Kementrian Lembaga: NASA

  • Astronaut Potret Aurora Cantik di Angkasa Mirip Bendera Palestina

    Astronaut Potret Aurora Cantik di Angkasa Mirip Bendera Palestina

    Jakarta

    Aurora istimewa terlihat pada Kamis (10/10) malam. Pemandangan ini tampak luar biasa lagi ketika melihatnya dari orbit Bumi. Astronaut NASA Don Pettit dan Matthew Dominick jadi orang beruntung yang menyaksikannya.

    Keduanya menyaksikan pemandangan aurora menakjubkan dari angkasa. Kemunculan aurora tersebut merupakan salah satu dampak dari badai Matahari yang terjadi pekan lalu. Dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), pemandangan aurora itu membuat astronaut tercengang.

    “Menakjubkan adalah kata yang tepat,” tulis Pettit dalam postingannya di X pada Jumat (11/10). Ia membagikan foto pertunjukan cahaya langit tersebut.

    “Matahari bersendawa dan atmosfer berubah menjadi merah. Tampak spektakuler tidak hanya dari Bumi tetapi juga dari orbit,” ujarnya.

    [Gambas:Twitter]

    Jika diperhatikan, semburan merah, hijau berpadu hitam dari latar angkasa memunculkan nuansa mirip bendera Palestina.

    Dikutip dari Space.com, aurora yang muncul sangat dramatis pada Kamis (10/10) malam dikarenakan adanya badai geomagnetik yang kuat, yang dipicu oleh kedatangan awan besar plasma Matahari yang diluncurkan ke luar angkasa oleh coronal mass ejection (CME) atau lontaran massa koronal.

    Dalam unggahannya di hari Jumat X, Pettit mengatakan bahwa ia dan Dominick tidak menyangka akan begitu terpesona.

    “Kejadian ini mengejutkan @dominickmatthew dan saya. Kami kehabisan energi di pengujung hari yang panjang dan malas menyiapkan kamera. Kami baru saja akan tidur nyenyak ketika mengintip ke luar jendela Cupola,” tulis Pettit.

    Pada akhirnya, pemandangan yang mereka lihat menggerakkan keduanya untuk bertindak.

    “Kami terbang di atas aurora. Dan warnanya merah darah. Terkejut, kami buru-buru menyiapkan kamera kami. Semuanya mengambil gambar secepat mungkin, menciptakan irama sinkopasi yang menonjolkan tampilan artistik alam yang disajikan di hadapan kami,” tambahnya.

    Astronot NASA Matthew Dominick membagikan foto tampilan aurora yang diambil melalui jendela SpaceX Crew Dragon Endeavour, yang sedang berlabuh di ISS lewat X pada 7 Oktober 2024. Foto: NASA/Matthew Dominick

    Baik Pettit maupun Dominick adalah fotografer orbital berpengalaman. Keduanya secara rutin berbagi foto-foto menakjubkan aurora dan pemandangan lain di Bumi melalui media sosial.

    Dominick baru-baru ini membagikan pemandangan dramatis Badai Milton yang bergerak menuju daratan Florida, yang terjadi pada Rabu (9/10). Foto-foto itu diambil melalui jendela Endeavour Crew Dragon, yang dinaiki Dominick dan tiga anggota misi Crew-8 SpaceX lainnya kembali ke Bumi.

    Dominick juga membagikan foto aurora yang diambil melalui jendela Endeavour di X minggu ini. “Saya sekarang tidur di Dragon Endeavour sambil menunggu lepas landas. Kami mengambil sebagian besar gambar dari kubah, tetapi tidur di sini sungguh menakjubkan. Ini pemandangan dari jendela malam ini,” tulisnya dalam postingan tersebut.

    Pettit akan tetap berada di ISS untuk beberapa waktu lagi. Ia tiba bersama dua kosmonaut di pesawat ruang angkasa Soyuz Rusia bulan lalu.

