Kementrian Lembaga: NASA

  • Apa yang Terjadi pada Komet 3I/ATLAS Saat Berada di Titik Terdekatnya dengan Matahari?

    Apa yang Terjadi pada Komet 3I/ATLAS Saat Berada di Titik Terdekatnya dengan Matahari?

    GELORA.CO –  Hari ini, 30 Oktober 2025, komet misterius yang berasal dari luar tata surya kita, 3I/ATLAS, mencapai momen paling krusial dalam perjalanannya: perihelion, atau titik terdekatnya dengan Matahari.

    Perihelion adalah saat aktivitas komet diperkirakan memuncak. Sayangnya, fenomena ini tidak dapat diamati oleh teleskop di Bumi karena komet berada di belakang Matahari (solar conjunction), terhalang oleh silau.

    Beruntung, armada pesawat antariksa yang tersebar di Tata Surya telah mengambil posisi strategis. Mereka siap memantau “tamu antarbintang” ini dari sudut pandang yang jauh lebih baik, mengumpulkan data vital tentang komposisi dan asal-usulnya.

    Perihelion: Momen Ketika Komet ‘Mendidih’

    Perihelion 3I/ATLAS terjadi pada jarak 1,35 Astronomical Units (sekitar 202 juta kilometer) dari Matahari.

    Meskipun 3I/ATLAS adalah objek antarbintang yang hanya melintas, efek mendekati Matahari tetap dramatis.

    Kehangatan Matahari yang meningkat menyebabkan es dan materi beku di permukaan komet menyublim dan mengeluarkan gas, yang dikenal sebagai outgassing.

    Proses outgassing ini menciptakan awan gas di sekitar inti komet yang disebut koma, dan umumnya menumbuhkan dua ekor: ekor debu dan ekor ion.

    Secara teori, aktivitas pelepasan gas inilah yang mencapai puncaknya saat perihelion, menjadikan komet lebih terang dan lebih mudah diamati.

    Armada Pesawat Antariksa Berbagi Tugas Pengamatan

    Komet 3I/ATLAS menghilang dari pandangan Bumi sejak akhir September karena memasuki konjungsi Matahari. Ia diperkirakan baru akan muncul kembali di langit Bumi pada akhir November atau awal Desember.

    Namun, di luar sana, sejumlah wahana antariksa mengambil posisi pengamatan yang ideal:

    Misi Mars: Pesawat antariksa yang beroperasi di sekitar Mars mendapat pandangan paling jelas, melihat langsung belahan Matahari yang dilewati 3I/ATLAS. Bahkan, misi Mars ini mendapat “kursi barisan depan” saat komet itu paling dekat dengan Planet Merah pada 3 Oktober lalu.Misi Lain: Wahana lain seperti Misi Psyche NASA dan Misi Lucy (menuju asteroid Trojan Jupiter) juga mampu menyaksikan 3I/ATLAS saat perihelion.JUICE ESA: Pesawat penjelajah Jupiter Icy moons Explorer (JUICE) milik Badan Antariksa Eropa berada pada posisi terdekat dengan komet. Sayangnya, JUICE saat ini menggunakan antena utamanya sebagai perisai Matahari, sehingga data pengamatannya baru dapat dikirim kembali ke Bumi pada Februari mendatang.Membongkar Kimia Tata Surya Kuno

    Para ilmuwan sangat antusias mempelajari kimia komet saat perihelion. Gas dan debu yang dilepaskan pada saat ini berfungsi sebagai jendela untuk mengungkap komposisi asalnya.

    Temuan awal telah menunjukkan bahwa 3I/ATLAS memiliki komposisi yang unik: ia mengandung lebih banyak karbon dioksida dan kelimpahan nikel yang lebih tinggi dibandingkan komet biasa yang berasal dari Tata Surya kita.

    Perbedaan kimiawi ini mengungkap komposisi awan molekuler gas yang membentuk komet dan sistem bintang asalnya lebih dari tujuh miliar tahun yang lalu. Pengamatan saat perihelion diharapkan dapat mengungkap molekul lebih lanjut.

    “Pada perihelion, lebih banyak molekul dapat terungkap: Sejauh ini, ada kekurangan zat besi, tetapi apakah emisi zat besi dari komet akan meningkat saat perihelion?” tanya para ilmuwan, ingin membandingkan kimia tata surya kita dengan rumah asli 3I/ATLAS, dikutip Space.com.

