Kementrian Lembaga: NASA

  • Planet Mars Pernah Memiliki Lautan dan Pantai

    Planet Mars Pernah Memiliki Lautan dan Pantai

    Jakarta

    Air adalah ramuan penyembuh segala penyakit, air berarti kehidupan. Oleh karena itu, pencarian air memainkan peran sentral dalam eksplorasi Planet Merah. Para peneliti yang menganalisis data dari kendaraan penjelajah Mars milik Cina telah menemukan sedimentasi pantai di bawah tanah, yang menunjukkan indikasi adanya samudra prasejarah yang sangat luas.

    Diduga juga ada sungai yang mengangkut sedimen ke lautan. “Sedimen ini kemudian terbawa ombak dan tersebar di sepanjang garis pantai yang landai,” demikian menurut Michael Manga, Profesor Ilmu Kebumian dan Planet di University of California di Berkeley AS yang terlibat dalam penelitian ini.

    Samudra dengan pantai berpasir di Mars

    Jejak-jejak tersebut ditemukan oleh kendaraan penjelajah Cina bernama Zhurong yang sekarang sudah tidak aktif. Zhurong beroperasi dari Mei 2021 hingga Mei 2022. Wahana penjelajah ini selama satu tahun meneliti lereng curam sepanjang 1,9 kilometer yang dulu menandai garis pantai purba.

    Selama misinya, Zhurong menggunakan radar penembus tanah (GPR) untuk menyelidiki lapisan batuan hingga kedalaman 80 meter di bawah permukaan. Citra radar menunjukkan endapan lapisan material cukup tebal di sepanjang rute tersebut. Material mengarah ke atas dengan sudut 5 derajat terhadap apa yang diduga sebagai garis pantai. Ini sesuai dengan sudut sedimentasi pantai di Bumi.

    Dibutuhkan waktu jutaan tahun untuk membentuk endapan setebal itu. Hal tersebut menjadi indikasi di lokasi itu terdapat lautan untuk waktu yang sangat lama.

    Pesisir pantai dalam fokus ilmu pengetahuan

    “Pesisir adalah tempat yang sangat baik untuk mencari bukti kehidupan masa lalu. Kehidupan paling awal di Bumi diperkirakan dimulai di lokasi seperti ini, persinggungan udara dan air dangkal,” kata Benjamin Cardenas, asisten profesor geosains di Pennsylvania State University salah satu penulis laporan ilmiah ini.

    Fakta bahwa endapan pantai ini terjaga dengan baik adalah suatu kebetulan yang menguntungkan. Endapan pantai terlindungi lapisan debu setebal sekitar sepuluh meter, yang terbentuk miliaran tahun karena badai debu, dampak asteroid atau letusan gunung berapi, setelah lautan menghilang.

    “Endapan pantai yang dicitrakan di sini masih lestari dan masih berada di bawah permukaan tanah,” kata Cardenas. “Ini adalah kumpulan data yang sangat unik.”

    Apakah Mars pernah layak huni?

    Spekulasi pertama tentang adanya samudra purba di Mars bermula pada tahun 1970-an, ketika pesawat antariksa, Viking, memotret semacam garis pantai di sebagian besar wilayah bagian utara Mars.

    Namun, garis pantai itu sangat tidak beraturan, dengan ketinggian dan kedalaman yang bervariasi hingga sepuluh kilometer, sehingga para peneliti planet meragukangagasan adanya samudra di Mars. Ini dikarenakan garis pantai di Bumi yang cenderung datar.

    Pertanyaan belum terjawab untuk waktu yang lama adalah, kemungkinan apa yang terjadi pada air di Mars. Sekitar empat miliar tahun lalu, Mars memiliki atmosfer yang lebih padat dan iklim yang lebih hangat.

    Misi Mars selanjutnya akhirnya memberikan banyak indikasi, sebagian air kemungkinan menguap ke ruang angkasa bersama atmosfernya, ketika planet tersebut mendingin. Namun, sebagian besar meresap ke dalam tanah, baik dalam bentuk es atau bersenyawa dengan batuan untuk membentuk mineral baru.

    Pada tahun 2024, evaluasi data dari pesawat antariksa, InSight Mars milik NASA menunjukkan, pada kedalaman sepuluh hingga dua puluh kilometer di bawah permukaan Mars terdapat lapisan batuan yang mengandung air dalam jumlah yang sangat besar.Cebakan air ini mencukupi untuk membentuk samudra sedalam satu hingga dua kilometer yang menutupi seluruhan planet Mars, demikian dilaporkan para peneliti dalam jurnal “Proceedings of the National Academy of Sciences”.

    Pada Januari 2025, di dasar Kawah Gale, tempat pendaratan kendaraan penjelajah NASA-Rovers Curiosity ditemukan jejak gelombang pada batuan sedimen, yang tmemperkuat indikasi adanya cadangan air berbentuk cair tanpa es di permukaan Mars. Rover Perseverance juga menemukan petunjuk adanya delta sungai di Kawah Jezero.

    Mengapa Mars menjadi tidak bersahabat dengan kehidupan?

    Seperti Bumi, Mars juga memiliki atmosfer, meski sangat tipis. Di zaman purba ketika atmosfernya lebih padat, Mars bisa menyimpan panas matahari lebih lama dalam air,berbentuk cairan.

