Kementrian Lembaga: NASA

  • Siap Bikin Sejarah! Pesawat NASA Dekati Matahari-Tahan Suhu Neraka

    Siap Bikin Sejarah! Pesawat NASA Dekati Matahari-Tahan Suhu Neraka

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pesawat ruang angkasa milik NASA yakni Parker Solar Probe diharapkan akan membuat sejarah pada hari Selasa dengan terbang ke atmosfer terluar matahari yang disebut korona. Ini adalah misi untuk membantu para ilmuwan mempelajari lebih lanjut tentang bintang terdekat Bumi.

    “Tidak ada objek buatan manusia yang pernah melintas sedekat ini dengan bintang, jadi Parker benar-benar akan mengembalikan data dari wilayah yang belum dipetakan,” kata Nick Pinkine, manajer operasi misi di Laboratorium Fisika Terapan Johns Hopkins, dalam blog NASA.

    Parker sedang dalam perjalanan untuk terbang sejauh 3,8 juta mil (6,1 juta km) dari permukaan matahari pada pukul 6:53 pagi EST (1153 GMT). Karena pesawat antariksa itu tidak dapat dihubungi, operator misi baru akan mengonfirmasi kondisinya pada hari Jumat setelah terbang dekat.

    Foto: Konsep artistik tahun 2018 menunjukkan wahana antariksa Parker Solar Probe terbang ke atmosfer luar Matahari, yang disebut korona, dalam misi untuk membantu para ilmuwan mempelajari lebih lanjut tentang Matahari. (via REUTERS/NASA/Johns Hopkins APL/Steve Gri)
    Konsep artistik tahun 2018 menunjukkan wahana antariksa Parker Solar Probe terbang ke atmosfer luar Matahari, yang disebut korona, dalam misi untuk membantu para ilmuwan mempelajari lebih lanjut tentang Matahari. (via REUTERS/NASA/Johns Hopkins APL/Steve Gri)

    Dengan kecepatan hingga 430.000 mph (692.000 kph), pesawat antariksa itu akan bertahan pada suhu hingga 1.800 derajat Fahrenheit (982 derajat Celsius), kata NASA di situs webnya.

    Ketika pesawat antariksa pertama kali memasuki atmosfer matahari pada tahun 2021, pesawat tersebut menemukan detail baru tentang batas atmosfer matahari dan mengumpulkan gambar jarak dekat pita koronal, struktur seperti puncak yang terlihat selama gerhana matahari.

    Sejak pesawat antariksa diluncurkan pada tahun 2018, pesawat antariksa tersebut secara bertahap mengorbit mendekati matahari, menggunakan lintasan terbang lintas Venus untuk menariknya secara gravitasi ke orbit yang lebih dekat dengan matahari.

    Salah satu instrumen di pesawat ruang angkasa itu menangkap cahaya tampak dari Venus, memberi para ilmuwan cara baru untuk melihat menembus awan tebal planet itu hingga ke permukaan di bawahnya, kata NASA.

    (fys/wur)

  • Pesawat Parker Solar Probe Siap Masuki Atmosfer Matahari

    Pesawat Parker Solar Probe Siap Masuki Atmosfer Matahari

    Jakarta, CNN Indonesia

    NASA’s Parker Solar Probe siap mencetak sejarah baru dengan terbang memasuki atmosfer terluar matahari yang disebut korona pada Selasa (24/12).

    Pesawat luar angkasa ini akan mencapai jarak 6,1 juta km dari permukaan matahari pada pukul 11:53 GMT, dengan kecepatan mencapai 692 ribu km/jam dan suhu ekstrem hingga 982 derajat Celsius.

    Sejak diluncurkan pada 2018, Parker menggunakan gravitasi Venus untuk mendekatkan orbitnya ke matahari.

    Pada misi sebelumnya, Parker berhasil mengungkap detail baru tentang batas atmosfer matahari dan menangkap gambar koronal yang menakjubkan.

    Misi ini memberikan wawasan penting bagi para ilmuwan untuk memahami lebih dalam tentang matahari.

    Data terbaru dari Parker diperkirakan akan diterima pada Jumat (27/12).

