Kementrian Lembaga: NASA

  • Ahli Ungkap Jumlah Awan Kian Menyusut, Tanda Kiamat Makin Nyata

    Ahli Ungkap Jumlah Awan Kian Menyusut, Tanda Kiamat Makin Nyata

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jumlah awan menyusut 1,5% setiap dekade. Kondisi ini dapat memperparah efek pemanasan global akibat perubahan iklim. Penyusutan jumlah awan diketahui dari penelitian yang didasarkan pada data satelit NASA.

    Bumi saat ini menerima lebih banyak energi Matahari dibandingkan energi yang hilang. Selain itu, fenomena berkurangnya lapisan es mengurangi jumlah sinar Matahari yang dipantulkan Bumi dan meningkatkan jumlah sinar Matahari yang diserap.

    Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Agustus lalu, peneliti iklim di Goddard Institute for Space Studies NASA, George Tselioudis dan rekan penulisnya mengamati kumpulan data satelit yang mencakup dua periode waktu. Pertama dari tahun 1984 sampai 2018 dan yang kedua dari tahun 2000 sampai 2018.

    Salah satu perubahan signifikan yang mereka catat terjadi di zona konvergensi intertropis (ITCZ), alias wilayah bertekanan rendah di dekat khatulistiwa Bumi tempat bertemunya angin pasat timur laut dan tenggara.

    Biasanya, awan tebal terbentuk di bagian dunia ini ketika udara hangat naik dan digantikan oleh udara yang lebih dingin. Menurut hasil penelitian, zona tersebut telah menyempit, sehingga menghasilkan tutupan awan yang lebih rendah.

    Sebaliknya, zona kering subtropis telah meluas. Secara keseluruhan, perubahan ini telah menghasilkan tingkat cakupan awan global yang lebih rendah.

    Jumlah penyusutan awan bervariasi berdasarkan kumpulan data dan periode, tetapi tampaknya terjadi pada tingkat antara 0,72 persen dan 0,17 persen per dekade.

    “Saya yakin itu adalah bagian yang hilang. Ini adalah bagian yang hilang,” kata Tselioudis, merujuk pada hubungan antara pemanasan global dan cakupan awan yang lebih rendah, dikutip dari IF Science.

    Penelitian terbaru Tselioudis dkk meneliti data dari satelit Terra milik NASA selama 22 tahun terakhir.

    Penelitian ini tampaknya mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan menemukan bahwa cakupan awan turun sekitar 1,5 persen setiap dekade. Temuan ini menunjukkan bahwa tutupan awan menurun dan bahwa perubahan tersebut berkontribusi pada tingkat pemanasan yang lebih tinggi.

    “Meskipun tidak terlihat seperti angka yang signifikan, ini menunjukkan bahwa umpan balik awan yang tidak sesuai dengan grafik,” kata Bjorn Stevens, seorang ilmuwan iklim di Max Planck Institute for Meteorology

    Masih harus dilihat apakah tren ini akan terus berlanjut dan dampaknya terhadap tren pemanasan secara keseluruhan. Namun, hal ini menunjukkan betapa kompleksnya sistem iklim Bumi.

    Penelitian yang dilakukan pada Agustus ini dipublikasikan di jurnal Climate Dynamics, dan penelitian terbaru dipresentasikan di AGU24.

    (hsy/hsy)

  • Wahana NASA Ukir Rekor Jarak Terdekat dengan Matahari

    Wahana NASA Ukir Rekor Jarak Terdekat dengan Matahari

    Jakarta

    Parker Solar Probe adalah wahana antariksa NASA yang tengah mendekati Matahari. Pada 24 Desember, NASA mengungkap jika Parker berhasil menyelesaikan upaya pendekatan paling dekat dengan Matahari dan tetap dalam kondisi baik.

    Wahana ini merupakan objek buatan manusia yang paling dekat dengan bintang kita, di mana wahana tersebut diterpa suhu hingga 982 Celcius dan radiasi yang intens.

