Kementrian Lembaga: NASA

  • Apa Perbedaan Fenomena Solstis dan Ekuinoks? Begini Penjelasannya – Page 3

    Apa Perbedaan Fenomena Solstis dan Ekuinoks? Begini Penjelasannya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Fenomena solstis (solstice) atau titik balik matahari dan ekuinoks memicu perubahan musim di Bumi, tetapi ada perbedaan signifikan antara keduanya.

    Ekuinoks musim semi tahun 2025, yang terjadi pada tanggal 20 Maret, dengan apa yang diperkirakan akan terjadi selama titik balik matahari musim panas mendatang pada Sabtu, 22 Juni 2025, memiliki perbedaan signifikan

    Titik balik matahari musim panas dan musim dingin terjadi saat kemiringan Bumi ke arah matahari mencapai titik maksimumnya.

    Menurut NASA, solstis musim panas terjadi saat Belahan Bumi Utara mengalami siang hari terpanjang dan malam terpendek, sedangkan solstis musim dingin terjadi saat Belahan Bumi Utara mengalami siang hari terpendek dan malam terpanjang.

    “Solstis Juni menandai momen yang tepat di orbit Bumi–rambu astronomi yang konsisten–telah diamati manusia selama ribuan tahun,” kata NASA, sebagaimana dikutip dari Space.com, Jumat (20/6/2025).

    “Bangunan kuno dari Stonehenge hingga Chichén Itzá dibangun, sebagian agar selaras dengan solstis, yang menunjukkan betapa pentingnya peristiwa langit ini bagi banyak budaya,” NASA menambahkan.

    Sementara menurut National Weather Service, selama ekuinoks, Bumi tidak miring ke mana pun secara langsung, dan matahari jatuh tepat di atas ekuator, yang berarti akan ada jumlah siang hari dan gelap yang “hampir” sama di semua garis lintang.

     

  • Daftar Lokasi yang akan Mengalami Fenomena Solstis pada Sabtu, 21 Juni 2025 – Page 3

    Daftar Lokasi yang akan Mengalami Fenomena Solstis pada Sabtu, 21 Juni 2025 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pada Sabtu, 21 Juni 2025, Bumi akan mengalami titik balik Matahari alias summer solstice (fenomena solstis).

    Pada saat fenomena ini terjadi matahari akan berada di titik paling utara di Belahan Bumi Utara. Para astronom mengakui solstis musim panas sebagai hari pertama musim panas, meskipun hal itu tidak selalu dianggap sebagai awal musim panas yang “resmi”.

    “Solstis Juni menandai momen yang tepat di orbit Bumi–rambu astronomi yang konsisten–telah diamati manusia selama ribuan tahun,” kata NASA, sebagaimana dikutip dari Space.com, Kamis (19/6/2025).

    “Bangunan kuno dari Stonehenge hingga Chichén Itzá dibangun, sebagian agar selaras dengan solstis, yang menunjukkan betapa pentingnya peristiwa langit ini bagi banyak budaya,” NASA menambahkan.

    Lantas, lokasi mana saja akan mengalami fenomena solstis pada Jumat, 20 Juni 2025 di jam 10:42 ET atau Sabtu, 21 June 2025 di jam 09:42 WIB?

    Ribuan pengunjung diperkirakan akan berbondong-bondong ke berbagai daerah di seluruh Belahan Bumi Utara untuk merayakan summer solstice melalui berbagai ritual.

    Beberapa di antaranya di Stonehenge, Inggris hingga festival pertengahan musim panas di seluruh Swedia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia. Fenomena ini juga akan terjadi di daerah sekitar khatulistiwa, termasuk Indonesia.

  • Batu Berusia 2 Miliar Tahun Dibuka, Peneliti Kaget Ada Makhluk Hidup

    Batu Berusia 2 Miliar Tahun Dibuka, Peneliti Kaget Ada Makhluk Hidup

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah batu berusia lebih dari 2 miliar tahun berhasil ditemukan. Kagetnya makhluk mikro-organisme yang ada di dalamnya masih dalam keadaan hidup.