    Namun, karena tidak seperti Bumi, Mars tidak memiliki medan magnet global, atmosfer Mars lenyap akibat badai matahari. Saat ini, menurut Badan Meteorologi Jerman, komposisi atmosfer Mars terdiri dari 96 persen karbon dioksida, dengan hanya 0,15 persen oksigen.

    Karena atmosfernya yang tipis, suhu berfluktuasi secara drastis sepanjang hari. Suhu rata-rata di Mars sekitar -63 °C, dibandingkan dengan +14 °C di Bumi. Pada garis Ekuator Mars, suhu bisa melebihi 20°C pada siang hari, tapi turun hingga di bawah -80°C pada malam hari.

    Fakta bahwa kondisi di Mars berubah secara radikal sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu, kemungkinan disebabkan oleh perubahan rotasi planet. “Karena sumbu rotasi Mars telah berubah, bentuk Mars juga berubah. Yang dulunya datar tidak lagi datar,” kata penulis studi, Michael Manga.

    Data dari misi InSight NASA menunjukkan, rotasi planet Mars semakin cepat dan hari menjadi lebih pendek. Setiap tahunnya, Mars berotasi semakin cepat.

    Penyebab perubahan rotasi ini masih belum jelas. Menurut ilmuwan planet Manga, rotasi berubah seiring perubahan di kawasan Tharsis di Mars. Wilayah yang sangat luas di planet merah ini berisi gunung berapi terbesar di tata surya.

    Diadaptasi dari Artikel DW Bahasa Jerman

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Ada Peluang 0,001% Asteroid ‘Pembunuh Kota’ Tabrak Bumi

    Ada Peluang 0,001% Asteroid ‘Pembunuh Kota’ Tabrak Bumi

    Jakarta

    Sebuah asteroid berukuran selapangan sepak bola memiliki kemungkinan 0,001% menabrak Bumi. Angka ini turun dari prakiraan minggu lalu yang mencapai 3,1% kata NASA dan 2,8% kata European Space Agency (ESA).

    Seperti yang telah diperkirakan secara luas, pengamatan baru dari teleskop di seluruh dunia mempersempit area ketidakpastian di mana asteroid itu akan menghantam. Itu berarti, semakin memperkecil kemungkinan terjadinya hantaman langsung.

    Melansir ScienceAlert, ESA mengatakan peluangnya kini turun menjadi 0,001%. Mereka menambahkan bahwa tingkat ancaman pada Torino Impact Hazard Scale (Skala Bahaya Dampak Torino) kini berada di angka nol, setelah mencapai level tiga dari kemungkinan 10 pada minggu lalu.

    Asteroid itu, yang disebut 2024 YR4, ditemukan pada bulan Desember. Diperkirakan lebarnya 40-90 meter. Dengan ukuran sebesar ini, dia berpotensi menghancurkan sebuah kota.

    Jika diperkirakan, harusnya hantaman YR4 adalah 22 Desember 2032. Akan tetapi, kini sangat mungkin asteroid itu cuma bakal melintas melewati Bumi. Meskipun risikonya menurun drastis, Teleskop Luar Angkasa James Webb masih akan mengamati asteroid itu dalam beberapa bulan mendatang, kata ESA.

    Lebih lanjut, para ilmuwan telah menekankan bahwa meskipun asteroid itu sedang menuju ke arah kita, Bumi kini mampu melawan balik. Dalam uji coba pertama pertahanan planet kita, misi DART NASA berhasil mengubah lintasan asteroid yang tidak berbahaya pada tahun 2022 dengan menabrakkannya ke asteroid tersebut menggunakan pesawat antariksa.

    Richard Moissl, kepala kantor pertahanan planet ESA, mengatakan kepada AFP bahwa mengamati asteroid tersebut merupakan ‘latihan yang sangat menarik dan mendidik’.

    “Masih banyak ruang untuk perbaikan,” katanya sesudah memuji deteksi awal pada asteroid tersebut.

    Diberitakan sebelumnya, postingan NASA di X mengumumkan potensi asteroid 2024 YR4 turun menjadi 0,28% atau 1 berbanding 360. Estimasi terbaru ini dibuat berdasarkan data orbit asteroid terbaru yang dikumpulkan pada 18 Februari dan 20 Februari.

    “Pengamatan yang dilakukan pada malam hari tanggal 19-20 Februari terhadap asteroid 2024 YR4 telah menurunkan kemungkinannya menghantam Bumi pada tanggal 22 Desember 2032 menjadi 0,28%,” kata NASA dalam postingannya, seperti dikutip dari Space.com, Kamis (27/2/2025).

    (ask/afr)

  • Roket Picu Kebakaran, Kesalahan 2024 Terulang

    Roket Picu Kebakaran, Kesalahan 2024 Terulang

    Bisnis.com, JAKARTA — Roket Starship milik SpaceX mengalami penghancuran diri (self-destruct) selama uji terbang ketiganya pada Senin (24/2), setelah kebocoran propelan (roket pendorong) memicu kebakaran internal dan kegagalan sistem komunikasi.

    Insiden ini terjadi 12 menit setelah peluncuran dari Boca Chica, Texas, saat roket mencapai ketinggian 130 km.  

