Kementrian Lembaga: NASA

  • Astronom Deteksi Sinyal Radio Pertama dari Komet Antar Bintang 3I/ATLAS, Alien?

    Astronom Deteksi Sinyal Radio Pertama dari Komet Antar Bintang 3I/ATLAS, Alien?

    GELORA.CO – Para astronom baru saja mendeteksi sinyal radio pertama yang berasal dari komet antar bintang 3I/ATLAS, tepat ketika benda langit itu melintasi separuh perjalanannya menembus tata surya. Penemuan ini mungkin terdengar seperti bukti bahwa komet tersebut berasal dari peradaban alien, tapi kenyataannya justru sebaliknya.

    3I/ATLAS merupakan objek antar bintang (interstellar object/ISO) ketiga yang pernah melintas di sekitar Bumi. Komet ini pertama kali terlihat pada awal Juli lalu, melaju ke arah Matahari dengan kecepatan lebih dari 210.000 kilometer per jam, meski belakangan ditemukan bahwa pengamatannya sudah terekam sejak Mei.

    Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa 3I/ATLAS memang sebuah komet alami, kemungkinan besar yang tertua yang pernah terdeteksi. Ia diyakini berasal dari sistem bintang asing di pinggiran galaksi Bima Sakti, dan telah terlempar ke luar sekitar 7 miliar tahun lalu.

    Meski begitu, sekelompok kecil peneliti yang dipimpin oleh astrofisikawan Harvard sekaligus pemburu alien ternama, Avi Loeb, berspekulasi bahwa komet itu sebenarnya pesawat luar angkasa buatan makhluk cerdas. Teori tanpa bukti itu pun menyebar luas, menimbulkan berbagai cerita sensasional yang justru mengaburkan riset ilmiah sebenarnya. Fenomena serupa juga pernah terjadi pada ISO pertama yang ditemukan, Oumuamua, yang juga sempat diklaim Loeb sebagai kapal induk alien.

    Maka ketika para astronom di teleskop radio MeerKAT, Afrika Selatan, mengumumkan deteksi sinyal radio dari 3I/ATLAS, para pendukung teori Loeb pun sontak bersemangat. Mereka berharap temuan ini akan menjadi bukti adanya transmisi alien tersembunyi, apalagi sinyal itu muncul bertepatan dengan momen perihelion, titik terdekat komet ke Matahari, pada 29 Oktober lalu.

    Sayangnya, bagi para pemburu UFO, sinyal itu bukan berasal dari teknologi alien. Menurut analisis ilmiah, pancaran tersebut disebabkan oleh penyerapan gelombang radio pada panjang gelombang tertentu yang berkaitan dengan keberadaan radikal hidroksil (OH) di komanya, lapisan gas yang menyelimuti inti komet.

    Radikal hidroksil ini terbentuk dari pemecahan molekul air yang terlepas dari inti komet melalui proses alami bernama outgassing, yakni sebuah tanda klasik dari aktivitas komet yang sehat, sebagaimana dijelaskan dalam studi tahun 2016.

    Ini juga bukan pertama kalinya air terdeteksi di 3I/ATLAS. Pada awal Oktober lalu, ilmuwan NASA bahkan menemukan bahwa komet itu memuntahkan air seperti selang pemadam. Kini, pengamatan terbaru menunjukkan bahwa air tersebut kemudian terurai akibat radiasi Matahari, seperti yang memang biasa terjadi saat perihelion.

    Avi Loeb sendiri mengakui adanya deteksi radikal hidroksil tersebut lewat unggahan di blog pribadinya yang diikuti lebih dari 100 ribu pembaca. Namun, ia tidak menjelaskan apakah temuan itu menandakan aktivitas komet alami atau sesuatu yang lain.

    Japan released this image of 3i Atlas, meanwhile NASA has been extremely quiet about it. It’s said that it’s because of government fusing issues due to the shutdown, but I’m not buying that. 🤔pic.twitter.com/n7xe8R7AGH

    — AlphaFox (@alphafox) November 12, 2025

    Adapun sinyal radio pertama kali terdeteksi pada 24 Oktober 2025, tak lama setelah 3I/ATLAS sempat menghilang di balik Matahari selama perihelion. Saat itu, komet juga menunjukkan perubahan warna dan peningkatan kecerahan secara tiba-tiba. Setelah kembali muncul awal November, ia tampak seolah kehilangan ekornya meski kemudian terbukti hanya efek optik semata.

    Menariknya, 3I/ATLAS memang memiliki sejumlah sifat aneh yang sempat memicu teori konspirasi, seperti permukaan yang sangat terpapar radiasi, kandungan karbon dioksida berlebih, hingga “anti-ekor” misterius. Namun, seluruh fenomena tersebut telah dijelaskan secara ilmiah dan dipastikan alami oleh komunitas astronom internasional.

