Kementrian Lembaga: NASA

  • Langit Arab Akan Gelap Total Saat Gerhana Matahari Terlama Abad Ini

    Langit Arab Akan Gelap Total Saat Gerhana Matahari Terlama Abad Ini

    Jakarta

    Lima negara Arab akan diliputi kegelapan saat terjadi gerhana Matahari total pada 2 Agustus 2027. Ini adalah fenomena langit langka, karena merupakan gerhana Matahari terlama abad ini, menurut NASA.

    Gerhana Matahari total akan melintasi langit Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mesir, sebelum berlanjut ke Arab Saudi dan Yaman. Gerhana ini menjanjikan pemandangan spektakuler karena diperkirakan akan menjadi gerhana Matahari terlama di abad ke-21, berlangsung hingga enam menit 26 detik.

    Meskipun gerhana Matahari total bukanlah fenomena yang jarang terjadi, fenomena ini umumnya hanya berlangsung sebentar. Namun, gerhana ini akan menjadi fenomena yang menonjol bukan hanya karena durasinya, tetapi juga karena kelangkaannya di wilayah tersebut. Fenomena ini juga akan mengubah siang menjadi seperti malam.

    Terakhir kali gerhana Matahari total yang berlangsung lama seperti itu terjadi adalah pada 2009. Para astronom menyebutkan, fenomena serupa baru akan terjadi lagi pada 2114, sehingga peristiwa ini akan menjadi peristiwa langka.

    Dikutip dari Gulf News, NASA mengonfirmasi bahwa gerhana Matahari total 2027 tidak hanya akan menjadi gerhana terpanjang abad ini, tetapi juga akan menjadi pertunjukan langit yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi mereka yang berada di jalur yang dilaluinya.

    Fase totalitas, saat Bulan menutupi Matahari sepenuhnya, akan berlangsung selama lebih dari enam menit, memberikan kesempatan lebih lama bagi para pengamat langit untuk menyaksikan kegelapan yang menakjubkan yang menyelimuti lanskap yang ditutupinya.

    Selama fase ini, korona Matahari, lingkaran cahaya yang hanya terlihat selama totalitas, akan terlihat, memungkinkan pandangan yang jelas terhadap atmosfer luar Matahari.

    Gerhana ini memiliki arti penting bukan hanya karena kelangkaannya, tetapi juga karena pentingnya dalam studi ilmiah. Gerhana Matahari total menawarkan kesempatan unik bagi para astronom untuk mempelajari korona Matahari, medan magnetnya, dan dampak radiasi Matahari.

    Gerhana 2027, khususnya, akan memberikan kesempatan utama bagi para peneliti untuk mengumpulkan data berharga tentang dinamika Matahari, dan peristiwa ini dapat menghasilkan wawasan baru tentang perilaku Matahari.

    Di luar komunitas ilmiah, gerhana ini juga akan menjadi pengingat akan misteri alam semesta dan ketertarikan manusia yang sudah lama terhadap fenomena langit. Pada zaman dahulu, gerhana Matahari sering dianggap sebagai pertanda, yang memicu rasa takut dan heran. Namun, saat ini, peristiwa ini dirayakan oleh para pengamat langit, ilmuwan, dan penonton yang penasaran.

    Seiring dengan terus berlanjutnya hitungan mundur hingga 2 Agustus 2027, berbagai persiapan telah dilakukan di negara-negara yang terkena dampak. Tempat-tempat pengamatan akan disiapkan, dan tindakan pencegahan keselamatan akan ditekankan untuk memastikan orang-orang dapat menyaksikan gerhana tanpa risiko bahaya bagi mata mereka.

    Gerhana Matahari di 2027 disebut-sebut akan menjadi peristiwa yang tak terlupakan, yang akan meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di langit dunia Arab untuk generasi mendatang.

    (rns/rns)

  • Setelah Temukan ‘Telur Laba-Laba’, NASA Dapat  Batu Aneh Phippsaksla di Mars

    Setelah Temukan ‘Telur Laba-Laba’, NASA Dapat  Batu Aneh Phippsaksla di Mars

    Bisnis.com, JAKARTA — Planet Merah kembali menghadirkan misteri baru. Penjelajah Perseverance milik NASA menemukan sebuah batuan aneh yang terlihat sangat berbeda dibanding batuan Mars pada umumnya. 

    Batuan tersebut dijuluki Phippsaksla, dan para ilmuwan menduga kuat bahwa batu ini bukan berasal dari Mars, melainkan dari objek lain di tata surya yang terdampar di permukaannya.

    Sejak mendarat pada awal 2021, Perseverance telah menemukan banyak formasi batuan unik mulai dari batu yang menyerupai telur laba-laba, “tengkorak” kecil yang tidak biasa, hingga struktur mirip kura-kura. Namun, Phippsaksla menjadi salah satu temuan paling mencolok sepanjang penjelajah ini bekerja di Kawah Jezero.