    Ketika 3I/ATLAS akhirnya muncul kembali dari balik Matahari, ia diperkirakan cukup redup. Namun, teleskop canggih seperti Hubble dan James Webb sudah pasti siap menjadikannya target utama.

  • Mirip Star Wars, Ditemukan Planet Seukuran Bumi Mengorbit Matahari Kembar

    Mirip Star Wars, Ditemukan Planet Seukuran Bumi Mengorbit Matahari Kembar

    Jakarta

    Dengan menggunakan pesawat ruang angkasa pemburu planet milik NASA bernama TESS (Transiting Exoplanet Survey Satellite), para astronom menemukan tiga eksoplanet seukuran Bumi yang mengorbit dua bintang.

    Sebelumnya, telah diteorikan bahwa sistem biner tidak mendukung pembentukan susunan planet yang kompleks, yang berarti penemuan ini dapat mengubah cara kita berpikir tentang pembentukan planet dan stabilitas dunia setelah pembentukan. Yang membuat planet-planet TOI-2267 semakin menarik adalah mereka juga memecahkan beberapa rekor eksoplanet yang sebelumnya dipegang.

    Lebih jauh lagi, sifat bintang biner dari sistem ini, yang terletak sekitar 190 tahun cahaya dari Bumi, berarti bahwa eksoplanet ini dapat mengalami kumpulan bintang ganda yang mengingatkan pada adegan terkenal dalam Star Wars: A New Hope ketika Luke Skywalker menatap bintang-bintang di planet asalnya, Tatooine.

    “Analisis kami menunjukkan susunan planet yang unik: dua planet sedang melintasi satu bintang, dan yang ketiga melintasi bintang pendampingnya,” kata Sebastián Zúñiga-Fernánde, anggota tim studi dan peneliti di University of Liège (ULiège), dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari Space.com.

    “Hal ini menjadikan TOI-2267 sistem biner pertama yang diketahui memiliki planet transit di sekitar kedua bintangnya,” ujarnya.

    Pemecah Rekor

    Dalam makalah yang dipublikasikan pada Jumat, 24 Oktober di jurnal Astronomy & Astrophysics ini, para peneliti menuliskan bahwa sistem bintang biner hadir dalam beragam bentuk, ukuran, dan susunan. TOI-2267 adalah sistem biner kompak. Ini berarti bintang-bintang yang membentuk sistem tersebut mengorbit satu sama lain dalam jarak yang sangat dekat.

    Kedekatan ini menyebabkan ketidakstabilan gravitasi yang menurut model pembentukan planet yang ada akan mengakibatkan lingkungan yang tidak cocok untuk pembentukan planet. Namun, planet telah terbentuk di TOI-2267.

    “Penemuan kami memecahkan beberapa rekor, karena merupakan pasangan bintang dengan planet paling padat dan terdingin yang pernah diketahui, dan yang pertama di mana planet tercatat transit di sekitar kedua komponen tersebut,” ujar Francisco J. Pozuelos, salah satu pemimpin tim studi dan peneliti di Instituto de Astrofísica de Andalucía (IAA-CSIC).

    Pozuelos dan rekan-rekannya mendapatkan petunjuk pertama tentang ketiga planet jauh mirip Bumi ini ketika mereka memeriksa data dari TESS menggunakan perangkat lunak deteksi mereka, SHERLOCK. Indikasi awal keberadaan planet-planet di sistem TOI-2267 ini mendorong tim untuk bersiap melakukan pengamatan lebih lanjut dengan beberapa observatorium lain.

    Observatorium ini termasuk SPECULOOS, jaringan teleskop robotik yang terdiri dari SPECULOOS Southern Observatory di Observatorium Paranal di Chili dan SPECULOOS Northern Observatory di Observatorium Teide di Tenerife, serta sepasang teleskop di Belgia yang disebut TRAPPIST (Transiting Planets and Planetesimals Small Telescope).

    Fasilitas ini secara khusus diadaptasi untuk menyelidiki exoplanet kecil di sekitar bintang yang dingin dan redup, artinya fasilitas ini sangat penting dalam memungkinkan tim mengkarakterisasi TOI-2267, dan dengan demikian, mengungkap sifatnya yang mengejutkan.

    “Sistem ini merupakan laboratorium alam sejati untuk memahami bagaimana planet berbatu dapat muncul dan bertahan hidup dalam kondisi dinamika ekstrem, yang sebelumnya kami perkirakan akan membahayakan stabilitasnya,” ujar Pozuelos.

