Kementrian Lembaga: NASA

  • Fenomena Bulan Purnama Buck Moon akan Muncul pada 10 Juli

    Fenomena Bulan Purnama Buck Moon akan Muncul pada 10 Juli

    Bisnis.com, JAKARTA – Pada Kamis, 10 Juli 2025 akan muncul fenomena bulan purnama pertama musim panas astronomis di Belahan Bumi Utara yang dikenal sebagai Buck Moon.

    Ini akan menjadi salah satu bulan purnama dengan posisi terendah tahun ini.

    Meskipun bulan secara resmi mencapai fase penuhnya pada pukul 4:38 p.m. EDT pada tanggal 10 Juni, momen itu terjadi saat bulan masih berada di bawah cakrawala bagi para pengamat di Amerika Utara.

    Waktu terbaik untuk melihat Buck Moon penuh adalah saat bulan terbit, saat senja, pada Kamis malam, saat bulan akan muncul di cakrawala timur sebagai bola oranye. 

    Buck Moon akan berada di Sagitarius, salah satu konstelasi musim panas paling terkenal di Belahan Bumi Utara. Namun, konstelasi zodiak ini tidak memiliki bintang terang, jadi jangan berharap untuk melihatnya di dekat bulan purnama.

    Bulan purnama bulan Juli adalah salah satu yang terendah dalam setahun, kedua setelah Bulan Stroberi pada tanggal 11 Juni, karena terjadi relatif awal bulan. Menurut definisi, bulan purnama berada di seberang matahari di langit, sehingga mencerminkan posisinya.

    Saat matahari berada di posisi tertinggi di langit seperti saat titik balik matahari musim panas pada tanggal 20 Juni bulan berada pada posisi terendah.

    Oleh karena itu, Bulan Buck akan mencerminkan lengkungan musim dingin matahari yang rendah, terbit saat senja di langit tenggara, bergerak melintasi langit selatan tanpa terlalu jauh di atas cakrawala selatan, dan kemudian terbenam di barat daya saat fajar. (Fenomena ini bekerja dua arah, dengan bulan purnama yang paling dekat dengan titik balik matahari Desember menjadi yang tertinggi dalam setahun.)

    Kedekatan Bulan Buck dengan cakrawala sepanjang malam akan meningkatkan ukuran dan warnanya yang tampak, membuatnya tampak lebih besar dari biasanya. “Ilusi bulan” adalah nama untuk trik yang dimainkan otak kita ini, menurut NASA.

    Buck Moon juga akan menjadi bulan purnama terjauh dari matahari karena orbit Bumi terhadap matahari sedikit elips. Pada tanggal 3 Juli, Bumi berada di aphelion, titik terjauhnya dari matahari pada lintasan orbitnya. Karena bulan purnama berikutnya berada di sisi Bumi yang membelakangi matahari, maka ini adalah bulan purnama terjauh tahun ini.

  • Kiamat Sudah di Depan Mata, Tandanya Terlihat Jelas di Daun

    Kiamat Sudah di Depan Mata, Tandanya Terlihat Jelas di Daun

    Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam beberapa waktu terakhir, tanda-tanda kiamat terus bermunculan. Salah satu tandanya yang bisa disaksikan yakni dari daun yang ada di pohon.

    Para ilmuwan sudah sering meneriakkan pentingnya kebijakan untuk mereduksi emisi untuk menanggulangi ‘kiamat’ di Bumi. Sebab, pemanasan global terus-terusan merusak hutan, bahkan bisa membuat manusia sesak di masa depan.

    Hutan sering disebut sebagai paru-paru Bumi, karena dipenuhi pohon yang menjalankan fotosintesis menyerap karbon dioksida dan melepas oksigen ke atmosfer.

    Pohon di hutan biasa terpapar sinar matahari dan menyerap air dengan akarnya. Namun, karena matahari terlalu terik membuat temperatur terlampau panas, sehingga bisa membuat proses fotosintesis berhenti.

    Penelitian oleh Gregory Goldsmith dari Chapman University in California beserta tim, menemukan beberapa bagian hutan tropis yang mendekati batas temperatur sehingga mengganggu proses fotosintesis.

