Kementrian Lembaga: NASA

  • Astronom Kaget Tiba-Tiba Muncul Planet Alien Baru, di Sini Lokasinya

    Astronom Kaget Tiba-Tiba Muncul Planet Alien Baru, di Sini Lokasinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Para astronom telah menemukan sebuah planet baru lahir yang mengorbit sebuah bintang muda. Diketahui, planet bayi itu terbentuk dalam waktu hanya 3 juta tahun, jauh lebih cepat dari perkiraan dalam skala kosmik, sekaligus membuka wawasan baru tentang proses pembentukan planet.

    Melansir Reuters, planet bayi ini diperkirakan memiliki massa sekitar 10 hingga 20 kali massa Bumi, merupakan salah satu planet termuda di luar tata surya kita, yang disebut eksoplanet, dan belum pernah ditemukan sebelumnya.

    Planet ini berada di samping sisa-sisa cakram gas dan debu padat yang mengitari bintang induknya, yang disebut cakram protoplanet, yang menyediakan bahan-bahan untuk pembentukan planet tersebut.

    Planet ini mengorbit bintang muda yang diperkirakan akan menjadi katai oranye, jenis bintang yang lebih kecil dan lebih dingin dibandingkan Matahari. Dengan massa sekitar 70% dari Matahari dan kecerahan setengahnya, bintang ini berada di galaksi Bima Sakti, sekitar 520 tahun cahaya dari Bumi.

    Sebagai gambaran, satu tahun cahaya setara dengan 5,9 triliun mil atau 9,5 triliun kilometer.

    “Penemuan ini menegaskan bahwa planet-planet bisa berada dalam bentuk yang kohesif dalam waktu 3 juta tahun, yang sebelumnya tidak jelas karena Bumi membutuhkan waktu 10 hingga 20 juta tahun untuk terbentuk,” kata Madyson Barber, salah seorang mahasiswa pascasarjana di departemen fisika dan astronomi di University of North Carolina, Chapel Hill dan sekaligus penulis utama studi yang diterbitkan jurnal Nature minggu ini, dikutip dari Reuters, Sabtu (23/11/2024).

    “Kami tidak benar-benar tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan planet untuk terbentuk. Kami tahu bahwa planet raksasa harus terbentuk lebih cepat daripada hilang cakramnya, karena mereka membutuhkan banyak gas dari cakramnya. Namun, cakram membutuhkan waktu 5 hingga 10 juta tahun untuk menghilang. Jadi, apakah planet terbentuk dalam 1 juta tahun? 5? 10?” tambah astrofisikawan UNC dan rekan penulis studi, Andrew Mann.

    Planet yang dinamai IRAS 04125+2902 b dan TIDYE-1b ini mengorbit bintangnya dalam waktu 8,8 hari, dengan jarak sekitar seperlima jarak yang memisahkan planet terdalam tata surya kita, Merkurius dari Matahari. Massanya berada di antara massa Bumi, planet berbatu terbesar di tata surya kita, dan Neptunus, planet gas terkecil. Massanya kurang padat daripada Bumi dan memiliki diameter sekitar 11 kali lebih besar. Komposisi kimianya tidak diketahui.

    Para peneliti menduga planet itu terbentuk lebih jauh dari bintangnya dan kemudian bermigrasi ke dalam.

    “Membentuk planet besar yang dekat dengan bintang itu sulit karena cakram protoplanet menghilang paling cepat dari yang terdekat dengan bintang, artinya tidak ada cukup material untuk membentuk planet besar sedekat itu dengan cepat,” kata Barber.

    Para peneliti mendeteksinya menggunakan apa yang disebut metode “transit”, mengamati penurunan kecerahan bintang induk saat planet itu lewat di depannya, dari perspektif pengamat di Bumi. Hal itu ditemukan oleh teleskop antariksa Transiting Exoplanet Survey Satellite (TESS) milik NASA.

    “Ini adalah planet transit termuda yang diketahui. Planet ini setara dengan planet-planet termuda yang diketahui,” kata Barber.

    Eksoplanet yang tidak terdeteksi menggunakan metode ini terkadang langsung difoto menggunakan teleskop. Namun, eksoplanet ini biasanya berukuran sangat besar, sekitar 10 kali lebih besar dari planet terbesar di tata surya kita, Jupiter.

    Bintang dan planet terbentuk dari awan gas dan debu antarbintang. “Untuk membentuk sistem bintang-planet, awan gas dan debu akan runtuh dan berputar menjadi lingkungan yang datar, dengan bintang di pusatnya dan cakram yang mengelilinginya. Planet-planet akan terbentuk di cakram tersebut. Cakram tersebut kemudian akan menghilang mulai dari wilayah bagian dalam dekat bintang,” lanjutnya.

