Kementrian Lembaga: NASA

  • Terlambat, Sebuah Asteroid menghantam Bumi Hanya Beberapa Jam Setelah Terdeteksi

    Terlambat, Sebuah Asteroid menghantam Bumi Hanya Beberapa Jam Setelah Terdeteksi

    Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah asteroid menabrak atmosfer bumi hanya beberapa jam setelah dideteksi. Kejadian ini terjadi pada bulan lalu.

    Asteroid tersebut berhasil menghindari sistem pemantauan dampak selama pendekatannya terhadap planet kita.

    Di sisi terang objek diukur hanya 3 kaki (1 meter) dan tidak menimbulkan kerusakan pada bumi.

    Asteroid ini, yang disebut 2024 UQ, pertama kali ditemukan pada 22 Oktober. Ditemukan oleh Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System (ATLAS) survei di Hawaii, jaringan empat teleskop yang memindai langit untuk benda-benda bergerak yang mungkin berada pada jalur tabrakan dengan Bumi.

    Setelah 2 jam kemudian asteroid terbakar dan jatuh di atas Samudra pasifik dekat California.

     “Survei ALAS memperoleh gambar yang mendeteksi objek kecil dalam jalur tabrakan probabilitas tinggi. Namun, karena lokasi objek di dekat tepi dua bidang yang berdekatan, kandidat itu diakui sebagai objek yang bergerak hanya beberapa jam kemudian,” tulis ESA dilansir dari livescience.

    Menurut ESA, asteroid itu adalah dampak ketiga yang terdeteksi tahun ini. Adapun dua asteroid lain yang telah terdeteksi dalam beberapa jam setelah menabrak Bumi pada tahun 2024, yang pertama dikenal sebagai 2024 BX1.

    Asteroid itu memiliki ukuran sekitar 3,3 kaki lebar (1 meter) dan terbakar tanpa bahaya di Berlin, Jerman pada bulan Januari.

    Yang lainnya, 2024 RW1, meledak di atas Filipina pada bulan September.

     Pusat Koordinasi NEO ESA (NEOCC) mengatakan kilatan terdeteksi oleh satelit cuaca GOES National Oceanic and Atmospheric Administration dan Catalina Sky Survey. NASA menggunakan serangkaian teleskop untuk mencari asteroid dan komet di lingkungan selestial kita. Kilatan ini cukup untukmengkonfirmasi dampak asteroid 2024 UQ sertalintasannya.

    Selain survei ATLAS, Catalina Sky Survey, NEOCC ESA dan proyek-proyek lain seperti mereka, NASA sedang mengembangkan teleskop inframerah baru yang dikenal sebagai NEO Surveyor untuk berburu benda-benda dekat Bumi yang berpotensi mengancam.

    Badan antariksa AS itu juga sedang menguji metode untuk mengarahkan asteroid yang memgancam bumi.

    Pada tahun 2022, misi DART NASA menabrakkan penabrak ke dalam sistem asteroid ganda dalam upaya untuk mengubah lintasannya dimana cara ini diklaim sukses. China Juga mengembangkan misinya sendiri untuk membelokkan asteroid pada tahun 2030.

    Asteroid itu sendiri tidak membahayakan planet ini karena mudah terbakar di atmosfer padat Bumi jika ukurannya kecil, berbeda jika ukurannya besar. (Tesalonika Loris)

     

  • Alien Mars Tewas Dibunuh NASA, Ahli Bilang Tidak Sengaja

    Alien Mars Tewas Dibunuh NASA, Ahli Bilang Tidak Sengaja

    Jakarta, CNBC Indonesia – Peneliti Jerman menyatakan alien di Mars tewas terbunuh pesawat NASA. Peristiwa ini terjadi pada 1970-an saat NASA mengirim dua pesawat di Planet Merah.

    Dirk Schulze-Makuch, ahli astrobiologi dari Technische Universität Berlin di Germany, memiliki teori unik soal kehidupan di Mars.