  • Tanda Kiamat Sudah Dekat Makin Nyata, Dapat Dilihat Jelas dari Daun

    Tanda Kiamat Sudah Dekat Makin Nyata, Dapat Dilihat Jelas dari Daun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tanda-tanda ‘kiamat’ semakin dekat kian terlihat, salah satunya bisa dilihat dari tanda-tanda daun akibat pemanasan bumi.

    Saat ini, hutan-hutan sudah menunjukkan tanda pemanasan global yang semakin parah yang bahkan bisa membuat manusia sesak. Padahal, hutan menjadi paru-paru Bumi, karena pohon yang menjalankan fotosintesis menyerap karbon dioksida dan melepas oksigen ke atmosfer.

    Pohon di hutan biasa terpapar sinar matahari dan menyerap air dengan akarnya. Namun, karena matahari terlalu terik membuat temperatur terlampau panas, sehingga bisa membuat proses fotosintesis berhenti.

    Sebuah penelitian yakni oleh Gregory Goldsmith dari Chapman University, California beserta tim, membuktikan bahwa ada beberapa bagian hutan tropis yang mendekati batas temperatur sehingga mengganggu proses fotosintesis.

    “Studi menunjukkan bahwa dedaunan di hutan tropis di tempat dan waktu tertentu telah menembus batas temperatur kritis,” kata Goldsmith.

    Pohon di hutan tropis, bisa menjalankan proses fotosintesis di suhu hingga 46,7 derajat Celcius. Tapi peneliti itu menjelaskan bahwa kemampuan spesies berbeda bergantung kepada populasi hutan, jumlah daun di pohon, dan kanopi.

    Oleh karena itu, tim dari Northern Arizona University menggunakan data dari sensor ECOSTRESS NASA untuk mengukur temperatur permukaan Bumi, untuk mencari tahu dedaunan di hutan tropis yang “kepanasan” hingga tidak bisa berfotosintesis.

    Dari data yang dikumpulkan dari pantauan satelit pada periode 2018-2020 tersebut kemudian divalidasi dengan sensor di permukaan yang ditempatkan di pucuk pohon lima hutan di Brasil, Puerto Rico, Panama, dan Australia.

    Analisis menemukan bahwa temperatur di kanopi hutan memuncak di suhu 34 derajat Celcius pada musim kering, meskipun sebagian daun mencapai suhu 40 derajat Celcius. Sebagian kecil daun, yaitu 0,01 persen dari sampel melampaui temperatur krisis (46,7 derajat Celcius) paling tidak sekali sepanjang musim kering.

    “Meskipun masih jarang, temperatur ekstrem bisa berdampak bencana kepada fisiologi daun. Bisa digolongkan sebagai peristiwa berdampak luar biasa dengan probabilitas rendah,” tulis laporan penelitian itu.

    Menurut laporan ScienceAlert, pohon menutup pori-pori di daunnya yang dinamakan stomata, untuk menghemat air setiap suhu terlalu panas.

    Penutupan stomata ini membuat daun berpotensi rusak karena tidak bisa “mendinginkan diri” lewat proses transpirasi. Pada periode kering, saat tanah mengeras, dampak suku panas bisa makin parah.

    “Percaya atau tidak, kita tidak tahu banyak soal alasan pohon mati,” kata Goldsmith. Pemahaman sains soal efek panas dan kekeringan, air dan temperatur, terhadap tanaman, masih sangat sedikit.

    Kemudian, tim peneliti menggunakan data yang mereka punya untuk menjalankan simulasi untuk memahami respons hutan tropis terhadap kenaikan temperatur dan kekeringan yang makin sering terjadi.

    Simulasi menunjukkan bahwa 1,4 persen dari pucuk kanopi hutan bisa berhenti berfotosintesis dalam beberapa waktu kedepan sebagai dampak dari pemanasan global.

    Jika pemanasan global melewati 3,9 derajat Celcius, seluruh hutan bisa tidak tahan. Daun bakal kering dan pohon di seluruh hutan mati satu demi satu.