    (rns/fay)

  • Aurora Warna-warni Muncul Akibat Badai Geomagnetik

    Aurora Warna-warni Muncul Akibat Badai Geomagnetik

    Jakarta

    Aurora berwarna-warni terlihat di wilayah Amerika Serikat (AS) seperti Alabama dan California Utara, jauh di selatan daripada biasanya.

    Kemunculan aurora pada Kamis (10/10) malam waktu setempat akibat suar Matahari yang kuat dan coronal mass ejection (CME) yang dilepaskan dari Matahari, menurut National Weather Service’s Space Weather Prediction Center.

    Badai Matahari parah ini diklasifikasikan sebagai level 4 (pada skala 1 hingga 5). National Weather Service’s Space Weather Prediction Center menyebutkan, badai ini dapat mengganggu komunikasi, jaringan listrik, dan operasi satelit.

    Badai tersebut mencapai Bumi pada pukul 11.17 ET hari Kamis (10/10) dan berlangsung hingga Jumat (11/10). Sementara kondisi badai G3, atau kuat, terpantau pada pukul 11.49 ET, para ilmuwan di pusat mengonfirmasi badai tersebut mencapai kondisi G4 pada pukul 12:57 ET.

    Badai tersebut tiba di Bumi dengan kecepatan sekitar 2,4 juta kilometer per jam, dan mencapai satelit Deep Space Climate Observatory and the Advanced Composition Explorer yang mengorbit 1, 6 juta km dari Bumi sekitar 15 hingga 30 menit sebelumnya.

    Satelit mengukur kecepatan dan intensitas magnetik badai, kata Shawn Dahl, koordinator layanan untuk National Weather Service’s Space Weather Prediction Center.

    Serangkaian jenis semburan Matahari paling intens, yang dikenal sebagai semburan kelas X, telah dilepaskan dari Matahari minggu ini. Semburan CME, adalah awan besar gas terionisasi yang disebut plasma dan medan magnet yang meletus dari atmosfer luar Matahari. Ketika letusan ini mengarah ke Bumi, dampaknya menyebabkan badai geomagnetik, atau gangguan besar pada medan magnet Bumi.

    “Badai geomagnetik dapat memengaruhi infrastruktur di orbit dekat Bumi dan di permukaan Bumi,” menurut National Weather Service’s Space Weather Prediction Center, dikutip dari CNN, Selasa (15/10/2024).

    Akibatnya, pusat tersebut segera memberi tahu Federal Emergency Management Agency, jaringan listrik Amerika Utara, dan operator satelit untuk bersiap menghadapi gangguan, terutama mengingat banyaknya persiapan dan upaya bantuan yang diperkirakan untuk Badai Milton.

    Menurut Dahl, secara historis, badai G4 biasa terjadi selama siklus Matahari, tetapi G5, atau badai geomagnetik ekstrem seperti yang terjadi pada 10 Mei lalu, sangat jarang terjadi. “Badai baru ini memiliki peluang 25% untuk menjadi G5,” katanya.

    Solar Dynamics Observatory milik NASA menangkap gambar jilatan Matahari yang tampak sebagai kilatan terang di pusat cakram Matahari, pada 8 Oktober 2024. Foto: NASA/SDOPeningkatan Aktivitas Matahari

    Saat Matahari mendekati titik maksimumnya, puncak dalam siklus 11 tahunnya, yang diperkirakan tahun ini, ia menjadi lebih aktif, dan para peneliti telah mengamati semburan Matahari terjadi semakin intens meletus dari bola api tersebut.

    Meningkatnya aktivitas Matahari menyebabkan aurora yang menari-nari di sekitar kutub Bumi, yang dikenal sebagai cahaya utara, atau aurora borealis, dan cahaya selatan, atau aurora australis.

    Ketika partikel berenergi dari CME mencapai medan magnet Bumi, mereka berinteraksi dengan gas di atmosfer sehingga menciptakan cahaya berwarna berbeda di langit.