    Berdasarkan laporan Space.com yang dikutip oleh Futursim, Schulze-Makuch menduga misi Viking 1 tanpa sengaja membunuh alien penghuni Mars lewat eksperimen mereka pada 1976.

    NASA saat itu menggelar eksperimen mencampur air, nutrien, dan sampel tanah di Mars. Asumsi NASA, makhluk hidup di Mars sama dengan makhluk hidup di Bumi yaitu membutuhkan air untuk hidup. 

    Menurut Schulze-Makuch, makhluk hidup di Mars justru tewas akibat percobaan tersebut. Ia berpendapat kehidupan di Mars bergantung kepada garam seperti organisme di Bumi yang hidup di wilayah kering kerontang. Salah satu organisme yang hidupnya bergantung dari garam adalah mikroba di Padang Pasir Atacama di Cile.

    “Di lingkungan hyper-kering, kehidupan bisa mendapatkan ‘air’ dari garam yang menyerap kelembaban dari atmosfer. Garam ini seharusnya menajdi fokus pencarian makhluk hidup di Mars,” katanya.

    Dia menyatakan misi Viking tanpa sengaja membunuh organisme yang mereka angkut dengan mencampurkan terlalu banyak air.

    “Jika cara pandang soal cara organisme hidup di kondisi kering Mars ini benar, artinya daripada menjalankan strategi ‘ikuti air’ yang selama ini digunakan NASA, lebih baik kita mengikuti garam untuk mencari mikroba,” Schulze-Makuch wrote.

    Ia mengusulkan menggunakan cairan garam yang pas sebagai habitat bakteria untuk “mengangkut” kehidupan dari Mars.

    Schulze-Makuch memberikan contoh hujan badai yang membunuh 70-80 persen bakteria di Padang Pasar Atacama karena organisme tersebut tak sanggup tersiram begitu banyak air dalam waktu singkat.

    “Hampir 50 tahun setelah eksperimen biologi Viking, saatnya untuk mencoba misi pencarian kehidupan baru, dengan pemahaman lebih baik soal ekosistem Mars,” kata Schulze-Makuch wrote in his commentary.

    (dem/dem)

  • NASA Kembali PHK Ratusan Karyawan, Ada Apa?

    NASA Kembali PHK Ratusan Karyawan, Ada Apa?

    Jakarta

    Gelombang PHK karyawan kembali melanda lembaga antariksa NASA. Divisi Jet Propulsion Laboratory di California yang terkena dampaknya. Fungsi utama laboratorium ini adalah pembuatan dan pengoperasian pesawat ruang angkasa robotika.

    Dikutip detikINET dari Futurism, JPL mengumumkan bahwa mereka akan mengucap selamat tinggal kepada 325 karyawan atau sekitar 5% dari tenaga kerjanya. Ini kedua kalinya tahun ini laboratorium penelitian tersebut mengurangi jumlah personelnya.

    “Ini adalah pesan yang saya harapkan tak perlu saya tulis. Dengan anggaran lebih rendah dan berdasarkan perkiraan pekerjaan yang akan datang, kami harus mengencangkan ikat pinggang secara menyeluruh, dan Anda akan melihat hal itu tercermin sebagai PHK,” tulis direktur JPL Laurie Leshin dalam memo ke karyawan.

    JPL sebelumnya sudah memberhentikan 530 karyawan bulan Februari atau 8% dari stafnya saat itu, terkait pemotongan anggaran. Misalnya, dana yang akan diterima lab dalam misi Mars Sample Return dikurangi drastis dari lebih dari USD 900 juta menjadi sekitar hanya USD 300 juta tahun ini. Masa depan misi tersebut pun masih belum pasti.

    “Pengurangan ini tersebar di hampir semua area Lab termasuk area teknis, proyek, bisnis, dan dukungan kami,” tulis Leshin. Meski demikian, pengurangan tenaga kerja sebenarnya lebih rendah dari yang diproyeksikan beberapa bulan lalu.