    Temuan itu diungkap pada artikel dalam jurnal Microbial Ecology. Batuan ditemukan dengan metode pengeboran ultra dalam di Afrika Selatan.

    Para peneliti cukup kaget dengan temuan kehidupan dalam batuan kuno itu. Sebab, mereka tidak tahu apakah batuan berusia sangat tua tersebut bisa ditinggali oleh mikroba.

    “Kami tidak tahu apakah batu berusia 2 miliar tahun bisa ditinggali. Sampai saat ini, lapisan geologi tertua yang di dalamnya ditemukan mikro-organisme hidup berusia 100 juta tahun yang terkubur di bawah dasar laut. Artinya, ini penemuan yang mengesankan,” kata Yohey Suzuki, salah satu peneliti dari Graduate School of Science di University of Tokyo.

    Sebagai informasi, kehidupan secara teori yang diterima pertama kali muncul sekitar 3,5 tahun. Manusia sendiri baru muncul ratusan ribu tahun silam.

    Temuan tersebut bisa membuka peluang untuk melakukan penelitian terkait ekosistem dan evolusi biologi berusia miliar tahun. Selain itu juga terkait genetika, karena mikroba dalam batuan memiliki evolusi yang sangat lambat.

    “Dengan meneliti DNA dan genomik mikroba seperti ini, kita bisa memahami evolusi pada era terawal di Bumi,” kata Suzuki.

    Sementara itu, koalisi peneliti internasional percaya penelitian mikroba di batuan kuno dapat berdampak pada upaya pencarian kehidupan lain di Bumi.

    NASA memiliki misi untuk mengambil sampel fisik dengan menggunakan robot Perseverance di Mars dan dikirim ke Bumi. Peneliti batauan kuno di Bumi memperkirakan sampel dari Mars usianya akan sama dengan batuan yang dibor di Afrika Selatan.

    “Menemukan kehidupan mikroba di Bumi dari 2 miliar tahun lalu dan bisa mengkonfirmasi keasliannya membuat saya semangat, ingin tahu apa yang bisa kita temukan dari sampel di Mars,” kata Suzuki.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump Tendang Ilmuwan AS, Jepang Mau Tampung Siapkan Rp 11 Triliun

    Trump Tendang Ilmuwan AS, Jepang Mau Tampung Siapkan Rp 11 Triliun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jepang serius ingin menjadi magnet baru bagi ilmuwan dunia. Negara ini menyiapkan dana jumbo 100 miliar yen atau sekitar Rp11 triliun demi menarik para peneliti global, termasuk dari Amerika Serikat yang kecewa terhadap kebijakan mantan Presiden Donald Trump.

    Kyodo News Plus melaporkan bahwa kebijakan ini dibuat sebagai pengakuan atas semakin ketatnya persaingan global dalam menarik talenta terbaik, khususnya di bidang kecerdasan buatan (AI) dan semikonduktor.

    Meski tidak hanya menyasar ilmuwan asal AS, mereka tetap menjadi target utama, demikian dikutip dari The Register, Kamis (19/6/2025).

    Hal ini terjadi karena pemerintahan Trump melakukan sejumlah pemangkasan anggaran ilmiah di AS, termasuk terhadap NASA dan National Science Foundation.

    Adapun paket pendanaan ini termasuk proyek Universitas Tohoku yang siap menggelontorkan 30 miliar yen untuk merekrut 500 peneliti, baik lokal maupun internasional.

    “Kami akan berupaya sekuat tenaga menjadikan negara kami yang paling menarik di dunia bagi para peneliti,” kata Minoru Kiuchi, Menteri Keamanan Ekonomi Jepang.

    Inisiatif ini muncul di tengah persaingan global dalam merebut ilmuwan terbaik. Jepang bukan satu-satunya yhang memiliki program ini.

    Uni Eropa sudah lebih dulu telah mengumumkan program serupa senilai 500 juta euro, sementara Inggris mengalokasikan 50 juta pound sterling untuk menarik akademisi AS. Prancis bahkan menawarkan “tempat aman” bagi peneliti Amerika.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Gerhana Matahari Buatan-Korona, Apa Hubungannya dengan Jaringan Ponsel-Listrik Bumi?