    Namun, peneliti menekankan bahwa perhitungan ini hanya probabilitas. Bisa saja, dampak parah terjadi pada temperatur yang berbeda. Oleh karena itu, sangat penting untuk menekan emisi dan mencegah deforestasi untuk melindungi hutan tropis.

    (fsd/fsd)

  • Pesawat Antariksa NASA akan Catat Sejarah: Jaraknya Terdekat dengan Matahari! – Page 3

    Pesawat Antariksa NASA akan Catat Sejarah: Jaraknya Terdekat dengan Matahari! – Page 3

    Bahkan, pesawat ini mampu bergerak lebih cepat daripada objek buatan manusia mana pun. Kecepatannya 430.000 mph atau setara dengan terbang dari London ke New York dalam waktu kurang dari 30 detik.

    Para ilmuwan berharap, ketika pesawat antariksa ini melewati atmosfer luar Matahari atau korona, ia mampu memecahkan misteri yang sudah lama jadi pertanyaan banyak ilmuwan.

    Astronom di Fifth Star Labs, Jennifer Millard, mengatakan, korona memiliki suhu yang sangat panas dan hingga kini belum diketahui apa penyebabnya.

    “Permukaan Matahari bersuhu 6.000 derajat Celcius atau lebih, namun korona, yang bisa dilihat selama gerhana matahari memiliki panas mencapai jutaan derajat dan itu lebih jauh dari Matahari,” katanya.

     

  • Geger NASA Temukan Lubang Hitam Terbalik

    Geger NASA Temukan Lubang Hitam Terbalik

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah lubang hitam ditemukan dengan aktivitas tidak biasa. Pusat Penelitian Ames NASA menemukan NGC 5084 bergerak terbalik dari galaksi induknya.

    Sebagai informasi, kebanyakan lubang hitam akan berputar bersama galaksi tempatnya tinggal.

    Sebenarnya NGC 5084 sudah ditemukan berabad-abad lalu oleh seorang astronom asal Jerman, William Herschel. Namun baru tahun ini diketahui pergerakan tidak biasa dari lubang hitam tersebut.

    NASA menggunakan metode bernama Saunas atau Selective Amplification of Ultra Noisy Astronomical Signal. Ini akan memperlihatkan emisi sinar X dengan kecerahan rendah, yang sebelumnya tidak terlihat karena adanya sumber radiasi lain.

    Para peneliti mulai melakukan penelitian dengan melakukan metode ini pada data arsip lama yang tersimpan di observatorium Chandra X-ray. Dari sana terungkap hal tidak biasa dilakukan NGC 5084.

    Total metode itu memperlihatkan empat semburan sinar X besar dari lubang hitam itu. Aliran plasma memanjang keluar dari galaksi, dua diantaranya sejajar dengan bidang galaksi sementara sisanya ke bagian atas dan bawah, dikutip dari Universe Today, Senin (23/12/2024).

    Tampilan ini tidak biasa. Sebab menemukan empat semburan sinar X dan adanya semburan sejajar dengan galaksi.

    Mereka juga mencoba melihat dari data lain dengan menamatkan lebih dekat gambar galaksi lain. Termasuk dari teleskop Hubble serta Atacama Large Milimeter Array (ALMA).

    Selain itu, para peneliti menemukan gambaran inti galaksi yang aneh setelah mengamatinya menggunakan Expanded Very Large Array milik NRAO.

    Rekan penulis yang merupakan astrofisikawan, Pamela Marcum juga menjelaskan temuan dua pasang semburan dalam satu galaksi adalah hal luar biasa. Mereka menemukan wawasan soal sejarah galaksi dari kombinasi tidak biasa yang mereka temui.

    (fab/fab)

  • Cahaya Aneh Muncul di Bulan, Tertangkap Kamera Astronom Jepang

    Cahaya Aneh Muncul di Bulan, Tertangkap Kamera Astronom Jepang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Belum lama ini, seorang astronom asal Jepang menemukan saat objek misterius tengah menghujani Bulan. Salah satu kemungkinannya objek tersebut terkait dengan hujan meteor Geminid.