    “Jaraknya 6,1 juta kilometer dari permukaan Matahari. Wahana ini memecahkan semua rekor dan merupakan momen Yay, kita berhasil!,” cetus Dr Nicola Fox, kepala sains NASA yang dikutip detikINET dari BBC.

    Diluncurkan pada tahun 2018, Parker telah menghabiskan beberapa tahun terakhir menyelesaikan 21 orbit mengelilingi Matahari dan secara bertahap lintasannya kian mendekati bintang kita.

    Wahana ini berukuran seperti mobil kecil. Ia dirancang mengamati atmosfer atas Matahari, dikenal sebagai korona, dan membawa empat perangkat instrumen. Menurut NASA, wahana itu dilindungi dari lingkungan ekstrem oleh perisai komposit karbon, memungkinkannya bertahan pada suhu hingga 1.377 C.

    Wahana itu pertama kali “menyentuh” matahari tahun 2021, tapi pencapaian terbaru membawa wahana surya itu lebih dekat dari sebelumnya.

    “Studi jarak dekat Matahari memungkinkan wahana surya Parker melakukan pengukuran yang membantu para ilmuwan lebih memahami bagaimana material di wilayah ini memanas hingga jutaan derajat, melacak asal angin Matahari, dan menemukan bagaimana partikel-partikel energik dipercepat hingga mendekati kecepatan cahaya,” sebut NASA.

    Melaju 692.000km/jam, Parker tidak dapat dihubungi para ilmuwan kala pendekatan terdekatnya dengan matahari. Namun, para ilmuwan di Laboratorium Fisika Terapan Johns Hopkins (APL) di Maryland, AS, menerima sinyal dari wahana tersebut, menunjukkan bahwa Parker dalam keadaan baik dan beroperasi secara normal

    Parker diharapkan dapat menyelesaikan 24 orbit matahari selama periode tujuh tahun, yang berarti misi tersebut kini hampir berakhir. Wahana tersebut diberi nama berdasarkan mendiang Dr. Eugene N. Parker, yang pertama kali mengajukan teori angin matahari.

    Dr. Julia Stawarz dari Universitas Northumbria menyebut pendekatan terdekat Parker dengan Matahari sebagai pencapaian menakjubkan. “Pengukuran dari wahana antariksa Parker akan membantu kita menjawab beberapa pertanyaan paling mendasar tentang perilaku Matahari dan atmosfernya yang telah kita ketahui sejak awal era antariksa,” katanya.

    (fyk/fyk)

  • NASA Tak Sengaja Bunuh Alien Mars, Ini Kronologinya

    NASA Tak Sengaja Bunuh Alien Mars, Ini Kronologinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pada 1970-an, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) tak sengaja membunuh ‘alien’ di planet tetangga bumi. Hal itu disebut terjadi saat NASA sedang dalam misi mengirim dua pesawat ke Mars.

    Menurut peneliti Jerman Dirk Schulze-Makuch, dia menduga misi Viking 1 tanpa sengaja membunuh alien penghuni Mars lewat eksperimen mereka pada 1976.

    Ahli astrobiologi dari Technische Universität Berlin di Jerman itu mengungkapkan bahwa NASA pada saat itu tengah menggelar eksperimen mencampur air, nutrien, dan sampel tanah di Mars. Asumsi NASA, makhluk hidup di Mars sama dengan makhluk hidup di Bumi yaitu membutuhkan air untuk hidup.

    Menurutnya, makhluk hidup di Mars justru tewas akibat percobaan tersebut. Ia berpendapat kehidupan di Mars bergantung kepada garam seperti organisme di Bumi yang hidup di wilayah kering kerontang. Salah satu organisme yang hidupnya bergantung dari garam adalah mikroba di Padang Pasir Atacama di Cile.

    “Di lingkungan hyper-kering, kehidupan bisa mendapatkan ‘air’ dari garam yang menyerap kelembaban dari atmosfer. Garam ini seharusnya menjadi fokus pencarian makhluk hidup di Mars,” katanya, dikutip Sabtu (28/12/2024).

    Dia menyatakan misi Viking tanpa sengaja membunuh organisme yang mereka angkut dengan mencampurkan terlalu banyak air.