    Bahkan, teori lain yang sempat menghebohkan baru-baru ini soal objek antar bintang yang mendekati Bumi pada 11 November 2025 juga terbantahkan. Beberapa rumor menyebut benda itu mungkin “probe” kiriman 3I/ATLAS, tapi klaim itu langsung ditepis, termasuk oleh Loeb sendiri. Objek yang dimaksud, C/2025 V1 (Borisov), ternyata hanyalah komet biasa dari tata surya kita.

    Sementara itu, laporan lain yang mengutip perhitungan Loeb tentang percepatan non-gravitasi 3I/ATLAS sempat menyebut komet itu mungkin meledak akibat kehilangan massa berlebihan. Tapi pengamatan terbaru kembali memastikan, tidak ada ledakan apa pun, dan 3I/ATLAS tetap melanjutkan perjalanannya dengan tenang.

  • Jeff Bezos Salip Elon Musk dalam Misi ke Mars, Blue Origin Daratkan Roket New Glenn

    Jeff Bezos Salip Elon Musk dalam Misi ke Mars, Blue Origin Daratkan Roket New Glenn

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah China menyelesaikan pendaratan roket skala kecil yang dapat digunakan kembali pada musim panas, kini giliran Blue Origin berhasil mendaratkan roket pendorong New Glenn-nya sendiri. 

    Dilansir New York Post, pendaratan ini terjadi hampir 10 tahun setelah SpaceX milik Elon Musk, mencapai prestasi yang sama dengan roket pendorong Falcon.

    Perusahaan eksplorasi luar angkasa Blue Origin yang didukung oleh Jeff Bezos berhasil menyelesaikan penerbangan perdana pendorong roket yang dapat digunakan kembali.

    Pendaratan di tongkang di lautan terjadi sekitar 10 tahun setelah SpaceX milik Elon Musk berhasil membawa kembali roket Falcon-nya dengan selamat untuk pertama kalinya. 

    Namun, pendorong New Glenn milik Blue Origin jauh lebih besar. Tingginya mencapai 190 kaki dan diameter 23 kaki, sementara Falcon memiliki dimensi masing-masing 135 kaki dan 12 kaki. 

    Roket New Glenn merupakan generasi wahana orbital terbaru Blue Origin yang dirancang untuk pengangkutan berat. Roket ini juga jauh lebih besar daripada roket Yanxingzhe-1 yang dapat digunakan kembali yang berhasil dibawa kembali oleh China untuk pertama kalinya selama musim panas lalu.

    Selain keberhasilan membawa kembali pendorong roket kelas orbital, yang disebut Jon Edwards dari SpaceX sebagai misi yang “sangat sulit”, Jeff Bezos juga berhasil meluncurkan sesuatu menuju Mars mendahului rival beratnya dalam eksplorasi luar angkasa, Elon Musk, yang juga telah mengincar Mars.

    Misi NASA Mars dengan Blue Origin

    Misi Escape and Plasma Acceleration and Dynamics Explorers (ESCAPADE) NASA menggunakan misi uji pendorong Blue Origin untuk membawa dua wahana antariksa Mars ke orbit. 

    Tahap pertama terpisah sekitar tiga menit setelah lepas landas dan mulai jatuh melalui atmosfer bumi. 

    Beberapa menit kemudian, wahana tersebut menyalakan beberapa mesin BE-4 untuk memperlambat dan memperbaiki arah, lalu mendaratkan pendorong roket New Glenn dengan selamat di tongkang pemulihan khusus yang berada di Samudra Atlantik 375 mil di bawah titik pemisahan tahap.

    Tahap kedua roket terus meluncurkan dua pengorbit Mars milik NASA ke luar angkasa sekitar 33 menit setelah lepas landas. 

    Diberi label Biru dan Emas, wahana antariksa yang identik itu mulai meluncur menuju titik Lagrange-2 stabilitas gravitasi Bumi-Matahari yang terletak 930.000 mil jauhnya. 

    Wahana itu akan berputar kembali untuk menggunakan gravitasi Bumi sebagai ketapel guna melemparkannya ke Mars pada rentang waktu berikutnya yang tersedia, sekitar satu tahun dari sekarang.

    Dua wahana antariksa Mars yang diluncurkan Jeff Bezos untuk NASA akan digunakan untuk memeriksa atmosfer Mars si Planet Merah, atau lebih tepatnya, bagaimana atmosfer tersebut menghilang akibat angin matahari dan faktor-faktor lainnya.

    Sebelumnya Mars disebut memiliki sumber air dan mungkin pernah mempertahankan air di permukaannya berkat atmosfernya, tetapi penipisan selanjutnya kemungkinan berkontribusi pada penguapannya, dan Laboratorium Ilmu Antariksa UC Berkeley yang memprakarsai misi ESCAPADE ingin mengetahui ke mana perginya atmosfer tersebut dengan bantuan dua wahana antariksa yang diluncurkan Blue Origin.