    Barber menjelaskan, sebelumnya para peneliti mengira planet transit semuda ini sulit ditemukan karena cakram di sekitarnya akan menghalangi pengamatan. Namun, ia menambahkan, cakram luar tersebut ternyata melengkung dengan cara yang belum diketahui, sehingga menciptakan celah yang memungkinkan deteksi transit.

    (luc/luc)

  • Harta Karun Super Ditemukan, Semua Manusia Bisa Jadi Miliarder

    Harta Karun Super Ditemukan, Semua Manusia Bisa Jadi Miliarder

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ilmuwan menemukan asteroid senilai US$10.000.000.000.000.000.000. Secara hipotetis jika dibagi rata, setiap orang di Bumi bisa menjadi miliarder dengan meraup US$1.246.105.919 atau sekitar Rp 19 miliar, menurut Unilad, dikutip Jumat (22/11/2024).

    Bulan lalu, NASA mengirip roket Falcon Heavy milik SpaceX untuk menghampiri dan menyelidiki 16 Psyche, salah satu asteroid tipe M terbesar yang ditemukan.

    Pesawat luar angkasa itu akan bepergian sejauh 3,5 miliar kilometer ke destinasinya yang berlokasi di sabuk asteroid utama di antara Mars dan Jupiter.

    Kebanyakan asteroid yang diketahui terbuat dari batu dan es. Namun, asteroid yang sangat berharga ini lebih spesial.

    16 Psyche tersusun atas beragam metal yang digadang-gadang bisa memberikan manfaat berlimpah pada ekonomi kita. Adapun elemen yang terkandung termasuk platinum dan palladium yang penting untuk mengembangkan mobil dan elektronik di Bumi.

    Ada 9 asteroid kaya metal yang diketahui ada di sistem tata surya kita. Namun, 16 Psyche adalah yang terbesar, sehingga NASA tertarik untuk menyelidikinya lebih lanjut.

    Kemungkinan asteroid itu juga mengandung inti besi-nikel dari sebuah planet awal yang merupakan salah satu bahan penyusun tata surya kita.

    Unilad mengatakan jika 16 Psyche dibawa ke Bumi dan dipecah demi keuntungan kolektif, kita semua bisa menjadi miliarder.

    Pada 2023, diketahui ada 8.025 miliar manusia hidup di Bumi. Jika dibagi dengan nilai asteroid tersebut yang diestimasikan tembus US$100.000 kuadriliun, maka setiap orang bisa mendapatkan sekitar Rp 19 miliar.

    (fab/fab)

  • Kembaran Bulan Segera Menghilang dari Orbit Bumi

    Kembaran Bulan Segera Menghilang dari Orbit Bumi

    Jakarta

    Bulan mini (mini moon) atau ‘kembaran’ Bulan yang membuntuti Bumi yang baru-baru ini ditemukan, Asteroid 2024 PT5, segera meninggalkan wilayah sekitar planet kita dan baru akan kembali lagi tahun 2055.

    Ditemukan oleh proyek penelitian ATLAS pada Agustus 2024, asteroid seukuran bus ini sempat ditarik oleh gravitasi Bumi dari 29 September hingga 25 November 2024. Para astronom telah mengonfirmasi bahwa PT5 berasal dari alam, bukan objek buatan manusia.

    NASA menyatakan kehadiran bulan kembar tidak menimbulkan bahaya bagi Bumi. Pasalnya, ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan Bulan sebenarnya yang lebarnya 3.474 kilometer.

    “Bulan mini ini sangat menarik karena ukurannya. Objek-objek ini sangat redup dan kita hanya dapat melihatnya melalui pantulan cahaya,” kata Barbara Castanheira Endl, Associate Professor Fisika di Baylor University di Texas, dikutip dari The Sun.

    Asteroid yang berasal dari sabuk asteroid Arjuna itu terlalu kecil dan redup untuk dapat dilihat dengan mata telanjang, namun kehadirannya telah memukau para astronom. Meskipun disebut sebagai ‘mini moon’, PT5 tidak menyelesaikan orbit penuh mengelilingi Bumi, tetapi mengikuti lintasan yang disebut ‘temporally captured flyby’ yang mengitari sekitar 25% permukaan Bumi.

    NASA mengklarifikasi bahwa PT5 bukanlah mini moon yang sebenarnya karena tidak sepenuhnya terperangkap oleh gravitasi Bumi. Jarak terdekatnya dengan Bumi adalah sekitar 3,7 juta kilometer. PT5 akan kembali melewati Bumi pada Januari 2025, sehingga memberi para ilmuwan kesempatan lain untuk mempelajari objek dekat Bumi ini.