    Beberapa temuan sebelumnya juga telah membuka misteri baru. Nodul aneh yang ditemukan dalam sampel yang kaya akan bahan organik,  menjadi salah satu indikasi paling kuat mengenai kemungkinan keberadaan kehidupan mikroba purba di Mars. Namun sejauh ini, seluruh batuan yang ditemukan Perseverance diyakini berasal dari Mars sendiri sampai akhirnya Phippsaksla ditemukan.

    Penemuan batuan tersebut terjadi pada 19 September, saat Sol ke–1629 di wilayah Jezero yang dijuluki Vernodden. Batuan ini memiliki tinggi sekitar 80 sentimeter dan langsung mencuri perhatian para ilmuwan.

    Menurut Candice Bedford, ahli geokimia dan mineralogi dari Universitas Purdue, batu ini memiliki ciri fisik yang sangat mencolok.

    “Batu ini diidentifikasi sebagai target menarik karena bentuknya yang tampak terpahat dan berdiri tegak, sangat berbeda dari batuan di sekitarnya yang umumnya rendah, datar, dan terfragmentasi,” jelasnya dalam pernyataan NASA.

    Analisis awal menunjukkan bahwa Phippsaksla memiliki konsentrasi besi dan nikel yang tinggi kombinasi logam yang jarang ditemukan pada batuan Mars, namun umum pada meteorit besi–nikel. 

    Temuan tersebut menguatkan dugaan bahwa batu ini kemungkinan besar terbentuk jauh dari Mars, sebelum akhirnya jatuh ke permukaan planet tersebut jutaan atau bahkan miliaran tahun lalu.

    Ini bukan pertama kalinya penjelajah NASA menemukan batuan asing di Mars. Pendahulunya Spirit, Opportunity, dan Curiosityjuga pernah menemukan meteorit selama misi mereka. Yang mengejutkan, Perseverance justru belum pernah menemukan meteorit serupa di Kawah Jezero, meskipun kawah tersebut memiliki usia geologis yang mirip dengan Kawah Gale, lokasi Curiosity saat ini. (Nur Amalina)

  • Dokumen Bocor Ungkap SpaceX Tunda Pendaratan Manusia di Bulan

    Dokumen Bocor Ungkap SpaceX Tunda Pendaratan Manusia di Bulan

    Jakarta

    Misi Artemis III NASA yang sangat dinantikan, yang digadang-gadang mengembalikan astronaut ke Bulan, kembali menemui hambatan besar. Sebuah memo yang bocor mengungkapkan bahwa roket Starship SpaceX, yang krusial untuk mendaratkan astronaut di permukaan Bulan, baru akan siap setidaknya pada 2028, setahun lebih lambat dari target pertengahan 2027.

    Awalnya, NASA menargetkan untuk mengembalikan astronaut ke Bulan pada 2024 melalui program Artemis, tetapi penundaan telah berulang kali mendorong mundur target ini. Pendaratan berawak dijadwalkan pada 2027, tetapi kini tanggal tersebut pun tampaknya semakin mustahil. Menurut memo terbaru, kesiapan Starship kemungkinan akan diperpanjang hingga 2028, setahun penuh setelah misi Artemis III yang direncanakan.

    Mengejar Waktu

    SpaceX telah mengukir namanya sendiri berkat berbagai pengembangan teknologi yang cepat dan misi luar angkasa yang berani, tetapi jika menyangkut program Artemis, segala sesuatunya tidak berjalan semulus itu.

    Dikutip dari The Daily Galaxy, memo yang bocor, yang diungkap oleh Politico, melaporkan bahwa Starship, sistem yang dirancang untuk mendaratkan astronaut di Bulan, jauh tertinggal dari jadwal. Sistem ini kini diperkirakan akan siap pada September 2028, lebih dari setahun setelah target awal yang ditetapkan NASA pada pertengahan 2027. Penundaan ini terutama disebabkan oleh serangkaian kendala teknis pada roket, termasuk kegagalan uji coba awal tahun ini.

    Sebagai bagian dari peta jalannya, SpaceX masih harus menunjukkan kemampuan-kemampuan kunci, seperti pengisian bahan bakar di luar angkasa, yang dijadwalkan pada Juni 2026, dan pendaratan tanpa awak di Bulan yang dijadwalkan pada Juni 2027.

    Uji coba ini penting untuk memastikan keselamatan dan kelangsungan misi, terutama karena bagian tersulit dari Artemis III adalah mendaratkan astronaut dengan selamat di Bulan dan mengembalikan mereka ke Bumi. Starship mungkin telah menyelesaikan beberapa peluncuran yang sukses, tetapi masih banyak yang harus dilakukan sebelum dianggap siap untuk penerbangan antariksa berawak.