    Sementara itu, SpaceX masih menguji roket Starship 3 yang dimaksudkan untuk memulai misi Mars pada waktu peluncuran berikutnya di tahun 2026, tetapi wahana antariksa NASA yang diluncurkan oleh Blue Origin kemungkinan akan tiba di sana terlebih dahulu. 

    Selain menyelesaikan dilema peluncuran Mars, Rocket Lab membanggakan bahwa mereka berhasil menekan biaya misi ESCAPADE hingga hanya US$18 juta per unit, baik untuk pembuatan wahana maupun peluncurannya. Harga yang sangat rendah ini dimungkinkan oleh wahana orbital Blue Origin yang baru.

  • Teka-teki 3I/Atlas Terpecahkan, Ilmuwan Ungkap Fakta Alien atau Bukan

    Teka-teki 3I/Atlas Terpecahkan, Ilmuwan Ungkap Fakta Alien atau Bukan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setelah berminggu-minggu menjadi bahan perdebatan di dunia maya, teka-teki soal komet 3I/ATLAS akhirnya mulai menemukan titik terang. Temuan terbaru dari ilmuwan memastikan, objek misterius itu bukan pesawat alien, melainkan komet alami yang berasal dari luar tata surya.

    Konfirmasi itu datang dari South African Radio Astronomy Observatory (SARAO) melalui teleskop radio MeerKAT, yang berhasil mendeteksi sinyal radio pertama dari 3I/ATLAS. Namun, sinyal ini bukanlah pancaran komunikasi seperti milik pesawat luar angkasa, melainkan pola frekuensi radio alami yang dihasilkan oleh molekul hidroksil (OH) di sekitar komet.

    “Penyerapan OH pada garis 1665 MHz dan 1667 MHz. Artinya, teleskop tersebut menangkap garis penyerapan radio dari radikal hidroksil (OH),” tulis laporan tim peneliti, yang mengindikasikan adanya aktivitas khas komet, bukan teknologi buatan, demikian dikutip dari Wired, Rabu (12/11/2025).

    Fenomena ini terjadi karena 3I/ATLAS tengah berada sangat dekat dengan Matahari, membuat es di permukaannya menyublim dan memunculkan pola serapan sinyal radio.

    Proses ini umum terjadi pada komet yang sedang aktif, dan menjelaskan pula mengapa lintasan 3I/ATLAS mengalami perubahan kecil, hal yang sempat memicu dugaan adanya percepatan non-gravitasi akibat mesin alien.

    Astrofisikawan Avi Loeb dari Universitas Harvard, yang sebelumnya menduga kemungkinan asal-usul teknologi pada 3I/ATLAS, mengakui belum ada bukti kuat yang mengarah ke teori tersebut.

    “Belum ada deteksi radio dari 3I/ATLAS selain sinyal penyerapan OH tersebut,” tulisnya dalam sebuah unggahan di Medium.

    Meski begitu, Loeb menilai pemantauan tetap perlu dilakukan untuk melihat apakah produksi molekul OH bersifat konstan atau berubah-ubah.

    Loeb juga menyebut momen penting selanjutnya akan terjadi pada 16 Maret 2026, ketika 3I/ATLAS melintas dalam jarak sekitar 53 juta kilometer dari Jupiter. Pada saat itu, wahana Juno milik NASA akan menggunakan antenanya untuk mencari sinyal radio tambahan pada frekuensi rendah, mulai dari 50 hertz hingga 40 megahertz.

    Namun setidaknya, perdebatan ini telah meningkatkan minat publik terhadap dunia astrofisika.

    Sementara itu, lintasan komet 3I/ATLAS dapat dipantau secara langsung, dan tanggal 19 Desember patut ditandai dalam kalender, karena pada hari itulah tamu antar-bintang ini akan mencapai titik terdekatnya dengan Bumi.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kejutan dari Komet Antar Bintang 3I/ATLAS Bikin Ilmuwan Kecewa

    Kejutan dari Komet Antar Bintang 3I/ATLAS Bikin Ilmuwan Kecewa

    Jakarta

    Komet antar bintang 3I/ATLAS yang semula dianggap sebagai “kapsul waktu” dari sistem bintang jauh ternyata tidak se-murni yang diharapkan para astronom. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa komet ini telah mengalami pemrosesan intens oleh sinar kosmik galaktik selama miliaran tahun, sehingga material di permukaan komet telah berubah secara signifikan.

    Temuan ini membuat para ilmuwan kecewa, sebab harapan untuk mempelajari komposisi asli dari sistem bintang asalnya menjadi lebih sulit.