    Studi menunjukkan bahwa dedaunan di hutan tropis di tempat dan waktu tertentu telah menembus batas temperatur kritis,” kata Goldsmith.

    Pohon di hutan tropis, bisa menjalankan proses fotosintesis di suhu hingga 46,7 derajat Celcius. Tapi peneliti itu menjelaskan bahwa kemampuan spesies berbeda bergantung kepada populasi hutan, jumlah daun di pohon, dan kanopi.

    Oleh karena itu, tim dari Northern Arizona University menggunakan data dari sensor ECOSTRESS NASA untuk mengukur temperatur permukaan Bumi, untuk mencari tahu dedaunan di hutan tropis yang “kepanasan” hingga tidak bisa berfotosintesis.

    Dari data yang dikumpulkan dari pantauan satelit pada periode 2018-2020 tersebut kemudian divalidasi dengan sensor di permukaan yang ditempatkan di pucuk pohon lima hutan di Brasil, Puerto Rico, Panama, dan Australia.

    Analisis menemukan bahwa temperatur di kanopi hutan memuncak di suhu 34 derajat Celcius pada musim kering, meskipun sebagian daun mencapai suhu 40 derajat Celcius. Sebagian kecil daun, yaitu 0,01 persen dari sampel melampaui temperatur krisis (46,7 derajat Celcius) paling tidak sekali sepanjang musim kering.

    “Meskipun masih jarang, temperatur ekstrem bisa berdampak bencana kepada fisiologi daun. Bisa digolongkan sebagai peristiwa berdampak luar biasa dengan probabilitas rendah,” tulis laporan penelitian, dikutip Sabtu (5/7/2025).

    Menurut laporan ScienceAlert, pohon menutup pori-pori di daunnya yang dinamakan stomata, untuk menghemat air setiap suhu terlalu panas.

    Penutupan stomata ini membuat daun berpotensi rusak karena tidak bisa “mendinginkan diri” lewat proses transpirasi. Pada periode kering, saat tanah mengeras, dampak suku panas bisa makin parah.

    “Percaya atau tidak, kita tidak tahu banyak soal alasan pohon mati,” kata Goldsmith. Pemahaman sains soal efek panas dan kekeringan, air dan temperatur, terhadap tanaman, masih sangat sedikit.

    Kemudian, tim peneliti menggunakan data yang mereka punya untuk menjalankan simulasi untuk memahami respons hutan tropis terhadap kenaikan temperatur dan kekeringan yang makin sering terjadi.

    Simulasi menunjukkan bahwa 1,4 persen dari pucuk kanopi hutan bisa berhenti berfotosintesis dalam beberapa waktu ke depan sebagai dampak dari pemanasan global.

    Jika pemanasan global melewati 3,9 derajat Celcius, seluruh hutan bisa tidak tahan. Daun bakal kering dan pohon di seluruh hutan mati satu demi satu.

    Namun, peneliti menekankan bahwa perhitungan ini hanya probabilitas. Bisa saja, dampak parah terjadi pada temperatur yang berbeda. Oleh karena itu, sangat penting untuk menekan emisi dan mencegah deforestasi untuk melindungi hutan tropis.

    Di tengah perang yang terjadi di mana-mana, penting untuk mengingat bahwa kita semua hanya punya satu Bumi yang harus dijaga. Isu perubahan iklim sama pentingnya dengan isu perdamaian untuk memberikan kehidupan yang aman bagi generasi selanjutnya.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Elon Musk Ditendang, NASA Bisa Tetap Pergi ke Bulan

    Elon Musk Ditendang, NASA Bisa Tetap Pergi ke Bulan

    Jakarta, CNBC Indonesia – NASA akhirnya mendapatkan alokasi anggaran US$ 10 miliar (Rp 161,7) triliun untuk misi perjalanan ke Bulan, dari pemerintah Amerika Serikat. Program ini sebelumnya ditentang oleh Elon Musk, CEO SpaceX yang kini telah tersingkir dari lingkaran orang terdekat Presiden Donald Trump.