    Gerhana Matahari Buatan-Korona, Apa Hubungannya dengan Jaringan Ponsel-Listrik Bumi?

    Jakarta

    Awal Juni lalu, misi Solar Orbiter, kolaborasi Badan Antariksa Eropa (ESA) dan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), untuk pertama kalinya berhasil mengamati kutub-kutub matahari.

    Tak sampai seminggu kemudian, Proba-3 — misi Eropa lainnya yang diluncurkan dari India pada Desember 2024 — memfokuskan pengamatannya pada korona matahari, yaitu lapisan terluar dari atmosfer matahari.

    Proba-3 mencetak prestasi baru

    Misi ini terdiri dari dua pesawat antariksa yang terbang berjarak sekitar 150 meter. Kedua pesawat tersebut melakukan manuver terbang dengan presisi hingga milimeter, sehingga salah satu pesawat dapat membayangi yang lain, menciptakan gerhana matahari buatan.

    Gerhana buatan ini memungkinkan Proba-3 memblokir sinar terang matahari secara langsung, sehingga hanya korona di sekelilingnya yang tampak. Sejauh ini, tidak ada wahana lain yang berhasil mengamati korona sedekat ini dengan permukaan matahari.

    Mengapa korona matahari menarik perhatian ilmuwan

    Korona matahari menjadi sumber misteri dan kebingungan bagi para ilmuwan. Sementara, peluang untuk mengamati seluruh korona secara utuh sangat terbatas.

    Korona memiliki tiga bagian utama: Korona atas, korona bawah, dan sebuah celah di antara keduanya. Meskipun sudah ada instrumen yang dapat mempelajari korona atas dan bawah, celah tersebut biasanya hanya terlihat dari Bumi saat terjadi gerhana matahari alami.

    Satu hal yang membingungkan: Korona jauh lebih panas dibanding permukaan matahari.

    Para astronom memperkirakan, karena korona berada jauh di atas permukaan dan membentang jauh ke luar angkasa, seharusnya korona lebih dingin, bukan lebih panas.

    Proba-3: Teknologi antariksa dengan presisi tinggi

    Dua pesawat Proba-3 — Occulter dan Coronagraph — secara rutin menciptakan gerhana matahari buatan setiap 19 jam 36 menit saat mengorbit, dan menjaga formasi presisi selama enam jam.

    Teleskop biasa akan terganggu oleh cahaya matahari yang sangat terang sehingga tak bisa melihat korona. Namun, Occulter dengan tepat memblokir cahaya tersebut. Dengan diameter hanya 1,4 meter, cakram ini menghasilkan bayangan selebar delapan sentimeter, cukup untuk menciptakan gerhana buatan.

    “Melihat gambar-gambar menakjubkan ini yang mengonfirmasi teknologi kami sungguh sangat membanggakan,” ujar Direktur Teknologi ESA, Dietmar Pilz, dalam siaran pers baru-baru ini.

    Pesawat-pesawat ini terbang secara otonom, menggunakan penjejak bintang untuk mengenali rasi bintang dan GPS untuk navigasi.

    Cara baru mengamati matahari

    Para astronom kini mendapatkan pemahaman baru yang cepat mengenai matahari. Pada awal Juni 2025, ESA dan NASA merilis gambar pertama kutub matahari hasil observasi Solar Orbiter.

    Solar Orbiter menggunakan orbit baru yang dirancang khusus untuk mengamati kutub matahari dan mengumpulkan data tentang medan magnet, siklus matahari, serta fenomena cuaca matahari.

    “Kutub matahari benar-benar wilayah yang belum pernah dijelajahi sebelumnya,” papar Sami Solanki dari Max Planck Institute for Solar System Research dalam siaran pers ESA, 11 Juni lalu.

    Sementara itu, pada tahun 2021, Parker Solar Probe NASA menjadi wahana pertama yang terbang melewati korona matahari. Probe ini dirancang tahan panas dan radiasi, sehingga dapat memberikan pengamatan paling dekat terhadap bintang kita.

