Kementrian Lembaga: NASA

  • Perang Melawan Trump, Kerajaan Bisnis Elon Musk Tumbang Seketika

    Perang Melawan Trump, Kerajaan Bisnis Elon Musk Tumbang Seketika

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perseteruan antara pengusaha kondang Elon Musk dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah membawa ancaman bagi kontrak luar angkasa SpaceX senilai US$ 22 miliar (Rp 357 triliun). Hal ini akan membawa guncangan bagi industri dirgantara luar angkasa Negeri Paman Sam.

    Mengutip Reuters, Kamis (5/6/2025), perselisihan tersebut, yang berakar dari kritik Musk terhadap undang-undang pemotongan pajak dan pengeluaran Trump yang dimulai minggu lalu, dengan cepat menjadi tidak terkendali. Trump menyerang Musk ketika presiden berbicara di Ruang Oval.

    Kemudian dalam serangkaian posting X, Musk melontarkan sindiran terhadap Trump, yang mengancam akan mengakhiri kontrak pemerintah dengan perusahaan-perusahaan Musk. Musk juga mengatakan bahwa ia akan mulai “menonaktifkan” wahana antariksa Dragon milik SpaceX yang digunakan oleh NASA.

    Ancaman Musk untuk tiba-tiba menghentikan layanan wahana antariksa Dragon menandai ledakan kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari salah satu mitra komersial terkemuka NASA.

    Berdasarkan kontrak senilai sekitar US$ 5 miliar (Rp 81 triliun), kapsul Dragon telah menjadi satu-satunya wahana antariksa AS milik badan antariksa tersebut yang mampu membawa astronot ke dan dari Stasiun Luar Angkasa Internasional. Hal ini menjadikan perusahaan Musk sebagai elemen penting dari program luar angkasa AS.

    Sekretaris pers NASA Bethany Stevens menolak berkomentar tentang SpaceX. Namun ia menegaskan akan terus mencoba memuaskan sejumlah pihak untuk kepentingan negara.

    “Kami akan terus bekerja dengan mitra industri kami untuk memastikan tujuan presiden di luar angkasa terpenuhi,” tuturnya.

    Trump dan Meroketnya SpaceX

    SpaceX meraih dominasi jauh sebelum Musk terjun ke politik Partai Republik tahun lalu. Analis menyebut bahwa membangun pangsa pasar yang tangguh dalam industri peluncuran roket dan komunikasi satelit yang dapat melindunginya dari perpecahan Musk dengan Trump.

    “Untungnya itu tidak akan menjadi bencana besar, karena SpaceX telah berkembang menjadi kekuatan global yang mendominasi sebagian besar industri luar angkasa, tetapi tidak diragukan lagi bahwa itu akan mengakibatkan hilangnya pendapatan yang signifikan dan hilangnya peluang kontrak,” kata Justus Parmar, CEO investor SpaceX, Fortuna Investments.

    Di bawah Trump dalam beberapa bulan terakhir, industri antariksa AS dan tenaga kerja NASA yang berjumlah 18.000 orang telah terombang-ambing oleh PHK yang mengancam. Pemotongan anggaran yang diusulkan Trump memberikan ancaman terhadap puluhan program sains.

    Calon Trump untuk administrator NASA, sekutu Musk dan astronot swasta miliarder Jared Isaacman, tampaknya menjadi korban awal keretakan Musk dengan presiden ketika Gedung Putih tiba-tiba mencoretnya dari posisi itu. Trump pada hari Kamis menjelaskan pemecatan Isaacman dengan mengatakan bahwa ia “sepenuhnya Demokrat”.

    Meski alasan pemecatan ini sangat politis, Wakil Administrator NASA Lori Garver mengatakan pembatalan kontrak SpaceX mungkin tidak sah. Tetapi, ia juga memberikan peringatan tegas kepada Musk

    “Seorang CEO nakal yang mengancam akan menonaktifkan wahana antariksa, yang membahayakan nyawa astronot, tidak dapat dipertahankan,” ujarnya.