    Hampir setengah dari total anggaran tersebut akan digunakan oleh NASA untuk membangun dua sistem peluncuran roket Space Launch System (SLS) untuk misi Artemis IV dan Artemis V.

    Sisanya akan digunakan untuk membangun stasiun luar angkasa pertama yang mengorbit Bulan. Pembangunan stasiun luar angkasa di Bulan dibutuhkan untuk “memastikan kehadiran manusia secara berkesinambungan di Bulan.”

    Musk sebelum mengkritik roket SLS karena sistem pendorong tersebut hanya bisa dipakai sekali, tidak seperti roket buatan SpaceX yang bisa digunakan berulang kali. “Membuat saya sedih, karena miliaran dolar meledak untuk setiap peluncuran.”

    Presiden AS Donald Trump, saat masih “akrab” dengan Musk, sempat mengusulkan agar misi Artemis dicoret dari anggaran belanja pemerintah AS.

    Dalam anggaran yang baru disepakati oleh kongres, NASA juga mendapatkan dana untuk mengirim sampel yang dikumpulkan oleh robot di Mars kembali ke Bumi. Dana juga disiapkan untuk membangun wahana Orion sebagai kendaraan misi Artemis dan alokasi misi di ISS selama 5 tahun ke depan.

    Berdasarkan hasil riset Pew, hanya sebagian kecil warga Amerika Serikat yang menilai misi perjalanan ke Bulan dan Mars tetap menjadi prioritas NASA. Mereka lebih takut terhadap ancaman hantaman asteroid ke Bumi dan “kiamat” perubahan iklim.

    Berdasarkan hasil survei, hanya 12 persen warga AS yang merasa prioritas anggaran NASA sebaiknya digunakan untuk mengirim astronaut ke Bulan dan ke Mars.

    Mayoritas warga AS memilih prioritas yang lain untuk NASA dalam 5 hingga 10 tahun ke depan yaitu, pemantauan asteroid dan perubahan iklim di Bumi.

    Keinginan penduduk Amerika bertentangan dengan kebijakan kongres AS yang mengalokasikan mayoritas anggaran NASA untuk membiayai misi perjalanan luar angkasa Artemis. Di sisi lain, anggaran misi NASA untuk sains bakal dipangkas.

    Mayoritas warga AS (65 persen), menurut Tech Crunch, menilai posisi negaranya sebagai pemimpin dalam teknologi dan pencapaian luar angkasa sangat penting. Riset Pew juga menunjukkan bahwa penduduk Amerika sangsi kebijakan untuk menarik pihak swasta di industri luar angkasa akan sukses.

    Penduduk AS menilai NASA harus tetap memegang peran kunci di tengah agresivitas perusahaan swasta seperti SpaceX milik Elon Musk dan Blue Origin milik Jeff Bezos.

    SpaceX dan Blue Origin telah bekerja sama erat dengan NASA dalam pengembangan berbagai teknologi. Bahkan, roket milik SpaceX kini menjadi andalan NASA untuk mengirim astronaut ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

    Selain itu, perusahaan swasta mengambil peran utama dalam bisnis “wisata luar angkasa”. Proyek Artemis, yang bertujuan mengirim manusia ke bulan kini juga telah memasuki misi kedua.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Deteksi Komet Asing Masuki Sistem Tata Surya, Ancaman bagi Bumi?

    NASA Deteksi Komet Asing Masuki Sistem Tata Surya, Ancaman bagi Bumi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Teleskop survei ATLAS (Asteroid Terrestrial-impact Last Alert System) yang didanai NASA di Rio Hurtado, Chili, melaporkan pengamatan terhadap sebuah komet yang berasal dari ruang antarbintang (interstellar).

    NASA dalam keterangan resminya menyebut komet tersebut terpantau oleh radar pada 1 Juli 2025, datang dari arah rasi bintang Sagitarius dan secara resmi dinamai 3I/ATLAS. Saat ini, komet tersebut berada pada jarak sekitar 420 juta mil (670 juta kilometer).