    Techcrunch melaporkan, Selasa (25/2/2025), peluncuran awalnya berjalan normal dengan mesin Raptor beroperasi penuh. Namun beberapa saat kemudian, sensor mendeteksi kebocoran metana cair di bagian tangki propelan tahap atas (Super Heavy). Kebocoran tersebut terus membesar dan tak terkendali.   

    Kebocoran memicu kebakaran yang merusak kabel komunikasi, mengakibatkan blackout data telemetri. Tidak lama berselang, sistem keamanan otomatis mengaktifkan mekanisme penghancuran diri untuk mencegah risiko jatuh di wilayah berpenduduk.  

    CEO Elon Musk mengatakan akan menyelidiki penyebab kebakaran tersebut lebih detail. Elon segera meluncurkan tim ke lapangan. 

    “Tim sedang menyelidiki akar masalah. Kebocoran mungkin terkait vibrasi berlebihan selama fase pemisahan tahap. Kami akan memperbaiki desain sebelum uji keempat,” kata Elon Musk. 

    Masalah tangki bocor adalah masalah klasik yang belum terselesaikan oleh Elon Musk. Pada 2024, Starship gagal meluncur karena masalah yang sama. 

    Starship juga belum memiliki sistem pemadam kebakaran yang mumpuni, yang membuat api menyebar cepat karena kurangnya sistem pendingin darurat di kompartemen mesin.  

    Adapun dampak dari peristiwa ini adalah potensi mundurnya jadwal misi berawak NASA Artemis IV  yang awalnya ditargetkan pada 2026. 

    Selain itu, SpaceX juga berpeluang menunda uji pendaratan di Bulan (Moon Landing Demo) hingga kuartal III/2025. Saham SpaceX turun 4,2% dalam perdagangan pasca-pengumuman.  

    Sementara itu regulator (FAA) membuka penyelidikan menyeluruh dan akan menunda izin peluncuran berikutnya hingga SpaceX membuktikan perbaikan  

    “Kami prioritaskan keselamatan publik. Setiap perubahan desain wajib melalui sertifikasi ulang,” tegas juru bicara FAA.  

    Insiden 2024

    Diketahui, pada Maret 2024 Starship gagal saat memasuki kembali atmosfer Bumi di atas Samudra Hindia. Starlink meledak akibat material heat shield di bagian bawah Starship tidak mampu menahan suhu >1.400°C selama re-entry.

    Selain itu, kebocoran pendingin di sirip kontrol (flaps) juga menyebabkan kehilangan kendali aerodinamis yang membuat Starship tak terkendali. 

    Kemudian pada Januari 2025,  Starship meledak 8,5 menit setelah peluncuran dari Texas. Puing jatuh di Kepulauan Turks dan Caicos, memaksa FAA mengalihkan rute penerbangan sipil.

    Penyebab kebakaran adalah kebocoran propelan dan metana di area attic (ruang antara tangki bahan bakar dan heat shield) memicu kebakaran.
    Setelah itu api merusak kabel fiber optik, menyebabkan kehilangan kontak dengan stasiun darat.

  • Lautan Bumi Berwarna Hijau Semiliar Tahun Lalu, dan Akan Menghijau Lagi

    Lautan Bumi Berwarna Hijau Semiliar Tahun Lalu, dan Akan Menghijau Lagi

    Jakarta

    Pada 5 September 1977, saat keluar dari Tata Surya, wahana antariksa Voyager 1 milik NASA mengambil foto Bumi yang ikonik dan dikenal sebagai Pale Blue Dot (Titik Biru Pucat).

    Julukan terkenal itu dicetuskan oleh ilmuwan Carl Sagan. Dinamakan demikian, karena pada foto tersebut Bumi tampak sebagai titik kecil berwarna biru pucat di tengah gelapnya angkasa yang tak berujung.

    Namun, selama sebagian besar sejarahnya, Bumi tidak tampak biru sama sekali. Faktanya, selama miliaran tahun, jika dulu sudah ada teknologi yang memungkinkan memotret Bumi pada masa itu, kemungkinan besar akan menyarankan nama Pale Green Dot alias Titik Hijau Pucat karena warnanya memang hijau.

    Dari tiga miliar tahun lalu hingga sekitar 600 juta tahun lalu, tepat pada awal kehidupan kompleks di planet ini, lautan Bumi akan jauh lebih hijau dibandingkan saat ini.

    Para ilmuwan dari Universitas Nagoya di Jepang menyelidiki mengapa Bumi purba memiliki warna kehijauan seperti itu, dan menemukan bahwa cyanobacteria adalah faktor pendorongnya. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Nature Ecology & Evolution.

    “Deskripsi Titik Biru Pucat merupakan konsekuensi dari hamburan Rayleigh sinar Matahari di atmosfer, bersamaan dengan pantulan dan hamburan di hamparan lautan,” tulis para peneliti seperti dikutip dari New Scientist.

    “Meskipun demikian, orang mungkin bertanya: apakah hanya warna biru sebuah planet yang berfungsi sebagai indikator potensinya untuk memelihara kehidupan?,” mereka menambahkan.