    Misi Proba-3 juga berupaya meningkatkan pemahaman tentang cuaca matahari seperti lontaran massa korona dan badai matahari, yang dapat berdampak pada satelit komunikasi dan jaringan listrik di Bumi.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Astronaut NASA Bagikan Potret Tak Terduga Bumi dari Luar Angkasa

    Astronaut NASA Bagikan Potret Tak Terduga Bumi dari Luar Angkasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Jonny Kim, seorang astronaut NASA, berhasil mengabadikan pemandangan luar biasa Bumi yang dilihatnya dari Stasiun Luar Angkasa (ISS). Video time lapse-nya diunggah ke akun X miliknya.

    Pemandangan tersebut gabungan dari aurora, badai petir dan lampu-lampu kota yang berada di sisi malam Bumi. Berkat rekannya sesama kru ISS, Nichole ‘Vapor’ Ayers, Kim berhasil menangkap gambar aurora pertamanya.

    “Setelah melihat hasilnya, saya mengatakan [kepada Vapor] ini seperti memancing. Kami menyiapkan kamera, sudut, pengaturan, dudukan, dan mengatur pengatur waktu, dan kembali dengan harapan bisa mendapatkannya,” kata dia dalam unggahannya, dikutip dari Space, Senin (16/4/2025).

    “Dan setelah menangkap ikan pertama saya, saya ketagihan. Terima kasih, Vapor!” jelasnya menambahkan.

    Foto: Seorang astronot mengabadikan momen aurora berkilauan dari luar angkasa yang dibagikan pada sosial media X pribadinya. (X/@JonnyKimUSA)
    Seorang astronot mengabadikan momen aurora berkilauan dari luar angkasa yang dibagikan pada sosial media X pribadinya. (X/@JonnyKimUSA)

    Rekaman video itu dimulai saat Matahari terlihat terbenam di sisi lain Bumi. Bintang-bintang terlihat bersinar di atas garis luar atmosfer planet dan mengandung gas saat Matahari terbenam.

    [Gambas:Twitter]

    Sementara itu, lampu-lampu kota dan badai petir ikut tertangkap kamera Kim. Keduanya berada di bagian bawah awan selama video.

    Space menuliskan pemandangan warna-warni dari video Kim akibat partikel-partikel energik yang dibawa angin Matahari bertabrakan dengan Bumi. Fenomena tersebut menarik oksigen dan nitrogen yang berada di bagian atas atmosfer.

    Video itu berakhir saat ISS berada di sisi siang planet. Stasiun tersebut melakukan 16 putaran planet setiap 24 jam dengan rata-rata kecepatan mencapai 28 ribu per jam.

    Kim yang seorang mantan anggota Angkatan Laut AS SEAL pergi ke ISS pada 8 April 2025. Dia menggunakan pesawat antariksa Soyuz dari Rusia menuju ke luar angkasa.

    Selama 8 bulan di ISS, dia akan bekerja sebagai teknisi penerbangan untuk Expedition 73.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Bikin Heboh, Buat Satelit Raksasa Baru Pemantau Bumi

    NASA Bikin Heboh, Buat Satelit Raksasa Baru Pemantau Bumi

    Jakarta, CNBC Indonesia – NASA bersama badan antariksa India (ISRO) akan meluncurkan satelit observasi Bumi terbaru bernama NISAR (NASA-ISRO Synthetic Aperture Radar) dalam beberapa hari ke depan. Satelit seberat hampir 3 ton ini dijadwalkan meluncur dari Satish Dhawan Space Centre, India.

    Dikembangkan dengan dana mencapai US$ 1,5 miliar, NISAR dipersenjatai radar sepanjang 12 meter dan dirancang untuk mendeteksi perubahan permukaan Bumi hingga ke tingkat sentimeter, secara hampir real-time, siang maupun malam, dan dalam kondisi cuaca apa pun.

    NISAR menggunakan teknologi Synthetic Aperture Radar (SAR) yang memungkinkan pencitraan aktif dengan memancarkan sinyal radar, bukan bergantung pada pantulan cahaya matahari seperti satelit observasi konvensional. Dengan SAR, satelit ini bisa “melihat” melalui awan, asap, bahkan sebagian vegetasi lebat.