    Sejak laporan pertama itu, pengamatan sebelum penemuan telah dikumpulkan dari arsip tiga teleskop ATLAS yang berbeda di seluruh dunia dan dari Zwicky Transient Facility di Observatorium Palomar, San Diego County, California.

    Pengamatan “prapenemuan” ini merujuk kembali ke 14 Juni. Adapun, sejumlah teleskop lain juga telah melaporkan pengamatan tambahan sejak objek ini pertama kali diumumkan.

    Kabar baiknya, komet ini tidak menimbulkan ancaman bagi bumi dan akan tetap berada pada jarak setidaknya 1,6 satuan astronomi (sekitar 150 juta mil atau 240 juta km).

    Saat ini, 3I/ATLAS berjarak sekitar 4,5 satuan astronomi (sekitar 416 juta mil atau 670 juta km) dari Matahari.

    Objek tersebut akan mencapai jarak terdekatnya dengan Matahari sekitar 30 Oktober 2025, pada jarak 1,4 satuan astronomi (sekitar 130 juta mil atau 210 juta km) — sedikit di dalam orbit Mars.

    Ukuran dan sifat fisik komet antarbintang ini sedang diselidiki oleh para astronom di seluruh dunia. 3I/ATLAS diperkirakan akan tetap dapat diamati oleh teleskop berbasis darat hingga September tahun ini.

    “Setelah itu, dia akan terlalu dekat dengan matahari untuk diamati,” tulis NASA dalam keterangan resminya, dikutip Bisnis, Jumat (7/7/2025).

    Badan antariksa pemerintah Amerika Serikat (AS) itu memperkirakan 3I/ATLAS muncul kembali di sisi lain matahari pada awal Desember tahun ini, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengamatan lanjutan.

  • Studi NASA Ungkap Puluhan Ribu Satelit Starlink Bakal Rusak Lapisan Ozon

    Studi NASA Ungkap Puluhan Ribu Satelit Starlink Bakal Rusak Lapisan Ozon

    Bisnis.com, JAKARTA – Satelit orbit rendah (LEO) seperti Starlink dapat mengikis lapisan ozon Bumi saat mereka keluar dari orbit. Hal ini diungkapkan oleh studi yang didanai NASA dan diterbitkan dalam Geophysical Research Letters pada Juni 2024.

    Mengutip Cnet.com, Kamis (3/7/2025)  satelit Starlink yang mencapai akhir masa pakainya terbakar di atmosfer Bumi dan meninggalkan partikel kecil aluminium oksida. Partikel-partikel ini kemudian turun ke lapisan ozon, yang berfungsi menyerap radiasi ultraviolet berbahaya.

    Para peneliti – yang berasal dari University of Southern California – menemukan jumlah oksida ini meningkat delapan kali lipat dari 2016 hingga 2022. Namun, tidak semua dari partikel ini disebabkan oleh Starlink meskipun satelit Elon Musk itu memiliki armada terbesar.

    Menurut data yang dikumpulkan oleh astrofisikawan Jonathan McDowell, dari sekitar 10.000 objek aktif di orbit rendah Bumi, lebih dari 7.750 di antaranya merupakan milik Starlink.

    Laporan Space.com mengatakan perusahaan tersebut saat ini memiliki izin untuk meluncurkan 12.000 satelit lagi dan berencana menambah hingga 42.000 satelit pada masa mendatang.

    Perlu diketahui, satelit-satelit ini dirancang untuk bertahan sekitar 5 tahun. Sebuah satelit seberat 550 pon disebut akan melepaskan sekitar 66 pon partikel nano aluminium oksida saat masuk kembali ke atmosfer.

    Satelit-satelit Starlink juga menjadi semakin berat seiring waktu, dengan versi terbaru memiliki berat sekitar 2.760 pon.

    Aluminium tersebut sebagian besar akan dilepaskan di ketinggian antara 30 hingga 50 mil di atas permukaan Bumi. Namun, kemudian akan melayang turun ke lapisan ozon, yang diperkirakan memakan waktu sekitar 30 tahun.

