahnya.

    Batu misterius itu diduga kuat berasal dari langit sebuah meteor yang jatuh ke bumi.

    “Awalnya dengar ada suara dentuman sampai lima kali. Sumbernya dari arah utara, getarannya cukup terasa,” kata Wasroni kepada wartawan di kediamannya, dilansir dari Kompas.com, Selasa (7/10/2025).

    Dengar Suara Ledakan Seperti Bom, Ada Api di Langit

    Tak lama setelah itu, terdengar suara seperti ledakan bom yang membuat Wasroni keluar rumah karena penasaran.

    Di dekat lokasi, seorang bocah bernama Ibnu (11), tetangganya, memanggil Wasroni dan mengaku melihat sebuah benda bercahaya jatuh dari langit.

    “Saya lihat seperti api di langit, lalu warnanya berubah jadi putih waktu mau sampai tanah,” kata Ibnu.

    Ibnu mendekati lokasi jatuhnya benda itu dan melihat ada asap tipis keluar dari lubang tanah.

    “Pas saya dekati, tanahnya berlubang dan batunya masih hangat. Saya pegang sendiri, nggak takut,” ujar Ibnu.

    Penampakan Batu Diduga Meteor Siap Dijual

    Setelah mengambil batu tersebut, Wasroni kemudian membawanya ke rumah. 

    Batu itu berwarna hitam pekat, permukaannya kasar, dan berat sekitar tiga kilogram.

    Tak lama kemudian, warga berdatangan karena penasaran ingin melihat langsung batu misterius itu.

    “Banyak yang datang malam itu. Ada yang foto, ada juga yang bilang mau beli kalau itu benar batu meteor,” kata Wasroni.

    Ia mengaku bersedia menjualnya jika ada kolektor atau pihak yang ingin meneliti batu tersebut.

    Kata Kepala Desa Jatilaba

    Sementara itu, Kepala Desa Jatilaba, Jumadi, membenarkan adanya penemuan batu misterius oleh warganya. 

    “Benar, warga kami menemukan benda yang diduga batu meteor. Suaranya memang terdengar keras sekali waktu itu,” kata Jumadi.

    Meski belum ada pihak resmi yang meneliti, Jumadi juga menduga kuat batu tersebut adalah meteor.

    “Tapi benar kami menduga kuat itu batu meteor. Karena waktu itu banyak warga yang juga mendengar suara dentuman atau ledakan dari berbagai daerah, termasuk Brebes, Pemalang, bahkan Cirebon,” ucapnya. 

    Sebelumnya, Fenomena dentuman dan kilatan cahaya di langit ini sempat menghebohkan masyarakat di pantura barat Jawa Tengah pada Minggu petang usai Maghrib.

    Media sosial pun ramai membahas suara ledakan dan cahaya terang di langit.

    Bagi warga Desa Jatilaba, peristiwa ini menjadi pengalaman langka yang tak akan dilupakan.

     “Semoga batu ini membawa keberkahan, bukan pertanda buruk,” pungkas Jumadi.

  • Bumi Makin Gelap Tapi Tambah Panas, Ilmuwan Cemas Tanda Kiamat

    Bumi Makin Gelap Tapi Tambah Panas, Ilmuwan Cemas Tanda Kiamat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Para ilmuwan menemukan tanda-tanda mengkhawatirkan dari hasil pengamatan satelit selama hampir dua dekade. Data menunjukkan bahwa Bumi, khususnya di belahan utara, makin gelap karena menurunnya kemampuan planet ini memantulkan cahaya matahari kembali ke luar angkasa.

    Temuan ini diungkap dalam studi NASA yang menggunakan data dari sistem Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES).

    Sistem ini melacak seberapa banyak energi matahari yang diserap Bumi, yang disebut absorbed solar radiation (ASR), serta seberapa banyak energi yang dipancarkan kembali ke luar angkasa, atau dikenal sebagai outgoing longwave radiation (OLR). Hasilnya menunjukkan adanya ketidakseimbangan energi antara dua belahan Bumi.

    Belahan utara kini menerima lebih banyak energi matahari dibandingkan sebelumnya, dengan peningkatan sekitar 0,34 watt per meter persegi setiap dekade dibandingkan belahan selatan. Meski terlihat kecil, perbedaan ini dinilai signifikan dan berpotensi mengganggu keseimbangan energi global.

    “Perubahannya terlihat jelas. Kedua belahan memang memantulkan lebih sedikit sinar matahari, tetapi efeknya lebih kuat di belahan utara,” kata Norman G. Loeb, ilmuwan iklim di NASA Langley Research Center yang memimpin studi tersebut.

    Fenomena penggelapan di belahan utara dipicu oleh berbagai faktor. Hilangnya es laut dan salju di wilayah Arktik mengungkap permukaan darat dan laut yang lebih gelap, sehingga menyerap lebih banyak panas. Selain itu, berkurangnya partikel aerosol di atmosfer akibat regulasi polusi udara di negara-negara industri juga mengurangi daya pantul awan.