    3I/ATLAS pertama kali terdeteksi pada 1 Juli 2025 oleh sistem ATLAS (Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System). Ia merupakan objek antar bintang ketiga yang pernah teramati memasuki Tata Surya, setelah 1I/’Oumuamua pada 2017 dan 2I/Borisov pada 2019. Berbeda dengan asteroid, 3I/ATLAS adalah komet aktif yang memiliki koma, yaitu awan gas dan debu yang terbentuk ketika es memanas saat mendekati Matahari.

    Karena jarang sekali ada komet yang datang dari luar Tata Surya, para astronom berharap objek ini dapat memberikan gambaran langsung mengenai kondisi kimia dan fisik sistem bintang asalnya.

    Pengamatan menggunakan teleskop James Webb (JWST) dan misi SPHEREx menunjukkan rasio karbon dioksida (CO2) terhadap air (H2O) yang sangat tinggi di koma 3I/ATLAS. NASA menyebut rasio CO2/H2O ini sebagai yang tertinggi yang pernah terukur pada komet.

    Temuan tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah komet ini terbentuk di lingkungan yang berbeda secara ekstrem dari Tata Surya, atau ada proses lain yang mengubah komposisinya?

    Analisis lanjutan menunjukkan bahwa lapisan luar komet mengalami pemrosesan oleh sinar kosmik galaktik. Sinar kosmik berenergi tinggi tersebut mengubah karbon monoksida (CO) menjadi CO2, sekaligus membentuk lapisan kerak organik yang menutupi material asli di bawahnya.

    Para peneliti memperkirakan bahwa pemrosesan ini terjadi selama sekitar satu miliar tahun, baik saat komet masih berada di wilayah jauh dari bintang asalnya, maupun selama perjalanan panjang antar bintang menuju Tata Surya.

    Dengan kata lain, apa yang terlihat saat ini bukanlah komposisi asli, melainkan permukaan yang sudah “termodifikasi” oleh lingkungan galaksi.

    Temuan ini mengecewakan para astronom yang berharap 3I/ATLAS dapat memberikan gambaran murni tentang material pembentuk sistem planet lain. Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa objek antar bintang mungkin membawa jejak perubahan fisika dan kimia akibat paparan ruang antar galaksi.

    “Alih-alih menjadi utusan murni, komet antar bintang tampaknya mencerminkan perjalanan panjang dan proses radiasi yang mereka alami,” tulis tim peneliti.

    Namun, para ilmuwan menegaskan bahwa penelitian belum selesai. Jika aktivitas komet meningkat saat mendekati Matahari, ada kemungkinan material murni di bawah permukaan dapat terangkat ke luar.

    Meski penemuan ini bukan kabar baik, 3I/ATLAS tetap menjadi laboratorium alami yang berharga. Studi lanjutan dapat membantu memahami bagaimana radiasi galaksi memengaruhi objek es, baik di dalam maupun di luar Tata Surya.

    Pengamatan terhadap komet ini masih berlangsung dari berbagai observatorium di seluruh dunia. Para astronom berharap fase berikutnya dapat membuka akses ke material yang lebih dalam dan lebih murni.

    (afr/afr)

  • Elon Musk Sebut Komet 3I/ATLAS Bisa Jadi Pesawat Alien, Manusia Terancam Punah

    Elon Musk Sebut Komet 3I/ATLAS Bisa Jadi Pesawat Alien, Manusia Terancam Punah

    GELORA.CO — Jagat maya kembali dihebohkan dengan kemunculan benda langit misterius bernama 3I/ATLAS, komet raksasa yang kini menjadi bahan perbincangan para astronom sekaligus teori konspirasi dunia.

    Tidak sedikit yang meyakini bahwa benda angkasa berukuran sekelas Manhattan itu bukan sekadar komet, melainkan pesawat luar angkasa milik makhluk asing (alien).

    Komet 3I/ATLAS pertama kali menarik perhatian ilmuwan setelah dilaporkan mencapai titik terdekat dengan Matahari pada Kamis (25/10/2025) pekan lalu.

    Namun, yang membuat publik gempar adalah perilaku aneh komet tersebut.

    Ia tidak hanya bergerak cepat melintasi orbit normalnya, tetapi juga tampak mendekat ke beberapa planet seperti Jupiter, Venus, dan Mars.

    Fenomena ini memunculkan dugaan bahwa ada kekuatan non-gravitasi yang memengaruhi lintasannya. 

    Dalam sebuah podcast populer “The Joe Rogan Experience”, pengusaha sekaligus bos SpaceX Elon Musk bahkan mengamini teori yang menyebut 3I/ATLAS bisa jadi merupakan bentuk teknologi alien.