    Dampaknya dikatakan sudah mulai terlihat — satelit yang terbakar pada tahun 2022 menyebabkan peningkatan kadar aluminium di atmosfer sebesar 29,5% di atas tingkat alami. Para peneliti bahkan menyebut situasinya akan semakin buruk.

    Salah satu penulis studi Geophysical Research Letters Joseph Wang berkomentar kondisi ini menjadi perhatian karena banyaknya satelit yang akan diluncurkan di masa depan.

    “Kami memperkirakan kelebihan tahunan lebih dari 640% dibandingkan tingkat alami. Berdasarkan proyeksi tersebut, kami sangat khawatir,” kata Wang seperti dikutip Bisnis pada Kamis (3/7/2025).

    Peneliti mengatakan berbeda dengan zat lain yang merusak lapisan ozon, partikel aluminium oksida tidak habis dalam proses tersebut. Partikel-partikel ini dinilai terus merusak lapisan ozon hingga akhirnya turun secara alami ke ketinggian yang lebih rendah, yang bisa memakan waktu sekitar 30 tahun.

    Apabila Starlink berkembang sesuai dengan rencana, lebih dari 8.000 satelit dapat terbakar di atmosfer setiap tahunnya.

    Sebagai informasi, para peneliti menggunakan model prediksi untuk memperhitungkan pertumbuhan jumlah satelit di angkasa dan menemukan bahwa jumlah aluminium bisa meningkat hingga 360 metrik ton — atau 640% di atas tingkat alami.

  • Asteroid 2024 YRA Tak Lagi Ancam Bumi, tapi Berpotensi Hantam Bulan di 2032 – Page 3

    Asteroid 2024 YRA Tak Lagi Ancam Bumi, tapi Berpotensi Hantam Bulan di 2032 – Page 3

    Sebelumnya, Badan Antariksa Eropa atau European Space Agency (ESA) merilis foto asteroid 2024 YR4 yang sempat berpotensi menghantam bumi.

    Gambar asteroid ini diambil menggunakan teleskop luar angkasa paling canggih milik NASA, James Webb Space Telescope (JWST).

    Melansir laman Popular Science pada Senin (07/04/2025), gambar-gambar ini dirilis pada 2 April oleh ESA, menandai pencapaian baru dalam eksplorasi luar angkasa.

    Meskipun foto yang dihasilkan hanya menunjukkan penampakan samar dari asteroid tersebut, ini adalah momen bersejarah karena 2024 YR4 merupakan objek terkecil yang pernah ditargetkan oleh JWST.

    Asteroid ini juga salah satu benda luar angkasa terkecil yang ukuran diameternya berhasil diukur secara langsung.

    Asteroid 2024 YR4 sempat mengundang kekhawatiran setelah para astronom mengumumkan adanya kemungkinan asteroid ini menabrak Bumi pada tahun 2032. 

    Saat itu, peluang terjadinya tabrakan diperkirakan mencapai 3 persen. Namun, setelah dilakukan penghitungan ulang, peluang tersebut kini turun drastis menjadi sekitar 0,0017 persen.

  • Warga RI Bisa Nonton Langsung Aksi Astronaut, Begini Caranya

    Warga RI Bisa Nonton Langsung Aksi Astronaut, Begini Caranya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Netflix resmi menggandeng Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) untuk menayangkan program luar angkasa secara langsung mulai akhir musim panas atau sekitar September 2025.

    Pelanggan Netflix akan dapat menyaksikan siaran langsung peluncuran roket, aktivitas luar angkasa (spacewalk) para astronaut, serta pemandangan langsung Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

    Konten tambahan dari NASA+, aplikasi streaming tanpa iklan milik badan antariksa yang diluncurkan pada 2023, juga akan tersedia.

    Hingga saat ini, sebagian besar konten siaran langsung di Netflix diproduksi secara internal atau ditayangkan sebagai acara eksklusif. Kemitraan dengan NASA ini menjadi tanda bahwa Netflix ingin memperluas cakupan program siaran langsungnya.