    Saat ini, para ilmuwan di pusat prediksi meyakini aurora yang terlihat kemungkinan besar akan muncul di negara bagian Timur Tengah dan Midwest bagian bawah, tetapi masih harus dilihat apakah badai tersebut akan menyebabkan fenomena aurora global seperti yang terjadi pada G5 pada badai Matahari Mei lalu. Namun, jika badai meningkat menjadi G5, aurora dapat terlihat di seluruh negara bagian selatan dan tempat lain di seluruh dunia.

    “Peluang untuk melihat aurora meningkat drastis, mengingat kegelapan datang lebih awal selama musim ini. Pengamat langit di AS yang melihat aurora yang disebabkan oleh badai G3 selama akhir pekan menyaksikan cahaya utara dalam waktu satu atau dua jam setelah malam tiba,” kata Dahl.

    Dan meskipun tampilan warna-warni itu tidak tampak jelas oleh mata telanjang, sensor di kamera dan kamera telepon seluler dapat menangkapnya.

    Aurora berwarna-warni menerangi langit malam di Toronto, Kanada pada 10 Oktober 2024. Foto: Michael Goldstein via CNNPotensi Gangguan

    Para ilmuwan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mengatakan mereka tidak yakin badai minggu ini akan melampaui badai pada Mei lalu. Sebelumnya, badai G5 terakhir yang menghantam Bumi terjadi pada tahun 2003, yang mengakibatkan pemadaman listrik di Swedia dan kerusakan pada transformator listrik di Afrika Selatan.

    Selama badai geomagnetik Mei, perusahaan traktor John Deere melaporkan bahwa beberapa pelanggan yang mengandalkan GPS untuk pertanian presisi mengalami gangguan. Namun, sebagian besar operator jaringan listrik dan satelit menjaga satelit tetap teratur dan tepat di orbit serta mengelola penumpukan arus geomagnetik yang kuat pada sistem jaringan.

    “Badai Matahari bulan Mei merupakan badai cuaca luar angkasa yang paling berhasil diredakan sepanjang sejarah,” kata Dahl.

    Para ilmuwan terus memantau lonjakan aktivitas Matahari saat meningkat karena hal itu dapat menunjukkan di mana Matahari saat ini berada dalam siklusnya.

    Siklus Matahari sebelumnya telah menunjukkan bahwa beberapa badai terbesar dapat terjadi setelah puncaknya. “Saat ini kita sedang berada di tengah-tengah solar maximum. Kita hanya belum tahu apakah kita sudah mencapai puncaknya,” kata Dahl.

    “Itu akan diputuskan kemudian dan bisa jadi tahun ini atau bahkan awal tahun depan. Intinya, kita masih akan mengalami siklus aktivitas solar sepanjang tahun ini, juga tahun depan dan bahkan hingga awal 2026,” tutupnya.

    (rns/fay)

  • SpaceX Terbangkan Misi Penyelamatan Astronaut yang Terdampar

    SpaceX Terbangkan Misi Penyelamatan Astronaut yang Terdampar

    Jakarta

    SpaceX meluncurkan misi penyelamatan dua astronot yang terjebak di Stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS. Kapsul Dragon itu membawa kru yang lebih sedikit untuk membawa dua astronaut itu pulang ke Bumi tahun depan.

    Astronaut Nick Hague dari NASA dan Alexander Gorbunov dari Rusia menjemput Butch Wilmore dan Suni Williams yang belum bisa kembali karena wahana Boeing Starliner yang membawa mereka bermasalah.

    Karena NASA merotasi kru ISS kira-kira tiap enam bulan, penerbangan SpaceX dengan dua kursi kosong untuk Wilmore dan Williams ini takkan kembali sampai akhir Februari. Para pejabat mengatakan tidak ada cara membawa mereka pulang lebih awal di SpaceX tanpa mengganggu misi terjadwal lainnya.