    Bukan cuma SpaceX yang jadi korban, bisnis Musk lainnya juga hancur lebur karena perselisihan dengan Trump. Pada Kamis (5/6) waktu setempat, saham Tesla anjlok 14% dan menghapus nilai pasarnya sebesar US$150 miliar atau Rp2.438 triliun dalam sehari. 

    Investor dikatakan mengawasi dengan serius konflik Musk dan Trump. Kekhawatiran investor terbukti meruntuhkan kerajaan bisnis Musk seketika. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya!

    (tps/tps)

  • NASA Kasih Peringatan 30 Menit Tanda Kiamat Hantam Bumi

    NASA Kasih Peringatan 30 Menit Tanda Kiamat Hantam Bumi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) mulai mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk memprediksi fenomena luar angkasa yang terjadi di masa depan.

    Bahkan, NASA mengklaim bisa memberikan peringatan 30 menit sebelum ‘kiamat’ menghantam Bumi. Misalnya, dengan memanfaatkan AI, NASA bisa menganalisa dan memprediksi badai Matahari dahsyat.

    Peringatan dini akan mendeteksi lebih awal saat fenomena besar terjadi dan berpotensi menghancurkan wilayah tertentu. Cahaya bisa bergerak dari material yang disemburkan Matahari saat badai berlangsung.

    NASA akan mendapatkan data dari sejumlah satelit, seperti ACE, WIND, IMP-8, dan Geotail. Tugasnya adalah mengembangkan cara untuk mengetahui secara presisi kapan badai matahari terjadi dan dampak yang ditimbulkan.

    Dikutip dari Science Alert, para ilmuwan melatih model pembelajaran yang dinamakan DAGGER. Berbeda dengan algoritma prediktif lainnya, model ini memiliki peningkatan kecepatan.

    Tim peneliti mengungkapkan bisa memprediksi tingkat keparahan dan arah peristiwa kurang dari satu detik. Setiap menitnya, DAGGER juga bisa membuat prediksi.

    Beberapa kejadian badai Matahari memang berdampak besar pada sejumlah wilayah di Bumi. Misalnya pada 35 tahun lalu, saat wilayah Quebec tidak bisa teraliri listrik selama berjam-jam.

    Kerusakan besar juga terjadi pada peristiwa Carrington 150 tahun lalu. Saat itu infrastruktur listrik dan komunikasi rusak parah akibat badai.

    Sebelumnya, algoritma butuh waktu yang cukup lama untuk bisa memprediksi atau bahkan memberi peringatan saat badai akan menghantam Bumi.

    Namun, dengan bantuan AI, pengumpulan data dan analisa data terjadi lebih cepat dan bisa memberikan prediksi yang lebih cepat.

    (fab/fab)

  • Berantem dengan Trump, Kekayaan Elon Musk Turun Rp 141 T

    Berantem dengan Trump, Kekayaan Elon Musk Turun Rp 141 T

    Jakarta, Beritasatu.com – Saham Tesla anjlok mencapai 14,2% dengan penurunan mencapai US$ 152 miliar atau sekira Rp 2.471 triliun jika mengacu kurs Rp 16.250 per dolar AS. Penurunan ini tidak lepas karena perseteruan antara Elon Musk dan Donald Trump.

    Keduanya terlibat pertikaian, saling mengancam dan menghina melalui unggahan di platform media sosial masing-masing. Lewat Truth Social, Trump mengancam memangkas subsidi dan kontrak yang diberikan kepada perusahaan Musk, Tesla dan SpaceX.

    Sementara Musk mengancam akan menonaktifkan pesawat luar angkasa SpaceX, yang menjadi andalan NASA untuk misi transportasi. Bahkan dia juga menyerukan pemakzulan Trump, mencemooh kebijakan tarif presiden, dan menuduhnya berafiliasi dengan pelaku kejahatan seks terkenal Jeffrey Epstein.

    Melansir The Guardian, Jumat (6/6/2025), penurunan harga saham Tesla telah memangkas sekitar US$ 8,73 miliar atau Rp 141 triliun, dari total kekayaan bersih Musk. Penurunan saham US$ 152 miliar yang dilaporkan juga menurunkan nilai perusahaan menjadi sekira US$ 900 miliar.