    Saat PT5 meninggalkan pengaruh gravitasi Bumi pada 25 November, hal ini menandai kesempatan terakhir untuk mengamati asteroid ini hingga pendekatan berikutnya pada 2055. Saat ini, bulan kedua tersebut berjarak sekitar 3.760.000 kilometer dari Bumi, yang secara astronomi tergolong dekat.

    Peristiwa ini telah memberikan wawasan berguna mengenai objek dekat Bumi dan membantu meningkatkan teknik deteksi. Pertemuan berikutnya dengan PT5 pada 2055 akan menjadi kesempatan unik lainnya untuk melakukan pengamatan ilmiah.

    (rns/rns)

  • Pakar Cemas Elon Musk Jerumuskan NASA Dalam Bahaya

    Pakar Cemas Elon Musk Jerumuskan NASA Dalam Bahaya

    Jakarta

    Peran NASA di masa depan dinilai menghadapi ancaman besar setelah Presiden terpilih Donald Trump menguatkan hubungannya dengan Elon Musk, CEO SpaceX.

    Dalam perannya sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintah, Musk berjanji untuk memotong anggaran negara hingga USD 2 triliun, yang termasuk mengevaluasi kontrak-kontrak yang berhubungan dengan perusahaannya sendiri, SpaceX.

    Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa NASA, yang selama ini menjadi kebanggaan Amerika dalam dunia luar angkasa, dapat berubah menjadi alat yang melayani kepentingan pribadi Musk.

    Peter Juul, Direktur Kebijakan Keamanan Nasional di Progressive Policy Institute, dalam artikelnya untuk SpaceNews, menyoroti potensi bahaya besar dari situasi ini. Menurutnya, konflik kepentingan antara Musk dan Trump bisa mengarah pada situasi di mana dana dari pajak rakyat dialirkan ke perusahaan swasta, terutama SpaceX, yang bisa merugikan NASA. NASA mungkin pilih kasih ke SpaceX.

    “Jika Presiden terpilih Donald Trump dan oligarki teknologi Elon Musk mendapatkan apa yang mereka inginkan, NASA mungkin akan berubah menjadi lembaga kontraktor yang dibesarkan namanya,” tulis Juul.

    Meskipun SpaceX telah membuat kemajuan dalam pengembangan roket Starship yang direncanakan untuk misi Mars, Juul mengkritik ambisi perusahaan ini yang dianggap masih jauh dari siap. Bahkan, jika Starship digunakan untuk misi kembali ke permukaan Bulan, SpaceX mungkin perlu melakukan hingga 16 uji peluncuran untuk mengirimkan satu pesawat ruang angkasa.

    “Secara sederhana, perusahaan ini belum menunjukkan kemampuan teknis yang diperlukan untuk menjalankan misi yang lebih sederhana sekalipun,” tulis Juul, menegaskan bahwa SpaceX belum cukup matang untuk menangani misi luar angkasa yang kompleks.

    Juul juga mengingatkan karakter Musk bisa menjadi kendala besar bagi kemajuan NASA. Hubungan Musk yang dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, pandangan politiknya yang semakin rasialis dan transfobik, serta berbagai tuduhan pelecehan seksual yang membayangi, dapat memperburuk citra NASA sebagai lembaga riset dan eksplorasi luar angkasa.

    Juul menekankan bahwa Kongres Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk melindungi NASA dari potensi kerugian ini. “Kongres memiliki kekuatan untuk mencegah pemerintahan yang baru dari meruntuhkan NASA dan pada akhirnya menyerahkan kegiatan luar angkasa kepada satu perusahaan swasta,” ujarnya.

    Sebagai lembaga independen yang vital, NASA tidak boleh dipersempit peranannya hanya untuk memenuhi kepentingan satu entitas bisnis. Sejarah menunjukkan bahwa Kongres sering terlibat dalam menentukan arah kebijakan luar angkasa, seperti saat mereka mengurangi anggaran NASA atau memaksa perubahan besar pada misi pengembalian sampel Mars.

    Juul mengusulkan agar Kongres memperkuat pengembangan Sistem Peluncuran Luar Angkasa (Space Launch System/SLS) milik NASA, sebuah program yang dianggap memiliki keunggulan teknis yang tidak dimiliki oleh negara atau perusahaan swasta lainnya.

    Meskipun SLS menghadapi kritik karena keterlambatan dan pembengkakan biaya, Juul percaya teknologi ini masih merupakan kekuatan utama yang harus dipertahankan untuk menjaga dominasi Amerika dalam eksplorasi luar angkasa.