    “Jika cara pandang soal cara organisme hidup di kondisi kering Mars ini benar, artinya daripada menjalankan strategi ‘mencari air’ yang selama ini digunakan NASA, lebih baik kita mengikuti garam untuk mencari mikroba,” kata Schulze-Makuch.

    Ia mengusulkan menggunakan cairan garam yang pas sebagai habitat bakteri untuk “mengangkut” kehidupan dari Mars.

    Schulze-Makuch memberikan contoh hujan badai yang membunuh 70-80 persen bakteria di Padang Pasir Atacama karena organisme tersebut tak sanggup tersiram begitu banyak air dalam waktu singkat.

    “Hampir 50 tahun setelah eksperimen biologi Viking, saatnya untuk mencoba misi pencarian kehidupan baru, dengan pemahaman lebih baik soal ekosistem Mars,” kata Schulze-Makuch.

    (luc/luc)

  • Misi Berbahaya China ke Bulan dan Elon Musk ke Bali

    Misi Berbahaya China ke Bulan dan Elon Musk ke Bali

    Jakarta

    Mei 2024, China mengirimkan rover ke sisi terjauh Bulan. Misi ini sangat menantang dan berbahaya. Di Bulan ini juga, Indonesia kembali dikunjungi pesohor dunia teknologi dengan kedatangan Elon Musk.

    Internet satelit milik Elon Musk, Starlink, resmi beroperasi pada Mei 2024. Peresmian ini dihadiri langsung oleh Elon Musk di Bali yang saat itu sekaligus menghadiri World Water Forum ke-10.

    Selain itu, di bulan ini pula, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang sekarang berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melakukan uji publik aturan mengenai implementasi teknologi eSIM untuk mencegah penyalahgunaan. Berikut adalah rangkumannya.

    1 Mei 2024: Misi Berbahaya China ke Sisi Terjauh Bulan

    China mengirimkan rover atau wahana ruang angkasa robotik dalam beberapa hari mendatang dalam perjalanan bolak-balik ke sisi jauh Bulan. Foto: Dwingeloo Radio Telescope

    China mengirimkan rover atau wahana ruang angkasa robotik dalam beberapa hari mendatang dalam perjalanan bolak-balik ke sisi jauh Bulan.

    Ini adalah misi pertama dari tiga misi yang berisiko secara teknis, yang akan membuka jalan bagi pendaratan perdana awak China di Bulan, dan pendirian pangkalan di kutub selatan Bulan.

    Sejak misi Chang’e pertama pada tahun 2007, China telah membuat lompatan maju dalam eksplorasi Bulan, sehingga mempersempit jurang teknologi dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia.

    Rencana China ini rupanya membuat AS Dan NASA cemas. Administrator NASA, Bill Nelson, telah berulang kali memperingatkan bahwa China akan mengklaim sumber daya apa pun di Bulan sebagai miliknya. Sementara China menepis tudingan ini dengan mengatakan pihaknya tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan semua negara dalam membangun masa depan bersama.

    5 Mei 2024: Cegah Penyalahgunaan, Kominfo Uji Publik Aturan e-SIM

    Kementerian Kominfo melakukan uji publik aturan mengenai implementasi teknologi eSIM. Foto: Getty Images/Rudzhan Nagiev

    Meski seluruh operator seluler telah memperkenalkan teknologi Embedded Subscriber Identity Module (e-SIM), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang kini bernama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melakukan uji publik aturan mengenai implementasi teknologi eSIM.

    Tercatat operator seluler seperti Smartfren, Indosat Ooredoo Hutchison, XL Axiata, hingga Telkomsel sudah memperkenalkan layanan e-SIM kepada para pelanggannya.

    Melalui Direktorat Telekomunikasi, Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo menyusun Rancangan Peraturan Menteri tentang Pemanfaatan Teknologi Embedded Subscriber Identity Module oleh Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler dan Penyelenggara Jaringan Satelit.

    “Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan, mencegah penyalahgunaan, dan menjamin kepastian hukum pemanfaatan teknologi Embedded Subscriber Identity Module di Indonesia,” ujar Kominfo dalam siaran persnya.