    Tesla memang tengah terseok-seok sepanjang tahun ini, lantaran penurunan penjualan di seluruh dunia. Kehancuran tersebut merupakan eskalasi yang tiadk terduga dan dramatis dari keretakan yang semakin besar antara dua orang paling berkuasa di dunia.

    Elon Musk sendiri telah menyumbangkan US$ 275 juta untuk kampanye presiden Trump pada 2024. Hal ini tentu membuat investor was-was terkait bagaimana permusuhan ini dapat memengaruhi kerajaan bisnis Musk.

  • Trump Bakal PHK Sepertiga Pegawai NASA Tahun Depan, Anggaran Dipangkas 24%

    Trump Bakal PHK Sepertiga Pegawai NASA Tahun Depan, Anggaran Dipangkas 24%

    Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump berencana memangkas anggaran National Aeronautics and Space Administration (NASA) secara drastis pada tahun fiskal 2026. 

    Pemerintahan Trump disebut akan melakukan pemangkasan anggaran sebesar 24% dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap hampir sepertiga karyawan NASA. Rencana tersebut terungkap dalam dokumen anggaran rinci yang dirilis Gedung Putih pada 30 Mei lalu.

    Melansir laman Live Science pada Kamis (5/6/2025) dalam anggaran tersebut, NASA hanya akan menerima dana sebesar US$18,8 miliar pada 2026, turun dari US$24,8 miliar pada tahun sebelumnya. 

    Ini merupakan pemotongan anggaran satu tahun terbesar dalam sejarah NASA. Menurut The Planetary Society, dana tersebut merupakan level terendah NASA sejak tahun 1961 jika disesuaikan dengan inflasi.

    Pemotongan paling besar menyasar program sains NASA, yang akan turun hampir 47% menjadi US$3,9 miliar. Akibatnya, sejumlah misi penting akan dibatalkan, termasuk Mars Sample Return. 

    Ini merupakan proyek ambisius untuk membawa pulang sampel Mars yang telah dikumpulkan rover Perseverance. Misi lainnya yang terancam dihentikan adalah New Horizons yang merupakan penjelajah sistem tata surya luar yang pernah melintasi Pluto, Juno (pengorbit Jupiter), Mars Odyssey, MAVEN, dan kerja sama NASA dalam proyek Rosalind Franklin milik Badan Antariksa Eropa.

    “Secara keseluruhan, anggaran ini bertujuan membatalkan 41 proyek sains atau sepertiga dari keseluruhan portofolio sains NASA. Proyek-proyek ini unik dan akan membutuhkan miliaran dolar untuk diganti,” tulis The Planetary Society dalam pernyataannya. 

    Meski demikian , Teleskop Luar Angkasa Nancy Grace Roman yang sangat dinanti tidak masuk dalam daftar pemangkasan, walau hanya mendapat alokasi US$156,6 juta yang mana kurang dari setengah dari yang direncanakan NASA sebelumnya.

    Anggaran ini juga mengusulkan pemangkasan jumlah tenaga kerja NASA dari 17.391 menjadi 11.853 orang atau ada penurunan sekitar 32%. 

    Selain itu, Kantor Keterlibatan STEM NASA akan dihapus dengan alasan bahwa NASA akan tetap mampu menginspirasi generasi masa depan lewat misi-misinya.  

    Menurut The Planetary Society, kebijakan ini merupakan ancaman besar yang bisa “mematikan” salah satu aktivitas NASA yang paling penting, paling berhasil, dan paling banyak mendapat dukungan publik, yaitu program sainsnya.

    “Penghancuran sumber daya NASA secara radikal dan cepat akan mengurangi produktivitas, mengancam hilangnya pengetahuan institusional, dan menciptakan ketidakpastian ekonomi bagi industri nasional,” tulis The Planetary Society. 

    Selain pemangkasan program sains, anggaran tersebut juga mengonfirmasi pembatalan proyek stasiun luar angkasa Gateway yang akan mengorbit Bulan, serta penghentian roket Space Launch System (SLS) dan kapsul Orion setelah misi Artemis 3 yakni pendaratan berawak ke Bulan yang ditargetkan pada 2027. 