    NASA menghadapi penurunan anggaran dalam beberapa tahun terakhir. Badan antariksa itu memperjuangkan peningkatan anggaran untuk tahun 2024, tetapi malah mendapat pengurangan 2%. Bersamaan PHK massal, NASA membatalkan pengiriman penjelajah VIPER ke Bulan, walau sudah menghabiskan USD 450 juta untuk proyek tersebut.

    NASA sebenarnya menghasilkan lebih dari USD 75,6 atau sekitar tiga kali lipat dari anggarannya sehingga dinilai NASA tidak mendapatkan uang yang layak diterimanya. Patut dilihat apakah nasib NASA akan lebih baik di masa Pemerintahan Donald Trump.

    (fyk/afr)

  • Duh, Jumlah Air Tawar di Bumi Turun Mendadak Sejak 2014, Pertanda Apa?

    Duh, Jumlah Air Tawar di Bumi Turun Mendadak Sejak 2014, Pertanda Apa?

    Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah tim ilmuwan internasional menemukan bukti bahwa jumlah total air tawar di bumi turun secara tiba-tiba mulai bulan Mei 2014 hingga saat ini.

    Penelitian yang menggunakan pengamatan dari satelit NASA-Jerman itu, dilaporkan dalam Surveys in Geophysics.

    Para peneliti berpendapat bahwa pergeseran ini dapat mengindikasikan benua-benua di bumi telah memasuki fase yang terus-menerus kering.

    Dilansir dari laman resmi NASA, dari tahun 2015 hingga 2023, pengukuran satelit menunjukkan bahwa jumlah rata-rata air tawar yang tersimpan di daratan termasuk air permukaan cair seperti danau dan sungai, ditambah air di akuifer bawah tanah adalah 290 mil kubik (1.200 km kubik) lebih rendah dibandingkan tingkat rata-rata pada tahun 2002 hingga tahun 2014, kata Matthew Rodell, salah satu penulis studi dan ahli hidrologi di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland. “Itu berarti dua setengah kali volume Danau Erie yang hilang.”

    Selama masa kekeringan, seiring dengan perluasan pertanian beririgasi modern, pertanian dan perkotaan harus lebih bergantung pada air tanah, yang dapat menyebabkan siklus menurunnya pasokan air bawah tanah: persediaan air tawar habis, hujan dan salju tidak dapat memenuhi kebutuhan air tersebut, dan lebih banyak air tanah yang dipompa.

    Berkurangnya ketersediaan air memberikan tekanan pada petani dan masyarakat, berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik, kemiskinan, dan peningkatan risiko penyakit ketika masyarakat beralih ke sumber air yang terkontaminasi, menurut laporan PBB tentang kekurangan air yang diterbitkan pada tahun 2024.

    Tim peneliti mengidentifikasi penurunan air tawar secara global secara tiba-tiba ini menggunakan observasi dari satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE), yang dioperasikan oleh German Aerospace Center, German Research Center for Geosciences, dan NASA. Satelit GRACE mengukur fluktuasi gravitasi bumi dalam skala bulanan yang menunjukkan perubahan massa air di dalam dan di bawah tanah. Satelit GRACE asli terbang dari Maret 2002 hingga Oktober 2017. Satelit penerus GRACE–Follow On (GRACE–FO) diluncurkan pada Mei 2018.

    Penurunan pasokan air tawar global yang dilaporkan dalam penelitian ini dimulai dengan kekeringan besar di Brasil bagian utara dan tengah, dan segera diikuti oleh serangkaian kekeringan besar di Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika.

    Suhu laut yang lebih hangat di kawasan tropis Pasifik sejak akhir tahun 2014 hingga tahun 2016, yang berpuncak pada salah satu peristiwa El Niño paling signifikan sejak tahun 1950, menyebabkan pergeseran aliran jet atmosfer yang mengubah cuaca dan pola curah hujan di seluruh dunia. Namun, bahkan setelah El Niño mereda, air tawar global gagal pulih kembali.