    Di sisi lain, Juul juga mendesak agar Kongres menguatkan kebijakan kontrak ‘sumber ganda’ NASA, yang mewajibkan adanya persaingan antara dua perusahaan, alih-alih memberi kontrak dominan kepada SpaceX.

    Meski strategi ini menghadirkan tantangan, seperti bencana yang dialami misi Starliner Boeing, yang jauh lebih mahal daripada pesawat Crew Dragon milik SpaceX yang lebih andal, Juul tetap menganggap perlindungan terhadap NASA sebagai hal yang lebih penting.

    Menurut Juul, Kongres harus bertindak untuk melindungi NASA sebagai kebanggaan Amerika dari eksploitasi oligarki. Di bawah pemerintahan yang sebelumnya mengabaikan bukti ilmiah, seperti penolakan perubahan iklim yang digaungkan Trump, perlindungan terhadap NASA dan kegiatan ilmiahnya menjadi lebih krusial.

    Untuk itu, Kongres harus berperan aktif memastikan NASA tetap berjalan sesuai dengan tujuannya, sebagai lembaga yang berdedikasi pada eksplorasi luar angkasa dan riset ilmiah, bukan menjadi alat memperkaya satu individu atau perusahaan swasta.

    *Artikel ini ditulis oleh Dita Aliccia Armadani, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.

    (fyk/fyk)

  • 5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat

    5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bukti “kiamat” Bumi semakin banyak ditemukan. Terbaru, para ilmuwan menemukan bahwa persediaan air bersih di Bumi makin menipis sejak Mei 2024.

    Tanda krisis kehidupan di Bumi tampak dari satelit milik NASA dan Jerman.

    Penelitian yang dipublikasikan di Surveys in Geophysics menyatakan, data tersebut adalah indikasi Bumi memasuki “era baru” yang lebih kering.

    Pengamatan satelit menggambarkan bahwa rata-rata volume air tawar yang tersimpan di daratan sepanjang 2015-2023 menyusut hingga 1.200 kubik km dibanding periode 2002-2014. Data tersebut mencakup air tawar yang terlihat di permukaan seperti danau dan sungai serta air di bawah tanah.

    “Itu setara dengan 2,5 kali volume Danau Erie,” kata Matthew Rodell, salah seorang penulis laporan penelitian dan ahli hidrologi NASA.

    Volume Danau Erie diperkirakan mencapai 480 kilometer kubik atau dua kali lipat volume air di Danau Toba yang diperkirakan mencapai 240 kilometer kubik. Artinya, volume air tawar yang “lenyap” dari Bumi setara 5 kali isi Danau Toba.

    Iklim kering beserta pembangunan sistem irigasi dan pengairan yang mengandalkan air tanah, berdampak kepada penurunan suplai air yang tidak bisa tergantikan oleh hujan dan salju yang mencair.

    Berdasarkan laporan PBB yang diterbitkan pada 2024, penurunan volume air tawar berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik kekerasan, kemiskinan, hingga penyakit karena membuat penduduk terpaksa mengonsumsi air dari sumber yang terkontaminasi.

    Data “lenyapnya” air tawar di Bumi dikumpulkan peneliti lewat observasi menggunakan satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang dikelola bersama oleh German Aerospace Center, German Research Centre for Geosciences, dan NASA. GRACE mengukur fluktuasi gravitasi Bumi setiap bulan dengan memantau perubahan massa air di atas dan bawah permukaan Bumi.

    Penurunan volume air tawar dimulai dengan kekeringan luas di wilayah Brasil bagian utara dan tengah, diikuti oleh kekeringan di wilayah Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika.

    Pada saat yang bersamaan, kenaikan suhu air laut di wilayah Pasifik antara 2014-2016 menimbulkan peristiwa El Nino paling berdampak sejak 1950-an sehingga mengubah pola pergerakan angin, cuaca, dan hujan di seluruh dunia.

    Parahnya, setelah dampak “kering” dari El Nino mulai reda, volume air tawar secara global tidak pulih. Rodell dan tim melaporkan bahwa 13 dari 30 kekeringan yang tercatat oleh GRACE terjadi pada periode setelah Januari 2015.

    Para peneliti memperkirakan penyusutan persediaan air secara ekstrem ini disebabkan oleh “kiamat” pemanasan global.

    Michael Bosilovich dari NASA menyatakan bahwa pemanasan global menyebabkan atmosfer menahan uap air lebih banyak dan lebih lama sehingga menimbulkan curah hujan ekstrem. Artinya, jarak antara hujan makin panjang tetapi dengan volume yang lebih tinggi.

    Periode panjang antara hujan yang intens ini membuat tanah mengering dan lebih padat. Hasilnya, kemampuan tanah menyerap air hujan turun.