    Artinya, NISAR akan sangat berguna di wilayah tropis yang sering tertutup awan, serta saat terjadi bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, hingga letusan gunung berapi.

    Tak hanya itu, radar SAR juga mampu mendeteksi keberadaan air karena karakteristik unik pantulan sinyalnya. Ini menjadikan NISAR alat vital untuk pengelolaan air, pemantauan perubahan iklim, serta pertanian presisi.

    Sang-Ho Yun, Direktur Remote Sensing Lab di Earth Observatory of Singapore, menyebut NISAR sebagai terobosan besar. Yun telah menggunakan data SAR dalam ratusan respons bencana dalam 15 tahun terakhir, termasuk gempa, banjir, dan topan.

    Satelit observasi sebelumnya hanya dapat bekerja di siang hari dan saat cuaca cerah karena mengandalkan pantulan cahaya matahari. Hal ini membuat wilayah tropis dan waktu malam menjadi tantangan.

    NISAR dapat menghapus keterbatasan ini, dan memberi pengawasan global non-stop terhadap perubahan alam Bumi.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bumi pun Bernapas dan Berdenyut Seperti Manusia

    Bumi pun Bernapas dan Berdenyut Seperti Manusia

    Jakarta

    Sebuah video viral menunjukkan bagaimana Bumi ‘bernapas’ berkat siklus CO. Awalnya, visualisasi Bumi bernapas ini dikembangkan oleh NASA. Namun kemudian, berbagai sumber melansir informasi tersebut dalam bentuk video serupa tentang Bumi bernapas.

    Dikembangkan oleh Scientific Visualization Studio (SVS) NASA, visualisasi ini menggunakan data dari dua instrumen utama: AIRS (Atmospheric Infrared Sounder), yang mengukur konsentrasi karbon dioksida di atmosfer tengah, dan MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), yang menganalisis kesehatan dan kepadatan vegetasi.

    Berkat data ini, para ilmuwan menemukan cara inovatif untuk mengukur aktivitas tanaman dari luar angkasa dengan mengamati cahaya redup yang dipancarkan selama fotosintesis seolah-olah tanaman memiliki ‘cahaya bagian dalam’.

    Seperti dikutip dari Marca, cahaya ini, yang tidak terlihat oleh mata manusia dan dikenal sebagai fluoresensi klorofil, mengungkap seberapa banyak CO2 yang diserap tanaman dan hutan.

    Fenomena ini kemudian diasosiasikan sebagai ‘detak jantung’ atau ‘pernapasan’ Bumi karena mengikuti pola musiman yang meningkat seiring aktivitas tanaman dan menurun saat vegetasi beristirahat. Video viral tersebut menangkap osilasi ini dalam animasi yang menyerupai tarikan dan hembusan napas raksasa.

    Apakah Bumi Benar-benar Bernapas?

    Sederhananya, fluoresensi terjadi saat tanaman menyerap sinar Matahari dan melepaskan sebagian kecilnya sebagai jenis cahaya yang berbeda. Namun, Bumi tidak bernapas seperti manusia. Ini adalah metafora yang menggambarkan siklus geokimia: tanaman melakukan fotosintesis, tanah menguraikan bahan organik, dan lautan menyerap CO2.

    Di musim panas, tanaman lebih aktif, menyerap CO dalam jumlah besar, dan seolah-olah Bumi sedang ‘menghirup’ udara. Di musim dingin, saat pertumbuhan tanaman melambat, tanah melepaskan karbon dioksida seolah-olah planet ini sedang ‘mengembuskan napas.’ Pola ini lebih terlihat di Belahan Bumi Utara, yang daratannya lebih luas.

    Cahaya tanaman berfungsi seperti monitor jantung untuk proses ini: semakin banyak fluoresensi, semakin banyak fotosintesis dan semakin kuat Bumi ‘bernapas.’ Ketika cahaya memudar, itu mungkin merupakan tanda stres lingkungan, seperti kekeringan, dan pernapasan planet menjadi lebih lemah.