    19 Mei 2024: Starlink Resmi Beroperasi di Indonesia

    Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET

    Internet satelit milik Elon Musk, Starlink akhirnya resmi beroperasi pada 19 Mei 2024. Peresmian ini dihadiri langsung oleh Elon Musk di Bali yang saat itu sekaligus menghadiri World Water Forum ke-10.

    Dengan resminya kehadiran Starlink di Tanah Air, Budi Arie Setiadi yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika berjanji akan mengawasinya.

    “Pada prinsipnya, saya mendukung penyelenggaraan telekomunikasi yang tunduk pada regulasi dan persaingan usaha yang sehat,” sebut Arie melalui pesan singkat yang diterima detikINET, Minggu (19/5).

    Berbagai kewajiban Starlink menjadi pertanyaan mengingat kehadirannya di Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Starlink memang jadi solusi akses internet di daerah terpencil. Namun di sisi lain, kehadirannya berpotensi mematikan pemain lokal jika tidak diatur dengan benar.

    20 Mei 2024: Elon Musk ke Bali Bicara di World Water Forum

    Selain meresmikan Starlink di Indonesia, kedatangan Elon Musk ke Bali pada Mei 2024 dalam rangka event internasional World Water Forum (WWF) 2024. Foto: Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden

    Kedatangan Elon Musk ke Bali pada Mei 2024 memiliki sejumlah agenda. Selain meresmikan Starlink di Indonesia, agenda utama CEO SpaceX, Tesla dan X itu adalah menjadi salah satu pembicara dalam event internasional World Water Forum (WWF) 2024 yang berlangsung pada 18-25 Mei 2024. Elon Musk menjadi pembicara pada 20 Mei 2024.

    Ia mengungkap alasan ia datang ke Indonesia dan mengikuti perhelatan World Water Forum (WWF) Ke-10 di Bali. “Saya pikir banyak topik penting yang bisa dibahas tentang air,” kata Elon Musk usai meresmikan layanan Starlink di Puskesmas Pembantu Sumerta Klod Denpasar, Minggu (19/5).

    Elon Musk yang hadir dengan kemeja endek berwarna hijau khas Bali itu mengatakan kehadirannya di World Water Forum sebab banyak hal yang belum ia ketahui tentang air. Sebelumnya dalam perhelatan internasional serupa yang diadakan di Bali, ia hanya bergabung secara virtual. Menurutnya, forum kali ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya hadir.

    Agenda lainnya adalah Elon Musk bertemu Presiden RI ke-7 Joko Widodo dan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang merupakan presiden terpilih berdasarkan hasil Pilpres 2024.

    Halaman 2 dari 5

    Simak Video “Starlink Disambut Baik, Kominfo Bakal Monitoring dan Evaluasi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (rns/afr)

  • Alasan Muslim Dilarang Merayakan Tahun Baru, Ada 10 Hal yang Bisa Merusak Iman

    Alasan Muslim Dilarang Merayakan Tahun Baru, Ada 10 Hal yang Bisa Merusak Iman

    JABAR EKSPRES – Banyak Umat Islam yang masih bingung, kenapa muslim dianjurkan untuk tidak ikut-ikutan merayakan tahun baru. Padahal diberbagai belahan dunia diwaktu yang sama banyak orang merayakannya dengan suka cita.

    Bagi muslim yang belum tahu alasannya, bisa mencari tahu dalam artikel ini, karena ada tulisan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang sangat jelas dalam memaparkan dampak buruk yang akan terjadi pada seorang muslim yang ikut-ikutan merayakan tahun baru tersebut.

    Larangan merayakan tahun baru, muncul karena sudah ada kajian mendalam tentang kerugian yang akan dialami kaum muslim, karena selain merusak iman seseorang juga bisa menciptakan banyak dosa bagi yang melakukannya.

    Berikut 10 kerusakan atau kerugian yang akan dialami seorang muslim yang nekad melakukan perayaan tahun baru.

    1. Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
    Perayaan (’ied) dalam Islam hanya ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, diluar dua perayaan tersebut, maka bukanlah perayaan bagi kaum muslimin.