    Sementara itu, peristiwa alam seperti kebakaran hutan besar di Australia dan letusan gunung berapi Hunga Tonga sempat meningkatkan kadar aerosol di belahan selatan. Namun, dampaknya tidak cukup besar untuk menyeimbangkan perubahan global yang terjadi.

    Mengutip Brighter Side of News, para ilmuwan memperingatkan bahwa ketidakseimbangan ini dapat mengubah pola angin, arus laut, dan distribusi panas global.

    Jika dibiarkan, “kiamat” perubahan iklim tersebut berpotensi mempercepat pemanasan di wilayah-wilayah utara seperti Eropa, Amerika Utara, dan Asia, yang menjadi pusat populasi dan industri dunia.

    Secara global, Bumi kini menyerap tambahan 0,83 watt per meter persegi energi per dekade sejak 2001. Sebagian memang terdistribusi melalui atmosfer dan lautan, namun sisanya tetap terperangkap dan memperkuat tren pemanasan global.

    “Hasil ini menegaskan perlunya meninjau kembali bagaimana model iklim memperhitungkan kompensasi antarbelahan,” tulis para peneliti.

    “Bahkan perbedaan kecil dalam keseimbangan energi dapat memiliki dampak besar,” kata mereka.

    Loeb dan timnya berencana untuk memperpanjang catatan satelit dan memasukkan observasi baru ke dalam model iklim.

    Pemantauan jangka panjang diharapkan dapat mengungkap apakah ketidakseimbangan ini hanya bersifat sementara atau merupakan penyesuaian jangka panjang dalam sistem energi Bumi.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Mengenal Apa Itu Supermoon yang Bersinar di Langit Malam Ini
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        7 Oktober 2025

    Mengenal Apa Itu Supermoon yang Bersinar di Langit Malam Ini Megapolitan 7 Oktober 2025

    Mengenal Apa Itu Supermoon yang Bersinar di Langit Malam Ini
    Penulis

    KOMPAS.com –
     Bulan terlihat lebih besar dan lebih terang dari biasanya pada malam ini, Selasa (7/10/2025).
    Fenomena ini dikenal sebagai Supermoon atau Purnama Perigee, yang menjadi salah satu momen langka dalam kalender astronomi tahun ini.
    Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Supermoon terjadi ketika Bulan berada di titik terdekatnya dengan Bumi, yang disebut perigee, tepat pada saat fase purnama berlangsung.

    Supermoon terjadi saat Bulan Purnama bertepatan dengan jarak terdekatnya dari Bumi (perigee), sehingga tampak lebih besar dan lebih terang dari biasanya
    ,” tulis BMKG melalui akun Instagram resminya, @
    infobmkg
    , Selasa (7/10/2025).
    Pada fase purnama kali ini, posisi Bulan berada sekitar 361.458 kilometer dari Bumi dan mencapai titik terdekatnya (perigee) pada 8 Oktober 2025 pukul 19.35 WIB dengan jarak 359.819 kilometer.
    Sebagai perbandingan, pada purnama 13 April 2025, Bulan justru berada di titik terjauhnya (apogee) dengan jarak mencapai 406.006 kilometer.
    Itu sebabnya, ukuran Bulan malam ini akan tampak sekitar 14 persen lebih besar dan hingga 30 persen lebih terang dibanding purnama biasa.
    Orbit Bulan tidak berbentuk lingkaran sempurna, melainkan elips. Akibatnya, jarak antara Bulan dan Bumi selalu berubah.
    Ketika Bulan mencapai perigee, jaraknya menjadi lebih dekat dari rata-rata. Sementara pada apogee, jaraknya berada di titik terjauh.
    Apabila fase purnama bertepatan dengan posisi perigee, muncullah fenomena Supermoon seperti yang terjadi malam ini.
    Fenomena ini pertama kali diperkenalkan dengan istilah “Supermoon” pada tahun 1979, dan mulai populer setelah tiga supermoon terjadi berturut-turut pada akhir 2016.
    Supermoon November 2016 bahkan tercatat sebagai yang terdekat dalam 69 tahun terakhir.
    Menurut NASA, istilah Supermoon digunakan untuk menggambarkan bulan purnama perigee, yaitu ketika purnama terjadi di dekat atau pada saat Bulan mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi.
    Fenomena serupa dengan jarak yang lebih dekat lagi diperkirakan akan terjadi kembali pada tahun 2030 mendatang.
    Selain memukau secara visual, Supermoon juga memiliki dampak geofisika kecil di Bumi.
    BMKG menjelaskan bahwa peningkatan gaya gravitasi Bulan dapat menyebabkan air laut pasang sedikit lebih tinggi dan air surut lebih rendah dari biasanya.
    Meski demikian, fenomena ini masih tergolong normal dan tidak berpotensi menimbulkan bencana.
    Untuk menikmati keindahannya, masyarakat cukup mengamati langit bagian timur setelah senja.
    Cuaca cerah menjadi faktor penting agar Bulan terlihat jelas tanpa bantuan teleskop.
    Supermoon bukan hanya sekadar tontonan langit, tetapi juga pengingat akan dinamika alam semesta yang terus bergerak harmonis di atas Bumi.