    Sebagai gantinya, pemerintah akan mengandalkan kendaraan swasta melalui program baru bertajuk “Commercial Moon to Mars (M2M) Infrastructure and Transportation Program” dengan alokasi dana sebesar US$864 juta.

    Namun demikian, rencana ini masih berupa proposal dan belum memiliki kekuatan hukum hingga disetujui oleh Kongres. The Planetary Society menilai anggaran ini tidak akan disetujui karena kemungkinan besar akan langsung ditolak begitu sampai di Kongres.

    “Kami melihat anggaran ini sebagai sesuatu yang sudah mati saat tiba di Kongres,” ungkap The Planetary Society.

  • Kecerdasan Buatan (AI) Bongkar Rahasia Asal Usul Guratan Gelap Misterius di Mars

    Kecerdasan Buatan (AI) Bongkar Rahasia Asal Usul Guratan Gelap Misterius di Mars

    Bisnis.com, JAKARTA  — Teknologi kecerdasan buatan (AI) mengungkapkan fakta baru dari guratan gelap misterius yang mengalir di permukaan Planet Mars. 

    Awalnya, selama puluhan tahun peneliti mengira guratan gelap misterius yang mengalir di permukaan Mars diduga terbentuk akibat aliran air kuno. Namun, AI mengungkap guratan tersebut kemungkinan besar terbentuk akibat pergerakan debu dan angin, bukan air.

    Penemuan ini dipublikasikan pada 19 Mei di jurnal Nature Communications dan berpotensi mengubah arah eksplorasi Mars, terutama dalam pencarian jejak kehidupan purba di planet merah tersebut.

    Guratan yang pertama kali diamati oleh misi Viking NASA pada 1976 ini tampak seperti garis-garis gelap yang membentang di lereng tebing dan dinding kawah Mars. Selama ini, ilmuwan menduga guratan tersebut terbentuk akibat aliran air yang mengikis permukaan Mars yang kini kering.

    Namun, tim peneliti yang dipimpin oleh Adomas Valantinas, ilmuwan planet di Brown University, menggunakan algoritma AI yang dilatih khusus untuk menganalisis pola guratan tersebut. 

    AI tersebut kemudian memindai 86.000 citra satelit dan memetakan 500.000 fitur guratan di seluruh Mars.

    “Keunggulan pendekatan big data seperti ini adalah kita bisa menyingkirkan beberapa hipotesis hanya dari pengamatan orbit, sebelum mengirim wahana ke lokasi,” ujar Valantinas dilansir dari Livescience, Kamis (5/6/2025). 

    Dengan memanfaatkan peta global guratan, para ilmuwan membandingkannya dengan data suhu, kecepatan angin, tingkat kelembapan, aktivitas longsor batuan, dan faktor lainnya. 

    Hasilnya, guratan lebih sering muncul di area dengan kecepatan angin dan endapan debu yang tinggi, mengindikasikan bahwa guratan terbentuk dari lapisan debu halus yang menggelincir di lereng curam.

    “Setelah kami memiliki peta global ini, kami bisa mencari korelasi dengan berbagai faktor lingkungan untuk memahami kondisi terbentuknya fitur ini,” jelas salah satu peneliti, Bickel.

    Selama ini, guratan yang dikenal sebagai recurring slope lineae (RSL) selalu menarik minat ilmuwan karena muncul secara musiman saat suhu Mars menghangat. Jika guratan ini terbentuk oleh air, maka area tersebut akan menjadi target utama pencarian kehidupan di Mars.

    Namun, temuan baru ini menyarankan agar eksplorasi lebih selektif dalam memilih lokasi pencarian air dan kehidupan di Mars, sehingga dapat membedakan antara petunjuk yang benar dan “red herring” alias petunjuk palsu.

    Penelitian ini menjadi langkah penting dalam memahami Mars secara lebih akurat, sekaligus menegaskan peran AI dalam mengungkap misteri planet tetangga kita.