    “[3I/ATLAS] berpotensi menghancurkan sebuah benua, bahkan lebih buruk,” ujar Musk, dikutip dari New York Post, Senin (3/11/2025). Ia menambahkan, laporan yang menyebut komet itu terbuat dari unsur logam nikel menambah keyakinannya bahwa benda tersebut mungkin buatan cerdas, bukan alami.

    Dalam percakapan yang sama, Joe Rogan menimpali dengan nada khawatir: jika benar 3I/ATLAS adalah pesawat luar angkasa, manusia menghadapi ancaman besar.

    Musk mengangguk dan menyebut kemungkinan terburuknya adalah “kepunahan sebagian besar kehidupan manusia.”

    Musk kemudian menjelaskan, tingkat kehancuran dari 3I/ATLAS bergantung pada massa totalnya.

    Ia menyinggung sejarah Bumi yang telah mengalami lima peristiwa kepunahan massal, salah satunya pada masa Perm-Trias, ketika hampir seluruh makhluk hidup musnah jutaan tahun lalu.

    “Ada banyak peristiwa yang mungkin tidak terekam dalam catatan fosil, meski menghancurkan sebagian besar daratan,” ujar Musk.

     “Mungkin saja ada dampak yang cukup besar untuk memusnahkan seluruh kehidupan di separuh Amerika Utara pada masa lalu.”

    Sementara itu, NASA mencoba menenangkan publik.

    Badan antariksa Amerika Serikat itu menyebut bahwa pada jarak terdekatnya, komet 3I/ATLAS hanya akan melintas sejauh 170 juta mil dari Bumi terlalu jauh untuk menimbulkan bahaya.

    Namun, keraguan publik meningkat setelah Avi Loeb, ilmuwan Harvard yang dikenal dengan pandangan kontroversial tentang keberadaan peradaban alien, mempublikasikan analisis berbeda.

    Dalam tulisan blognya, Loeb menyebut adanya “percepatan non-gravitasi” yang bisa menjadi tanda keberadaan mesin internal dalam struktur komet tersebut.

    Ia juga mencatat perubahan warna pigmen komet yang menjadi lebih terang dan kebiruan saat mendekati Matahari.

     “Fenomena ini mungkin bukan hanya pantulan sinar, melainkan efek dari teknologi buatan,” tulisnya.

    Hingga kini, belum ada bukti ilmiah yang mengonfirmasi bahwa 3I/ATLAS merupakan pesawat alien. (*)

  • Kabar Terbaru Astronaut China Terdampar Tak Bisa Pulang

    Kabar Terbaru Astronaut China Terdampar Tak Bisa Pulang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tiga astronaut China atau diistilahkan taikonaut tidak bisa kembali ke Bumi sesuai jadwal. Mereka dikabarkan terdampar di orbit rendah bumi (low-Earth orbit/LEO).

    Kapsul yang rencananya digunakan untuk membawa mereka pulang diduga mengalami kerusakan setelah terkena serpihan puing luar angkasa. Insiden itu terjadi hanya berselang beberapa jam sebelum waktu kepulangan yang sudah ditetapkan.

    Ketiganya dijadwalkan kembali ke Bumi pada pekan ini, setelah menghabiskan 6 bulan di orbit.

    Namun, kepulangan 3 taikonaut terhambat gara-gara kerusakan pada pesawat luar angkasa Shenzhou-20 yang mereka tumpangi, berdasarkan pernyataan yang dibagikan Lembaga Luar Angkasa China (CMSA).

    “Pesawat luar angkasa berawak Shenzhou-20 diduga tertabrak oleh serpihan kecil puing luar angkasa, dan analisis dampak serta penilaian risiko sedang dilakukan,” kata CMSA dalam sebuah pernyataan yang diterjemahkan dan dilaporkan secara luas.

    Ketiga taikonaut yang ‘terdampar’ di antariksa adalah Chen Dong, Chen Zhonrui, dan Wang Ije. Mereka terpaksa tertahan di stasiun luar angkasa Tiangdong, bersama dengan 3 taikonaut yang baru tiba pada akhir bulan lalu sebagai kru pengganti.

    Jika kerusakan pada pesawat antariksa tersebut dianggap menimbulkan ancaman terhadap keselamatan kru, badan antariksa China harus mencari cara lain untuk membawa pulang para taikonaut.

    Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah mengirim pesawat luar angkasa lain. Namun, belum jelas berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengaturnya.

    Ini bukan kali pertama astronaut harus tinggal di antariksa lebih lama dari yang direncanakan. Awal tahun ini, astronaut NASA Butch Wilmore dan Suni Williams akhirnya kembali ke Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) setelah masalah teknis pada pesawat luar angkasa Boeing Starliner membuat mereka terjebak di orbit selama 9 bulan lebih lama dari yang diperkirakan. Keduanya akhirnya kembali dengan kapsul SpaceX Crew Dragon.