    Kumpulan berbagai faktor, terutama susunan lautan dunia selama masa-masa awalnya, menentukan warna keseluruhan planet tersebut. Dalam beberapa miliar tahun pertama Bumi, lautan planet tersebut dipenuhi dengan besi hidroksida, yang merupakan senyawa anorganik yang menyerap cahaya biru.

    “Sementara itu, air yang ada di lautan purba ini akan menyerap cahaya merah, menciptakan ‘jendela cahaya hijau’,” kata Taro Matsuro, penulis utama penelitian tersebut.

    Cyanobacteria, seperti halnya tumbuhan, menggunakan klorofil untuk melakukan fotosintesis sinar Matahari, yang mengakibatkan organisme menyerap cahaya merah dan biru serta memantulkan warna hijau.

    Akan tetapi, organisme ini juga mengandung pigmen yang disebut fikobilin, yang menyerap cahaya merah dan hijau. Matsuro dan timnya ingin memahami alasannya, dan apa yang diceritakannya kepada kita tentang waktu di mana cyanobacteria ini berevolusi.

    Para ilmuwan membuat model untuk menentukan spektrum cahaya apa yang akan tersedia bagi kehidupan fotosintesis purba, dan menemukan bahwa spektrum tersebut cocok dengan cahaya yang diserap oleh pigmen fikobilin. Ketika mereplikasi kondisi Bumi Arkean, cyanobacteria dengan pigmen fikobilin ini tumbuh lebih cepat, yang menunjukkan bahwa evolusi akan mendukung penyertaan mereka.

    “Jika kita berasumsi atmosfernya mirip dengan saat ini, rona hijau yang dipantulkan oleh lautan akan bercampur dengan warna biru dari hamburan Rayleigh, yang kemungkinan menciptakan warna hijau kebiruan daripada warna biru yang kita lihat saat ini,” kata Matsuo.

    Ia juga mengatakan bahwa lautan kemungkinan lebih besar daripada saat ini, jadi pengaruhnya terhadap rona planet akan lebih besar.

    Namun, sama halnya dengan tren mode lama yang tiba-tiba jadi hits lagi di masa sekarang, lautan Bumi mungkin suatu hari akan kembali ke spektrum hijau, meski kemungkinan hal itu terjadi melalui cara yang berbeda.

    Sebuah studi di 2019 yang dilakukan oleh MIT menunjukkan bahwa pada akhir abad ini, setengah dari lautan dunia akan berubah menjadi hijau karena meningkatnya populasi fitoplankton saat Bumi menghangat. Pada 2023, sebuah studi lanjutan mengonfirmasi bahwa 56% lautan dunia telah menghijau hanya dalam 20 tahun terakhir.

    (rns/rns)

  • Fyuh! Peluang Asteroid 2024 YR4 Tabrak Bumi Turun Drastis, di Bawah 1%

    Fyuh! Peluang Asteroid 2024 YR4 Tabrak Bumi Turun Drastis, di Bawah 1%

    Jakarta

    Kabar baik datang dari NASA terkait asteroid 2024 YR4 yang diprediksi menghantam Bumi pada tahun 2032. Kini peluang asteroid itu menabrak planet tempat tinggal kita sudah menurun drastis.

    Dalam postingannya di Twitter/X, NASA mengumumkan potensi asteroid 2024 YR4 turun menjadi 0,28% atau 1 berbanding 360. Estimasi terbaru ini dibuat berdasarkan data orbit asteroid terbaru yang dikumpulkan pada 18 Februari dan 20 Februari.

    “Pengamatan yang dilakukan pada malam hari tanggal 19-20 Februari terhadap asteroid 2024 YR4 telah menurunkan kemungkinannya menghantam Bumi pada tanggal 22 Desember 2032 menjadi 0,28%,” kata NASA dalam postingannya, seperti dikutip dari Space.com, Senin (24/2/2025).

    Penurunan drastis risiko tabrakan untuk asteroid 2024 YR4 diumumkan hanya beberapa hari setelah faktor risikonya melonjak hingga 3,1% atau 1 banding 32. Peningkatan ini mejadikan 2024 YR4 sebagai asteroid paling berisiko dalam sejarah Sentry Risk Table yang dirilis Center for Near Earth Object (CNEOS).

    Kemungkinan asteroid ini menabrak Bumi memang terus berubah. Pada 28 Januari, peluang asteroid 2024 YR4 menabrak Bumi 1,2% atau 1 banding 83. Pada awal Februari, kemungkinannya terus naik menjadi 1,58% lalu 2,2%.

    Setelah risiko hantamannya menurun drastis, tingkat bahaya asteroid 2024 YR4 pada skala Torino berada pada level 1. Artinya, peluang objek antariksa ini tabrakan sangat kecil dan tidak akan menimbulkan kekhawatiran publik.

    “Kita belum berada di level 0, namun skala Torino 1 memberi tahu kita lebih jauh: ‘Observasi teleskop baru kemungkinan besar akan mengarah pada penilaian baru ke Level 0,’” kata pencipta skala Torino Richard Binzel. Skala Torino dipakai untuk mengkategorikan seberapa bahaya asteroid di sekitar Bumi.

    Meskipun risiko hantamannya sudah turun, asteroid 2024 YR4 masih memuncaki daftar Sentry Risk Table. Asteroid paling berisiko nomor dua di daftar tersebut adalah 1950 DA yang memiliki peluang 0,39% untuk menghantam Bumi pada tahun 2880.