  • Bukti Tsunami Monster Setinggi 200 Meter Guncang Bumi 9 Hari

    Bukti Tsunami Monster Setinggi 200 Meter Guncang Bumi 9 Hari

    Jakarta

    Tahun 2023, ilmuwan dibingungkan sinyal seismik misterius yang mengguncang dunia tiap 90 detik, selama sembilan hari. Sekarang dua tahun kemudian, rekaman satelit mengungkap sumber getaran menakutkan ini, yaitu mega tsunami raksasa yang menghantam Greenland.

    Ada dua mega tsunami terbukti menghantam fjord Greenland Timur. Fjord sendiri adalah teluk panjang dan sempit dengan dinding atau tebing curam yang terbentuk oleh gletser

    Gelombang raksasa itu, salah satunya setinggi 200 meter atau sekitar setengah Gedung Empire State, memasuki Dickson Fjord di Greenland Timur dan berguncang maju mundur selama sembilan hari di September 2023. Itu mengirimkan gelombang seismik yang bergema melalui kerak planet.

    Sinyal tersebut awalnya misteri bagi ilmuwan, tapi citra satelit dan darat melacak kemungkinan penyebabnya ke tanah longsor di fjord. Tanah longsor ini melepaskan gelombang, dikenal sebagai seiche, menyusul mencairnya gletser di balik fjord akibat perubahan iklim.

    Sebelumnya, tak ada bukti langsung dari seiche ini ditemukan. Sekarang, teori tersebut dikonfirmasi oleh satelit baru yang melacak air di permukaan laut. Temuan tersebut dipublikasikan di jurnal Nature Communications.

    “Perubahan iklim memunculkan fenomena ekstrem baru yang tak terlihat,” kata penulis studi Thomas Monahan, mahasiswa pascasarjana ilmu teknik di Universitas Oxford.

    “Kondisi ekstrem ini berubah paling cepat di daerah terpencil seperti Arktik, di mana kemampuan kita mengukur dengan sensor fisik terbatas. Studi ini menunjukkan bagaimana kita dapat memanfaatkan teknologi pengamatan Bumi satelit generasi berikutnya untuk mempelajari prosesnya,” paparnya.

    Untuk mengonfirmasi keberadaan seiche, ilmuwan memakai data satelit Surface Water and Ocean Topography (SWOT), proyek gabungan NASA dan CNES, badan antariksa Prancis.

    Diluncurkan Desember 2022, ia menggunakan instrumen Ka-band Radar Interferometer (KaRIn) untuk memetakan 90% air di seluruh permukaan laut.

    “Studi ini adalah contoh bagaimana data satelit generasi berikutnya dapat menyelesaikan fenomena yang jadi misteri di masa lalu,” kata rekan penulis Thomas Adcock, profesor ilmu teknik di Universitas Oxford.

    (fyk/fay)

  • Kondisi Terkini 2 Astronot NASA yang Sempat Terjebak 9 Bulan di Luar Angkasa

    Kondisi Terkini 2 Astronot NASA yang Sempat Terjebak 9 Bulan di Luar Angkasa

    Jakarta

    Astronot Amerika Serikat Butch Wilmore dan Sunita Williams menceritakan apa yang terjadi pada tubuh mereka setelah ‘terjebak’ 286 hari di luar angkasa. Perjalanan mereka ke International Space Station pada Juni 2024 harusnya hanya berjalan 8 hari.

    Hal tersebut terjadi akibat masalah teknis pada kapsul membuat misi diperpanjang hingga 9 bulan. Meski mereka kembali ke Bumi dengan selamat, ada kekhawatiran soal kondisi kesehatan.

    Pasca mendarat di bumi, Butch dan Sunita harus menjalani rehabilitasi selama 2 bulan di rumah sakit. Selama 2 bulan, Butch mengaku mengalami sakit punggung.

    “Gravitasi itu menyebalkan untuk suatu waktu, dan waktu itu berbeda-beda pada setiap orang,” kata Butch dikutip dari LadBible, Rabu (4/6/2025).