    Rencana Cadangan NASA

    Dengan penundaan SpaceX yang membuat jadwal Artemis III semakin tidak realistis, NASA harus memikirkan kembali pilihan-pilihannya. Pelaksana Tugas Administrator NASA Sean Duffy baru-baru ini mengatakan bahwa badan antariksa tersebut sedang menjajaki alternatif dan membuka kontrak untuk sistem pendaratan di Bulan bagi perusahaan lain. Keputusan ini sebagian didorong oleh rasa urgensi yang semakin meningkat, karena NASA ingin tetap kompetitif dalam perlombaan antariksa, terutama karena China juga sedang meningkatkan upaya eksplorasi Bulan.

    Saat ini, satu-satunya pesaing yang layak adalah Blue Origin, perusahaan antariksa milik Jeff Bezos, yang sedang mengembangkan wahana pendarat Blue Moon miliknya sendiri. Namun, menurut laporan, wahana pendarat Blue Origin baru akan siap pada 2030, yang terlalu terlambat untuk Artemis III. Meskipun Elon Musk secara terbuka mengkritik keputusan NASA untuk mencari kontrak baru dan mencaci Duffy di media sosial, NASA tetap teguh pada pendiriannya.

    Masa Depan Artemis dan Eksplorasi Bulan

    Masa depan program Artemis terasa semakin tidak pasti. Visi awal untuk mengembalikan manusia ke Bulan telah lama pudar, dan kini, NASA menghadapi tugas berat untuk terus maju dengan jadwal yang terus berubah. Jika laju pengembangan tidak segera dipercepat, tujuan jangka panjang tersebut mungkin juga akan tertunda.

    Ini hanyalah tantangan terbaru bagi NASA, yang telah menghadapi masalah dengan Space Launch System (SLS) dan kapsul Orion, keduanya merupakan komponen penting program Artemis. Kesulitan teknis dengan sistem ini, ditambah dengan masalah yang sedang berlangsung seputar Starship, telah menimbulkan keraguan mengenai kemampuan badan antariksa Amerika tersebut dalam mencapai tujuan jangka panjangnya untuk eksplorasi luar angkasa. Namun, terlepas dari semua hambatan tersebut, NASA tetap berkomitmen pada visinya, dengan Lunar Gateway dan proyek-proyek lainnya yang sedang dikerjakan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video 550 Staf JPL NASA Kena PHK, Gara-gara Pemerintah AS Shutdown?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (rns/fay)

  • Trump Serukan Politisi Demokrat Dihukum Mati Atas Penghasutan, Ada Apa?

    Trump Serukan Politisi Demokrat Dihukum Mati Atas Penghasutan, Ada Apa?

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengusulkan agar para anggota parlemen dari Partai Demokrat diadili atas penghasutan dan dihukum mati. Hal itu dicetuskan Trump setelah enam anggota parlemen Partai Demokrat menyerukan personel militer dan intelijen AS untuk “menolak perintah yang melanggar hukum”.

    Seruan dari enam anggota DPR dan Senator AS dari Partai Demokrat itu disampaikan lewat sebuah video yang diposting ke media sosial X pada Selasa (18/11) waktu setempat. Video tersebut menjadi viral di internet.

    Trump, seperti dilansir AFP dan Anadolu Agency, Jumat (21/11/2025), memberikan reaksi bernada kemarahan, dengan menyebut mereka sebagai pengkhianat dan menuduh mereka telah melakukan “perilaku menghasut”.

    “Ini benar-benar buruk, dan berbahaya bagi negara kita. Perkataan mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. PERILAKU MENGHASUT DARI PARA PENGKHIANAT!!! PENJARAKAN MEREKA???” tulis Trump dalam komentarnya via media sosial Truth Social pada Kamis (20/11) waktu setempat.

    Trump kemudian menambahkan dalam postingan berikutnya: “PERILAKU MENGHASUT, dapat dihukum MATI!”

    Sang Presiden AS itu juga memposting ulang pesan seorang pengguna lainnya yang mendesaknya untuk “menggantung mereka” dan mengatakan bahwa Presiden pertama AS, George Washington, akan melakukan hal yang sama.

    Kehebohan ini terjadi setelah enam anggota DPR dan Senator AS dari Partai Demokrat, seperti Senator Mark Kelly dan Senator Elissa Slotkin, bersama anggota DPR Jason Crow, Chris Deluzio, Maggie Goodlander, dan Chrissy Houlahan, merilis video yang isinya menyerukan anggota militer dan perwira intelijen AS untuk “menolak perintah-perintah yang melanggar hukum”.

    Para politisi Partai Demokrat yang merilis seruan itu memiliki latar belakang militer dan intelijen sebelum bergabung dengan parlemen AS. Salah satunya Senator Kelly yang merupakan mantan personel Angkatan Laut AS dan astronaut NASA. Senator Slotkin pernah mengabdi untuk Badan Intelijen Pusat AS (CIA) di Irak.

    “Rakyat Amerika mempercayai militer mereka, tetapi kepercayaan itu terancam,” kata keenam anggota parlemen Partai Demokrat itu dalam video yang viral.