    Fenomena ini ditemukan oleh astronom dan kurator Museum Kota Hiratsuka Jepang, Daichi Fujii. Dia berhasil menangkap gambar tersebut pada 8 Desember 2024.

    “Meteor terang dan bola api muncul tiap hari namun kilatan cahaya Bulan juga ditangkap satu demi satu,” jelas Fujii dalam akun X.

    Dia menjelaskan menemukan cahaya bulan saat merekam dengan kamera 360 fps. Temuan itu dikonfirmasi dengan sejumlah teleskop lain.

    Sejumlah pakar mencoba menjawab objek apa yang tertangkap gambar itu. Robert Lunsford dari American Meteor Society mengatakan kemungkinan objek itu adalah Geminid atau sebuah meteor sporadis.

    “Mengingat posisi yang radian, kemungkinannya kilatan cahaya bulan terkait hujan meteor Geminid,” jelasnya kepada EarthSky, dikutip dari IFL Science, Kamis (19/12/2024).

    “Namun karena meteor sporadis lebih banyak dari Geminid dalam pengamatan berbasis darat, mungkin saja meteor sporadis,” imbuhnya.

    Sementara Serena Whitfield dalam blog NASA menjelaskan puing penyebab Geminid berasal dari asteroid bernama 3200 Phaethon. Setelah ditemukan 1983, para astronim menyadari orbitnya persis dengan Geminid.

    “Ini menunjukan Pahethon merupakan sumber hujan meteor tahunan. Meski sebagian besar hujan meteor berasal dari komet, Phaethon masuk dalam klasifikasi sebagai asteroid dekat Bumi dan bukan komet,” kata Whitfield.

    [Gambas:Twitter]

    (dem/dem)

  • NASA Peringatkan Asteroid Raksasa 2024 XN1 Melintas Dekat Bumi pada Malam Natal

    NASA Peringatkan Asteroid Raksasa 2024 XN1 Melintas Dekat Bumi pada Malam Natal

    JAKARTA – Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengeluarkan peringatan terkait asteroid raksasa bernama 2024 XN1 yang akan melintas dekat Bumi pada Malam Natal, 24 Desember 2024. Dengan ukuran setara gedung 10 lantai, asteroid ini akan bergerak dengan kecepatan mencapai 23.000 km/jam, menurut panel Asteroid Watch NASA.

    Asteroid ini diprediksi melintas pada jarak 7,21 juta kilometer dari Bumi—sekitar 18 kali jarak antara Bumi dan Bulan. Meskipun tergolong pendekatan dekat dalam istilah astronomi, para ahli menegaskan bahwa asteroid tersebut tidak membawa risiko tabrakan dengan Bumi.

    Jess Lee, astronom dari Royal Observatory Greenwich, menjelaskan bahwa lintasan asteroid ini sudah diprediksi dengan akurat. “Asteroid ini memiliki diameter sekitar 29 hingga 70 meter. Jika, secara hipotetis, asteroid ini menghantam Bumi, energinya setara dengan 12 juta ton TNT, mampu menghancurkan area hingga 2.000 kilometer persegi,” ungkap Lee.

    Asteroid 2024 XN1 baru terdeteksi pada 12 Desember 2024 oleh NASA dan Badan Antariksa Eropa (ESA). Setelah menghitung orbitnya, para ilmuwan mengategorikan objek ini sebagai pendekatan dekat, namun dengan jarak aman. ESA menegaskan bahwa asteroid ini tidak termasuk dalam daftar objek yang berpotensi membahayakan Bumi.

    “Lintasan asteroid telah dikalkulasikan secara rinci, dan tidak ada potensi bahaya bagi planet kita,” kata perwakilan ESA.

    Asteroid 2024 XN1 tidak akan terlihat bahkan oleh astronom amatir dengan teleskop biasa. Jess Lee membandingkan kemungkinan dampaknya dengan peristiwa Tunguska di Rusia pada 1908, ketika sebuah asteroid berukuran serupa meledak di atmosfer, meratakan 80 juta pohon dengan kekuatan setara 3 hingga 30 megaton TNT.

    Setelah melintas pada Malam Natal tahun ini, asteroid raksasa 2024 XN1 tidak akan mendekati Bumi lagi hingga Januari 2032.