    Faktanya, Rodell dan tim melaporkan bahwa 13 dari 30 kekeringan paling parah di dunia yang diamati oleh GRACE terjadi sejak Januari 2015. Rodell dan rekannya menduga bahwa pemanasan global mungkin berkontribusi terhadap penipisan air tawar yang berkepanjangan.

    Pemanasan global menyebabkan atmosfer menahan lebih banyak uap air, yang mengakibatkan curah hujan lebih ekstrem, kata ahli meteorologi NASA Goddard Michael Bosilovich.

    Meskipun tingkat curah hujan dan salju tahunan total mungkin tidak berubah secara dramatis, periode curah hujan yang lama dalam waktu yang lama memungkinkan tanah mengering dan menjadi lebih padat. Hal ini mengurangi jumlah air yang dapat diserap tanah saat hujan.

     Secara global, tingkat air tawar tetap rendah sejak El Niño tahun 2014-2016, sementara masih banyak air yang terperangkap di atmosfer sebagai uap air.

    “Pemanasan suhu meningkatkan penguapan air dari permukaan ke atmosfer, dan kapasitas menahan air di atmosfer, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas kondisi kekeringan,” katanya.

    Meskipun ada alasan untuk mencurigai bahwa penurunan tajam air tawar sebagian besar disebabkan oleh pemanasan global, sulit untuk menghubungkan keduanya secara pasti, kata Susanna Werth, ahli hidrologi dan ilmuwan penginderaan jarak jauh di Virginia Tech, yang tidak berafiliasi dengan penelitian ini.

    Masih harus dilihat apakah air tawar global akan kembali ke nilai sebelum tahun 2015, tetap stabil, atau melanjutkan penurunannya. Mengingat bahwa sembilan tahun terpanas dalam catatan suhu modern bertepatan dengan penurunan air tawar secara tiba-tiba.

  • Saksikan Hujan Meteor Taurid hingga Desember 2024

    Saksikan Hujan Meteor Taurid hingga Desember 2024

    Bisnis.com, JAKARTA – Hujan meteor taurid selatan dan taurid utara mencapai puncaknya pada awal november. Taurid adalah dua hujan meteor yang saling terkait dan tumpang tindih yang mencapai puncaknya pada bulan November tahun ini.

    Pertama adalah Taurid Selatan, yang berlangsung dari tanggal 23 September hingga 12 November dan mencapai puncaknya pada malam hari tanggal 4-5 November.

    Sekarang adalah Taurid Utara, yang aktif dari tanggal 13 Oktober hingga 2 Desember dan mencapai puncaknya pada tanggal 11-12 November.

    Taurid Utara yang tampak memancar dari konstelasi Taurus, terlihat hampir di mana saja di dunia, kecuali Antartika, kata Dr. Shannon Schmoll, direktur Planetarium Abrams di Universitas Negeri Michigan dilansir dari livescience.

    Meskipun itu adalah puncaknya, kedua hujan meteor itu berlangsung lama. Dalam hujan meteor ini, sekitar lima bintang jatuh per jam.

    Kedua hujan meteor tersebut merupakan hasil dari serpihan yang tertinggal di tata surya bagian dalam oleh Komet 2P/Encke, yang mengorbit matahari setiap 3,25 tahun, periode orbit terpendek dari semua komet yang diketahui di tata surya, menurut NASA .

    Fenomena hujan meteor ini akan kembali pada awal tahun 2027, tetapi para pengamat langit dapat melihat bintang jatuh dari serpihan komet tersebut terlepas dari tahunnya.

    Tahun ini taurid selatan akan menjadi sangat berkesan, puncaknya terjadi saat bulan di fase sabit dan menciptakan sedikit polusi cahaya dan terbenam di bawah cakrawala setelah matahari terbenam.