    Dilema yang saat ini dihadapi para pejabat antariksa China menyoroti tantangan berkelanjutan berupa puing-puing antariksa di LEO, dengan bagian-bagian roket yang telah habis dan satelit yang dinonaktifkan.

    Selain itu, ada pecahan-pecahan kecil yang disebabkan oleh tabrakan yang melibatkan objek-objek ini, menyebabkan meningkatnya risiko bahaya bagi astronaut dan satelit yang beroperasi.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Siap-siap Komet 3I/ATLAS Mendekat ke Bumi, Benarkah Pesawat Alien?

    Siap-siap Komet 3I/ATLAS Mendekat ke Bumi, Benarkah Pesawat Alien?

    GELORA.CO –  Keberadaan Komet 3I/ATLAS yang mendekat ke matahari menjadi perbincangan di masyarakat khususnya di kalangan penganut teori konspirasi.

    Komet 3I/ATLAS menjadi target spekulasi ekstrem, termasuk teori konspirasi yang menuduh bahwa 3I/ATLAS adalah pesawat luar angkasa alien.

    Para penganut teori konspirasi percaya pemerintah Amerika Serikat mencoba menyembunyikan bukti sifat aslinya. 

    Terlebih disebutkan warna komet 3I/ATLAS telah berubah-ubah seiring waktu. 

    Lalu benarkan komet 3I/ATLAS merupakan pesawat alien?

    Spekulasi liar tentang komet 3I/ATLAS tersebut dibantah seorang postdoctoral fellow di Lowell Observatory di Arizona dan salah satu penulis studi tersebut Qicheng Zhang.

    Zhang menegaskan bahwa tidak ada bukti perubahan warna berulang pada koma gas komet. 

    “Kami tidak memiliki bukti untuk koma gas yang berubah warna,” kata Qicheng Zhang seperti dikutip dari Kompas.com 

    Zhang menjelaskan bahwa komet sering disebut “bola salju kotor” karena inti padatnya terbuat dari gas beku yang mengandung debu dan batuan. 

    Ketika komet mendekati Matahari, gas beku ini menyublim menjadi gas, menciptakan lingkaran gas terang yang disebut “koma.” 

    Menurut Zhang, secara teknis, komet 3I/ATLAS hanya terlihat “berubah warna” sekali, yaitu ketika koma gasnya menjadi cerah saat komet mengeluarkan gas karena pemanasan Matahari awal tahun ini. 

    Peristiwa ini sudah terjadi jauh sebelum laporan tentang “perubahan warna” yang dianggap baru muncul. 

    “Sejauh yang kami tahu, komet hanya berubah warna sekali ketika koma gasnya pertama kali terlihat atau terang, dan sekarang masih seperti itu (hanya lebih terang),” ujar Zhang. 

    Ia menambahkan bahwa pencerahan dan rona biru/hijau sudah mulai terlihat sejak awal September melalui foto-foto dari astronom amatir.

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa koma gas kemungkinan besar masih ada dan berkontribusi secara substansial pada kecerahan keseluruhan.

    Namun, Zhang menegaskan bahwa tanpa spekulasi ekstrem pun, objek ini sudah cukup mempesona. 

    Lintasan tak terduganya melalui sudut kosmos kita menawarkan “rare peek” (pandangan langka) ke kondisi di luar Tata Surya.

    Banyak teleskop berbasis darat, bahkan teleskop konsumen sekecil 6 inci, serta teleskop ruang angkasa seperti Hubble, ExoMars Trace Gas Orbiter (Eropa), dan Tianwen-1 (China) berhasil menangkap citranya. 

    Komet 3I/ATLAS akan melakukan pendekatan terdekatnya dengan Bumi pada 19 Desember 2025 melintas pada jarak sekitar 270 juta kilometer (167 juta mil). 

    Para ilmuwan berharap untuk belajar lebih banyak tentang objek unik ini saat ia menjauhi Matahari.

    Sementara itu dimuat situs NASA Komet 3I/ATLAS tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi dan akan tetap jauh. 

    Jarak terdekatnya dengan planet kita adalah sekitar 1,8 unit astronomi atau sekitar 270 juta kilometer dari bumi. 

    3I/ATLAS akan mencapai titik terdekatnya dengan Matahari sekitar 30 Oktober 2025, pada jarak sekitar 1,4 au atau 210 juta kilometer tepat di dalam orbit Mars.

    Ukuran dan sifat fisik komet antarbintang sedang diselidiki oleh para astronom di seluruh dunia. 

    3I/ATLAS diperkirakan akan tetap terlihat oleh teleskop berbasis darat hingga September 2025, setelah itu ia akan terlalu dekat dengan Matahari untuk diamati. 