    “Permasalahannya dengan curah hujan ekstrem, air menjadi meluber dan bukan terserap sehingga mengisi ulang cadangan air tanah,” kata Bosilovich.

    Ia mengatakan bahwa level air tawar tetap rendah sepanjang El Nino 2014-2016 pada saat air “terperangkap” di atmosfer.

    “Suhu yang lebih hangat meningkatkan penguapan air dari permukaan dan kemampuan atmosfer ‘menahan’ air, sehingga frekuensi dan intensitas cuaca kering meningkat,” kata Bosilovich.

     

    (dem/dem)

  • Apa Itu Bulan Paruh? Simak Penjelasan tentang Fase-fase Bulan

    Apa Itu Bulan Paruh? Simak Penjelasan tentang Fase-fase Bulan

    Jakarta

    Bulan Paruh atau Bulan Separuh (Half Moon) merupakan salah satu fase Bulan. Namun istilah ini tidak ada dalam istilah astronomi, yang ada adalah fase Bulan Kuartal (Quarter Moon), atau yang disebut juga sebagai fase Bulan Setengah Purnama.

    “Secara astronomi, tidak ada fase Half Moon, setidaknya tidak secara resmi. Biasanya, ketika mengacu pada Half Moon, para pengamat melihat Quarter Moon.Bulan yang terlihat setengah bercahaya, seperti setengah kue. Bisa jadi itu adalah Quarter Moon pertama atau Quarter Moon terakhir, tapi – bagi para astronom – tidak pernah menjadi Half Moon,” demikian penjelasan dikutip dari EarthSky.

    Menurut BMKG, fase-fase Bulan adalah perubahan bentuk Bulan yang tampak dari Bumi. Dari sejumlah fasenya, ada empat fase Bulan yang utama, yaitu fase Bulan Baru, fase Bulan Setengah Purnama Awal (Kuartal Awal), fase Bulan Purnama, dan fase Bulan Setengah Purnama Akhir (Kuartal Akhir).

    Namun secara keseluruhan, menurut NASA, ada delapan fase Bulan, yaitu fase Bulan Baru, fase Bulan Sabit yang Membesar, fase Bulan Kuartal Awal, fase Bulan Sabit yang Membesar, fase Bulan Purnama, fase Bulan Sabit yang Memudar, fase Bulan Kuartal Akhir, dan fase Bulan Sabit yang Memudar. Siklus ini berulang sebulan sekali (setiap 29,5 hari).

    Berikut ini penjelasannya masing-masing:

    Ini adalah fase Bulan yang tidak terlihat, dengan sisi Bulan yang bercahaya menghadap Matahari dan sisi malam menghadap Bumi. Pada fase ini, Bulan berada di bagian langit yang sama dengan Matahari dan terbit dan terbenam bersama Matahari. Pada fase ini, Bulan biasanya tidak melintas langsung di antara Bumi dan Matahari, karena kemiringan orbit Bulan. Bulan hanya melintas di dekat Matahari dari sudut pandang kita di Bumi.

    Bulan ini sudah seperempat perjalanannya. Inilah yang sering disebut sebagai Bulan Paruh atau Bulan Separuh (Half Moon). Yang terlihat hanya sepotong dari keseluruhan Bulan – setengah dari bagian yang diterangi. Bulan ini terbit sekitar tengah hari dan terbenam sekitar tengah malam. Bulan ini berada tinggi di langit pada malam hari dan merupakan pemandangan yang luar biasa.

    Fase ini adalah ketika sebagian besar sisi siang Bulan sudah tampak, dan Bulan tampak lebih terang di langit.

    Ini adalah saat Bulan memulai perjalanannya kembali ke arah Matahari, sisi Bulan yang berlawanan memantulkan cahaya Bulan. Sisi yang diterangi tampak mengecil, tapi orbit Bulan hanya membuatnya tidak terlihat dari sudut pandang kita. Bulan terbit semakin lama semakin larut setiap malam.

    Bulan terlihat seperti setengah diterangi dari sudut pandang Bumi, tetapi sebenarnya yang terlihat setengah dari separuh bagian Bulan yang disinari Matahari – atau seperempatnya. Bulan ini juga dikenal sebagai Bulan Seperempat Ketiga atau Kuartal Ketiga, terbit sekitar tengah malam dan terbenam sekitar tengah hari.

    Ini adalah fase ketika Bulan hampir kembali ke titik di orbitnya, di mana sisi siang hari secara langsung menghadap Matahari, dan yang terlihat dari sudut pandang di Bumi hanyalah kurva tipis.