    Pada saat kembali, pasangan itu akan mencatat lebih dari delapan bulan di luar angkasa. Mereka diperkirakan akan pergi hanya seminggu ketika jadi astronot pertama yang dibawa Starliner bulan Juni silam. NASA akhirnya memutuskan Starliner terlalu berisiko setelah serangkaian masalah pendorong dan kebocoran helium.

    NASA pun memangkas dua astronot dari peluncuran SpaceX ini untuk memberi ruang bagi Wilmore dan Williams. Wilmore dan Williams menyaksikan pesawat SpaceX yang akan menyelamatkan mereka lepas landas melalui sebuah link.

    Hague menyebut perubahan adalah satu-satunya hal yang konstan dalam penerbangan luar angkasa. “Selalu ada sesuatu yang berubah. Mungkin kali ini sedikit lebih terlihat oleh publik,” katanya yang dikutip detikINET dari Associated Press.

    Hague ditunjuk sebagai komandan untuk misi penyelamatan ini berdasarkan pengalamannya. Adapun astronot pemula NASA Zena Cardman dan astronaut veteran Stephanie Wilson ditarik dari penerbangan ini setelah NASA memutuskan bekerja sama dengan SpaceX untuk membawa pulang astronot yang terjebak.

    “Tiap peluncuran berawak yang pernah saya saksikan benar-benar membuat saya sangat terharu. Peluncuran hari ini sungguh unik. Sulit untuk tidak menyaksikan roket itu lepas landas tanpa berpikir Itu roket saya dan itu kru saya,” kata Cardman.

    Beberapa saat sebelum lepas landas, Hague memberi penghormatan kepada dua rekannya yang tidak jadi terbang. Begitu berada di orbit, ia menyebutnya sebagai perjalanan yang indah dan berterima kasih kepada semua pihak yang memungkinkan hal itu terjadi.

    (fyk/fyk)

  • NASA Diprediksi di Ambang Krisis, Ada Apa Nih?

    NASA Diprediksi di Ambang Krisis, Ada Apa Nih?

    Jakarta

    Dalam sebuah laporan baru, sekelompok ahli kedirgantaraan menyatakan bahwa NASA akan berada di titik kritis. Salah langkah, maka badan ini bisa tamat.

    Diberitakan oleh Washington Post, laporan baru berjudul ‘NASA at a Crossroads’ diterbitkan atas permintaan Kongres oleh Akademi Nasional Sains, Teknik, dan Kedokteran, menyoroti dengan jelas betapa parahnya kondisi yang dihadapi NASA.

    Selama beberapa waktu terakhir, NASA kehilangan banyak talenta terbaiknya. Para insinyur handalnya pensiun atau berpindah ke pekerjaan di sektor swasta yang menawarkan gaji lebih tinggi.

    Hal ini terjadi di tengah pemotongan anggaran yang terus-menerus. NASA masih mengerjakan misi yang rumit dan menarik perhatian, seperti peluncuran Teleskop Luar Angkasa James Webb. Namun misi lain, seperti Mars Sample Return mengalami penundaan dan memberi peluang bagi saingan seperti China untuk maju. Hal ini membuat AS tertinggal dalam kompetisi luar angkasa.

    Laporan sekitar 200 halaman ini berisi rekomendasi dari komite yang terdiri dari puluhan ahli, baik dari entitas publik maupun swasta, termasuk SpaceX, Planetary Society, dan beberapa universitas.

    Menurut Washington Post, konsensus yang dicapai oleh para pakar ini adalah bahwa NASA terlalu fokus pada tujuan jangka pendek dan kurang dalam merencanakan strategi jangka panjang.

    “Seseorang cenderung mengabaikan hal-hal yang mungkin kurang glamor tetapi akan menentukan kesuksesan di masa depan,” kata Norman Augustine, mantan CEO Lockheed Martin yang juga ketua tim penyusun laporan tersebut.