    Baca juga : Naskah Khutbah Jumat Tentang Muslim yang Merayakan Tahun Baru Masehi

    Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits, Anas bin Malik mengatakan,

    كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

    Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.”[HR. An-Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

    2. Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
    Dilansir dari berbagai sumber, pertama kali ada perayaan tahun baru yakni pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi).

    Yakni setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM, dengan penanggalan berdasarkan revolusi matahari.

    Dan penghitungan tahun dimulai dari tanggal 1 Januari, dan sejak itulah rakyatnya merayakan malam tahun baru.

  • Wahana NASA Merapat ke Matahari, Catat Sejarah Jarak Terdekat

    Wahana NASA Merapat ke Matahari, Catat Sejarah Jarak Terdekat

    Jakarta, CNN Indonesia

    Wahana antariksa Parker Solar Probe terbang mendekati Matahari, Selasa (24/12), dengan jarak 6,1 juta kilometer dari permukaan Matahari. Capaian ini mencatatkan sejarah tersendiri bagi kemajuan umat manusia.

    Jarak tersebut merupakan yang terdekat yang pernah dicapai oleh manusia ke sebuah bintang.

    Wahana antariksa tanpa awak milik NASA ini diperkirakan terbang dengan kecepatan 692.000 kilometer per jam, kecepatan yang yang cukup untuk mencapai Tokyo dari Washington dalam waktu kurang dari satu menit.

    NASA menyebut flyby atau terbang lintas yang cepat akan menjadikan wahana ini sebagai objek buatan manusia tercepat dalam sejarah. Misi yang dilakukan Parker Solar Probe kini melakukan pencapaian bersejarah sejak diluncurkan pada 12 Agustus 2018.

    Wahana ini diambil dari nama penemunya, Dr. Eugene Parker yang merupakan seorang astrofisikawan yang memelopori bidang penelitian heliosfer.

    Parker adalah orang pertama yang memiliki wahana antariksa yang dinamai dengan namanya. Ahli astrofisika yang penelitiannya merevolusi pemahaman manusia tentang Matahari dan ruang antarplanet ini meninggal dunia pada usia 94 tahun di bulan Maret 2022.

    Sebelum meninggal, Parker masih dapat menyaksikan bagaimana wahana antariksa tersebut dapat membantu memecahkan misteri tentang Matahari, lebih dari 65 tahun setelah misi tersebut direncanakan.

    Dikutip dari CNN, wahana Parker Solar Probe menjadi wahana antariksa pertama yang “menyentuh Matahari” dengan berhasil terbang melintasi korona Matahari untuk mengambil sampel partikel dan medan magnet bintang tersebut pada Desember 2021.

    Selama enam tahun terakhir dari misi tujuh tahun wahana antariksa ini, Parker Solar Probe telah mengumpulkan data untuk memberikan pencerahan kepada para ilmuwan tentang beberapa misteri terbesar Matahari.

    Para ahli heliosfer telah lama bertanya-tanya bagaimana angin Matahari dihasilkan dan juga mengapa korona Matahari jauh lebih panas daripada permukaannya.

    Para ilmuwan juga ingin memahami bagaimana lontaran massa korona (CME), atau awan besar gas terionisasi yang disebut plasma dan medan magnet yang meletus dari atmosfer luar Matahari, disusun.

    Ketika lontaran ini mengarah ke Bumi, lontaran ini dapat menyebabkan badai geomagnetik yang dapat memengaruhi satelit serta infrastruktur listrik dan komunikasi di Bumi.

    Misi kali ini adalah salah satu terbang lintas terakhir Parker, yang dapat melengkapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut serta menyingkap misteri-misteri baru dengan menjelajahi wilayah Matahari yang belum dipetakan.

    “Parker Solar Probe mengubah bidang heliosfer,” kata Helene Winters, manajer proyek Parker Solar Probe dari Laboratorium Fisika Terapan Universitas Johns Hopkins.