    (wia/imk)

  • Bukan Depok, Ini Kota dengan Petir Paling Mematikan di Indonesia

    Bukan Depok, Ini Kota dengan Petir Paling Mematikan di Indonesia

    Jakarta

    Depok memang punya petir yang suka bikin deg-degan. Tapi narasi yang menyebut Depok sebagai kota dengan petir paling berbahaya di Indonesia (bahkan di dunia) ternyata tidak tepat.

    Depok bukan kota yang memiliki dampak paling berbahaya di dunia. Menurut penelitian berbasis data satelit NASA dan JAXA, Danau Maracaibo di Venezuela dikenal sebagai lokasi dengan aktivitas petir tertinggi di dunia dengan rata-rata 232,52 kilatan petir per kilometer persegi setiap tahunnya.

    “Ya kalau di Indonesia, petir terkuat dan mematikan itu ada di Sumatra di sekitar Selat Malaka,” jelas Prof Dr Erma Yulihastin Pakar Klimatologi dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kepada detikINET.

    Daerah dengan petir terkuat dan mematikan itu ada di area-area Indonesia dan Malaysia yang terletak di sekitar Selat Malaka. Di Indonesia, kota tersebut adalah Tenggulun.

    “Itu Tenggulun wilayah Sumatra Utara, ya. Masuk Aceh,” ujarnya menegaskan.

    Adapun penyebabnya adalah banyaknya awan badai (thunderstorm) yang terbentuk di sana. Interaksi antara laut dan daratnya kuat.

    Dari data Bulletin of the American Meteorological Society (BAMS), flash rate density (FRD) atau jumlah sambaran/kilatan petir per area spasial tertinggi dimiliki oleh Danau Maracaibo di Venezuela dengan 232,52. Kedua, ada di Republik Demokrasi Kongo yakni Kabare dengan FRD 205,31.

    Meski petir paling sangar ada di Venezuela, Afrika adalah negara yang punya frekuensi petir paling banyak di dunia, jumlahnya mencapai 283 tempat dari 500 yang ada di daftar. Asia mengikuti di posisi kedua dengan 87 lokasi, Amerika Selatan dengan 67 lokasi, Amerika Utara menyumbang 53 wilayah, dan Oceania dengan 10 lokasi.

    Dari data Bulletin of the American Meteorological Society (BAMS), flash rate density (FRD) atau jumlah sambaran/kilatan petir per area spasial tertinggi dimiliki oleh Danau Maracaibo di Venezuela dengan 232,52. Kedua, ada di Republik Demokrasi Kongo yakni Kabare dengan FRD 205,31. Foto: BAMS

    Lalu, di mana posisi Tenggulun? Tenggulun berada di peringkat ke-50 dengan FRD 94,64. Malaysia menempati posisi ke-42 (Paka), ke-45 (Kota Tinggi), dan ke-52 (Kuala Lumpur).

    “Tempat-tempat dengan FRD sangat tinggi (lebih tinggi dari 50 fl km-2 tahun-1) sebagian besar terletak di cekungan Kongo; wilayah pesisir Kuba, Arab Saudi, dan Yaman; dan dekat beberapa kawasan pegunungan, seperti Andes, Pegunungan Sierra Madre (di pantai barat dari Meksiko utara hingga Guatemala), dataran tinggi barat garis Kamerun, pegunungan Mitumba, Himalaya, dan pegunungan di Indonesia juga Papua Nugini. Di wilayah medan yang kompleks inilah sebagian besar titik petir berada,” jelas BAMS.

    Posisi Tenggulun. Foto: BAMS

    (ask/ask)

  • Tanda Kiamat, Asap Mengepul Tiba-tiba Muncul di Antartika

    Tanda Kiamat, Asap Mengepul Tiba-tiba Muncul di Antartika

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ada fenomena berbeda di Antartika. Beberapa saat lalu, NASA melaporkan wilayah berlapis es tersebut mengeluarkan asap.

    Laporan itu berasal dari gambar yang diambil satelit Landsat 8 milik Survei Geologi AS pada 10 Oktober 2024. Tampak Sea Smoke atau Asap Laut di bagian atas gletser Pine Island.

    Ahli Glasiologi di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, Christopher Shuman, menjelaskan gambar yang diambil satelit menggambarkan kekuatan angin. Ternyata Sea Smoke itu merupakan fenomena kabut karena adanya uap yang naik.

    Terdapat perbedaan suhu saat peristiwa ini terjadi. Saat itu udara dingin melintas di atas air yang hangat di tepi gletser dan membentuk asap.

    Angin akan mendorong air dan es laut menjauh dan akan membuat air yang hangat menggantikannya, dikutip dari USA Today, Selasa (19/11/2024).