    Untuk mengatasi kekurangan talenta dan anggaran, NASA dalam satu dekade terakhir semakin bergantung pada sektor swasta. Hasilnya beragam, seperti yang terlihat saat NASA memberikan kontrak kepada Boeing untuk menerbangkan astronot ke Stasiun Luar Angkasa Internasional menggunakan pesawat Starliner. Namun, karena Starliner belum siap, NASA terpaksa meminta SpaceX untuk membawa mereka kembali dengan kapsul Crew Dragon.

    “NASA akan kesulitan merekrut insinyur yang inovatif dan kreatif. Insinyur yang inovatif dan kreatif tidak ingin hanya mengawasi pekerjaan orang lain,” ujar Norman.

    Administrator NASA Bill Nelson, sangat menekankan persaingan luar angkasa antara AS dan China serta merupakan pendukung kuat kemitraan NASA dengan sektor swasta. Dia mengatakan bahwa laporan tersebut sejalan dengan upaya mereka untuk memastikan bahwa mereka memiliki infrastruktur, tenaga kerja, dan teknologi yang dibutuhkan NASA untuk dekade-dekade mendatang.

    Namun, tampaknya Nelson mungkin melewatkan hal-hal penting dari laporan tajam ini atau dalam hal ini, bintang-bintang di balik pesawat luar angkasa.

    *Artikel ini ditulis oleh Dita Aliccia Armadani, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

    (fay/fyk)

  • Pangkalan di Bulan Selesai Dibangun 2035

    Pangkalan di Bulan Selesai Dibangun 2035

    Jakarta

    China telah mengumumkan rencana baru untuk proyek pangkalan Bulan yang ambisius. Proyek ini akan dikembangkan dalam dua tahap. Pangkalan tersebut, yang merupakan bagian dari proyek International Lunar Research Station (ILRS), dipimpin oleh China, dengan kontribusi awal dari Rusia.

    Gagasan pertama untuk ILRS diungkap pada Juni 2021, dengan rencana untuk membangun pangkalan Bulan robotik dasar. Ini akan membutuhkan lima peluncuran roket kelas berat antara tahun 2030 hingga 2035. Namun, pada sebuah konferensi di Anhui, China, pada 5 September 2024, China membagikan rencana terbaru yang lebih terperinci untuk proyek tersebut.

    Jaringan ini akan memiliki pusat di orbit Bulan dan mencakup stasiun eksplorasi di permukaan Bulan, seperti di kutub selatan, khatulistiwa, dan sisi terjauh Bulan.

    Seperti dikutip dari Times of India, ILRS akan menggunakan tenaga surya, radioisotop, dan generator nuklir. Rencana tersebut juga mencakup pembuatan jaringan komunikasi antara Bulan dan Bumi, serta sistem komunikasi berkecepatan tinggi di Bulan itu sendiri. Berbagai jenis kendaraan Bulan akan digunakan, seperti penjelajah dan kendaraan otonom jarak jauh.

    Menurut Wu Yanhua, kepala perancang proyek eksplorasi luar angkasa China, jaringan pangkalan Bulan yang diperluas ini akan membantu mendukung misi manusia masa depan ke Mars.

    China juga berupaya menarik mitra internasional untuk ILRS. Baru-baru ini, Senegal menjadi negara ke-13 yang bergabung dengan proyek tersebut.

    Pada saat yang sama, badan antariksa Amerika Serikat NASA tengah mengerjakan program terpisah yang disebut Artemis. Tujuan misi ini adalah mengembalikan manusia ke Bulan. Baik China maupun NASA berencana untuk mengirim astronaut ke Bulan sebelum dekade ini berakhir.

    (rns/fay)

  • AS Minta NASA Bikin Zona Waktu untuk Bulan

    AS Minta NASA Bikin Zona Waktu untuk Bulan

    Jakarta

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) menginginkan badan antariksa AS NASA mengembangkan zona waktu baru untuk Bulan yang akan dinamai Coordinated Lunar Time (LTC).