    “Pemerintahan ini mengadu domba para profesional militer dan komunitas intelijen kita yang berseragam dengan warga negara Amerika. Seperti kami, Anda semua telah bersumpah untuk melindungi dan membela Konstitusi ini. Saat ini, ancaman terhadap Konstitusi kita tidak hanya datang dari luar negeri, tetapi juga dari dalam negeri,” sebut mereka.

    “Aturan hukum kita jelas. Anda dapat menolak perintah ilegal,” tegas para anggota parlemen Partai Demokrat itu dalam video mereka.

    “Tidak seorang pun harus melaksanakan perintah yang melanggar hukum atau Konstitusi kita. Kami mengetahui ini sulit, dan ini masa yang sulit untuk menjadi pelayan publik, tetapi baik Anda yang bertugas di CIA, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, kewaspadaan Anda sangat penting dan ketahuilah bahwa kami mendukung Anda,” ucap mereka.

    Tidak disebutkan lebih jelas soal perintah yang mereka maksud. Namun Trump diketahui memerintahkan pengerahan Garda Nasional AS ke beberapa kota di negara tersebut, yang dalam banyak kasus bertentangan dengan keinginan para pejabat setempat.

    Di luar negeri, Trump memerintahkan rentetan serangan terhadap serangkaian kapal yang diduga menyelundupkan narkoba di Laut Karibia dan Samudra Pasifik Timur, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 80 orang. Para pakar menilai serangan semacam itu adalah ilegal.

    Sementara itu, seruan hukuman mati yang dilontarkan Trump menuai reaksi keras dari Partai Demokrat, yang menyebutnya sebagai ancaman yang “benar-benar keji”.

    “Trump baru saja menyerukan hukuman mati untuk para pejabat terpilih dari Partai Demokrat. Benar-benar keji,” demikian pernyataan Partai Demokrat via media sosial X.

    Tonton juga video “Trump dan Mamdani Akan Bertemu, Waktu Masih Diatur”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/zap)

  • Sempat Dikira Pesawat Alien, NASA Pastikan 3I/ATLAS Adalah Komet

    Sempat Dikira Pesawat Alien, NASA Pastikan 3I/ATLAS Adalah Komet

    Para ahli NASA merilis gambar terbaru objek antarbintang ‘3I/ATLAS’ pada Rabu (19/11) yang menunjukkan bahwa objek tersebut adalah komet. Objek tersebut pada awal kemunculannya pada Juli lalu sempat diduga sebagai wahana antariksa alias pesawat alien karena lintasan, komposisi, dan faktor lainnya yang tidak biasa.

    Ilmuwan NASA, Thomas Statler, mengatakan, lintasan yang tidak biasa tersebut muncul akibat hasil dari gas dan debu yang tertiup sehingga mendorong objek terlihat seperti mesin roket kecil.

    “Saat komet menguap, mereka juga mengeluarkan gas, debu, dan sebagainya. Setiap kali ada sesuatu yang terdorong keluar dari komet, benda itu bertindak seperti mesin roket kecil dan mendorong ke arah sebaliknya. Jadi, sangat umum melihat komet mengalami perubahan halus pada orbitnya sebagai akibat dari gaya roket kecil yang disebut percepatan non-gravitasi,” terangnya.

    Klik di sini untuk menonton video-video lainnya!

  • Video: China Hubungi NASA, Tanda Dua Negara Mulai Akur?

    Video: China Hubungi NASA, Tanda Dua Negara Mulai Akur?

    Video: China Hubungi NASA, Tanda Dua Negara Mulai Akur?

  • Mahalnya Ketergantungan Jerman pada Bahan Mentah dari China

    Mahalnya Ketergantungan Jerman pada Bahan Mentah dari China

    Jakarta

    Pada suatu hari di tahun 2018, Horst Kreuter, geolog Jerman, dan Francis Wedin, geolog Australia, menatap panasnya mata air di barat daya Jerman. Dari sana lahirlah ide: mengekstrak lithium sekaligus menghasilkan listrik dan panas. Dari gagasan itu lahirlah Vulcan Energy, start-up yang diprediksi bisa memenuhi lebih dari 40 persen kebutuhan lithium Eropa.

    Namun, dunia investasi Jerman menertawakan idenya itu. “Kami mendatangi investor lokal, bahkan ke bursa Frankfurt, mereka menertawakan ide kami,” ujar Kreuter. Ironisnya, investor Australia justru menunjukkan ketertarikan.

    Harga bukan segalanya

    Meski Vulcan Energy berhasil memperoleh izin membangun fasilitas komersial, perusahaan Jerman lebih memilih membeli lithium murah dari Cina. Sebaliknya, investor Prancis, Belgia, dan Korea Selatan justru sudah memenuhi buku pesanan Vulcan untuk sepuluh tahun ke depan.

    Kreuter menekankan: “Perusahaan Jerman lupa bahwa mereka juga harus berinvestasi agar sumber daya tersedia di dalam negeri.”