    Langkah ini menandai upaya ekspansi Netflix ke segmen siaran langsung di luar konten komedi, ajang penghargaan, hingga olahraga yang sebelumnya menjadi fokus utama, demikian dikutip dari TechCrunch, Selasa (1/7/2025).

    Sebelumnya, Netflix telah menjalin kerja sama serupa dengan TF1 di Prancis untuk menayangkan konten olahraga dan hiburan.

    Sementara itu, NASA terus memperluas jangkauan audiensnya lewat platform digital. Sebelumnya, badan antariksa ini juga menjalin kemitraan dengan Prime Video dan mengembangkan kanal live streaming di YouTube serta situs resmi mereka.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Potret Kabah dari Luar Angkasa, Astronaut NASA Kasih Pesan Menyedihkan

    Potret Kabah dari Luar Angkasa, Astronaut NASA Kasih Pesan Menyedihkan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Para jemaah haji dari Indonesia sudah mulai pulang ke Tanah Air sejak pertengahan Juni 2025. Momen Ibadah Haji setiap tahunnya merupakan hal yang sakral.

    Umat Muslim dari berbagai belahan dunia berkumpul di Tanah Suci untuk beribadah dengan khusyuk. Penampakan haji pernah dipotret dari luar angkasa oleh seorang astronaut NASA beragama Islam.

    Lebih tepatnya, astronaut bernama Sultan Al-Neyadi itu memotret momen haji dari MBR Space Center dan Stasiun Luar Angkasa Internasional.

    Dalam unggahannya, Al-Neyadi mengungkapkan bahwa jemaah yang dipotret sedang menjalankan prosesi wukuf di Arafah.

    Dia juga menyampaikan pesan yang hingga tahun ini masih relevan, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat manusia di bumi.

    “Hari ini adalah Hari Arafat, sebuah hari penting dalam ibadah Haji, mengingatkan kita bahwa iman bukan hanya soal keyakinan, tetapi dalam bentuk tindakan dan refleksi,” kata Al-Neyadi, beberapa saat lalu.

    “Semoga ini menginspirasi kita untuk berjuang demi kasih, kerendahan hati, dan persatuan,” sambungnya.

    Sebagai informasi, Al-Neyadi adalah salah satu astronaut yang beragama islam. Selain Al-Neyadi, Pangeran Sultan bin Salman Al-Saud dari Arab Saudi adalah sosok yang pernah mengunjungi luar angkasa pada Ramadan pada tahun 1985.

    Di luar angkasa, Al Neyadi berencana untuk melakukan 19 eksperimen terkait radiasi, tidur, sakit punggung, hingga sains material.

    Selain foto saat momen ibadah Haji, Al Neyadi juga sempat membagikan momen Tahun Baru Islam dari antariksa. Dia mengunggah foto penampakan permukaan Bumi bersama dengan bulan sabit pertama di Tahun Baru Hijriah.

    Tak lupa dia juga mengirimkan ucapan selamat tahun baru Islam. Termasuk juga doa dan harapannya kepada semua umat muslim.

    “Bersama dengan awal tahun baru Hijriah, saya ingin mengingatkan bahwa setiap momen adalah senja dari awal yang baru, kesempatan untuk tumbuh dan bertualang. Semoga tahun kalian penuh dengan berkah, kebahagiaan, dan penemuan hal baru,” ia menuliskan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Asteroid ‘Pembunuh’ 2024 YR4 Bisa Hujani Bumi dengan Meteor ‘Seperti Peluru’

    Asteroid ‘Pembunuh’ 2024 YR4 Bisa Hujani Bumi dengan Meteor ‘Seperti Peluru’

    Bisnis.com, JAKARTA – Simulasi baru mengungkapkan asteroid “pembunuh kota” yang terkenal, 2024 YR4, dapat menghujani Bumi dengan puing-puing “seperti peluru” jika menghantam bulan pada 2032 atau tujuh tahun dari sekarang.

    2024 YR4 adalah asteroid yang berpotensi berbahaya dengan lebar sekitar 200 kaki (60 meter), membuatnya cukup besar untuk memusnahkan area perkotaan yang luas jika menghantam Bumi secara langsung.