    Karena perbedaan kekuatan medan gravitasi di Bulan, waktu bergerak lebih cepat di sana relatif terhadap Bumi, 58,7 mikrodetik setiap hari. Hitungan mikrodetik mungkin terdengar tidak banyak, namun hal ini dapat berdampak signifikan saat mencoba menyinkronkan pesawat ruang angkasa. AS berharap, penetapan waktu baru untuk Bulan akan membantu menjaga koordinasi upaya mereka, baik nasional maupun swasta untuk mencapai Bulan.

    “Teori dasar gravitasi di alam semesta kita memiliki konsekuensi penting bahwa waktu berjalan secara berbeda di berbagai tempat di alam semesta,” kata astronom Profesor Catherine Heymans, dikutip dari BBC.

    “Gravitasi di Bulan sedikit lebih lemah dan jam berjalan secara berbeda,” ujarnya.

    Waktu di Bulan saat ini diukur di Bumi oleh ratusan jam atom yang ditempatkan di seluruh planet kita, yang mengukur perubahan status energi atom untuk mencatat waktu hingga nanodetik. Jika pengukuran ditempatkan di Bulan, dalam waktu 50 tahun, jam tersebut akan berjalan satu detik lebih cepat.

    “Jam atom di Bulan akan berdetak pada kecepatan yang berbeda dari jam di Bumi. Sangat masuk akal jika Anda pergi ke benda langit lain, seperti Bulan atau Mars, masing-masing benda langit tersebut memiliki detak jantungnya sendiri,” kata Kevin Coggins, pejabat tinggi komunikasi dan navigasi NASA.

    NASA bukan satu-satunya yang mencoba mewujudkan waktu Bulan. Badan antariksa Eropa ESA juga telah mengembangkan sistem waktu baru. Namun perlu ada kesepakatan antara negara-negara dan badan koordinasi terpusat. Saat ini, hal tersebut dilakukan oleh International Bureau of Weights and Measures for time on Earth.

    Saat ini, di Stasiun Luar Angkasa Internasional, digunakan Coordinated Universal Time karena tetap berada di orbit rendah. Elemen lain yang harus disetujui negara-negara adalah di mana kerangka waktu baru dimulai, dan di mana ia diperpanjang.

    AS ingin LTC siap dipakai di tahun 2026, bertepatan dengan waktu misi berawak NASA meluncur ke Bulan. Artemis-3 akan menjadi misi pertama yang kembali ke permukaan Bulan sejak Apollo 17 yang mendarat pada 1972. Misi ini akan mendarat di kutub selatan Bulan, yang diperkirakan menyimpan banyak es cair di kawah yang tidak pernah terkena sinar Matahari.

    Menentukan lokasi dan mengarahkan misi ini memerlukan ketepatan yang sangat tinggi hingga ke nanodetik. Kesalahan dalam navigasi dapat menyebabkan pesawat ruang angkasa memasuki orbit yang salah.

    Artemis-3 merupakan salah satu dari sejumlah misi nasional yang direncanakan ke Bulan serta upaya dari pihak swasta. Jika waktu tidak dikoordinasikan di antara mereka, hal itu dapat menimbulkan tantangan dalam pengiriman data dan komunikasi antara wahana antariksa, satelit, dan Bumi.

    (rns/rns)

  • China Bikin Batu Bata dari Tanah Bulan, Persiapan Bangun Pangkalan

    China Bikin Batu Bata dari Tanah Bulan, Persiapan Bangun Pangkalan

    Jakarta

    China akan mengirimkan sampel batu bata ke stasiun antariksanya dalam beberapa bulan mendatang, untuk menguji ketahanannya dalam kondisi ekstrem dan potensi penggunaannya dalam membangun pangkalan di Bulan.

    Menurut laporan dari media pemerintah China, CCTV, sampel batu bata yang terbuat dari berbagai komposisi dari tiruan tanah Bulan akan diluncurkan ke stasiun antariksa Tiangong dengan menaiki misi kargo Tianzhou 8.

    Batu bata tersebut akan menjalani uji paparan selama tiga tahun di antariksa. Batu bata tersebut akan dibombardir oleh sinar ultraviolet dan sinar kosmik serta mengalami berbagai perbedaan suhu.