    Pertanyaan yang muncul terkait pembentukan planet oleh sistem ini dapat menjadi penyelidikan yang berada di bawah kendali James Webb Space Telescope (JWST) serta generasi observatorium berbasis darat berikutnya. Instrumen-instrumen ini diharapkan memungkinkan para astronom untuk mengukur massa, kepadatan, dan bahkan mungkin komposisi kimia atmosfer planet-planet TOI-2267 yang baru ditemukan secara akurat.

    “Menemukan tiga planet seukuran Bumi dalam sistem biner yang begitu kompak merupakan kesempatan yang unik,” kata Zúñiga-Fernández.

    “Hal ini memungkinkan kita untuk menguji batas model pembentukan planet di lingkungan yang kompleks dan untuk lebih memahami keragaman kemungkinan arsitektur planet di galaksi kita,” simpulnya.

    (rns/rns)

  • Bumi Kehilangan Keseimbangan, Belahan Utara Kini Lebih Panas dari Selatan

    Bumi Kehilangan Keseimbangan, Belahan Utara Kini Lebih Panas dari Selatan

    Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah studi terbaru NASA menunjukkan bahwa belahan Bumi bagian utara kini menyerap lebih banyak panas dibandingkan belahan selatan, menandakan adanya perubahan signifikan pada keseimbangan energi bumi.

    Temuan ini mengindikasikan bahwa simetri alami antara kedua hemisfer yang selama ribuan tahun menjaga kestabilan iklim global mulai terganggu.

    Penelitian yang dikutip dari Live Science menjelaskan bahwa belahan utara kini menyerap panas matahari lebih banyak, sementara belahan selatan relatif lebih stabil.

    Fenomena ini disebut “broken symmetry” atau ketidakseimbangan energi lintas hemisfer, dan dapat menjadi tanda bahwa Bumi sedang menuju fase pemanasan yang lebih tidak merata. NASA memantau perubahan ini melalui satelit selama lebih dari 20 tahun, mencatat peningkatan serapan energi di wilayah-wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Samudra Arktik.

    Menurut para ilmuwan, ada beberapa faktor utama yang menyebabkan perubahan ini:

    1. Pencairan Es di Arktik

    Es berfungsi sebagai “cermin alami” yang memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa. Namun, mencairnya lapisan es di Kutub Utara membuat permukaan laut yang lebih gelap menyerap panas lebih banyak.
    Akibatnya, suhu di wilayah utara meningkat lebih cepat dibanding bagian selatan.

    2. Polusi dan Aerosol

    Aktivitas industri dan polusi udara yang lebih tinggi di belahan utara juga berpengaruh. Partikel aerosol dapat memantulkan atau menyerap radiasi matahari, mengubah keseimbangan energi atmosfer secara lokal maupun global.

    3. Perubahan Tutupan Awan dan Vegetasi

    Perubahan pola cuaca serta penggundulan hutan membuat tutupan awan dan vegetasi di utara berkurang, sehingga panas matahari lebih mudah terserap oleh permukaan daratan.

    Dampaknya Bagi Iklim Dunia

    Ketidakseimbangan ini bisa mempercepat pemanasan global dan perubahan pola cuaca ekstrem. Menurut laporan CNA.al, belahan utara tempat sebagian besar populasi manusia tinggal akan menghadapi gelombang panas yang lebih intens, kekeringan, dan badai yang lebih kuat. Sementara itu, sistem iklim global yang terganggu dapat menyebabkan curah hujan tak menentu di berbagai wilayah, termasuk kawasan tropis.

    Para peneliti NASA menekankan bahwa ketidakseimbangan ini masih dapat dikendalikan jika emisi karbon global ditekan secara signifikan dalam dekade ini.
    Langkah mitigasi seperti pengurangan pembakaran bahan bakar fosil, penghijauan kembali, dan transisi energi terbarukan menjadi kunci untuk mengembalikan stabilitas Bumi kita.

    Meski begitu, perubahan yang sudah terjadi menunjukkan bahwa Bumi kini semakin sensitif terhadap aktivitas manusia, dan keseimbangan iklim yang dulu dianggap konstan kini perlahan bergeser. (Nanda Duhaya Tyas Cahyani)

  • Viral 3I/ATLAS Benda Asing Luar Angkasa Tunjukkan Perilaku Aneh dan Dipantau NASA, Pesawat Alien?

    Viral 3I/ATLAS Benda Asing Luar Angkasa Tunjukkan Perilaku Aneh dan Dipantau NASA, Pesawat Alien?