    (vmp/rns)

  • China akan Buat Teleskop Luar Angkasa Baru, Bakal Kalahkan Teleskop Antariksa James Webb?

    China akan Buat Teleskop Luar Angkasa Baru, Bakal Kalahkan Teleskop Antariksa James Webb?

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan antariksa China tengah membangun teleskop antariksa baru yang akan menyaingi observatorium papan atas saat ini.

    Dilansir dari livescience, dikenal sebagai Teleskop Stasiun Antariksa Tiongkok (CSST), teleskop ini tidak hanya akan sekuat Teleskop Antariksa James Webb (JWST) yang canggih, tetapi juga akan sepenuhnya dapat diperbaiki dan ditingkatkan dari luar angkasa.

    CSST akan bergabung dengan generasi teleskop pengubah permainan berikutnya. Teleskop ini meliputi teleskop antariksa Euclid, yang diluncurkan oleh Badan Antariksa Eropa pada bulan Juli 2023.

    Teleskop Antariksa Nancy Grace Roman milik NASA, yang sedang dalam persiapan peluncuran terakhir; dan Observatorium Vera C. Rubin, instalasi berbasis darat besar yang cahaya pertamanya diharapkan akan muncul musim panas ini.

    Observatorium besar ini memiliki berbagai target pengamatan. Namun, salah satu misi utamanya adalah melakukan survei alam semesta yang dalam untuk mencoba memecahkan sejumlah misteri kosmologi. Kini, bergabung dengan trio ini adalah observatorium kosmologi kelas dunia lainnya.

    Dalam bahasa Mandarin, teleskop tersebut dikenal sebagai Xuntian, yang berarti “mengawasi langit,” yang sangat tepat mengingat misi yang dimaksudkannya. Ilmuwan proyek tersebut membagikan detail baru tentang misi tersebut dalam sebuah makalah yang diunggah ke basis data pracetak arXiv pada tanggal 25 Januari.

    Dijadwalkan untuk diluncurkan paling cepat pada tahun 2026, teleskop tersebut akan memiliki cermin utama dengan diameter 6,6 kaki (2 meter). Meskipun itu sedikit lebih kecil dari lebar cermin Teleskop Luar Angkasa Hubble, optik canggih CSST akan memberinya bidang pandang setidaknya 300 kali lebih besar dari Hubble. Pengamatannya akan mencakup spektrum cahaya dari ultraviolet dekat hingga inframerah dekat.

    Mengejar misteri kosmik
    Dengan kemampuan tersebut, CSST akan melakukan sejumlah pengujian dan pengukuran penting. Salah satu misi utamanya adalah mengukur sesuatu yang disebut pelensaan gravitasi lemah. Cahaya dari galaksi-galaksi yang jauh sedikit tertekuk dalam perjalanannya menuju kita karena kelengkungan ruang yang relatif kecil dari semua galaksi yang ada di antaranya.

    Dengan memetakan ratusan ribu galaksi dan mencari distorsi halus dalam bentuknya, para astronom berharap dapat membangun peta distribusi materi yang sangat indah di alam semesta. Peta-peta ini dapat memberi para ilmuwan petunjuk tentang sifat misterius materi gelap, yang menyusun sebagian besar materi di alam semesta tetapi tidak berinteraksi dengan cahaya dan karenanya tidak dapat dilihat secara langsung.

    Pada skala yang lebih besar, CSST akan mempelajari statistik ruang hampa dan gugusan. Ruang hampa adalah wilayah kosong yang luas di antara galaksi-galaksi, dan gugusan adalah pengelompokan galaksi yang padat. Sifat ruang hampa dan gugusan — seberapa besar keduanya, seberapa jauh jaraknya satu sama lain, dan sebagainya — bergantung pada sifat energi gelap, zat misterius yang tampaknya mempercepat perluasan alam semesta.

    Sebagai pelengkap, CSST akan mencari supernova dan mengukur sesuatu yang disebut osilasi akustik barion. Supernova memberikan pengukuran tetap untuk galaksi-galaksi yang jauh, dan osilasi akustik barion adalah sisa-sisa dari saat alam semesta masih berupa plasma, miliaran tahun yang lalu. Keduanya merupakan alat penting untuk memahami evolusi kosmos.

    CSST akan melengkapi instrumen tingkat atas lainnya, sehingga menyediakan akses ke berbagai wilayah alam semesta dan jarak yang berbeda. Harapannya adalah keempat teleskop kelas dunia akan mengoordinasikan upaya mereka.

    Namun, CSST memiliki satu trik lagi. Ada alasan mengapa namanya mengandung kata “stasiun”: Setelah diluncurkan, ia akan berbagi orbit dengan stasiun luar angkasa Tiangong milik Tiongkok. Mereka tidak akan selalu terbang berdampingan, tetapi orbit mereka akan membuat mereka berdekatan secara berkala.

    Pengaturan ini memudahkan badan antariksa Tiongkok untuk memperbaiki teleskop, menukar modul instrumen, dan bahkan melakukan pemutakhiran  kemampuan yang tidak dimiliki teleskop berbasis antariksa lainnya. Jadi, meskipun instrumen lain tersebut akan memiliki masa pakai yang terbatas, CSST dapat terus menyediakan data kosmologi yang andal dan berguna selama beberapa dekade mendatang.