    Jika memproduksi lithium saja sudah sulit, Logam Tanah Jarang (LTJ) bahkan lebih dramatis. Cina saat ini menguasai pasar dunia untuk penambangan dan pengolahan LTJ. Beijing sudah sejak lama meniti dominasi dengan rajin membeli konsesi tambang di luar negeri, dan memperkuat kapasitas domestik.

    Pada 9 Oktober lalu, pemerintah Cina memperketat kontrol ekspor, termasuk kemungkinan penghentian total penjualan LTJ untuk negara-negara Barat. “Tanpa bahan baku ini, tidak ada yang bisa dilakukan di sini,” kata Nicola Beer, Wakil Direktur Bank Investasi Eropa (EIB), dalam sebuah konferensi industri di Berlin baru-baru ini.

    Dua miliar euro untuk awal

    Uni Eropa menyadari risiko itu. Bank Investasi Eropa (EIB) menyiapkan dana awal 2 miliar euro untuk membebaskan Eropa dari ketergantungan ekspor Cina. Investasi ini mencakup penambangan, pengolahan, daur ulang, dan substitusi Logam Tanah Jarang.

    Sementara di dalam negeri, pemerintah Jerman baru tersadar. “Kita menyaksikan pergeseran tektonik pusat kekuasaan dunia,” kata Kanselir Friedrich Merz Oktober lalu. Strategi memperkuat teknologi kini menjadi soal keamanan nasional. “Apakah kita sebagai orang Jerman atau Eropa akan punya kesempatan untuk melindungi kemerdekaan kita, kemakmuran, keamanan dan yang tak kalah penting demokrasi di dunia yang berubah kian dramatis ini, pertanyaan ini belum terjawab.”

    Jerman sejak lama mendebatkan strategi suplai bahan baku industri dan energi. Strategi nasional pertama diumumkan 2010, yang diperbarui tahun 2020, sebelum lahir dana satu miliar euro pada 2024. Sasarannya adalah memperkuat wewenang pemerintah pusat untuk terlibat dalam proyek tambang, demi mengamankan suplai industri domestik. Tapi sejauh ini belum sekeping uang pun yang dikucurkan.

    Debat terlambat, risiko membengkak

    Kementerian Ekonomi dan Energi mengumumkan pada November 2025 bahwa dana penambangan siap diluncurkan. Saat ini, tiga proyek sedang menjalani tinjauan akhir untuk kelayakan pendanaannya, salah satunya, menurut ahli geologi Horst Kreuter, adalah proyek ekstraksi litium Vulcan Energy.

    Pelaku industri menilai langkah pemerintah terlambat, kata Anne Lauenroth dari Asosiasi Industri Jerman (BDI). Studi menunjukkan bahwa mulai sekitar tahun 2030 dan seterusnya, pasokan bahan baku global tidak akan lagi bisa mengimbangi permintaan. “Jika kita tidak berasumsi skenario terburuk, yaitu seluruh lini produksi akan terhenti, maka kita akan membicarakan kenaikan harga dan kekurangan,” prediksinya pada konferensi industri.

    Siapa biayai independensi?

    Untuk lebih mandiri, Jerman membutuhkan investasi “dalam jumlah miliaran”. Namun, biaya tersebut juga menjadi “masalah besar” bagi perusahaan. Lauenroth mengeluhkan soal “kesenjangan diversifikasi” yang perlu dijembatani.

    “Maksud saya bukanlah bahwa negara harus mengatur segalanya atau menggelontorkan uang pembayar pajak.” Menurutnya, pemerintah harus memberikan jaminan dan pembiayaan bersama untuk mendistribusikan beban biaya. “Ini tentang hubungan baru, bagaimana kita sebagai industri dan politik bekerja sama.”

    Asosiasi industri menuntut pembentukan cadangan bahan baku penting nasional, seperti yang telah lama dilakukan AS, misalnya, untuk industri pertahanan. Pemerintah Jepang juga mengambil tindakan serupa usai Cina memberlakukan larangan ekspor tanah jarang pada tahun 2010.

    Lauenroth menunjuk sebuah badan bahan baku di Jepang dengan 1.000 karyawan dan anggaran sebesar 14 miliar euro, yang bertanggung jawab untuk memastikan pasokan. Ini termasuk, misalnya, subsidi tambang tanah jarang di Australia, yang tidak kompetitif karena harga dumping Tiongkok.

    Bukan akhir kapitalisme pasar

    Kementerian Ekonomi menegaskan, negara tidak bisa menggantikan keputusan bisnis. “Jika membeli hanya berdasarkan harga, ketergantungan tetap ada,” kata Matthias Koehler. “Kita harus mempertahankan ekonomi pasar,” imbuhnya.

    Menurutnya, lembaga penimbunan komoditas oleh negara tidak realistis, mengingat banyaknya pelaku industri di Jerman. Dikhawatirkan, pengumpulan bahan baku tidak mencerminkan kebutuhan, dan sebabnya tidak digunakan.