    GELORA.CO –  Akhir-akhir ini media sosial dihebohkan dengan berita tentang komet  antar bintang yang menunjukkan fenomen aneh.

    Komet tersebut diberi nama 3I/ATLAS oleh Badan Antariksa Amerikat Serikat atau NASA.

    Komet antar bintang 3I/ATLAS ini dianggap berperilaku aneh karena tidak seperti komet pada umumnya.

    Komet 31/ATLAS pertama kali ditemukan oleh astronom pada 1 Juli 2025.

    Dikutip dari laman resmi NASA, komet 3I/ATLAS diketahui berasal dari tata surya yang kita tinggali saat ini.

    Namun komet tersebut diketahui melintasi tata surya kita.

    Para ahli astronom memasukkan benda tersebut sebagai antarbintang karena memiliki bentuk hiperbolik jalur orbitnya yaitu tidak mengikuti jalur orbit tertutup mengelilingi matahari.

    Komet antar bintang 3I/ATLAS juga menyemburkan semburan partikel yang mengarah ke matahari.

    Dalam website resmi NASA, komet 3I/ATLAS disebut tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi dan akan tetap jauh.

    Jarah terdekat dengan bumi sekitar 1,8 unit astronomi atau sekitar 170 juta mil (270 juta kilometer).

    Komet ini akan mencapai titik terdekat dengan matahari sekitar 30 Oktober 2025 pada jarak sekitar 1,4 au (130 juta mil atau 210 juta kilometer).

    Sementara itu, dikutip dari berbagai sumber, Ahli Astrofisika Harvard, Avi Loeb memberikan tanggapan atas pengamatan terbaru.

    Pengamatan terbaru menunjukkan jika ekor-anti solar yang awalnya menuju matahari kini telah menjauhi matahari.

    Sehingg memicu spesikulasi bahwa ekor benda itu dapat menjadi indikasi dari pesawat alien yang ‘bermanuver terkendali’.

    Hingga saat ini NASA masih melakukan penyelidikan.

    International Asteroid Warning Network juga memasukkan 3I/ATLAS dalam target pengamatan.

  • Ilmuwan Temukan 6 ‘Kembaran’ Bulan yang Mengekor Bumi

    Ilmuwan Temukan 6 ‘Kembaran’ Bulan yang Mengekor Bumi

    Jakarta

    Kuasi-bulan 2025 PN7 yang dijuluki ‘bulan kedua’ Bumi, secara resmi merupakan bulan semu, menurut NASA. Ilmuwan menyebut setidaknya ada enam kuasi-bulan seperti 2025 PN7.

    Pertama kali ditemukan oleh para peneliti pada Agustus 2025, batu luar angkasa ini bukanlah bulan sungguhan, melainkan asteroid yang mengelilingi Matahari dalam waktu yang hampir bersamaan dengan Bumi, sehingga membuatnya tampak, dari sudut pandang Bumi, seolah-olah mengorbit planet kita.

    “Namun, tidak seperti Bulan sebenarnya, 2025 PN7 hanya membayangi Bumi dalam jalur yang tersinkronisasi,” kata asisten profesor dan seorang kosmolog observasional dari University of Northeastern Jacqueline McCleary, dikutip dari laman situs University of Northeastern.

    Objek langit tersebut termasuk dalam kelompok asteroid Arjuna, yakni kumpulan objek dekat Bumi yang bergerak dalam resonansi dengan Bumi. Karena 2025 PN7 tidak terikat gravitasi ke planet kita seperti Bulan sungguhan, ia bukanlah bulan ‘sejati’.

    Namun, menurut McCleary, tidak ada aturan sederhana tentang apa yang dianggap sebagai bulan dan apa yang tidak. Ia mengatakan bahwa para astronom telah lama memperdebatkan kriteria, mulai dari batasan ukuran hingga stabilitas orbit.

    “Kebanyakan astronom lebih menyukai istilah ‘satelit alami’ daripada ‘bulan’ atau ‘bulan kecil’ yang tidak memiliki definisi yang diterima secara universal,” kata McCleary.

    “Di dalamnya, terdapat variasi yang sangat besar, bahkan di dalam Tata Surya kita sendiri: dari bulan Mars, Phobos dan Deimos, yang tak lebih dari asteroid yang ditangkap, hingga satelit Galilea Jupiter, yang hampir seukuran Bumi dan memiliki fitur seperti lautan dan gunung berapi di bawah permukaannya,” kata McCleary.