  • Bukan Elon Musk, Orang Terkaya AS Ini Ditunjuk Trump Jadi Bos NASA

    Bukan Elon Musk, Orang Terkaya AS Ini Ditunjuk Trump Jadi Bos NASA

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pengusaha dan Miliarder sekaligus astronaut non-profesional pertama SpaceX, Jared Isaacman, tengah mempersiapkan diri untuk memimpin Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) setelah berpuluh-puluh tahun berada di luar pemerintahan Amerika.

    Ia ditunjuk langsung oleh Presiden Donald Trump untuk memimpin NASA, demikian dikutip dari Wall Street Journal, Minggu (23/2/2025).

    Jika kabar ini benar, pria berusia 42 tahun itu akan mengambil alih kendali organisasi berusia hampir 70 tahun dengan anggaran US$25 miliar itu.

    Peran ini mengharuskan Isaacman untuk menavigasi hubungannya dengan Musk, yang memiliki peran penting sebagai dewan penasehat Trump.

    Dalam sebuah unggahan di X, Musk mengatakan bahwa Stasiun Luar Angkasa Internasional harus dikeluarkan dari orbit lebih cepat dari rencana saat ini, dan mengindikasikan bahwa NASA harus memprioritaskan tujuan jangka panjangnya dan perushaan milik Musk, SpaceX.

    “Mari kita pergi ke Mars,” tulisnya.

    Dalam sebuah unggahan baru-baru ini di X, Isaacman mengatakan bahwa dirinya sangat ingin mendapatkan kepercayaan dari Senat.

    Ia telah mendukung ide untuk mengirim manusia ke Mars, sebuah misi yang telah menjadi obsesi Elon Musk selama beberapa dekade, dan salah satu yang disebutkan Trump dalam pidato pelantikannya bulan lalu.

    Ambisi ke luar angkasa

    Sebagai penggemar ruang angkasa sejak masih TK, Isaacman sempat menekuni dunia penerbangan.

    Isaacman, yang dibesarkan di pinggiran kota New York di Westfield, telah menikah dan memiliki dua orang anak dan tinggal di dekat Easton, Pennsylvania.

    Dia mulai berlatih sebagai pilot saat membangun Shift4 Payments. Perusahaan ini menyediakan layanan pemrosesan pembayaran untuk restoran, resor, dan tempat lainnya.

    Pada 2011, Isaacman ikut mendirikan sebuah perusahaan bernama Draken International, yang mengumpulkan armada pesawat jet tempur yang digunakannya dalam apa yang disebut sebagai latihan perang dengan pelanggan militer.

    Saat ini kekayaan Isaacman ditaksir oleh Forbes mencapai US$ 1,6 miliar atau setara Rp 26,08 triliun (asumsi kurs Rp 16.300/US$).

    Pada 2020, tahun di mana Isaacman mempublikasikan Shift4, ia melakukan panggilan telepon dengan SpaceX, yang nantinya akan menggunakan Shift4 untuk menangani pembayaran untuk bisnis internet-satelitnya, Starlink.

    Pada awal tahun yang sama, SpaceX melakukan peluncuran pertamanya dengan awak manusia di dalamnya, dan membawa dua astronot NASA ke stasiun luar angkasa.

    “Saya menutup telepon dengan berkomentar, ‘Hei, kalian tahu, kapan pun kalian siap untuk benar-benar membuka benda ini, ingatlah saya karena saya sangat tertarik. Dan mereka seperti, ‘Oh, benarkah? Karena kita mungkin sedikit lebih dekat dari yang Anda pikirkan,’” kata Isaacman dalam wawancara 2021 lalu.

    Percakapan tersebut berkembang menjadi Inspiration4, sebuah misi penerbangan pada 2021 yang membawa Isaacman dan tiga orang pribadi lainnya ke dalam kendaraan SpaceX Crew Dragon yang mencapai orbit rendah Bumi.

    Penerbangan itu menjadi salah satu dari serangkaian misi yang menyoroti industri penerbangan luar angkasa swasta yang baru lahir, yakni bertujuan untuk membuka orbit bagi lebih banyak orang.

    (fsd/fsd)

  • Bumi Dulu Pernah Berwarna Ungu, Begini Teorinya

    Bumi Dulu Pernah Berwarna Ungu, Begini Teorinya

    Jakarta

    Meski kedengarannya aneh, beberapa ilmuwan berpikir bentuk kehidupan paling awal di Bumi mungkin telah mewarnai planet kita dengan nuansa ungu, bukan biru kehijauan seperti yang kita lihat saat ini.

    Teori ini, yang dikenal sebagai hipotesis ‘Purple Earth’atau Bumi Ungu, menunjukkan bahwa organisme bersel tunggal bergantung pada molekul yang kurang kompleks daripada klorofil untuk memanfaatkan sinar Matahari.

    Penelitian yang didukung NASA menunjukkan retinal sebagai molekul penting, yang memberikan warna ungu cerah pada mikroba ini. Konsep ini telah diteliti oleh ahli astrobiologi Dr. Edward Schwieterman dari California University, Riverside, dan profesor Shiladitya DasSarma dari Maryland University.