    Cahaya bulan yang kuat di langit akan membuat meteor yang redup sulit dilihat, tetapi tidak akan mengaburkan bola api spektakuler yang mungkin terjadi selama hujan meteor. (Tesalonika Loris)

     

  • Tanda Kiamat Makin Jelas Tampak dari Daun, Ini Buktinya

    Tanda Kiamat Makin Jelas Tampak dari Daun, Ini Buktinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak bukti yang dibeberkan ilmuwan terkait perubahan iklim yang membawa ‘kiamat’ bagi umat manusia di Bumi.

    Salah satu tanda ‘kiamat’ bisa dengan mudah terlihat dari daun. Efek pemanasan global saat ini sudah bisa dirasakan di hutan yang merupakan paru-paru Bumi.

    Pohon di hutan biasa terpapar sinar Matahari dan menyerap air dengan akarnya. Namun, karena Matahari terlalu terik dan memicu temperatur sangat panas, proses fotosintesis pun berhenti.

    “Studi menunjukkan bahwa dedaunan di hutan tropis di tempat dan waktu tertentu telah menembus batas temperatur kritis,” kata Gregory Goldsmith dari Chapman University di California.

    Pohon di hutan tropis bisa menjalankan proses fotosintesis di suhu hingga 46,7 derajat Celcius. Namun, Goldsmith menjelaskan bahwa kemampuan spesies berbeda bergantung kepada populasi hutan, jumlah daun di pohon, dan kanopi.

    Oleh karena itu, tim dari Northern Arizona University menggunakan data dari sensor ECOSTRESS NASA untuk mengukur temperatur permukaan Bumi, untuk mencari tahu dedaunan di hutan tropis yang “kepanasan” hingga tidak bisa berfotosintesis.

    Dari data yang dikumpulkan dari pantauan satelit pada periode 2018-2020 tersebut kemudian divalidasi dengan sensor di permukaan yang ditempatkan di pucuk pohon lima hutan di Brasil, Puerto Rico, Panama, dan Australia.

    Analisis menemukan bahwa temperatur di kanopi hutan memuncak di suhu 34 derajat Celcius pada musim kering, meskipun sebagian daun mencapai suhu 40 derajat Celcius. Sebagian kecil daun, yaitu 0,01 persen dari sampel melampaui temperatur krisis (46,7 derajat Celcius) paling tidak sekali sepanjang musim kering.

    “Meskipun masih jarang, temperatur ekstrem bisa berdampak bencana kepada fisiologi daun. Bisa digolongkan sebagai peristiwa berdampak luar biasa dengan probabilitas rendah,” tulis laporan penelitian.

    Menurut laporan ScienceAlert, pohon menutup pori-pori di daunnya yang dinamakan stomata, untuk menghemat air setiap suhu terlalu panas.

    Penutupan stomata ini membuat daun berpotensi rusak karena tidak bisa “mendinginkan diri” lewat proses transpirasi. Pada periode kering, saat tanah mengeras, dampak suku panas bisa makin parah.

    “Percaya atau tidak, kita tidak tahu banyak soal alasan pohon mati,” kata Goldsmith. Pemahaman sains soal efek panas dan kekeringan, air dan temperatur, terhadap tanaman, masih sangat sedikit.

    Kemudian, tim peneliti menggunakan data yang mereka punya untuk menjalankan simulasi untuk memahami respons hutan tropis terhadap kenaikan temperatur dan kekeringan yang makin sering terjadi.

    Simulasi menunjukkan bahwa 1,4 persen dari pucuk kanopi hutan bisa berhenti berfotosintesis dalam beberapa waktu ke depan sebagai dampak dari pemanasan global.

    Jika pemanasan global melewati 3,9 derajat Celcius, seluruh hutan bisa tidak tahan. Daun bakal kering dan pohon di seluruh hutan mati satu demi satu.

    Namun, peneliti menekankan bahwa perhitungan ini hanya probabilitas. Bisa saja, dampak parah terjadi pada temperatur yang berbeda. Oleh karena itu, sangat penting untuk menekan emisi dan mencegah deforestasi untuk melindungi hutan tropis.