    Astrofisikawan Jonathan Blazek dari Northeastern University mengatakan bahwa kuasi-bulan 2025 PN7 kemungkinan menjadi tetangga dekat kita selama sekitar 60 tahun. Namun, asteroid ini sangat kecil sehingga hampir tidak dapat dilihat tanpa teleskop besar yang juga mampu memindai area langit yang luas.

    Para peneliti dari University of Hawaii, yang bekerja di fasilitas penelitian di Haleakala, Hawaii, menemukan kuasi-bulan ini pada Juli-Agustus menggunakan teleskop Pan-STARRS, yang menurut Blazek dioptimalkan untuk menemukan objek-objek baru di Tata Surya kita, serta ‘transien’ astronomi lainnya, fenomena kosmologi yang berubah, seperti supernova.

    “Observatorium Rubin, yang baru mulai mengambil data awal tahun ini, dan saya terlibat di dalamnya, adalah teleskop yang bahkan lebih besar lagi yang akan menemukan banyak objek baru di Tata Surya,” ujar Blazek.

    Blazek dan McCleary mencatat bahwa ada bulan parsial atau kuasi lainnya yang mengitari Bumi. Faktanya, setidaknya ada enam ‘kembaran’ Bulan kita.

    “Objek-objek ini semuanya berada pada orbit yang sama dengan Bumi dan tetap cukup stabil selama bertahun-tahun,” Blazek menjelaskan.

    McCleary mengingatkan pada 2024, Bumi memiliki pendamping singkat yaitu 2024 PT5, sebuah asteroid yang mengorbit planet ini selama beberapa bulan. Namun, 2025 PN7 diperkirakan akan berada di sekitar Bumi hingga 2083. Saat itulah ia akan melayang ke luar angkasa.

    “Dalam jangka panjang, orbitnya akan bergeser, dan kuasi-bulan akan menjauh. PN7 2025 diperkirakan akan bertahan selama kurang lebih 60 tahun,” kata Blazek.

    Para ahli mengatakan 2025 PN7 hampir tidak akan memiliki dampak gravitasi terhadap Bumi karena ukurannya yang cukup kecil secara astronomis. Ia memperkirakan bahwa kuasi-bulan kira-kira seukuran gedung perkantoran kecil dibandingkan dengan bulan, yang menurut perhitungannya sekitar satu kuadriliun kali lebih besar.

    “Dengan ukuran hanya 20 meter, ukurannya terlalu kecil untuk memberi dampak terukur pada pasang surut Bumi atau hal lainnya,” kata McCleary.

    (rns/rns)

  • Bumi Punya ‘Bulan Kedua’, Bisakah Dilihat Mata Telanjang?

    Bumi Punya ‘Bulan Kedua’, Bisakah Dilihat Mata Telanjang?

    Jakarta

    Bumi memiliki pendamping baru di luar angkasa, sebuah asteroid kecil bernama 2025 PN7. Asteroid ini dijuluki quasi-moon atau kuasi-bulan oleh NASA. Berbeda dengan Bulan yang mengorbit Bumi secara langsung, 2025 PN7 mengikuti orbit mengelilingi Matahari yang sangat mirip dengan lintasan Bumi.

    Nah, karena mengikuti orbit mengelilingi Bumi, 2025 PN7 tampak seolah-olah mengikuti planet kita. Ditemukan pada Agustus 2025 oleh sistem Pan-STARRS University of Hawaii di Observatorium Haleakala, asteroid ini berukuran antara 18 dan 36 meter.

    Meskipun ukurannya terbilang kecil, NASA mengonfirmasi bahwa asteroid ini mengitari Bumi selama sekitar 60 tahun dan akan tetap berada dalam kuasi-orbit hingga sekitar 2083.

    “PN7 adalah asteroid kecil dengan diameter sekitar 18 meter. Asteroid ini mengorbit Bumi dalam jarak yang mirip dengan Bumi, yaitu 299.337 km,” kata Mike Shanahan, direktur planetarium di Liberty Science Center, New Jersey, Amerika Serikat, dikutip dari News Bytes.

    Meskipun dekat, asteroid ini tidak terlihat oleh mata telanjang, karena terlalu kecil dan jauh jaraknya, sekitar empat juta kilometer dari Bumi. Asteroid ini hanya dapat dilihat dengan teleskop canggih yang tersedia di beberapa observatorium terkemuka di dunia.

    Kehadiran ‘Bulan kedua’ dalam jangka panjang seperti 2025 PN7 memberi kesempatan unik bagi para ilmuwan untuk mempelajari objek-objek dekat Bumi dan dinamika orbitnya tanpa ancaman apa pun. Kabar baiknya lagi, asteroid ini dianggap tidak berbahaya.