    Dilansir dari livescience, Asteroid ini pertama kali ditemukan pada bulan Desember 2024 tetapi menjadi berita utama awal tahun ini ketika para ilmuwan pertama kali meramalkan bahwa ada kemungkinan asteroid ini akan menabrak Bumi pada tanggal 22 Desember 2032.

    Peluang tabrakan mencapai puncaknya pada 3,1% pada bulan Februari, yang cukup untuk mendorong NASA untuk mempelajarinya secara ekstensif. Namun, analisis selanjutnya mengungkapkan bahwa tidak ada kemungkinan asteroid ini akan menghantam planet kita.

    Namun pada bulan April, para peneliti menyadari bahwa, meskipun Bumi tidak lagi berada di garis tembak, batu angkasa tersebut masih dapat menghantam bulan.

    Peluang terjadinya tabrakan tersebut telah meningkat perlahan namun pasti, dan terakhir melonjak menjadi 4,3% awal bulan ini. Para ahli kemungkinan akan mengetahui kemungkinan terakhirnya pada tahun 2028, saat asteroid tersebut akan melakukan pendekatan terdekat berikutnya ke planet kita.

    Dalam sebuah studi baru, yang diunggah pada tanggal 12 Juni ke server pracetak arXiv, para peneliti menjalankan simulasi komputer untuk memodelkan seperti apa dampak bulan itu. Tim tersebut memperkirakan bahwa hingga 220 juta pon (100 juta kilogram) material dapat dikeluarkan dari permukaan bulan. Jika 2024 YR4 menghantam sisi bulan yang menghadap Bumi — yang peluangnya kira-kira 50/50 — hingga 10% dari puing-puing ini dapat ditarik oleh gravitasi Bumi selama beberapa hari berikutnya, tulis para ilmuwan.

    2024 YR4 akan menjadi batu angkasa terbesar yang menghantam bulan dalam “setidaknya 5.000 tahun,” penulis utama studi Paul Wiegert, seorang ahli dalam dinamika tata surya di Universitas Western di Ontario, Kanada, yang juga telah mempelajari secara ekstensif asteroid “Dewa Kekacauan” Apophis yang akan melintas Bumi pada tahun 2029, mengatakan kepada situs berita Prancis AFP. Dampaknya akan “sebanding dengan ledakan nuklir besar dalam hal jumlah energi yang dilepaskan,” tambahnya.

    Tidak mungkin ada serpihan potensial yang akan menimbulkan risiko bagi orang-orang di permukaan planet ini. Sebaliknya, kita mungkin akan disuguhi hujan meteor “spektakuler” saat serpihan batu terbakar di atmosfer Bumi, yang dapat berlangsung selama beberapa hari dan dapat dilihat oleh orang-orang di seluruh dunia, kata Weigert.

    Namun, meskipun kita hampir pasti akan aman di darat dari hujan meteor bulan yang potensial, infrastruktur berbasis ruang angkasa kita bisa terancam. Jumlah serpihan yang berpotensi ditarik mendekati Bumi membuat kemungkinan satelit kita terkena meteor menjadi sekitar 1.000 kali lebih besar. Dan pada tahun 2032, jumlah pesawat ruang angkasa yang mengorbit planet kita diperkirakan akan meningkat secara signifikan.

    Jika kemungkinan terjadinya tabrakan bulan meningkat lebih lanjut di tahun-tahun mendatang, badan pemerintah mungkin akan mengambil keputusan untuk mencoba dan mengalihkan jalur asteroid tersebut guna melindungi aset antariksa Bumi. Asteroid tersebut akan menjadi “target yang bagus” untuk menguji kemampuan pertahanan planet kita, kata Weigert. “Saya yakin hal itu akan dipertimbangkan.”

  • Warga Panik Lihat Bola Api di Langit, NASA Buka Suara

    Warga Panik Lihat Bola Api di Langit, NASA Buka Suara

    Jakarta, CNBC Indonesia – Masyarakat Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan sebuah benda mirip bola api jatuh dari langit tepatnya terlihat di tiga wilayah yakni South Carolina, Georgia, dan Tennessee.