    “Setelah bertahun-tahun menantang panas dan debu di bagian dalam tata surya, menerima ledakan energi Matahari dan radiasi yang belum pernah dilihat oleh pesawat ruang angkasa mana pun, Parker Solar Probe terus berkembang,” tambahnya.

    Penerbangan bersejarah ini merupakan satu dari tiga pendekatan Parker ke Matahari. Dua penerbangan lainnya dijadwalkan pada 22 Maret dan 19 Juni.

    (lom/dmi)

  • Penampakan Bumi dari Luar Angkasa Bikin Merinding di 2024

    Penampakan Bumi dari Luar Angkasa Bikin Merinding di 2024

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setiap tahunnya, Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) merilis foto-foto terbaik penampakan Bumi dari luar angkasa.

    Para astronaut mengelilingi planet Bumi setiap 90 menit dan mengambil foto-foto yang memperlihatkan kondisi planet kita. Mulai dari komet biru dan cahaya pink di belahan Bumi utara, semuanya tertangkap kamera sepanjang 2024.

    Berjarak 250 mil di atas permukaan Bumi, foto-foto itu memperlihatkan visual yang tak bisa dilihat langsung oleh kebanyakan orang. Dikutip dari ScienceAlert, setiap tahunnya ada ratusan foto yang dijepret oleh astronaut.

    “Bagaimana Anda tak mau mengambil gambar (luar angkasa) dan mencoba membagikannya ke umat manusia di Bumi?” kata astronaut NASA Matt Dominick dalam wawancara dengan ABC News Radio pada Agustus lalu.

    Di antara banyak gambar yang diambil, beberapa yang paling berkesan adalah penampakan aurora borealis dari luar angkasa. Tampak Bumi seperti mengeluarkan cahaya hijau, pink, dan jingga secara bersamaan.

    Foto: Gambar bumi paling menakjubkan dari luar angkasa. (Dok. NASA)
    Gambar bumi paling menakjubkan dari luar angkasa. (Dok. NASA)

    Selain itu, pada April lalu, tertangkap juga gambar bayangan Bulan yang menutupi banyak bagian di Amerika Serikat (AS) selama peristiwa Gerhana Matahari Total. Bagian yang tertutupi tampak gelap gulita di antara bagian Bumi lainnya.

    Foto: Gambar bumi paling menakjubkan dari luar angkasa. (Dok. NASA)
    Gambar bumi paling menakjubkan dari luar angkasa. (Dok. NASA)

    Ada juga penampakan atmosfer Bumi yang menampilkan warna cantik saat Matahari terbenam dan terbit.

    Dominick mengatakan meski foto-foto yang ditangkap menunjukkan visual yang indah dan menakjubkan, namun tak ada apa-apanya ketimbang tangkapan mata langsung para astronaut saat menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa tersebut.

    “Saya menghabiskan banyak waktu mencoba menangkap gambar seperti tangkapan mata saya. Namun, hingga kini hal itu belum bisa tercapai,” kata dia.

    Setiap tahun, para astronaut juga melihat penampakan bencana alam seperti badai dari sudut pandang atas (bird’s-eye view). Dari atas, terlihat jelas bagaimana Badai Helene dan Milton menghantam Bumi.

    Demikian beberapa tangkapan Bumi dari luar angkasa yang berhasil diabadikan para astronaut.

    (fab/fab)

  • Menakjubkan, Foto Menara Awan Menjulang di Kawasan Arab

    Menakjubkan, Foto Menara Awan Menjulang di Kawasan Arab

    Jakarta

    Foto menakjubkan yang diambil seorang astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan dirilis oleh NASA, memperlihatkan awan kumulus kongestus yang menjulang tinggi seperti menara, dengan latar belakang Semenanjung Arab.

    Gambar yang diambil saat ISS mengorbit di atas Asia Selatan ini merupakan contoh indah proses pembentukan awan. Di latar foto, terlihat negara Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain yang tampak sangat detail.

    Lokasi penting, seperti Doha dan Ras Laffan di Qatar, serta Al Hufūf dan Al Hasa Oasis yang subur di Arab Saudi, terlihat jelas di sepanjang garis pantai. Tekstur perkotaan dan nuansa alaminya menciptakan kontras mencolok dengan pembentukan awan alami.