    (fab/fab)

  • Rotasi Bumi Berubah Gara-gara China, NASA Ungkap Alasannya

    Rotasi Bumi Berubah Gara-gara China, NASA Ungkap Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah bendungan raksasa di China dilaporkan bisa mengubah rotasi Bumi. Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) beri penjelasan soal temuan ini.

    Bendungan itu berada di provinsi Hubei, China. Pada bagian tengah bendungan membentang sepanjang Sungai Yangtze.

    Bendungan raksasa hidroelektrik itu dikenal sebagai Bendungan Tiga Negara. Alirannya berasal dari Qutangzia, Wuxia, dan Xillingxia.

    Dalam penjelasan NASA, lembaga itu menjelaskan soal distribusi massa yang bisa merubah rotasi Bumi. Ini membuat dampak sangat kecil pada momen inersia planet, yakni IFL Science menjelaskan menggambarkan sulitnya memutar sebuah objek di sekitar sumber tertentu.

    Sementara itu, putaran Bumi dipengaruhi gempa karena lempeng tektonik yang bergeser. Gempa yang terjadi di Samudera Hindia tahun 2004 ditemukan pula merubah distribusi massa.

    Perubahan distribusi massa itu membuat perubahan pada durasi satu hari. Yakni disebutkan berkurang hingga 2,68 mikrodetik.

    Dari teori yang sama, ditemukan pergeseran air yang besar memicu fenomena serupa. Ahli geofisika dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA, Benjamin Fong Chao menjelaskan terdapat 40 kilometer kubik air yang berada di dalam bendungan hidroelektrik tersebut.

    Hasilnya dari bendungan raksasa itu berhasil merubah panjang satu hari, menjadi bertambah 0,06 detik. Menurutnya hal tersebut disebabkan adanya perubahan pada posisi massa dan kutu Bumi berkisar 2 cm.

    (fab/fab)

  • Dampak Badai Kini Dapat Terdeteksi dalam Hitungan Detik, NASA Pakai AI

    Dampak Badai Kini Dapat Terdeteksi dalam Hitungan Detik, NASA Pakai AI

    Bisnis.com, JAKARTA – NASA, badan di Amerika Serikat yang berfokus pada antariksa, meluncurkan alat berbasis kecerdasan buatan (AI) bernama Earth Copilot yang merupakan hasil kerja sama dengan Microsoft, yang dapat mendeteksi dampak badai dengan sangat cepat. 

    Melansir dari The Verge, Jumat (15/11/2024) alat ini dirancang untuk memudahkan akses dan pemahaman informasi ilmiah mengenai planet Bumi. Alat ini bakal menyederhanakan basis data geospasial yang besar menjadi jawaban yang mudah dimengerti.

    Earth Copilot memungkinkan pengguna, baik ilmuwan maupun masyarakat umum, untuk mengajukan pertanyaan terkait fenomena alam, perubahan iklim, atau dampak bencana alam.

    Pengguna bakal mendapatkan informasi yang relevan dalam waktu singkat. Salah satunya pengguna bisa bertanya, Apa dampak Badai Ian di Pulau Sanibel?” atau “Bagaimana pandemi COVID-19 memengaruhi kualitas udara di AS?”.

    Setelah menanyakan hal tersebut, alat ini akan merangkum data NASA untuk memberikan jawaban yang komprehensif.

    Inovasi ini bertujuan untuk mendemokratisasi akses ke data ilmiah NASA, yang sebelumnya sulit diakses oleh mereka yang bukan peneliti atau ilmuwan profesional. Sehingga AI seperti Earth Copilot diharapkan dapat menyederhanakan proses ini dan mengurangi waktu yang diperlukan untuk memperoleh wawasan dari data Bumi.

    Tyler Bryson, Wakil Presiden Microsoft untuk Industri Kesehatan dan Sektor Publik, menjelaskan, untuk menemukan dan mengekstrak wawasan dari data Bumi memerlukan keterampilan teknis yang hanya dimiliki oleh sedikit orang. 