    Namun pelaku industri justru menilai kekhawatiran tersebut berlebihan. Cina sudah memikirkan lima tahun ke depan, bahkan dekade berikutnya. Lauenroth menegaskan: tanpa strategi nasional terpadu untuk teknologi dan sumber daya, Jerman dan Eropa akan selalu bisa diperas secara geopolitik.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “China Hubungi NASA, Tanda Dua Negara Mulai Akur?”

    (ita/ita)

  • 3 Astronot China Balik ke Bumi, 3 Masih Terdampar di Antariksa

    3 Astronot China Balik ke Bumi, 3 Masih Terdampar di Antariksa

    Jakarta

    Tiga astronot China sudah kembali ke Bumi setelah sempat terjebak, namun saat ini, 3 astronot lainnya masih terdampar. Tiga taikonaut yang kini terjebak, Zhang Lu, Wu Fei, dan Zhang Hongzhang, adalah awak misi Shenzhou-21. Mereka tinggal di stasiun Tiangong sejak 31 Oktober setelah diluncurkan dengan roket Long March 2F.

    Mereka menggantikan kru Shenzhou-20 yang beranggotakan Wang Jie, Chen Zhongrui, dan Chen Dong, yang awalnya dijadwalkan balik Bumi 5 November. Namun kepulangan kru Shenzhou-20 dibatalkan ketika sebuah benda yang diduga sampah antariksa menghantam kapsul kembali.

    Setelah pengujian, ditemukan retakan pada jendela pengintai kapsul. Akhirnya kru Shenzhou-20 beralih ke kapsul yang seharusnya digunakan kru Shenzhou-21 dan berhasil kembali ke Bumi pada Jumat (14 November).

    Meski banyak yang merayakan kepulangan kru Shenzhou-20, hal ini berarti kru Shenzhou-21 kini tidak memiliki wahana untuk kembali ke Bumi.

    Laporan yang belum dikonfirmasi mengisyaratkan kapsul kosong pengganti, bernama Shenzhou-22, bisa diluncurkan ke Tiangong paling cepat 24 November. Namun jika sesuatu yang berbahaya terjadi pada kru Shenzhou-21 sebelum itu, seperti hantaman sampah antariksa lainnya pada stasiun, mereka mungkin tidak bisa kembali dengan aman.

    “Saya sangat senang mereka (kru Shenzhou-20) bisa pulang, tapi cukup mengkhawatirkan kru pengganti tampaknya tidak memiliki kendaraan untuk kembali ke Bumi,” ujar Victoria Samson, direktur stabilitas ruang angkasa di Secure World Foundation, kepada Scientific American.

    Dikutip detikINET dari Live Science, jika kapsul baru tiba di Tiangong, kapsul Shenzhou-20 yang rusak kemungkinan akan dilepaskan dari stasiun dan diarahkan jatuh ke Samudra Pasifik.

    Belum jelas mengapa CMSA memilih memulangkan kru Shenzhou-20 sebelum kapsul baru dikirim. Bisa jadi Tiangong, yang ukurannya seperlima ISS, tak dapat menopang enam taikonaut sekaligus secara aman, meski CMSA sebelumnya menyatakan bahwa hal tersebut bukan masalah.

    Ada pula kemungkinan bahwa kru yang tertahan bisa kembali ke Bumi dengan kapsul Shenzhou-20 yang rusak dalam kondisi darurat. Selama retakan tidak berada pada modul pendaratan utama, kapsul itu masih bisa membawa kru pulang jika situasi benar-benar memaksa.

    Situasi yang dialami kru Shenzhou-20 dan Shenzhou-21 mengingatkan pada kasus terjebak serupa di ISS. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah astronaut NASA Suni Williams dan Butch Wilmore, yang kembali ke Bumi Maret lalu setelah sekitar sembilan bulan tertahan di luar angkasa.

    (fyk/fay)

  • Orang-orang Terkaya Dunia Mau Bangun Pusat ‘Harta Karun’ di Bulan

    Orang-orang Terkaya Dunia Mau Bangun Pusat ‘Harta Karun’ di Bulan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Raksasa teknologi berbondong-bondong membangun infrastruktur data center untuk mengembangkan kecerdasan buatan (AI). Sudah banyak kontroversi yang muncul akibat pembangunan data center yang ‘haus’ air dan listrik.

    Di satu sisi, data center menjadi ‘harta karun’ baru yang berpotensi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, utamanya di negara-negara berkembang yang memiliki lahan dan sumber daya memadai. Namun, data center juga berpotensi memicu krisis pasokan air dan listrik, sehingga berdampak kepada kehidupan masyarakat.

    Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan keadaan darurat energi di negaranya. Pemerintah AS mengatakan perlu menambah kapasitas dalam jumlah besar untuk menangani permintaan listrik yang diperkirakan akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

    Sementara itu, perusahaan-perusahaan AI sedang membangun kemampuan pembangkit energi mereka sendiri sambil menunggu jaringan listrik pulih. xAI milik Musk, misalnya, telah menggunakan turbin gas sebagai sumber daya sementara. OpenAI juga mendorong pemerintah untuk bermitra dengan perusahaan-perusahaan guna menambah 100 gigawatt per tahun.