    Ia akan muncul kembali di sisi lain Matahari pada awal Desember 2025, sehingga memungkinkan pengamatan ulang.

  • Peluncuran Roket Raksasa Milik Jeff Bezos Tertunda Akibat Kapal Pesiar

    Peluncuran Roket Raksasa Milik Jeff Bezos Tertunda Akibat Kapal Pesiar

    Bisnis.com, JAKARTA— Perusahaan antariksa milik Jeff Bezos, Blue Origin, menunda peluncuran kedua roket raksasa New Glenn yang sedianya dilakukan pada Minggu, 9 November 2025 waktu setempat. 

    Melansir laman TechCrunch pada Senin (10/11/2025) penundaan disebabkan oleh kombinasi faktor, mulai dari cuaca yang kurang mendukung, sejumlah kendala teknis di area peluncuran, hingga keberadaan kapal pesiar yang melintas terlalu dekat dengan jalur penerbangan roket.

    Dalam pernyataan resminya pada Minggu malam, Blue Origin menyampaikan peluncuran akan dijadwalkan ulang pada Rabu, 12 November, di Cape Canaveral, Florida. Jendela peluncuran akan dibuka mulai pukul 14.50 hingga 16.17 waktu setempat (ET).

    Misi ini menjadi langkah penting bagi Blue Origin karena membawa beberapa tujuan utama. Selain menjadi uji kemampuan roket untuk dapat digunakan kembali secara penuh, peluncuran ini juga merupakan misi komersial pertama New Glenn.

    Pada penerbangan perdananya bulan Januari lalu, New Glenn berhasil mencapai orbit, namun booster roket mengalami kegagalan saat mendarat di kapal drone di laut. 

    Dalam misi kedua ini, perusahaan menargetkan pendaratan booster yang sukses sebagai bukti kemajuan dalam desain dan keandalan roket. Roket New Glenn akan membawa wahana antariksa ESCAPADE milik NASA, yang akan melakukan misi menuju Mars, serta muatan demonstrasi teknologi milik Viasat yang juga merupakan bagian dari proyek NASA lainnya. 

    Keberhasilan peluncuran ini akan menjadi kunci bagi Blue Origin untuk menunjukkan kemampuannya mengirim muatan ke luar angkasa secara aman dan efisien, serta menekan biaya berkat sistem reusability atau penggunaan ulang roket.

    Peluncuran kedua ini sebelumnya telah beberapa kali mengalami penundaan sejak awal tahun. Pada Minggu, jendela peluncuran sempat dibuka pukul 14.45 ET, namun gangguan teknis dan kondisi cuaca membuat jadwal lepas landas terus bergeser.

    Menjelang hitungan akhir, sebuah kapal pesiar memasuki jalur penerbangan, menurut siaran tersebut. Meskipun kapal tersebut diperkirakan akan meninggalkan jalur sebelum pukul 16.15 ET, cuaca masih menjadi masalah, dan menyebabkan perusahaan membatalkan upaya tersebut.

  • NASA Beberkan Fakta Meteor Jatuh di Dekat Cirebon, Ada Fenomena Apa?

    NASA Beberkan Fakta Meteor Jatuh di Dekat Cirebon, Ada Fenomena Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah fenomena bola api terlihat di langit wilayah Cirebon pada Oktober 2025 lalu. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membenarkan bahwa fenomena tersebut adalah meteor.

    Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sebenarnya pernah menjelaskan tentang asal usul meteor dan perbedaannya dengan bintang jatuh.

    NASA menjelaskan bahwa ada tiga kata yang sering digunakan terkait benda langit yang jatuh ke Bumi yaitu meteoroid, meteor, dan meteorit. Tiga kata itu merujuk kepada benda yang sama dalam situasi yang berbeda.

    Meteoroid adalah bebatuan luar angkasa yang ukurannya bervariasi antara sekecil debu hingga asteroid berukuran kecil. Istilah ini digunakan selama batu tersebut masih melayan di antariksa.

    Kebanyakan meteoroid adalah serpihan dari benda langit lebih besar yang patah atau meledak. Meteoroid ada yang berasal dari komet, asteroid, hingga Bulan dan planet lain. Elemen pembentuk meteoroid beragam, mulai dari batu hingga logam.

    Sementara itu, meteor adalah meteoroid yang memasuki atmosfer Bumi atau planet lainnya yang jatuh dalam kecepatan tinggi kemudian terbakar. Fenemona ini yang membuat meteor sering juga disebut sebagai “bintang jatuh.” Meteor kadang tampak lebih terang dibanding Venus sehingga disebut sebagai “bola api.”

    Ilmuwan memperkirakan material meteor yang jatuh tiap hari ke Bumi total beratnya bisa mencapai 48,5 juta ton.