    USA Today menuliskan fenomena angin bisa membantu ilmuwan memahami perubahan iklim Antartika. Khususnya yang terjadi di wilayah gletser Pine Island.

    Sementara itu, Pine merupakan salah satu jalur utama es dari lapisan es Antartika barat ke laut Amundsen. Gletser Pine juga jadi salah satu yang cepat mencair di Antartika.

    Pine mengandung banyak cukup es untuk membuat permukaan laut global naik. Kenaikannya bisa mencapai empat kaki atau sekitar 121 cm.

    Banyak es yang telah mencair di glester Pine selama tiga dekade terakhir. Termasuk gunung es berukuran dua kali lipat Washington DC pada 2020 lalu.

    (fab/fab)

  • Jangan Lewatkan Fenomena Parade Planet, Ini Tanggalnya

    Jangan Lewatkan Fenomena Parade Planet, Ini Tanggalnya

    Bisnis.com, JAKARTA – Tahun 2025 akan dibuka dengan penampakan legit dari langit malam yang bisa disaksikan pada belahan negara manapun. Parade 6 planet akan terjadi hanya beberapa minggu setelah memasuki tahun baru yaitu pada  21 Januari 2025.

    Untuk Anda yang belum tahu parade planet adalah ketika beberapa planet tata surya kita terlihat di langit malam pada saat yang bersamaan.

    Planet Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Neptunus, dan Uranus akan terlihat selama sekitar empat minggu setelahnya. Untuk planet Mars, Venus, Jupiter, dan Saturnus dapat dilihat dengan mata telanjang. Sementara itu Neptunus dan Uranus dapat dilihat dengan beberapa perangkat berkemampuan tinggi.

    Kapan Waktu Untuk Menyaksikan Parade Planet Apakah Terlihat di Indonesia?

    Parade planet diperkirakan akan terlihat di hampir semua lokasi, tidak hanya di AS tetapi juga di Meksiko, Kanada dan India karena tontonan itu akan tetap berada di langit selama berminggu-minggu. Waktu yang paling tepat untuk menyaksikan parade ini adalah saat terbenamnya matahari pukul 18.30 WIB.

    Anda mungkin masih bisa menangkap Venus, Saturnus, dan Neptunus di cakrawala setelah itu, tetapi ketiga planet akan berada di bawah cakrawala pada pukul 23:30 WIB. Setelah itu, Mars, Jupiter, dan Uranus akan tetap terlihat selama beberapa jam lagi dengan Mars akhirnya terbenam tepat sebelum matahari terbit.

    Tidak seperti parade sebelumnya, yang satu ini akan berlangsung cukup lama karena planet-planet berada di tempat yang menguntungkan di langit. Anda harus dapat melihat keenam planet setiap malam hingga minggu terakhir bulan Februari.

    Setelah itu, parade tujuh planet akan dimulai saat Merkurius bergabung dengan yang lain di langit selama beberapa hari. Hal ini mengubahnya menjadi parade tujuh planet di tata surya kita. Dilansir dari  Wionews Senin, (18/11/24) tampaknya sulit melihat semuanya sebab Saturnus, Merkurius, dan Neptunus cukup dekat dengan matahari tepat saat matahari terbenam. 

    Secara umum, waktu terbaik untuk melihat parade planet adalah setelah 21 Januari 2025, dan sebelum 21 Februari 2025. Waktu terbaik adalah minggu 29 Januari selama bulan baru. Bulan baru ini akan mengurangi polusi cahaya di langit dan membuat Neptunus, Uranus, dan Saturnus lebih mudah dikenali.

    Sebagai catatan setelah gelap, anda hanya memiliki beberapa jam untuk melihatnya sebelum Venus, Saturnus, dan Neptunus turun di bawah cakrawala untuk malam hari. Ini berlaku dimanapun lokasinya, jadi di mana pun Anda berada, semuanya terjadi pada waktu yang hampir bersamaan.

    Selama beberapa hari terakhir bulan Februari, Merkurius akan muncul dan parade akan meningkat menjadi tujuh planet. Ini akan paling baik dilihat tepat saat matahari terbenam dan akan lebih sulit dilihat saat matahari masih di cakrawala.

    Bagaimana menemukan planet-planet di langit?

    Mengingat bahwa Neptunus dan Uranus sangat sulit ditemukan dipasangkan dengan fakta kedua planet ini saling bersebelahan satu sama lain, mungkin ada beberapa kesulitan dalam menemukannya di langit. 

    Untuk itu, terdapat beberapa alat bagus yang tersedia seperti situs web Stellarium, bersama dengan peta Langit malam, waktu dan tanggal. Hal tersebut akan akan memberi anda gambaran yang baik tentang di mana setiap planet mendapatkan posisinya . Selain itu, Star Walk 2 juga merupakan aplikasi yang dapat dipasangkan pada Android dan iOS dengan fungsi yang sama. 