    Keterbatasan pasokan air dan listrik di Bumi membuat para pengusaha AI mengeksplor kemungkinan membangun data center di luar angkasa, tepatnya di Bulan.

    “Bulan adalah anugerah dari alam semesta,” ujar Jeff Bezos baru-baru ini ketika berbicara tentang manfaat eksplorasi Bulan dan pemanfaatannya sebagai pangkalan peluncuran proyek di luar angkasa.

    Pernyataan ini muncul di tengah upaya perusahaan roket Blue Origin dan SpaceX milik Elon Musk untuk membuat perjalanan luar angkasa lebih murah dan rutin.

    Tidak jelas mana yang lebih mendekati kenyataan: pangkalan Bulan atau AI superintelijen? Namun, keduanya tampaknya bertemu di era antusiasme investor yang membuat beberapa orang khawatir kita berada dalam gelembung AI atau ‘AI bubb;e’

    Yang jelas, ekonomi data center berbasis luar angkasa saat ini tidak masuk akal. Namun, hal itu mungkin terjadi di masa depan, sekitar satu dekade dari sekarang, menurut analisis Phil Metzger, seorang profesor riset di University of Central Florida dan mantan anggota Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA), dikutip dari MSN berdasarkan laporan Wall Street Journals, Senin (17/11/2025)/

    “Para penggemar luar angkasa (seperti saya) telah lama mencari potensi bisnis untuk memungkinkan migrasi manusia ke luar planet Bumi,” tulisnya di X di tengah kehebohan baru tersebut.

    “Saya pikir server AI di luar angkasa adalah contoh bisnis nyata pertama yang akan mengarah pada lebih banyak lagi,” ia menuturkan.

    Empat puluh tahun yang lalu, ketika film “Back to the Future” dirilis, poin pentingnya menyorot pada kebutuhan untuk menghasilkan energi yang begitu besar sehingga perjalanan waktu terasa masuk akal bagi penonton.

    Alur ceritanya berkisar pada kebutuhan untuk menemukan daya sebesar 1,21 gigawatt, atau setara dengan sambaran petir, untuk mengirim mesin waktu DeLorean milik Doc Brown yang terkenal kembali ke rumah.

    Kini, 1 gigawatt, yang pernah dicatat oleh Departemen Energi, hanya sekitar setengah daya yang dihasilkan Bendungan Hoover. Argumen ini pada dasarnya bermuara pada keyakinan bahwa kebutuhan AI pada akhirnya akan tumbuh begitu besar sehingga infrastruktur yang dibangun perlu pindah ke luar angkasa. Di sana, daya matahari dapat dipanen dengan lebih efisien.

    Bos-bos Raksasa Jajah Antariksa

    Sinar matahari dapat langsung dan konstan sehingga panel surya dapat mengumpulkan sinarnya, tanpa awan, tanpa hujan badai, tanpa malam hari. Kebutuhan pendinginan juga dapat berkurang karena ruang hampa.

    Selain itu, tidak ada lagi regulasi merepotkan yang sering dikeluhkan para pengusaha karena dinilai memperlambat pembangunan pembangkit listrik baru untuk memenuhi kebutuhan data center.

    “Kita akan mampu mengalahkan biaya data center terestrial di luar angkasa dalam beberapa dekade mendatang,” kata Bezos di sebuah konferensi teknologi bulan lalu.

    “Luar angkasa pada akhirnya akan menjadi salah satu tempat yang terus membuat Bumi lebih baik,” ia mebnuturkan.

    Tentu saja hipotesis ini masih awal. Di Alphabet, rencana Google terdengar agak konservatif. Perusahaan mesin pencari tersebut beberapa saat lalu mengumumkan Project Suncatcher, yang digambarkannya sebagai proyek moonshot untuk meningkatkan skala pembelajaran mesin (machine learning) di luar angkasa. Mereka berencana meluncurkan dua satelit prototipe pada awal 2027 untuk menguji perangkat kerasnya di orbit.

    “Seperti halnya moonshot, ini akan mengharuskan kami memecahkan banyak tantangan teknik yang rumit,” tulis Pichai di media sosial.

    Nvidia juga telah mengumumkan kemitraan dengan perusahaan rintisan Starcloud untuk mengembangkan data center berbasis luar angkasa. Tak mau kalah, Musk telah melukiskan visi terbarunya sendiri untuk dunia luar angkasa.

    Ia telah lama mengincar Mars, pendorong utama SpaceX. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia lebih banyak berbicara tentang bagaimana ia dapat menggunakan pesawat luar angkasanya untuk menyebarkan versi baru satelit Starlink bertenaga surya miliknya yang dilengkapi dengan laser berkecepatan tinggi untuk membangun data center di luar angkasa.

    Pada pekan lalu, Musk kembali menegaskan bagaimana satelit-satelit AI tersebut akan mampu menghasilkan 100 gigawatt daya surya tahunan atau kira-kira seperempat dari konsumsi rata-rata AS dalam setahun.