    Meteoroid yang tersisa dari gesekan di atmsofer dan jatuh di permukaan Bumi, diberi nama meteorit. Meteorit bisa berukuran sebesar kerikil hingga sebesar kepalan tangan manusia.

    Kebanyakan batu luar angkasa yang tertarik gravitasi Bumi ukurannya setara dengan lapangan sepak bola, tetapi sebagian besar hancur di atmosfer. Kecepatan yang sangat tinggi saat jatuh ke Bumi membuat batu tersebut dihantam tekanan yang sangat tinggi sehingga terurai dalam bentuk kobaran api terang. Biasanya, hanya sekitar 5 persen dari volume meteoroid yang “selamat” hingga menyentuh permukaan Bumi.

    Istilah lain terkait meteor adalah “hujan meteor” yang biasanya terlihat di langit yang cerah pada malam hari. Meskipun namanya “hujan”, fenomena ini sebetulnya terjadi saat Bumi melewati “reruntuhan” bekas komet atau asteroid. Oleh karena itu, hujan meteor bisa diprediksi dengan akurat.

    Hujan meteor biasanya diberi nama dari konstelasi bintang atau bintang yang paling dekat dengan asal meteor, relatif dari pengamat di Bumi. Perseid adalah hujan meteor yang paling terkenal dan bisa diamati tiap 12 Agustus.

    Meteorid yang menyebabkan hujan meteor Persied adalah material yang ditinggalkan oleh komet Swift-Tuttle yang melewati Matahari tiap 135 tahun. Ukuran bebatuan yang ditinggalkan hanya sebesar biji hingga pasir, sehingga selalu terbakar habis di atmosfer Bumi.

    Meteorit dan batu Bumi sulit dibedakan. Satu-satunya lokasi tempat meteorit tampak jelas dan mencolok adalah di padang pasir, karena warna meteorit yang gelap.

    Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin mengungkapkan hasil analisisnya atas fenomena langit yang membuat heboh warga Cirebon.

    “Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas memasuki wilayah Kuningan-Kabupaten Cirebon dari arah barat daya sekitar pukul 18.35-18.39 WIB,” kata Thomas dalam unggahan di akun Instagramnya, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Analisis Thomas didasari pemantauan berbagai tangkapan gambar dan sejumlah data, termasuk data BMKG Cirebon.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Temukan Objek Ajaib di Luar Angkasa, Lebih Terang dari Matahari

    NASA Temukan Objek Ajaib di Luar Angkasa, Lebih Terang dari Matahari

    Jakarta, CNBC Indonesia – Matahari ternyata bukan objek paling terang di luar angkasa. Ada objek lain yang dilaporkan 10 juta kali lebih terang dari pusat tata surya itu.

    NASA menyebutnya sebagai ULX dan ternyata melanggar hukum fisika Eddington, yang menentukan seberapa terang sebuah objek relatif pada ukurannya.

    Berdasarkan hukum fisika itu jika sebuah objek menembus batas Eddington, maka akan meledak. Namun ULX tetap bertahan, dan itu membuat NASA kebingungan.

    Sebuah penelitian yang dipublikasikan di The Astrophysical Journal telah mengamati ULX dengan Teleskop NuSTAR (Nuclear Spectroscopic Array) milik NASA. Dari teleskop itu berhasil merekam ULX bernama M82 X-2, yang sangat terang dan bukan sebuah ilusi optik.

    Awalnya ULX itu diduga sebuah lubang hitam. Ternyata sebuah bintang neutron, sisa inti bintang yang telah mati.

    Live Science menuliskan bintang neutron sangat padat membuat gravitasi di permukaan 100 triliun lebih kuat dari Bumi. Ini membuat objek yang tertarik ke permukaannya akan meledak.

    “Bahkan jika marshmallow yang jatuh ke permukaan bintang neutron, energi benturannya setara ribuan bom hidrogen,” kata NASA.

    NASA juga menemukan asal cahaya yang terang dari ULX. Disebutkan objek itu menelan material setara 1,5 Bumi per tahunnya.

    Materi yang berjumlah banyak itu akan menghasilkan intensitas cahaya yang dipancarkan ULX jika bertabrakan dengan permukaan bintang neutron.

    Tim peneliti memperkirakan fenomena terjadi karena medan magnet di bintang neutrin telah mengubah atom dalam ULX. Jadi membuat bentuknya tetap rapat dan bersinar kian terang.

    “Observasi ini untuk memantau efek dari medan magnet yang tidak bisa diciptakan di Bumi dengan teknologi saat ini. Ini adalah keindahan astronomi, kita tidak akan pernah bisa menguji fenomena di lab, kita harus menantikan alam semesta mengungkap rahasianya,” kata Matteo Bachetti, ahli astrofisika dari Observatori Astronomi Cagliari, penulis utama di laporan penelitian soal M82 X-s.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]