    Awan kumulus kongestus itu menjulang secara dramatis di foto, menghasilkan bayangan gelap di atas lanskap di bawahnya. Awan itu memang muncul dalam berbagai macam bentuk dan ukuran. “Dilihat dari atas, cumulus congestus yang disinari Matahari lebih menyilaukan daripada jenis cumulus lain,” tulis International Cloud Atlas yang dikutip detikINET dari Newsweek.

    Awan ini terbentuk saat udara hangat dan lembap naik dengan cepat dalam kondisi atmosfer yang tidak stabil. Kehadiran awan cumulus yang lebih kecil di dekat dasarnya menunjukkan tahap awal potensi perkembangan cumulonimbus, yang dapat membawa curah hujan lebat atau badai petir.

    Formasi ini, yang sejajar dengan garis pantai, menunjukkan bahwa angin darat memainkan peran penting dalam pembentukannya. Saat udara yang dipanaskan di atas permukaan tanah mengalir ke daratan, udara tersebut naik dan mengembun, memulai proses pembentukan awan.

    Menambah daya tarik visual, kilauan cahaya Matahari muncul di atas perairan Teluk Persia di sudut kanan bawah gambar. Fenomena optik ini terjadi saat sinar Matahari terpantul langsung kembali ke pengamat, memperlihatkan pola berkilauan dan tekstur permukaan Teluk.

    Cakrawala di bagian atas gambar memisahkan atmosfer Bumi dari kegelapan luar angkasa yang luas, sebuah pengingat posisi ISS, yang pada titik ini berada sekitar 362 kilometer di atas. Foto tersebut diambil pada 19 September 2024 dan ditampilkan NASA Earth Observatory dl 21 Desember. Ia dijepret anggota Ekspedisi 71 di ISS.

    (fyk/rns)

  • Ada Salju dan Keajaiban Musim Dingin di Mars

    Ada Salju dan Keajaiban Musim Dingin di Mars

    Jakarta

    Perbukitan di wilayah Australe Scopuli di Mars, yang terletak dekat kutub selatan planet tersebut, diketahui tertutup es karbon dioksida. Kondisi ini membuat Planet Merah itu tampak bersalju seperti keajaiban musim dingin.

    Gambar menakjubkan ini diambil oleh High Resolution Stereo Camera (HRSC) buatan Jerman pada pengorbit Mars Express milik Badan Antariksa Eropa (ESA) pada Juni 2022, dan Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA menggunakan High-Resolution Imaging Science Experiment (HiRISE) pada September 2022.

    Dikutip dari Space.com, gambar-gambar ini menunjukkan pemandangan kabur di wilayah Mars Australe Scopuli, dekat kutub selatan planet ini. Namun, ‘salju’ yang terlihat di sini sangat berbeda dengan di Bumi.

    Faktanya, itu adalah es karbon dioksida, dan di kutub selatan Mars, terdapat lapisan es setebal 8 meter sepanjang tahun.

    Di lembah es di wilayah Australe Scopuli ini, tampak fitur seperti pita gelap dan terang yang merupakan lapisan debu dan es yang berselang-seling.

    Lalu mengapa gambar ini tampak seperti hanya ada sedikit debu ‘salju’? Area yang lebih gelap tersebut adalah lapisan debu yang jatuh di atas es. Debu biasanya ditemukan jauh di bawah es, namun proses musiman membawa sebagian debu tersebut ke permukaan.

    Tampak fitur seperti pita gelap dan terang yang merupakan lapisan debu dan es yang berselang-seling. Foto: ESA

    “Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA juga melihat es musim dingin melapisi sisi bukit pasir di Mars. Embun beku ini dapat mencegah erosi,” tulis NASA.

    Saat sinar Matahari menghangatkan es karbon dioksida di kutub selatan Mars pada musim panas, es mulai menyublim, atau langsung berubah dari padat menjadi uap. Saat hal itu terjadi, kantong-kantong gas yang terperangkap terbentuk di dalam es.