    “Kami telah merencanakannya,” ujarnya kepada investor Ron Baron dalam sebuah acara.

    Sebelumnya, Musk menyatakan bahwa ia membutuhkan waktu empat hingga lima tahun lagi untuk mencapai kemampuan tersebut. Ia juga mengutarakan ide-ide yang lebih liar, dengan mengatakan di X bahwa 100 terawatt per tahun “dimungkinkan dari pangkalan Bulan yang memproduksi satelit AI bertenaga surya secara lokal dan mempercepatnya hingga mencapai kecepatan lepas dengan penggerak massa.”

    Singkatnya, Musk menyatakan bahwa pangkalan Bulan akan memproduksi satelit dan melemparkannya ke orbit dengan ketapel. Dan panel surya satelit-satelit tersebut akan menghasilkan 100.000 gigawatt per tahun.

    “Saya pikir kita akan melihat kecerdasan terus berkembang hingga ke titik di mana sebagian besar tenaga matahari dimanfaatkan untuk komputasi,” kata Musk dalam sebuah konferensi teknologi pada bulan September.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cetak Sejarah! Voyager 1 Bakal Berjarak Satu Hari Cahaya dari Bumi, Usai Terbang 49 Tahun

    Cetak Sejarah! Voyager 1 Bakal Berjarak Satu Hari Cahaya dari Bumi, Usai Terbang 49 Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA – Sejarah baru ditorehkan oleh NASA melalui wahananya Voyager 1 yang akan mencapai jarak satu hari cahaya dari bumi pada 15 November 2026. 

    Satu hari cahaya adalah jarak yang ditempuh cahaya melalui ruang hampa dalam 24 jam, yang dihitung sebagai 1,609×10^10 mil, atau sekitar 16,09 miliar mil.

    Misi Voyager 1 pada akhirnya akan berakhir ketika melampaui jangkauan komunikasi pada tahun 2036. Selain itu, sumber energinya hanya akan bertahan sementara, sehingga semua fungsinya akan berhenti sekitar waktu yang sama.

    Setelah ini terjadi, wahana antariksa akan terus melanjutkan lintasannya hingga dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Saat masih dalam jangkauan komunikasi, NASA memperbaiki sistem Voyager 1 pada jarak lebih dari 15 miliar mil.

    Saat ini, Voyager 1 milik NASA berada sekitar 15,67 miliar mil dari Bumi, sekitar 2,61 miliar mil lebih jauh daripada Voyager 2. Misi Voyager 1 telah mencapai beberapa tonggak sejarah, termasuk melintasi heliopause dan memasuki ruang antarbintang pada 25 Agustus 2012.

    Wahana antariksa akan berada satu hari cahaya dari Bumi, dibutuhkan satu hari penuh bagi sinyal untuk mencapainya gelombang radio bergerak dengan kecepatan cahaya dalam ruang hampa dan satu hari lagi bagi responsnya untuk kembali ke Bumi. Karena lintasan dan kecepatannya saat ini, kita dapat menentukan apa yang akhirnya akan terjadi pada Voyager 1, tetapi kita akan lama berlalu ketika sesuatu yang menarik terjadi.

    Meskipun Voyager 1 telah melewati heliopause menuju ruang antarbintang, ia masih perlu melewati Awan Oort. Voyager 1 diperkirakan akan mencapai titik terdekat Awan Oort dalam waktu sekitar tiga abad, tetapi mungkin membutuhkan waktu 30.000 tahun lagi untuk melewatinya sepenuhnya. Wahana ini kemudian akan menuju konstelasi Ophiuchus, dan pada tahun 40.272 M, ia akan menempuh jarak 1,7 tahun cahaya dari sebuah bintang di dalam konstelasi Ursa Minor.

    Voyager 1 sendiri diluncurkan pada tanggal 5 September 1977 untuk tujuan mempelajari planet-planet luar. Voyager 1 diluncurkan beberapa minggu setelah Voyager 2, dan kedua wahana tersebut telah terbang ke wilayah terluar Tata Surya, memecahkan rekor sebagai objek buatan manusia terjauh yang pernah dibuat.

    Misi ini telah berlangsung selama hampir setengah abad, dan selama kurun waktu tersebut, Voyager 1 telah mengirimkan segudang data kembali ke Bumi, mengungkap banyak hal tentang planet-planet luar dan sifat tata surya kita.

    Wahana Voyager diluncurkan bersamaan dengan posisi planet yang tepat, memungkinkan bantuan gravitasi (yang dikenal sebagai manuver ketapel) untuk memindahkannya lebih jauh di luar angkasa. Hasilnya, Voyager 1 melaju dengan kecepatan sekitar 38.000 mil per jam. Meskipun kecepatan tersebut tak terbantahkan dan merupakan prestasi rekayasa manusia yang mengesankan, kecepatannya lebih lambat daripada kecepatan siput jika dibandingkan dengan kecepatan cahaya.