    Butch mengaku lehernya mulai terasa sakit saat kapsul memasuki atmosfer Bumi, dan nyerinya makin menjadi parah saat mendarat di lautan. Ia menyebut pengalaman itu sangat menguras energi.

    “Kami masih mengambang di kapsul di lautan, dan leher saya mulai terasa sakit, padahal kami bahkan belum dievakuasi. Saya masih merasakan nyeri di satu titik di punggung saya, bahkan setelah beberapa bulan,” cerita Butch.

    Tidur menjadi tantangan terbesar bagi Butch. Setelah 9 bulan di luar angkasa, butuh waktu baginya untuk memulihkan siklus tidur. Kini, ia mulai kembali ke rutinitas paginya dengan bangun pukul 4 pagi.

    Butch dan Sunita telah bekerja sama dengan tim medis National Aeronautics and Space Administration (NASA) untuk melatih kembali massa otot. Mereka juga harus berlatih untuk mengembalikan keseimbangan tubuh mereka dalam gravitasi bumi serta mencegah keropos tulang lebih lanjut.

    Semua masalah serius tersebut dapat muncul ketika seseorang terlalu lama berada di luar angkasa, akibat otot-otot yang cepat melemah.

    Setelah 2 bulan menjalani rehabilitasi medis, kondisi Butch dan Sunita sudah jauh lebih membaik, meski masih dalam tahap penyesuaian dengan kehidupan di bawah pengaruh gravitasi lagi.

    (avk/suc)

  • Asteroid Sebesar Golden Gate Bakal Dekati Bumi Besok 5 Juni 2025

    Asteroid Sebesar Golden Gate Bakal Dekati Bumi Besok 5 Juni 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Sebuah asteroid  yang ukurannya diperkirakan lebih besar dari Jembatan Golden Gate atau gedung Empire State akan melintasi Bumi besok, Kamis, 5 Juni 2025.

    Asteroid yang diberi nama 424482 (2008 DG5), diperkirakan berukuran antara 310 hingga 690 meter (1.017 hingga 2.264 kaki), menjadikannya masuk dalam 3% asteroid terbesar yang diketahui, menurut data dari SpaceReference.org.

    Meskipun ukurannya sangat besar, asteroid tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi. Objek tersebut akan melintas pada jarak 2,17 juta mil (3,49 juta kilometer) sekitar sembilan kali lebih jauh dari Bulan, yang mengorbit Bumi pada jarak rata-rata 238.855 mil (384.400 km).

    Meskipun lintasan tersebut tampak jauh dari Bumi, Badan Antariksa Eropa (ESA) menyebut peristiwa tersebut “jarang terjadi” karena skala asteroid dan pendekatannya yang relatif dekat.

    Menurut standar internasional, objek apa pun dengan diameter lebih dari 492 kaki (150 meter) yang melintas dalam jarak 4,6 juta mil (7,4 juta kilometer) dikategorikan sebagai “objek yang berpotensi berbahaya.” Dengan demikian, 2008 DG5 termasuk dalam klasifikasi tersebut, meskipun tidak ada bahaya tabrakan.

    Asal Usul dan Penemuan Asteroid 2008 DG5

    Asteroid 2008 DG5 termasuk dalam kelompok asteroid Apollo, yang dikenal karena orbitnya yang memotong lintasan Bumi mengelilingi Matahari. Objek tersebut menyelesaikan satu orbit matahari penuh kira-kira setiap 514 hari Bumi. Objek tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 2008 oleh para astronom dari Catalina Sky Survey, sebuah observatorium yang berbasis di Arizona yang beroperasi di bawah Program Pengamatan Objek Dekat Bumi milik NASA.

    Pendekatan dekat berikutnya akan terjadi pada tahun 2032.

    Meskipun 2008 DG5 akan lewat tanpa menimbulkan bahaya, para astronom sering berbicara tentang konsekuensi potensial dari objek serupa yang memasuki atmosfer Bumi. Asteroid sebesar ini dapat menyebabkan kerusakan regional yang luas, menghasilkan gelombang kejut, kebakaran, atau tsunami tergantung pada lokasi tumbukan.