    Jadi, jangan lewatkan momen langka ini! Intip langit sore nanti dan nikmati pesona Supermoon 2025
    ,” tulis BMKG.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bulan Bergerak Menjauhi Bumi, Perbedaan Mulai Dirasakan Manusia

    Bulan Bergerak Menjauhi Bumi, Perbedaan Mulai Dirasakan Manusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jarak antara Bumi dan Bulan ternyata tidak tetap, tetapi berubah seiring waktu. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa Bulan perlahan-lahan bergerak makin jauh dari Bumi.

    Orbit keduanya ternyata terus mengalami pergeseran, membuat satelit alami Bumi itu makin menjauh dari planet kita.

    Jarak yang menjauh ini diketahui berkat Lunar Laser Ranging Experiment. Misi Apollo tahun 1960 dan 1970 telah menempatkan reflektor di permukaan Bulan dan kita bisa mengetahui jarak dengan mengukur waktu yang dibutuhkan untuk bisa dipantulkan kembali.

    Pengukuran berulang yang dilakukan menemukan Bulan menjauh dari Bumi dengan kecepatan 3,8 cm (1,5 inci) per tahun, dikutip dari IFL Science, Selasa (7/10/2025).

    Lalu apa yang akan terjadi dengan fakta ini? IFL Science menuliskan salah satunya adalah menghilangnya Gerhana Matahari Total.

    “Seiring berjalannya waktu, jumlah dan frekuensi Gerhana Matahari Total berkurang. Sekitar 600 juta tahun lagi, Bumi akan melihat keindahan Gerhana Matahari Total untuk terakhir kalinya,” kata ilmuwan NASA, Richard Vondrak pada 2017.

    Kemungkinan itu terjadi karena Bulan akan tampak lebih kecil. Berbeda dengan yang terjadi saat ini, Matahari dan Bulan berukuran hampir sama.

    Karena jarak dengan pusat Tata Surya mencapai 400 kali lebih jauh Bumi dan Bulan dengan diameter 400 kali lebih besar.

    Begitu juga empat miliar tahun lalu saat belum bergeser ke orbitnya sekarang, Bulan tampak tiga kali lebih besar dari saat ini.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • BRIN Ungkap Alasan Meteor Jatuh di Cirebon Timbul Suara Dentuman Keras

    BRIN Ungkap Alasan Meteor Jatuh di Cirebon Timbul Suara Dentuman Keras

    Jakarta, CNBC Indonesia – Akhir pekan lalu warga Cirebon mendadak heboh karena ada suara dentuman keras yang seolah menghantam bumi. Suara dentuman terdengar di wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada Minggu (5/10/2025) malam.

    Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, menyebut dentuman itu disebabkan oleh meteor berukuran cukup besar yang melintas di langit.

    “Berdasarkan fakta-fakta, saya menyimpulkan fenomena dentuman di Cirebon dan sekitarnya adalah meteor cukup besar yg melintas dari arah barat daya di selatan Jawa terus ke wilayah Kuningan dan Kabupaten Cirebon sekitar pukul 18.35 – 18.39 WIB,” ujar Thomas dikutip dari blog pribadinya, Selasa (7/10/2025).

    Thomas menjelaskan, ketika meteor memasuki lapisan atmosfer yang lebih rendah dan padat di atas Kuningan dan Cirebon, muncul gelombang kejut yang terdengar sebagai suara dentuman keras.

    Gelombang tersebut juga terdeteksi oleh sensor BMKG Cirebon pada pukul 18.39 WIB di Astanajapura.

    “Diduga meteor itu jatuh di Laut Jawa,” ujarnya.

    Sebelumnya, warga di wilayah Kuningan dan Cirebon melaporkan mendengar dentuman keras disertai getaran pada Minggu malam. Beberapa rekaman CCTV dan video amatir juga memperlihatkan bola api terang meluncur di langit sebelum suara keras terdengar.

    Thomas kemudian membandingkan dengan kejadian meteor Bone 2009. Dari segi ukuran, meteor di Cirebon hanya sekitar 3-5 meter. Namun cukup menimbulkan gelombang kejut.

    Sementara meteor Bone yang jatuh di Sulawesi Selatan pada 2009, menimbulkan dentuman keras yang terdengar sampai jarak 10 kilometer dan kaca jendela rumah warga bergetar.

    “Meteor Bone ditaksir oleh peneliti NASA ukurannya sekitar 10 kilometer. Saya memperkirakan ukuran meteor Cirebon sekitar 3-5 meter.” pungkasnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]