    Animasi ini memungkinkan kita memvisualisasikan fenomena yang rumit dengan jelas. Animasi ini mengingatkan kita bahwa hutan secara harfiah adalah paru-paru dunia. Dan meskipun Bumi mungkin tidak bernapas seperti kita, Bumi memiliki siklus CO2 yang vital yang kini kita pahami lebih baik berkat ‘cahaya’ tanaman.

    (rns/agt)

  • Astronaut NASA Rekam Pertunjukan Aurora Warna-warni dari Antariksa

    Astronaut NASA Rekam Pertunjukan Aurora Warna-warni dari Antariksa

    Jakarta

    Astronaut NASA Jonny Kim mengunggah video Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), yang menampilkan aurora menakjubkan, badai petir, dan lampu-lampu kota yang menerangi sisi malam permukaan planet kita.

    Mantan Marinir AS tersebut diluncurkan ke ISS pada 8 April 2025 dengan menumpang pesawat antariksa Soyuz buatan Rusia, memulai tugasnya selama delapan bulan sebagai teknisi penerbangan untuk Ekspedition 73.

    Sebelum mengambil rekaman time-lapse pertama Bumi, Kim meminta saran dari sesama anggota kru Nichole ‘Viper’ Ayers, yang secara rutin mengunggah astrofotografi di akun media sosialnya, memperlihatkan kemegahan planet yang dijuluki sebagai Blue Marble ini.

    “Berkat beberapa petunjuk dan kiat dari @Astro_Ayers, saya menangkap aurora pertama saya,” tulis Kim dalam unggahannya di X.

    “Setelah melihat hasilnya, saya mengatakan kepadanya bahwa pengalaman ini terasa seperti memancing. Mempersiapkan kamera, sudut, pengaturan, dudukan, lalu mengatur pengatur waktu dan kembali untuk mengeceknya, berharap berhasil menangkapnya. Dan setelah menangkap ‘ikan’ pertama, sepertinya saya ketagihan. Terima kasih, Vapor!,” katanya.

    Time-lapse milik Kim menangkap perpaduan rumit antara fenomena alam dan lampu-lampu kota di permukaan Bumi, saat panel surya stasiun luar angkasa bergeser posisinya untuk mengumpulkan sinar Matahari untuk memberi daya pada ISS.

    Rekaman dimulai dengan Matahari terbenam di balik cakram Bumi, menandai dimulainya malam di ISS. Ini adalah periode 45 menit saat ISS melewati bayangan planet kita. Bintang-bintang dapat terlihat bersinar di atas garis luar atmosfer planet kita yang padat dan mengandung gas saat Matahari terbenam, sementara lampu-lampu kota dan badai petir bermain di pemandangan berawan di bawahnya.

    Aurora Tampak Beriak

    Aurora hijau terang terlihat beriak di langit malam menjelang akhir video, saat ISS melewati Asia Tenggara dan Australia. Pertunjukan warna-warni ini muncul ketika partikel-partikel energik yang dibawa oleh angin Matahari bertabrakan dengan planet kita, menarik partikel oksigen dan nitrogen di atmosfer atas, menyebabkannya bersinar.

    Time-lapse Kim berakhir saat ISS kembali ke sisi siang Bumi, dengan panel surya terkena sinar Matahari langsung. ISS menyelesaikan 16 putaran Bumi setiap 24 jam sambil melaju dengan kecepatan rata-rata 28.000 km/jam.

    (rns/rns)

  • NASA Ungkap Jakarta & 9 Kota Besar Dunia Terancam Tenggelam

    NASA Ungkap Jakarta & 9 Kota Besar Dunia Terancam Tenggelam

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, di mana tanda-tandanya sudah nyata. Dari banjir yang makin sering hingga erosi garis pantai, kota-kota besar dunia kini berada di ambang bencana, salah satunya Jakarta, yang disebut sebagai salah satu yang tercepat tenggelam di dunia.