    Seperti dikutip dari Space.com, paparan ini akan menguji kekuatan dan ketahanan batu bata di lingkungan ekstrem, dan bagaimana bahan tersebut berperilaku dalam ruang hampa.

    Eksperimen tersebut dirancang untuk memberikan wawasan tentang komposisi dan metode produksi batu bata dari tanah Bulan yang paling cocok untuk membangun struktur di Bulan.

    Salah satu metode untuk membuat batu bata ini, melibatkan pemanasan tiruan hingga lebih dari 1.000 derajat Celsius menggunakan induksi elektromagnetik dalam tungku sintering, yakni memadatkan dan membentuk sebuah massa material yang kuat melalui panas atau tekanan tanpa melelehkan benda tersebut hingga titik pencairan. Proses ini menggabungkan material menjadi struktur padat, menciptakan batu bata sepanjang 18 cm hanya dalam 10 menit.

    Meluncurkan material ke Bulan sangat mahal. Dengan memanfaatkan sumber daya Bulan secara langsung, diklaim akan mengurangi biaya dan meningkatkan kemungkinan eksplorasi Bulan. Hal ini dikenal sebagai in-situ resource utilization (ISRU) atau pemanfaatan sumber daya setempat.

    China berencana membangun pangkalan Bulan di tahun 2030-an yang dikenal sebagai International Lunar Research Station (ILRS). Sebagai persiapan, negara tersebut berencana menguji batu bata hasil cetak 3D di Bulan dengan wahana pendarat dan penjelajah kutub selatan Bulan Chang’e 8. Misi tersebut dijadwalkan akan meluncur sekitar tahun 2028.

    Tak hanya China, Amerika Serikat melalui NASA maupun negara-negara Eropa melalui European Space Agency (ESA) juga melakukan eksperimen serupa. NASA dan ESA berupaya membuat batu bata dari tiruan regolit Bulan.

    NASA sebelumnya telah menguji teknologi pencampuran semen di Stasiun Luar Angkasa Internasional, dengan fokus pada pembuatan material untuk habitat luar angkasa. Namun, eksperimen China tampaknya akan menjadi yang pertama kalinya yang secara langsung menguji ketahanan batu bata dari tanah Bulan di luar angkasa.

    (rns/rns)

  • NASA Uji Coba Robot Otonom untuk Ukur Pencairan Lapisan Es Antartika

    NASA Uji Coba Robot Otonom untuk Ukur Pencairan Lapisan Es Antartika

    NASA Uji Coba Robot Otonom untuk Ukur Pencairan Lapisan Es Antartika

  • Astronaut Bagikan Foto Super Langka, Gak Bakal Ada Lagi

    Astronaut Bagikan Foto Super Langka, Gak Bakal Ada Lagi

    Jakarta

    Astronaut dan astrofotografer Donald Pettit memamerkan gambar bintang menakjubkan yang diambilnya dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang sulit didapat lagi, karena momennya sangat langka.

    Pertanyaan yang muncul setiap saat adalah mengapa bintang tidak terlihat dalam foto yang diambil dari ISS. Meskipun ada foto yang memperlihatkan bintang di latar belakang, banyak foto yang tidak memperlihatkan apa pun kecuali kegelapan di balik Bumi.

    Pemandangan umum dari ISS, tidak tampak bintang di latar belakang, hanya gelap. Foto: NASA

    Wajar saja jika kita berasumsi bahwa bintang-bintang akan lebih terlihat dari luar angkasa, tanpa atmosfer Bumi menghalangi cahayanya. Namun itulah kenyataannya, dan distorsi atmosfer kita adalah alasan mengapa kita terus mengirimkan teleskop kita ke luar angkasa.

    Namun, seperti dikutip dari IFL Science, memotret bintang, seperti yang diketahui oleh siapa pun yang pernah mencoba memotret dari Bumi, mengharuskan kita memperpanjang waktu pencahayaan (long exposure) agar memperoleh cukup cahaya. Selama waktu ini, kamera harus tetap diarahkan tepat ke objek luar angkasa yang ingin dipotret.