    “Asteroid itu sangat kecil dan jauh sehingga tidak menimbulkan ancaman. Lintasan asteroid ini membuatnya tetap aman dari Bumi,” tutupnya.

    (rns/afr)

  • Superkomputer dan NASA Hitung Jadwal Kiamat, Tandanya Mulai Tampak

    Superkomputer dan NASA Hitung Jadwal Kiamat, Tandanya Mulai Tampak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tim peneliti dari Jepang menggunakan superkomputer dan model sistem planet NASA untuk meramal akhir kehidupan di dunia. Makhluk di Bumi diperkirakan musnah karena kehabisan oksigen jauh lebih dulu sebelum Bumi hancur.

    Kesimpulan tersebut didapatkan lewat 400.000 simulasi di superkomputer oleh sekelompok peneliti dari Toho University. Temuan kemudian dipublikasikan dalam laporan penelitian berjudul The Future Lifespan of Earth’s Oxygenated Atmosphere di jurnal Nature Geoscience.

    Berdasarkan hasil simulasi, peristiwa kiamat diawali dengan Matahari yang makin tua sehingga mengeluarkan panas yang makin lama makin tinggi. Matahari yang makin panas dan terang membuat permukaan Bumi memanas sehingga semua air menguap.

    Perubahan iklim ini menghancurkan siklus karbon di Bumi yang mendukung aktivitas fotosintesis. Tumbuhan pun mulai punah sehingga produksi oksigen di Bumi berhenti total. Atmosfer Bumi makin didominasi oleh metana yang tak bisa lagi mendukung segala jenis kehidupan.

    “Sejak lama, umur biosfer Bumi diprediksi berdasarkan Matahari yang makin terang,” kata Kazumi Ozaki yang menjadi penulis utama.

    Ozaki dan tim menyatakan sebelumnya makhluk hidup diperkirakan masih bertahan di Bumi selama 2 miliar tahun ke depan. Namun, simulasi yang mereka lakukan dengan model yang baru menunjukkan kehidupan bakal punah hanya dalam 1 miliar tahun.

    Manusia diramal punah lebih dulu. Radiasi yang makin intens bakal berakibat fatal terhadap sistem lingkungan dan atmosfer sehingga manusia tak bisa bertahan hidup.

    Saat ini, usia Bumi diperkirakan mencapai 4,5 miliar tahun. Artinya, 82 persen dari “umur” Bumi sudah terpakai.

    Tanda-tanda awal dari “kiamat” tersebut sekarang sudah tampak jelas. Ilmuwan sudah berulang kali melaporkan peningkatan aktivitas Matahari dalam bentuk badai surya sehingga medan magnet Bumi terganggu dan kadar oksigen di atmosfer turun.

    Belum lagi, ada dampak perubahan iklim akibat pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Suhu rata-rata di Bumi terus menanjak sehingga es di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair lebih cepat.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Bocorkan Penampakan IKN dari Langit, Sudah Berubah Total

    NASA Bocorkan Penampakan IKN dari Langit, Sudah Berubah Total

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Prabowo Subianto sudah menetapkan IKN menjadi ibu kota politik pada 2028 mendatang. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.

    Dari aturan itu juga dijelaskan perencanaan pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan dibangun pada luas lahan sekitar 800-850 hektare.

    Perinciannya, pembangunan kawasan perkantoran memiliki porsi 20% dari luas lahan. Sedangkan pembangunan hunian rumah layak dan terjangkau mencapai 50%, prasarana 50%, juga indeks aksesibilitas dan konektivitas menjadi 0,74.

    Beleid juga mengatur jumlah pemindahan ASN ke IKN mencapai 1.700-4.100 orang.

    Beberapa saat lalu, Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) sempat membagikan penampakan IKN di tahun 2022 dan 2024. Penampakan itu terekam melalui citra satelit yang dikumpulkan dalam rentang dua tahun terakhir.

    Foto: NASA
    Wujud IKN tahun 2022 dari tangkapan sensor NASA.

    NASA membandingkan kondisi hutan Kalimantan pada April 2022 dengan foto terbaru yang diambil Februari 2024. Hasilnya, terlihat jelas perubahan besar-besaran pada kawasan hutan yang ada di wilayah tersebut.