    Apa itu parade planet?

    Parade planet adalah istilah sehari-hari yang berlaku ketika empat atau lebih planet berbaris di langit malam sekaligus. Ini bukan istilah astronomi resmi sehingga jarang mendengar para astronom menggunakannya. Namun, NASA telah diketahui menyebut fenomena tersebut sebagai parade planet.

  • Tanda Terbaru Kiamat Sudah Dekat, 5 Kali Danau Toba Lenyap

    Tanda Terbaru Kiamat Sudah Dekat, 5 Kali Danau Toba Lenyap

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sekelompok peneliti menemukan bukti “kiamat” iklim Bumi sudah makin dekat. Tanda krisis kehidupan di Bumi tampak dari satelit milik NASA dan Jerman.

    Lewat laporan penelitian yang dipublikasikan di Surveys in Geophysics, sekelompok peneliti mengamati anjloknya persediaan air bersih di Bumi sejak Mei 2014. Menurut mereka, data tersebut adalah indikasi Bumi memasuki “era baru” yang lebih kering.

    Pengamatan satelit menggambarkan bahwa rata-rata volume air tawar yang tersimpan di daratan sepanjang 2015-2023 menyusut hingga 1.200 kubik km dibanding periode 2002-2014. Data tersebut mencakup air tawar yang terlihat di permukaan seperti danau dan sungai serta air di bawah tanah.

    “Itu setara dengan 2,5 kali volume Danau Erie,” kata Matthew Rodell, salah seorang penulis laporan penelitian dan ahli hidrologi NASA. Volume Danau Erie diperkirakan mencapai 480 kilometer kubik atau dua kali lipat volume air di Danau Toba yang diperkirakan mencapai 240 kilometer kubik. Artinya, volume air tawar yang “lenyap” dari Bumi setara 5 kali isi Danau Toba.

    Iklim kering beserta pembangunan sistem irigasi dan pengairan yang mengandalkan air tanah, berdampak kepada penurunan suplai air yang tidak bisa tergantikan oleh hujan dan salju yang mencair.

    Berdasarkan laporan PBB yang diterbitkan pada 2024, penurunan volume air tawar berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik kekerasan, kemiskinan, hingga penyakit karena membuat penduduk terpaksa mengonsumsi air dari sumber yang terkontaminasi.

    Data “lenyapnya” air tawar di Bumi dikumpulkan peneliti lewat observasi menggunakan satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang dikelola bersama oleh German Aerospace Center, German Research Centre for Geosciences, dan NASA. GRACE mengukur fluktuasi gravitasi Bumi setiap bulan dengan memantau perubahan massa air di atas dan bawah permukaan Bumi.

    Penurunan volume air tawar dimulai dengan kekeringan luas di wilayah Brasil bagian utara dan tengah, diikuti oleh kekeringan di wilayah Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika.

    Pada saat yang bersamaan, kenaikan suhu air laut di wilayah Pasifik antara 2014-2016 menimbulkan peristiwa El Nino paling berdampak sejak 1950-an sehingga mengubah pola pergerakan angin, cuaca, dan hujan di seluruh dunia.

    Parahnya, setelah dampak “kering” dari El Nino mulai reda, volume air tawar secara global tidak pulih. Rodell dan tim melaporkan bahwa 13 dari 30 kekeringan yang tercatat oleh GRACE terjadi pada periode setelah Januari 2015.

    Para peneliti memperkirakan penyusutan persediaan air secara ekstrem ini disebabkan oleh “kiamat” pemanasan global.

    Michael Bosilovich dari NASA menyatakan bahwa pemanasan global menyebabkan atmosfer menahan uap air lebih banyak dan lebih lama sehingga menimbulkan curah hujan ekstrem. Artinya, jarak antara hujan makin panjang tetapi dengan volume yang lebih tinggi.

    Periode panjang antara hujan yang intens ini membuat tanah mengering dan lebih padat. Hasilnya, kemampuan tanah menyerap air hujan turun.

    “Permasalahannya dengan curah hujan ekstrem, air menjadi meluber dan bukan terserap sehingga mengisi ulang cadangan air tanah,” kata Bosilovich.

    Ia mengatakan bahwa level air tawar tetap rendah sepanjang El Nino 2014-2016 pada saat air “terperangkap” di atmosfer.

    “Suhu yang lebih hangat meningkatkan penguapan air dari permukaan dan kemampuan atmosfer ‘menahan’ air, sehingga frekuensi dan intensitas cuaca kering meningkat,” kata Bosilovich.

    (dem/dem)