    Para ahli mengingatkan masyarakat untuk tetap tenang karena tidak ada ancaman langsung dari asteroid ini. Peristiwa ini justru menjadi kesempatan bagi para astronom untuk mempelajari lebih lanjut tentang objek-objek dekat Bumi (NEO) demi meningkatkan kesiapan menghadapi potensi ancaman di masa depan.

  • Video: Astronaut NASA Kembali Tunda Kepulangan ke Bumi, Kenapa Ya?

    Video: Astronaut NASA Kembali Tunda Kepulangan ke Bumi, Kenapa Ya?

    Video: Astronaut NASA Kembali Tunda Kepulangan ke Bumi, Kenapa Ya?

  • Fisikawan Ungkap Waktu di Bulan Berjalan Lebih Cepat dari Bumi

    Fisikawan Ungkap Waktu di Bulan Berjalan Lebih Cepat dari Bumi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Para fisikawan berhasil mengungkap ternyata waktu di Bulan berjalan lebih cepat dibandingkan di Bumi. Simak penjelasannya.

    Pada April 2024, Gedung Putih menantang para ilmuwan untuk menciptakan standar waktu Bulan. Tantangan ini bukan sekedar menanyakan “Jam berapa sekarang di Bulan?” melainkan, “Seberapa cepat waktu berlalu di Bulan?”

    Pertanyaan ini penting karena perbedaan gravitasi dan kecepatan relatif Bulan dibandingkan Bumi memengaruhi bagaimana waktu dirasakan di kedua tempat tersebut.

    Menurut fisikawan teoritis Bijunath Patla dari National Institute of Standards and Technology (NIST), gravitasi yang lebih rendah di Bulan menyebabkan jam di sana bergerak lebih cepat dibandingkan dengan di Bumi.

    “Jika kita berada di Bulan, jam akan berdetak secara berbeda [dibandingkan di Bumi],” kata Patla, melansir Live Science, Senin (2/12).

    Menurut mereka gerakan relatif Bulan terhadap Bumi juga membuat jam di Bulan berjalan lebih lambat. Dua efek ini bersaing satu sama lain, tetapi hasil akhirnya adalah adanya perbedaan waktu sebesar 56 mikrodetik per hari atau 0,000056 detik.

    “Jadi ini adalah dua efek yang saling bersaing, dan hasil akhirnya adalah pergeseran 56 mikrodetik per hari,” tulis Patla.

    Patla berkolaborasi dengan rekannya di NIST, Neil Ashby, merumuskan temuan ini menggunakan teori relativitas umum Albert Einstein dan temuan mereka diterbitkan di Astronomical Journal.

    Walaupun perbedaan 5 mikrodetik terdengar kecil, implikasinya sangat besar terutama dalam misi luar angkasa yang membutuhkan akurasi tinggi, seperti komunikasi dan navigasi antara Bumi dan Bulan.

    Perbedaan waktu ini menjadi krusial untuk memastikan keselamatan navigasi di lingkungan Bulan, terutama dengan banyaknya aktivitas yang direncanakan di masa depan.

    Dampak perbedaan waktu

    Cheryl Gramling, seorang insinyur sistem di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, menjelaskan bahwa navigasi modern bergantung pada sinkronisasi jam dengan menggunakan gelombang radio.

    Dengan kecepatan cahaya, selisih 56 mikrodetik dapat menghasilkan kesalahan navigasi hingga 17 kilometer per hari, yang sangat tidak dapat diterima dalam misi Artemis yang membutuhkan akurasi posisi hingga 10 meter.

    “Hal yang paling mendasar adalah keselamatan navigasi dalam konteks ekosistem bulan ketika ada lebih banyak aktivitas di Bulan daripada yang ada saat ini,” kata Gramling.

    Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa waktu tidak bersifat absolut. Jam di permukaan Bumi berdetak lebih lambat dibandingkan dengan di orbit karena pengaruh gravitasi. Hal ini telah diimplementasikan dalam sistem navigasi GPS, yang perlu memperhitungkan efek gravitasi agar tetap akurat.