    Foto: NASA
    Wujud IKN tahun 2024 dari tangkapan sensor NASA

    Meski demikian pembangunan di IKN masih terus berlanjut dan masih jauh dari kata selesai. Dari laporan sebelumnya, konstruksi pembangunan direncanakan baru akan benar-benar selesai pada 2045 mendatang. Kita tunggu saja!

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bumi Sekarang Punya 2 Bulan, Setidaknya Sampai 2083

    Bumi Sekarang Punya 2 Bulan, Setidaknya Sampai 2083

    Jakarta

    NASA mengonfirmasi bahwa Bumi memiliki ‘Bulan kedua’. Namun, kehadiran Bulan kedua ini tidak bersifat permanen seperti Bulan yang menjadi satelit alami Bumi, setidaknya hanya sampai 2083.

    Bulan kedua ini merupakan asteroid kecil yang tertangkap dalam orbit mengelilingi planet, dan bergerak hampir seirama dengan Bumi. Bulan ini ditemukan oleh University of Hawaii pekan ini.

    Para astronom memperkirakan bahwa benda tersebut kemungkinan telah mengitari Bumi selama sekitar 60 tahun dan kemungkinan akan terus mengitari Bumi hingga 2083. Benda langit ini dikenal sebagai ‘kuasi-Bulan’ dan memiliki lebar 18 hingga 36 meter.

    Benda langit tersebut diidentifikasi sebagai 2025 PN7. Namun, tidak seperti Bulan yang terikat oleh gravitasi Bumi, 2025 PN7 tidak terikat oleh Bumi. Pada titik terdekatnya, 2025 PN7 akan berada pada jarak 4 juta km dari Bumi, kira-kira 10 kali jarak ke Bulan, pada titik terjauhnya, 2025 PN7 dapat menjauh hingga 17 juta km dari Bumi.

    Dikutip dari WIO News, pergerakan bolak-balik ini disebabkan oleh interaksi gravitasi Matahari dan Bumi. Bulan mini semacam itu adalah objek yang terperangkap secara alami dan mengorbit planet dalam waktu singkat sebelum jatuh kembali ke luar angkasa atau memasuki atmosfer Bumi.

    Benda langit ini pertama kali diamati awal tahun ini, dalam survei teleskop rutin. Awalnya, 2025 PN7 tampak seperti titik yang tak terbaca, tetapi segera dipastikan sebagai pendamping Bumi. Hingga saat ini, Bumi telah menemukan total delapan kuasi-Bulan.

    Masing-masing kuasi-Bulan ini penting dalam mengungkap informasi tentang gravitasi dekat Bumi dan bagaimana asteroid berinteraksi dengannya. Hal ini memicu keingintahuan ilmiah dan menyoroti sifat dinamis objek-objek di ruang angkasa dekat Bumi.

    Bulan utama Bumi tetap menjadi satelit alami yang dominan. Bulan kita lebih terang, lebih besar, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Bumi. Sedangkan 2025 PN7 adalah penjelajah senyap yang untuk sementara bergabung dengan Bumi dalam perjalanannya.

    (rns/rns)

  • Danau di Bulan Saturnus Mengandung Keanehan Tak Masuk Akal

    Danau di Bulan Saturnus Mengandung Keanehan Tak Masuk Akal

    Jakarta

    Penemuan tentang bulan Saturnus, Titan, telah menantang apa yang dianggap para ilmuwan sebagai aturan dasar kimia.

    Di sana, dalam suhu yang sangat dingin, beberapa molekul yang dianggap tidak kompatibel secara mendasar dapat bergabung membentuk padatan yang belum pernah terlihat sebelumnya di Tata Surya, menurut penelitian baru.

    Materi asing ini, menurut tim yang dipimpin oleh ahli kimia Fernando Izquierdo-Ruiz dari Chalmers University of Technology di Swedia, kemungkinan besar melimpah di Titan.

    “Ini adalah temuan yang sangat menarik yang dapat membantu kita memahami sesuatu dalam skala yang sangat besar, bulan Titan sebesar planet Merkurius,” kata ahli kimia lainnya dari Chalmers University of Technology, Martin Rahm, dikutip dari Science Alert.

    Titan adalah sudut kecil yang menarik di Tata Surya. Danau-danau metana dan hidrokarbonnya mengandung senyawa kimia kompleks yang sangat mirip dengan senyawa kimia prebiotik yang dibutuhkan untuk memicu kehidupan. Hal ini bukan berarti kehidupan mungkin ada di sana, tetapi memberikan peluang untuk memahami kondisi-kondisi yang berpotensi memunculkan kehidupan.