    Pada akhirnya, tekanan meningkat cukup besar untuk menciptakan sedikit letusan gas, yang cukup kuat untuk menembakkan debu gelap yang ditemukan di bawah es ke udara. Saat debu jatuh kembali ke permukaan, angin membawanya ke dalam pola yang berputar-putar. Proses serupa menciptakan fitur mirip laba-laba yang ditemukan di permukaan Mars.

    ‘Salju’ yang terlihat di sini sangat berbeda dengan di Bumi.. Foto: ESA/NASA

    Jadi apa yang tampak seperti pemandangan musim dingin yang indah dalam gambar Mars ini, sebenarnya adalah pemandangan musim panas yang dinamis, ketika gas menyebarkan debu ke permukaan.

    (rns/rns)

  • Awan Menyusut Bikin Bumi Makin Panas

    Awan Menyusut Bikin Bumi Makin Panas

    Jakarta

    Kita bisa saja kehilangan sekitar 1,5% cakupan awan setiap dekadenya. Sebuah penelitian berdasarkan data satelit NASA menyebutkan, cakupan awan global tampaknya menyusut dan dapat memperburuk dampak pemanasan akibat perubahan iklim.

    Bumi saat ini menerima lebih banyak energi Matahari dibandingkan energi yang hilang. Meskipun hal ini dapat menjelaskan banyak hal, ketergantungan kita pada bahan bakar fosil tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan perubahan yang terjadi.

    Begitu pula dengan efek albedo, fenomena berkurangnya lapisan es mengurangi jumlah sinar Matahari yang dipantulkan Bumi dan meningkatkan jumlah sinar Matahari yang diserap.

    Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Agustus lalu, ilmuwan iklim di Goddard Institute for Space Studies NASA George Tselioudis dan rekan penulisnya memeriksa kumpulan data satelit yang mencakup dua periode waktu: periode pertama dari1984 hingga 2018 dan periode kedua dari 2000 hingga 2018.

    Salah satu perubahan signifikan yang mereka lihat terjadi di intertropical convergence zone (ITCZ) atau zona konvergensi intertropis yang juga dikenal sebagai wilayah bertekanan rendah di dekat ekuator Bumi tempat bertemunya angin pasat timur laut dan tenggara.

    Biasanya, awan tebal terbentuk di wilayah tertentu saat udara hangat naik dan digantikan oleh udara dingin. Hasilnya, zona tersebut menyempit sehingga cakupan awan menjadi lebih rendah.

    Sebaliknya, zona kering subtropis semakin meluas. Secara keseluruhan, perubahan-perubahan ini berdampak pada rendahnya tingkat cakupan awan global. Jumlah penyusutan awan bervariasi berdasarkan kumpulan data dan periode, namun tampaknya terjadi pada tingkat antara 0,72% dan 0,17% per dekade.

    “Saya yakin ini adalah bagian yang hilang. Itu adalah bagian yang hilang,” kata Tselioudis, merujuk pada hubungan antara pemanasan global dan rendahnya tutupan awan, dikutip dari IFL Science.

    Penelitian terbaru dari Tselioudis dan timnya, yang dipresentasikan pada pertemuan American Geophysical Union pada 11 Desember, mengkaji data dari satelit Terra NASA selama 22 tahun terakhir. Hal ini tampaknya mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya, yang dilaporkan menemukan bahwa tutupan awan berkurang sekitar 1,5% setiap dekade. Ini menunjukkan bahwa tutupan awan berkurang dan perubahan tersebut berkontribusi pada tingkat pemanasan yang lebih tinggi.

    “Meskipun angka-angka ini mungkin tidak terlihat signifikan, hal ini menunjukkan adanya umpan balik awan yang tidak masuk akal,” kata Bjorn Stevens, ilmuwan iklim di Max Planck Institute for Meteorology Institut Meteorologi Max Planck.

    Masih harus dilihat apakah tren ini akan terus berlanjut dan dampaknya terhadap tren pemanasan secara keseluruhan. Namun, hal ini menunjukkan betapa rumitnya sistem iklim Bumi. Studi ini diterbitkan dalam jurnal Climate Dynamics.

    (rns/rns)