    Benda mirip bola api tersebut terlihat tepatnya pada Kamis (26/6/2025) lalu. Hal itu menarik perhatian ilmuwan, ahli meteorologi, dan petugas penegak hukum untuk meneliti lebih lanjut. Penampakan tersebut memicu ratusan panggilan ke pihak berwenang.

    NASA Angkat Suara

    Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) mengungkapkan setelah beberapa jam benda tersebut terlihat, ternyata benda mirip bola api tersebut merupakan meteor yang menembus atmosfer bumi dengan kecepatan 30.000 mil per jam.

    Kepala Kantor Lingkungan Meteoroid NASA di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Marshall agensi di Huntsville, Ala Bill Cooke mengatakan meteor itu berdiameter sekitar tiga kaki dan beratnya lebih dari satu ton.

    Cooke mengungkapkan meteor tersebut pertama kali terlihat 48 mil di atas kota Oxford. Meteor tersebut juga mulai hancur 27 mil di atas Hutan Barat. “Melepaskan energi sekitar 20 ton TNT,” katanya dalam sebuah pernyataan, dilansir dari NY Times, dikutip Jumat (27/6/2025).

    “Gelombang tekanan yang dihasilkan menyebar ke tanah, menciptakan ledakan yang didengar oleh banyak orang di daerah itu,” katanya.

    Bola api yang menarik perhatian orang-orang di seluruh wilayah berasal dari meteor yang terfragmentasi di langit.

    Penjelasan Ahli

    Sebelumnya pada hari itu, ada laporan yang menyebar di media sosial tentang bola api yang melesat melintasi langit, jendela berderak di bingkai dan suara keras yang mengejutkan penduduk.

    Ahli meteorologi yang bertanggung jawab di Layanan Cuaca Nasional di Atlanta yakni Keith Stellman mengatakan pada saat itu bahwa pihak berwenang belum dapat mengkonfirmasi apakah itu memang sepotong meteor atau sampah luar angkasa atau sepotong satelit yang rusak.

    “Itu terjadi sekitar waktu yang sama ketika kami mulai menerima laporan tentang kemungkinan gempa bumi dan beberapa orang mengatakan bahwa mereka mendengar guntur,” kata Stellman.

    Ada sekitar 130 laporan penampakan bola api di 20 negara bagian, menurut American Meteor Society, dimulai tepat setelah tengah hari. Tidak jelas berapa banyak dari mereka yang terkait dengan acara yang terlihat pada video yang beredar pada hari Kamis.

    American Meteor Society menerima rata-rata 100 penampakan yang dilaporkan per hari, kata Tuan Lunsford. Sekitar 25 mungkin dari objek yang sama, katanya, dan 75 lainnya adalah dari puing-puing yang dibuat oleh objek itu.

    “Jika mereka terlihat dekat, itu karena kecepatan yang mereka gunakan untuk menyerang atmosfer,” katanya, menambahkan bahwa jangkauan kecepatan mereka adalah 15 mil per detik hingga 50 mil per detik.

    Benda buatan manusia, seperti satelit dan roket, jauh lebih lambat. Jika sebuah objek dapat dilihat selama lebih dari lima detik, itu bukan meteor, dia menekankan.

    Kantor Layanan Cuaca Nasional di Charleston mengatakan di halaman media sosialnya bahwa sistem deteksi petir berbasis satelitnya menunjukkan “garis di dalam langit bebas awan” di atas perbatasan antara North Carolina dan Virginia, di atas Gasburg, Va.

    Kantor mengatakan rentetan itu terdeteksi antara pukul 11:51 pagi dan 11:56 pagi waktu setempat.

    Diperkirakan 40 hingga 100 ton bahan luar angkasa menghantam Bumi setiap hari, dan sebagian besar adalah partikel yang sangat kecil, menurut Badan Antariksa Eropa.

    (fsd/fsd)

    [Gambas:Video CNBC]