    “AI dapat menyederhanakan proses ini, mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendapatkan wawasan dari data menjadi hanya hitungan detik,” ujar Tyler.

    Saat ini, Earth Copilot masih terbatas pada penggunaan oleh ilmuwan dan peneliti NASA.

    NASA akan menguji alat ini sebelum mengeksplorasi kemungkinan untuk mengintegrasikannya ke dalam platform Visualisasi, Eksplorasi, dan Analisis Data (VEDA) NASA, yang sudah memberikan akses ke berbagai data lembaga tersebut.

  • Supermoon Terakhir 2024 Tampak di langit Indonesia Besok Subuh – Espos.id

    Supermoon Terakhir 2024 Tampak di langit Indonesia Besok Subuh – Espos.id

    Perbesar

    ESPOS.ID – Ilustrasi supermoon. (Freepik.com)

    Esposin, JAKARTA — ​​​​​Fenomena astronomi Supermoon terakhir pada 2024 yang menyebabkan bulan purnama tampak lebih besar dari biasanya diperkirakan terlihat di langit Indonesia pada Sabtu (16/11/2024) pukul 04.29 WIB.

    Dilansir dari NASA pada Jumat (15/11/2024), fenomena Supermoon terjadi ketika Bulan purnama berada pada posisi terdekat dengan Bumi. Hal tersebut disebabkan karena jalur orbit bulan bukan berbentuk lingkaran sempurna, melainkan oval, sehingga terdapat titik terjauh serta terdekat Bulan ketika mengorbit Bumi.

    Promosi
    Tingkatkan Kualitas Layanan Publik, BRI dan Ombudsman RI Gelar Sosialisasi

    Adapun titik terjauh Bumi dengan Bulan atau yang disebut apogee rata-rata berada pada jarak 253.000 mil dari Bumi. Sedangkan titik terdekat atau perigee rata-rata berjarak 226.000 mil dari Bumi.

    Bulan purnama bisa terjadi di posisi manapun selama mengorbit Bumi. Namun, apabila hal tersebut terjadi pada saat Bulan berada di posisi terdekat dengan Bumi, maka penampakannya terlihat lebih besar dan lebih terang dari biasanya.

    Di belahan Bumi lain, tepatnya di zona waktu wilayah pantai timur Amerika Serikat (EST), fenomena Supermoon terakhir 2024 sudah bisa terlihat pada hari ini pada pukul 16.29 EST.

    Menurut Earth Sky sebagaimana dilansir Antara, sebelumnya terdapat tiga kali fenomena Supermoon yang terjadi pada tahun ini, yakni tanggal 19 Agustus yang disebut Blue Moon, 18 September bernama Super Harvest Moon, dan 17 Oktober yang diberi nama Super Hunter Moon. Sedangkan Supermoon terakhir yang terjadi pada tahun ini dinamakan Beaver Moon.

    Ahli astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, mengimbau seluruh masyarakat pesisir mewaspadai banjir rob, imbas fenomena Supermoon ini.

    Thomas mengatakan, fenomena ini berdampak pada peningkatan pasang maksimum di wilayah pantai yang berpotensi menyebabkan banjir pasang atau rob.

    “Masyarakat di wilayah pantai perlu waspada terhadap kemungkinan banjir pasang atau rob,” katanya.

    Ia menjelaskan dampak dari fenomena Supermoon ini juga akan bertambah bila terdapat cuaca buruk di pantai, yang meningkatkan potensi rob untuk melimpas lebih jauh ke daratan.

    “Atau bila ada banjir di daratan, banjirnya berpotensi tidak segera surut, karena kondisi pasang air laut yang lebih tinggi,” ujarnya.

    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram “Solopos.com Berita Terkini” Klik link ini.