    Untuk membuat perbandingan, pada peristiwa Tunguska tahun 1908, yang disebabkan oleh asteroid selebar hanya 130 kaki (40 meter), menghancurkan lebih dari 2.000 kilometer persegi hutan Siberia. Di ujung ekstrem, tumbukan Chicxulub, yang diyakini telah memusnahkan dinosaurus, melibatkan asteroid yang diperkirakan berdiameter 10 hingga 15 kilometer.

    Awal tahun ini, asteroid terpisah yang dikenal sebagai 2024 YR4 menjadi berita utama setelah prediksi awal menunjukkan kemungkinan tumbukan pada 22 Desember 2032. Objek tersebut, yang berdiameter sekitar 130 hingga 300 kaki—hampir setinggi Patung Liberty—awalnya menunjukkan peluang tabrakan sebesar 3,1%, tertinggi yang pernah tercatat untuk asteroid sebesar itu.

    Sistem Peringatan Terakhir Dampak Asteroid Terestrial (ATLAS) di Chili pertama kali mendeteksi 2024 YR4 pada 27 Desember 2024, yang memicu kekhawatiran luas. Namun, setelah analisis lebih lanjut, Pusat Studi Objek Dekat Bumi NASA mengumumkan pada 24 Februari bahwa kemungkinan dampak telah turun hingga mendekati nol.

     
     
     
     
     
     
     
     

     
     
     
     
     
     

  • Pendapatan SpaceX Tembus Rp253 Triliun 2024, Starlink Kontributor Utama

    Pendapatan SpaceX Tembus Rp253 Triliun 2024, Starlink Kontributor Utama

    Bisnis.com, JAKARTA  —  SpaceX, perusahaan roket milik Elon Musk, diperkirakan  mencatat pendapatan sekitar US$15,5 miliar atau Rp253,18 triliun pada 2024, dengan Starlink menjadi kontributor utama pendapatan tersebut.

    Selain itu, Angka ini menegaskan dominasi SpaceX yang makin kuat di sektor antariksa komersial global, sekaligus melampaui anggaran tahunan NASA untuk program komersial yang hanya sekitar US$1,1 miliar tahun depan.

    Elon Musk membagikan kabar ini melalui unggahan di platform X (sebelumnya Twitter), menyoroti pertumbuhan pesat bisnis peluncuran roket dan layanan satelit SpaceX.

    Sementara NASA tetap fokus pada eksplorasi luar angkasa dan riset ilmiah, SpaceX memanfaatkan permintaan tinggi untuk layanan peluncuran yang lebih murah dan komunikasi satelit. Inovasi utama SpaceX terletak pada roket Falcon 9 dan Falcon Heavy yang dapat digunakan kembali, sehingga memangkas biaya peluncuran secara signifikan dan memperbesar pangsa pasar global.

    Dilansir dari Reuters, Rabu (4/6/2025) pada 2024, SpaceX mencatat rekor dengan 134 peluncuran Falcon, menjadikannya operator peluncuran paling aktif di dunia. Perusahaan bahkan menargetkan 170 peluncuran hingga akhir tahun ini guna memenuhi permintaan pemasangan satelit yang terus meningkat.

    Pendapatan terbesar SpaceX saat ini berasal dari layanan internet satelit Starlink. Jaringan ini telah meluncurkan ribuan satelit untuk menyediakan akses internet broadband ke seluruh dunia.

    Pada November 2023, Musk mengumumkan bahwa Starlink sudah mencapai arus kas impas (breakeven cashflow). Meski Musk pernah menyatakan rencana untuk membawa Starlink go public, dia belum memberikan jadwal pasti.

    Selain Falcon, SpaceX juga tengah mengembangkan sistem roket raksasa Starship setinggi 122 meter. Musk menyebut Starship akan menjadi kunci utama dalam misi mengirim manusia ke Mars di masa depan.

    Tak hanya di sektor komersial, SpaceX juga bersaing di bidang pertahanan. Perusahaan ini, bersama dua mitra, menjadi kandidat terdepan untuk memenangkan kontrak penting dalam proyek pertahanan rudal “Golden Dome” milik pemerintah AS, menurut laporan Reuters pada April lalu.