    Hal ini dulunya dapat dilakukan di ISS, seperti yang disorot dalam foto yang diambil Pettit selama tinggal di ISS pada tahun 2003, yang berisi cahaya udara hijau dari oksigen atom di atmosfer Bumi, dan sejumlah besar bintang.

    [Gambas:Instagram]

    “Saat itu, posisi orbit ISS adalah posisi inersia surya (XPOP) yang memungkinkan panel surya mengarah ke Matahari tanpa pelacakan apa pun (pelacakan surya baru ditambahkan ke ISS beberapa lama kemudian),” jelas Pettit dalam unggahan Instagram.

    “Pada dasarnya, stasiun itu sendiri adalah mekanisme pelacakan, jadi untuk kamera yang dipasang di Stasiun Luar Angkasa, paparan waktu menghasilkan bintang sebagai titik-titik,” ujarnya.

    Sayangnya bagi para penggemar gambar luar angkasa yang diambil dari luar angkasa, sejak 2006 ISS telah menyesuaikan sudutnya, dengan satu sisi tetap mengarah ke Bumi. Pettit mengambil foto di atas menggunakan eksposur 30 detik, tetapi sekarang eksposur tersebut hanya akan memberi tampilan bintang-bintang sebagai jejak lengkung.

    [Gambas:Instagram]

    Meskipun kemiringan ISS membatasi gambar bintang hingga kurang dari setengah detik, Pettit berencana untuk membawa alat pelacak guna mengimbangi gerakan stasiun luar angkasa dalam perjalanan mendatang.

    Dengan kamera yang lebih canggih, ia berharap dapat memperoleh lebih banyak gambar bidang bintang saat kembali ke stasiun luar angkasa.

    (rns/afr)

  • Olimpiade Antariksa 2024, Astronaut Pamer Cabor Angkat Manusia

    Olimpiade Antariksa 2024, Astronaut Pamer Cabor Angkat Manusia

    Jakarta

    Semarak Olimpiade 2024 yang tengah berlangsung di Paris, Prancis, menular sampai astronaut yang sedang bertugas di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Para penjelajah antariksa itu bahkan memamerkan cabang olahraga (cabor) yang tak biasa, yakni angka beban manusia.

    Dalam video yang dirilis Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dimulai dengan memperlihatkan upacara penyerahan obor Olimpiade palsu. Kemudian, cabor-cabor Olimpiade Antariksa 2024 dipamerkan ke publik.

    Cabor angkat beban manusia tentunya berkat dukungan lingkungan astronaut yang berada ada di nol gravitasi, sehingga mengangkat suatu benda -yang sejatinya berati ketika ada gravitasi- dapat dilakukan dengan mudah saat berada di ruang hampa.

    Adapula cabor lainnya yang dipamerkan oleh para astronaut itu, seperti salto, lempar cakram, tolak peluru, sampai lari gawang.

    Rangkaian pertandingan olahraga astronaut itu dalam rangka menyambut event Olimpiade Paris 2024.

    “Selama beberapa hari terakhir di Stasiun Luar Angkasa Internasional, kami sangat senang berpura-pura menjadi atlet Olimpiade,” kata astronaut NASA Matthew Dominick dikutip dari Futurism, Rabu (31/7/2024).

    Dominck menjelaskan olahraga yang umumnya lebih sulit karena ada faktor gravitasi di Bumi menjadi lebih enteng dilakukan di luar angkasa.

    [Gambas:Youtube]

    “Kami tidak dapat membayangkan betapa sulitnya menjadi atlet kelas dunia, melakukan olahraga di bawah gravitasi yang sebenarnya,” ucap dia.

    “Jadi dari kami semua yang berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional, kepada setiap atlet di Olimpiade, semoga sukses,” ucapnya.

    (agt/fay)