  • Tanda Mengerikan! Terlihat ‘Kolam Lelehan Salju’ di Gletser Arktik

    Tanda Mengerikan! Terlihat ‘Kolam Lelehan Salju’ di Gletser Arktik

    Jakarta

    Foto dari udara yang diambil pada 2014 menunjukkan genangan air lelehan es berwarna biru cerah di atas gletser Alaska. Kolam lelehan es serupa semakin umum di seluruh Kutub Utara akibat perubahan iklim dan semakin mempercepat laju hilangnya es di wilayah tersebut.

    Kolam lelehan es yang mencolok, yang dipenuhi ratusan gunung es kecil, memiliki lebar sekitar 700 meter pada titik terlebarnya. Warna biru cerah kolam tersebut membuatnya tampak sangat dalam. Namun, ini mungkin hanya ilusi yang disebabkan oleh es di bawahnya. Rata-rata, kolam lelehan es laut Arktik hanya memiliki kedalaman sekitar 22 cm, menurut sebuah studi di 2022. Namun, tidak jelas seberapa dalam genangan air ini.

    Versi foto yang diperbesar memperlihatkan bahwa kolam lelehan salju itu hanya dikelilingi oleh salju sejauh berkilo-kilometer. Biasanya, kolam lelehan salju dikelompokkan berdekatan dalam sebuah gugusan. Tidak jelas apa yang menyebabkan kolam ini tumbuh begitu besar jika berdiri sendiri.

    Laguna es itu ditemukan oleh instrumen Multiple Altimeter Beam Experimental Lidar (MABEL) di pesawat ER-2 milik NASA, pesawat penelitian khusus yang dapat terbang dua kali lebih tinggi dibandingkan jet komersial. Pesawat itu sedang menelusuri area tersebut sebagai bagian dari survei yang lebih luas terhadap kolam lelehan es Arktik, dan mengambil ratusan foto serupa. Namun, kolam ini adalah salah satu yang terbesar yang diamati, menurut Earth Observatory milik NASA .

    Kolam lelehan terbentuk pada akhir musim semi dan awal musim panas saat es mencair karena panas dan air yang dihasilkan terkumpul dalam cekungan di dalam es. Fitur-fitur ini selalu ada di Kutub Utara. Namun, fitur-fitur ini menjadi jauh lebih umum dalam beberapa tahun terakhir karena dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia .

    Meningkatnya kemunculan kolam lelehan es mengkhawatirkan para peneliti karena genangan air biru tua menyerap lebih banyak sinar Matahari daripada salju dan es. Hal ini menyebabkan kolam menjadi hangat dan mencairkan lebih banyak es di sekitarnya, terutama saat muncul di atas es laut yang rapuh. Lingkaran umpan balik positif ini dapat memicu efek tak terkendali di mana laju pencairan meningkat secara eksponensial.

    Kolam lelehan es biasanya terbentuk di atas es laut dalam kelompok besar. Warnanya yang gelap memungkinkan kolam tersebut menyerap sinar Matahari tambahan, yang akan memperburuk dampak perubahan iklim. Foto: NASA

    Hasilnya, jumlah kolam lelehan yang muncul tiap musim panas merupakan prediktor yang baik untuk luas minimum es laut Arktik dalam setahun, atau titik tempat luas permukaan es laut di wilayah tersebut paling rendah.

    Akan tetapi, seperti dikutip dari Live Science, meskipun pemantauan kolam lelehan ini penting, beberapa peneliti mengatakan kita masih belum cukup memahaminya untuk membuat prediksi seperti itu.

    Dalam sebuah artikel di 2023, para ahli menulis bahwa pengamatan terbatas terhadap kolam lelehan es jauh dari memadai, yang menyebabkan kurangnya pengetahuan skala spasial dan temporal tentang kapan dan di mana kolam itu terbentuk.

    Hal ini mendorong ketidakpastian tentang peran kolam itu dalam krisis iklim. Namun, menurut para penulis penelitian, masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah pengamatan udara di Kutub Utara dan menggunakan kecerdasan buatan untuk membantu menyisir data.

    (rns/afr)