    Salah satu landasan khusus kimia prebiotik adalah hidrogen sianida, yang jika dalam kondisi tepat, membentuk senyawa yang dapat menjadi bahan penyusun kehidupan, seperti nukleobasa dan asam amino. Hidrogen sianida diketahui sangat melimpah di Titan.

    Senyawa ini juga merupakan molekul yang sangat polar, memiliki distribusi elektron yang tidak merata sehingga menghasilkan muatan yang tidak seimbang. Umumnya, molekul polar dan non-polar seperti metana dan etana di Titan, cenderung saling tolak.

    Energi yang dibutuhkan untuk menyatukan keduanya lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk memisahkannya. Mekanisme inilah yang mencegah air (polar) bercampur dengan minyak (non-polar).

    Investigasi para peneliti tentang kemungkinan perilaku hidrogen sianida di Titan dimulai dengan para ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory NASA yang mencoba mencari tahu apa yang terjadi setelah molekul tersebut terbentuk di atmosfer Titan.

    Mereka melakukan eksperimen pada suhu sekitar -180 derajat Celsius, yang konsisten dengan suhu permukaan Titan. Pada suhu dingin ekstrem ini, hidrogen sianida berbentuk kristal, sementara metana dan etana berbentuk cair.

    Setelah percobaan dijalankan dan mereka menganalisis campuran yang dihasilkan, para peneliti NASA dapat mengetahui sesuatu telah berubah, tetapi tidak yakin apa itu, jadi mereka merekrut ahli kimia di Chalmers.

    “Hal ini menghasilkan kolaborasi teoretis dan eksperimental yang menarik antara Chalmers dan NASA,” ujar Rahm.

    “Pertanyaan yang kami ajukan agak gila, bisakah pengukuran ini dijelaskan oleh struktur kristal di mana metana atau etana dicampur dengan hidrogen sianida? Ini bertentangan dengan aturan kimia, ‘sejenis larut seperti’, yang pada dasarnya berarti bahwa seharusnya tidak mungkin untuk menggabungkan zat-zat polar dan non-polar ini,” urainya.

    Pengaturan eksperimennya serupa, sebuah ruangan yang suhunya diturunkan hingga sekitar -180 derajat Celsius, tempat para peneliti menumbuhkan kristal hidrogen sianida. Ke dalam lingkungan ini, mereka memasukkan metana, etana, propana, dan butana, menggunakan spektroskopi Raman untuk merekam getaran molekul-molekul tersebut.

    Mereka mencatat pergeseran kecil, namun jelas, dalam osilasi hidrogen sianida setelah paparan metana dan etana, yang menunjukkan bahwa zat-zat yang tidak kompatibel ini tidak hanya berada di samping satu sama lain, tetapi juga berinteraksi.

    Arah pergeseran ini menunjukkan bahwa ikatan hidrogen dalam hidrogen sianida secara halus diperkuat, dibengkokkan, dan diregangkan oleh metana dan etana.

    Selanjutnya, tim beralih ke pemodelan komputer untuk mengonfirmasi kecurigaan mereka, Metana dan etana telah menyelinap di antara celah dalam kisi kristal hidrogen sianida, bergabung membentuk struktur yang dikenal sebagai ko-kristal yang tetap stabil pada suhu seperti Titan.

    Dalam kondisi seperti di Titan, para peneliti menyimpulkan, molekul tidak berguncang secara termal seperti yang terjadi pada suhu yang lebih tinggi, yang memungkinkan metana dan etana menembus hidrosianida, menunjukkan bagaimana molekul yang biasanya saling membenci dapat berinteraksi dan bergabung.

    “Penemuan interaksi tak terduga antara zat-zat ini dapat memengaruhi cara kita memahami geologi Titan dan bentang alamnya yang aneh berupa danau, laut, dan bukit pasir,” kata Rahm.

    Kita mungkin harus menunggu beberapa tahun sebelum signifikansi kimia aneh ini dapat dikonfirmasi, sayangnya, karena wahana Dragonfly diperkirakan tidak akan mendarat di bulan aneh Saturnus hingga tahun 2034.

    “Sampai saat itu, struktur-struktur ini merupakan pengingat yang merendahkan hati tentang betapa mengejutkannya kimia fundamental,” tulis para peneliti .

    Dalam penelitian selanjutnya, para peneliti berharap dapat menemukan zat nonpolar lain apa yang mungkin cocok dengan hidrogen sianida jika kondisinya tepat. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.

    (rns/rns)