    Namun, menentukan perbedaan waktu antara Bumi dan Bulan memberi kompleksitas baru. Selain gravitasi Bulan, pengaruh gravitasi Bumi juga berperan,bersama dengan gerakan rotasi masing-masing benda dan orbit Bulan terhadap Bumi.

    Untuk mengatasi tantangan ini, Patla dan Ashby menggunakan kerangka referensi yang menganggap sistem Bumi-Bulan bergerak di bawah pengaruh gravitasi Matahari.

    Selain itu, penelitian ini juga memperhitungkan Lagrange points atau posisi stabil di orbit antara Bumi dan Bulan. Dengan analisis ini, para ilmuwan berharap dapat menciptakan sistem waktu standar yang akan memudahkan koordinasi internasional di Bulan.

    Fisikawan Sergei Kopeikin dari University of Missouri dan astroom George Kaplan dari Observatorium Angkatan Laut AS juga melakukan perhitungan independen yang mendukung perbedaan waktu 56 mikrodetik tersebut.

    Mereka menemukan bahwa variansi kecil akibat gaya pasang surut dari Matahari dan Jupiter juga mempengaruhi waktu pada skala nanodetik. Hal ini penting untuk mencapai akurasi navigasi hingga skala 10 meter atau lebih baik.

    Meskipun populasi manusia dan robot di Bulan masih jauh dari kenyataan, standar waktu lunar perlu disiapkan sejak dini. Penelitian yang ada telah memberikan landasan penting untuk membangun konsensus internasional di antara para ahli waktu global.

    “Komunitas [relativitas] telah memberikan layanan yang luar biasa kepada kita dengan menerbitkan semua karya ini,” kata Gramling.

    (wnu/dmi)

    [Gambas:Video CNN]

  • NASA Ungkap Fakta Baru, Bumi Tak Lagi Mengelilingi Matahari

    NASA Ungkap Fakta Baru, Bumi Tak Lagi Mengelilingi Matahari

    Jakarta, CNBC Indonesia – Bumi diketahui sebagai tempat kita berpijak mengorbit pada sebuah bintang yang bernama Matahari. Ternyata, secara teknis bukan seperti itu cara kerja Tata Surya.

    Terdapat hukum ketiga Kepler, yang menunjukkan bahwa bumi dan planet-planet disebutkan tidak mengelilingi Matahari. Hukum itu menjelaskan hubungan antar massa dua benda yang saling berputar dan menjadi penentu parameter orbit.

    Hal ini juga terjadi di Tata Surya, saat Matahari memiliki massa 1.048 kali massa Jupiter tetapi sebenarnya gravitasi bersifat dua arah.

    NASA menjelaskan terdapat istilah barycenter yakni saat kedua bintang dengan massa yang sangat berbeda berputar pada pusat massa yang sama. Ini tak bergantung pada ukuran setiap objek yang bergerak.

    “Gerak di sekitar barycenter dengan planet masif jadi salah satu metode untuk menemukan sistem planet dengan bintang-bintang jauh,” jelas NASA.

    Di Tata Surya, IFL Science menuliskan objek barycenter biasanya berada di dekat Matahari karena massa yang paling besar. Namun adanya pengaruh Jupiter dan Saturnus, objek tersebut jarang ada di dalam Matahari.

    Jadi Bumi tidak mengelilingi satu titik dalam Matahari, melainkan di bagian luarnya. Ini juga dikonfirmasi oleh astronom planet dan komunikator sains bernama James O’Donoghue.

    “Secara umum para planet mengorbit Matahari secara umum, namun secara teknis planet-planet tidak mengorbit Matahari karena gravitasi yang utamanya dari Jupiter, artinya planet mengorbit pada titik baru di luar angkasa,” ucapnya di akun X.

    Dia menambahkan jarang pusat massa tata surya sejajar dengan Matahari. Hal serupa juga terjadi pada planet dan satelit bulannya.

    Salah satu contohnya Bulan mengorbit tidak persis di titik pusat Bumi. Namun 5.000 kilometer dari pusat Bumi, dan ini terus berubah karena Bulan terus menjauhi Bumi.

    (pgr/pgr)