    Memahami Klorofil

    Klorofil adalah pigmen hijau yang membuat tanaman, alga, dan beberapa bakteri tampak cemerlang. Yang lebih penting, klorofil adalah pembangkit tenaga di balik fotosintesis, proses yang memungkinkan tanaman mengubah sinar Matahari menjadi energi.

    Tanpa klorofil, kehidupan seperti yang kita ketahui tidak akan ada karena klorofil adalah langkah pertama dalam menghasilkan oksigen yang kita hirup dan makanan yang kita makan.

    Molekul ini menyerap cahaya, sebagian besar dari spektrum biru dan merah, sambil memantulkan warna hijau, itulah sebabnya daun tampak hijau. Molekul ini dikemas dalam struktur kecil di dalam sel tanaman yang disebut kloroplas, tempat keajaiban fotosintesis terjadi.

    Warna Awal dari Molekul Berbeda

    Meskipun tanaman modern bergantung pada klorofil, zat ini mungkin bukan pilihan pertama Bumi untuk fotosintesis. Retina lebih sederhana dan kemungkinan besar ada di Bumi saat oksigen atmosfer langka.

    Selama periode itu, yang dikenal dengan oksigen rendah dan langit berkabut, para ilmuwan percaya sinar Matahari masih cukup melimpah untuk memberi daya pada mikroba ungu ini. Skenario ini menunjukkan Bumi yang sangat berbeda dari versi rimbun dan berdaun yang kita lihat sekarang.

    Banyak dari organisme purba ini berada di bawah payung archaea, kelompok yang tumbuh subur di lingkungan yang tidak bersahabat dengan sebagian besar kehidupan lainnya.

    Salah satu contoh penting sering disebut halobacterium, mikroba ungu cerah yang bertahan hidup di tempat-tempat asin seperti Great Salt Lake.

    Meskipun namanya halobacterium, sebenarnya ia bukan bakteri, melainkan archaeon yang menggunakan fotosintesis dengan cara yang kurang umum. Bakteri ini menyerap panjang gelombang hijau melalui retinal dan memantulkan warna merah dan biru, yang menghasilkan tampilan ungu mencolok.

    Transformasi Bumi Ungu Menjadi Biru-Hijau

    Seiring waktu, organisme lain mengembangkan pigmen yang lebih efisien, klorofil, yang memungkinkan mereka memanen sinar Matahari pada panjang gelombang yang lebih kuat.

    Pergeseran ini akhirnya membayangi pendekatan berbasis retinal dan membantu memicu Peristiwa Oksigenasi Hebat, ketika kadar oksigen di atmosfer kita meningkat secara dramatis.

    Kehidupan berbasis retinal tidak menghilang, tetapi tidak lagi menjadi kekuatan dominan yang membentuk warna permukaan planet. Organisme yang menggunakan klorofil berkembang pesat, mengubah tampilan umum Bumi dari ungu menjadi hijau.

    Kehidupan yang Berwarna-warni

    Ahli astrobiologi menduga eksoplanet mungkin menampung makhluk yang masih bergantung pada retinal.

    “Jika hipotesis Bumi Ungu benar dan terdapat dominasi organisme ungu di Bumi purba, maka kita mungkin dapat menemukan planet lain yang berada pada tahap evolusi awal,” kata DasSarma, dikutip dari Earth.com

    Sinyal warna dari dunia-dunia yang jauh ini dapat mengungkapkan apakah kehidupan ungu sederhana ada di luar sana. Fotosintesis berbasis retina awal mungkin menawarkan batu loncatan sebelum pigmen yang lebih maju berevolusi.

    Jejak Bumi Ungu yang Tersisa

    Meskipun Bumi sekarang sebagian besar berwarna hijau, tempat-tempat seperti Laut Mati masih bersinar dengan rona ungu berkat halobacterium. Mikroba tangguh ini tumbuh subur dalam konsentrasi garam ekstrem yang menghalangi banyak bentuk kehidupan lainnya.

    Dengan mempelajari tempat-tempat ini, para peneliti memperoleh wawasan tentang bagaimana kehidupan ungu dapat bertahan hidup di medan luar angkasa dengan kondisi yang sama sulitnya.

    Mengamatinya juga membantu para ilmuwan menyempurnakan sinyal yang mungkin mereka cari di eksoplanet. Vegetasi saat ini memiliki tepi merah yang dapat dikenali, dengan bagian daunnya sangat menyerap cahaya merah tetapi memantulkan panjang gelombang inframerah tertentu.

    Di sisi lain, retinal kemungkinan akan menciptakan jenis sidik jari spektral yang berbeda yang memuncak di wilayah hijau. Para ilmuwan menyerukan instrumen yang dapat melacak rentang panjang gelombang yang lebih luas untuk mendeteksi tanda-tanda tersebut. Pendekatan ini memperluas pandangan kita tentang seperti apa kehidupan di planet-planet yang mengitari bintang-bintang yang jauh.

    Pentingnya Mengulik Bumi Ungu

    Hipotesis Bumi Ungu masih belum terbukti, namun hal itu mendorong cara berpikir baru tentang masa lalu planet kita dan pencarian kehidupan di luar sana.