    NASA memperkirakan permukaan laut akan naik setinggi 3 hingga 6 kaki (sekitar 0,9-1,8 meter) pada tahun 2100. Penyebab utamanya adalah pencairan es di kutub akibat pemanasan global. Jika tren ini terus berlanjut, ratusan juta orang di seluruh dunia terancam kehilangan tempat tinggal, terutama di wilayah pesisir yang padat penduduk.

    Salah satu laporan dari Sciencing menyebut ada 10 kota besar yang diprediksi bakal tenggelam dan Jakarta masuk dalam daftar tersebut.

    Fenomena banjir yang semakin sering terjadi jadi pertanda awal bencana. Di awal Maret 2025, banjir besar sudah melanda sejumlah wilayah di Jabodetabek dan Jawa, dengan Bekasi mencatat kondisi terparah dalam satu dekade terakhir.

    “Jakarta merupakan salah satu kota yang paling cepat tenggelam di dunia. Masalah ini kian ekstrem, hingga pemerintah Indonesia memilih memindahkan ibu kota ke IKN,” tulis Sciencing.

    Menurut laporan itu, Jakarta tenggelam sekitar 17 cm per tahun. Kota ini secara geografis terletak di dataran rendah bekas rawa, dilintasi 13 sungai, dan langsung berbatasan dengan Laut Jawa. Ini merupakan faktor-faktor yang membuatnya sangat rentan terhadap naiknya air laut.

    Banjir besar pernah melanda pada 2007, menewaskan 80 orang dan menyebabkan kerugian ratusan juta dolar. Akumulasi krisis ini mendorong pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibu kota ke IKN pada 2022. Proyek ibu kota baru ini ditargetkan selesai pada 2045, dengan harapan dapat menjadi “pelarian” dari Jakarta yang terancam tenggelam.

    Selain Jakarta, berikut sembilan kota besar lain yang dilaporkan juga terancam tenggelam:

    1. Alexandria, Mesir

    Populasi: 5,7 juta

    Kota pelabuhan utama Mesir ini berisiko terendam hingga 30% pada 2050, berdampak pada 1,5 juta pengungsi dan mengancam Delta Nil, salah satu pusat peradaban tertua dunia.

    2. Miami, AS

    Populasi: 460.000 (metro: 6 juta+)

    Sebanyak 60% wilayah Miami terancam tenggelam pada 2060. Proyek properti pesisir memperparah situasi, membuat Miami bisa jadi pusat bencana ekonomi terbesar akibat iklim.

    3. Lagos, Nigeria

    Populasi: 16,5 juta

    Kota terbesar di Afrika ini mengalami penurunan tanah lebih dari 3 inci per tahun. Banjir musiman menimbulkan kerugian miliaran dolar tiap tahun.

    4. Dhaka, Bangladesh

    Populasi: 23,9 juta

    Dhaka ‘tenggelam’ setengah inci per tahun. Bangladesh juga termasuk salah satu negara paling terdampak bencana iklim versi PBB.

    5. Yangon, Myanmar

    Populasi: 5,7 juta

    Berada dekat sesar aktif dan sering diterpa banjir, kota ini berisiko tenggelam jika terjadi gempa besar yang merusak sumur air tanahnya.

    6. Bangkok, Thailand

    Populasi: 11,2 juta

    Bangkok kehilangan daratan setiap tahun akibat naiknya air laut. Garis pantainya diprediksi mundur lebih dari 1 kilometer per tahun.

    7. Kolkata, India

    Populasi: 15,6 juta

    Ancaman datang dari kombinasi kenaikan permukaan laut dan ekstraksi air tanah berlebih. Banjir besar pada 2024 berdampak pada 250.000 orang.

    8. Manila, Filipina

    Populasi: 14,9 juta

    Manila tenggelam hingga 4 inci per tahun. Aktivitas vulkanik dan rusaknya hutan mangrove memperparah kerentanannya.

    9. Guangdong-Hong Kong-Makau (China)

    Populasi: 86,9 juta

    Kawasan urban terbesar dunia ini diperkirakan akan mengalami kenaikan permukaan laut hingga 5 kaki dalam satu abad ke depan. Pearl River Delta jadi titik rawan.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]