  • Rusia dan China Bangun Pembangkit Listrik Nuklir di Bulan, Rampung 2036

    Rusia dan China Bangun Pembangkit Listrik Nuklir di Bulan, Rampung 2036

    Bisnis.com, JAKARTA — Rusia dan China akan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Bulan, yang akan menjadi sumber energi utama bagi Stasiun Penelitian Bulan Internasional (International Lunar Research Station/ILRS). Proyek ambisius ini ditargetkan rampung pada tahun 2036, sebagaimana tertuang dalam memorandum kerja sama kedua negara.

    Reaktor nuklir ini akan digunakan untuk memasok energi ke ILRS, stasiun penelitian yang dipimpin bersama oleh China dan Rusia. 

    Direktur Jenderal Badan Antariksa Rusia Roscosmos Yury Borisov mengatakan pembangunan reaktor kemungkinan besar akan dilakukan secara otonom tanpa kehadiran manusia langsung di lokasi. “Langkah-langkah teknologinya hampir siap,” kata Borisov dilansir dari Livescience, Rabu (4/6/2025).

    Roscosmos menyatakan bahwa stasiun ini akan digunakan untuk riset luar angkasa mendasar serta pengujian teknologi operasi jangka panjang tanpa awak, dengan prospek kehadiran manusia di Bulan di masa mendatang.

    ILRS telah menarik minat 17 negara untuk bergabung, termasuk Mesir, Pakistan, Venezuela, Thailand, dan Afrika Selatan. Fondasi stasiun ini akan dimulai lewat misi Chang’e-8 milik China pada tahun 2028, yang juga akan menjadi misi pendaratan astronot China pertama di permukaan Bulan.

    Rencana pembangunan ILRS pertama kali diumumkan pada Juni 2021. China dan Rusia akan mengirimkan modul-modul robotik menggunakan lima peluncuran roket super berat antara 2030 hingga 2035. Setelah infrastruktur dasar terbentuk, China akan melanjutkan ekspansi dengan menghubungkan ILRS ke stasiun luar angkasa yang mengorbit Bulan, serta dua node di ekuator dan sisi jauh Bulan.

    Kepala perancang proyek eksplorasi dalam China Wu Yanhua mengungkapkan model ILRS yang diperluas ini akan menjadi fondasi pendaratan manusia di Mars dan ditargetkan selesai pada 2050. 

    “Stasiun ini akan didukung oleh generator tenaga surya, radioisotop, dan nuklir, serta dilengkapi jaringan komunikasi permukaan Bulan dan Bumi, kendaraan penjelajah, hingga rover berawak,” kata Wu.

    Persaingan Global Eksplorasi Bulan

    Kesepakatan ini muncul di tengah meningkatnya ambisi China dalam program luar angkasa.

    Sejak pendaratan Chang’e-3 pada 2013, China telah menorehkan sejumlah prestasi, mulai dari menempatkan rover di Bulan dan Mars, mengambil sampel dari dua sisi Bulan, hingga memetakan permukaan satelit alami Bumi tersebut.

    Di sisi lain, Amerika Serikat melalui program Artemis juga tengah berlomba membangun kehadiran di Bulan. Namun, program Artemis III yang akan mengirim astronot NASA ke Bulan untuk pertama kalinya dalam lebih dari 50 tahun, kini mengalami sejumlah penundaan dan diperkirakan baru akan diluncurkan pada 2027.

    Sementara itu, masa depan stasiun luar angkasa Bulan milik NASA, Gateway, juga tak pasti. Proposal anggaran 2026 yang diajukan pemerintahan Trump mengusulkan pembatalan proyek Gateway, meski pembangunan modul-modul stasiun telah berjalan signifikan.

    Dengan dimulainya pembangunan pembangkit listrik nuklir di Bulan, Rusia dan China menandai babak baru dalam eksplorasi luar angkasa. Proyek ILRS bukan hanya menjadi simbol kemitraan strategis kedua negara, tetapi juga membuka peluang kolaborasi global untuk riset dan pengembangan teknologi antariksa masa depan.