    Jika fotosintesis pertama di Bumi benar-benar memancarkan ungu, maka warna itu mungkin muncul kembali ketika semua organisme menggunakan retinal sebagai ‘spons’ Matahari utama mereka.

    Pandangan imajinatif ini menyoroti kapasitas kehidupan untuk beradaptasi dengan cara yang mengejutkan. Pandangan ini juga mendorong kita untuk mencari sinyal yang mungkin terlewatkan jika kita hanya berfokus pada apa yang kita lihat saat ini.

    (rns/rns)

  • Pensiun Setelah 30 Tahun Kerja, Jim Free Akan Tinggalkan NASA pada 22 Februari

    Pensiun Setelah 30 Tahun Kerja, Jim Free Akan Tinggalkan NASA pada 22 Februari

    JAKARTA – Administrator Asosiasi NASA Jim Free akan pensiun setelah kerja selama puluhan tahun di lembaga antariksa AS tersebut. Free akan meninggalkan perusahaan secara efektif pada Sabtu, 22 Februari. 

    Free bergabung dengan NASA pada tahun 1990 sebagai insinyur. Awalnya, Free bekerja di Satelit Pelacakan dan Relai Data di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard. Setelah beberapa tahun bekerja, Free dipindahkan ke Pusat Penelitian Glenn. 

    Karier Free meningkat dengan cepat karena ia berhasil dipindahkan ke Pusat Antariksa Johnson pada tahun 2008. Setahun kemudian, Free kembali bekerja di Pusat Penelitian Glenn sebagai Direktorat Sistem Penerbangan Antariksa. 

    Pada tahun 2016, Free mulai bekerja di Markas Besar NASA sebagai Wakil Administrator Asosiasi untuk Teknis di bagian Direktorat Misi Eksplorasi dan Operasi Manusia. Setelah itu, ia naik jabatan menjadi Administrator Asosiasi dengan memimpin ribuan karyawan. 

    “Merupakan suatu kehormatan untuk melayani NASA dan berjalan bersama para pekerja yang menghadapi tantangan teknik yang paling sulit, mencari pengetahuan ilmiah baru di alam semesta kita dan sekitarnya,” Kata Free, dikutip dari blog resmi NASA. 

    Free telah berkontribusi pada berbagai misi penting seperti memperjuangkan jalur baru untuk mengembalikan sampel dari Mars, mendukung kru ekspedisi yang melakukan ratusan eksperimen di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), dan mengamankan kemitraan publik serta swasta untuk misi VIPER. 

    Posisi Free akan digantikan oleh Janet Petro sebagai Administrator Sementara. Setelah Free pensiun, Petro akan memimpin sepuluh direktur di fasilitas pusat NASA dan administrator asosiasi direktorat misi yang ada di Markas Besar NASA. 

  • Elon Musk Minta Stasiun Antariksa Internasional Segera Dihancurkan

    Elon Musk Minta Stasiun Antariksa Internasional Segera Dihancurkan

    Jakarta

    ISS atau International Space Station sudah dalam masa akhir operasinya dan direncanakan akan ditarik dari angkasa pada tahun 2030. Namun Elon Musk meminta stasiun itu dihancurkan lebih cepat.

    “Sudah saatnya untuk memulai persiapan untuk deorbit @Space_Station. Stasiun itu telah mencapai tujuannya. Utilitasnya sangat sedikit. Ayo kita pergi ke Mars,” kata bos SpaceX dan penasihat Donald Trump itu melalui X.

    Dalam posting X lainnya, ia memaparkan jadwal yang diinginkannya. “Keputusan ada di tangan Presiden, tetapi rekomendasiku adalah sesegera mungkin. Kusarankan 2 tahun dari sekarang,” cetusnya.

    Artinya, orang terkaya di dunia itu ingin ISS dihancurkan pada tahun 2027 atau 3 tahun lebih cepat dari jadwal. Namun yang membingungkan, SpaceX diminta oleh NASA membuat kendaraan deorbit ISS yang didesain untuk menariknya pada tahun 2030 dan dihancurkan secara terukur.

    Meski sudah tua, ISS masih berguna. Astronaut masih rutin mengunjunginya untuk menjalankan berbagai eksperimen, termasuk menguji bagaimana jika manusia menjelajah jangka panjang ke angkasa. Riset semacam itu tentu berguna bagi SpaceX yang berambisi ke Planet Mars sesuai keinginan Elon Musk.

    NASA dan mitranya dalam proyek ISS yaitu Canadian Space Agency, The European Space Agency, Japan Aerospace Exploration Agency, dan badan antariksa Rusia Roscosmos membangun laboratorium itu tahun 1998. Laboratorium ini telah menampung astronot yang bergiliran datang secara terus-menerus sejak November 2000.

    Musk belakangan memang bikin bingung komunitas antariksa. Dalam posting X bulan Desember, ia mengabaikan pendaratan ke Bulan dan menyebutnya sebagai gangguan. “Kita akan langsung menuju Mars,” tulisnya ketika itu.

    Padahal itu bukan rencana NASA saat ini. NASA sedang berupaya untuk membawa astronot kembali ke Bulan melalui program Artemis dan memandang tetangga terdekat Bumi itu sebagai batu loncatan ke Planet Merah.

    (fyk/fay)