Kementrian Lembaga: NASA

  • Mati di Antariksa, NASA Resmi Hentikan Misi Satelit Lunar Trailblazer

    Mati di Antariksa, NASA Resmi Hentikan Misi Satelit Lunar Trailblazer

    JAKARTA – NASA mengumumkan akhir dari misi Lunar Trailblazer. Satelit kecil buatan Jet Propulsion Laboratory (JPL) ini seharusnya mendarat di Bulan, tetapi misinya gagal berjalan sesuai target.

    Satelit ini diluncurkan pada 26 Februari untuk mendeteksi dan memetakan lokasi air serta mineral di Bulan. Namun, operator justru kehilangan kontak dengan satelit tersebut sekitar sehari setelah peluncuran dilakukan.

    NASA mengatakan bahwa misi ini terpaksa dihentikan karena komunikasi dua arah tidak dapat terjalin. Padahal, komunikasi dua arah penting agar tim dapat mengoperasikan pendorong yang diperlukan untuk menjaga Lunar Trailblazer tetap berada di jalurnya.

    Tim telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan misinya, tetapi tidak ada cara yang berhasil. Data terbatas yang berhasil diterima tim menunjukkan bahwa susunan panel surya pesawat tidak berorientasi ke arah Matahari. Akibatnya, baterai Lunar Trailblazer telah kehabisan daya.

    “Meskipun hasilnya tidak sesuai harapan, pengalaman misi seperti Lunar Trailblazer membantu kami belajar dan mengurangi risiko bagi satelit kecil berbiaya rendah di masa depan,” kata Administrator Asosiasi Direktorat Misi Sains NASA Nicky Fox.

    NASA pun mengungkapkan bahwa ada banyak organisasi di berbagai belahan dunia yang menawarkan bantuan secara sukarela. Bahkan, beberapa organisasi berupaya mendengarkan sinyal radio dari wahana antariksa tersebut.

    Namun, Lunar Trailblazer tetap sulit untuk dijangkau. Satelit ini semakin jauh dan semakin sulit untuk dipulihkan. Pada akhirnya, sinyal telekomunikasi satelit tersebut terlalu lemah untuk diterima.

    Bethany Ehlmann, peneliti utama misi satelit tersebut, mengungkapkan kekecewaannya. Meski begitu, Ehlmann percaya bahwa teknologi yang digunakan pada Lunar Trailblazer, seperti spektrometer pencitraan High-Resolution Volatiles and Minerals Moon Mapper, akan tetap berguna bagi proyek-proyek lain di masa depan.

    “Kami sangat kecewa karena wahana antariksa kami tidak berhasil mencapai Bulan, tetapi kedua instrumen sains yang kami kembangkan, seperti halnya tim yang kami bentuk, berkelas dunia,” kata Ehlmann. “Pengetahuan kolektif ini dan teknologi yang dikembangkan akan saling melengkapi dengan proyek-proyek lain.”

  • Trump Perintahkan NASA Hancurkan 2 Satelit Bumi, Dampaknya Fatal

    Trump Perintahkan NASA Hancurkan 2 Satelit Bumi, Dampaknya Fatal

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Donald Trump memerintahkan NASA untuk menghancurkan dua satelit yang membawa misi besar terkait perubahan iklim.

    Laporan NPR menyebut pejabat Gedung Putih berkoordinasi langsung ke NASA untuk membatalkan dua misi yang disebut ‘Orbiting Carbon Observatories’.

    Misi tersebut telah mengumpulkan data yang secara luas digunakan oleh perusahaan minyak dan gas, serta petani. Data itu berisi informasi terperinci tentang distribusi karbon dioksida dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi kesehatan tanaman.

    Satu satelit dipasang di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Sementara satelit lainnya berdiri sendiri dan berfungsi mengumpulkan data.

    Satelit yang berdiri sendiri itu akan mengalami kehancuran permanen setelah terbakar di atmosfer jika misinya dihentikan, dikutip dari Futurism, Selasa (5/8/2025).

    Sebagai informasi, pemerintahan Trump selama ini memang secara blak-blakan tak mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim. Bahkan, Trump menyebut isu perubahan iklim sebagai informasi yang menyesatkan.

    Menurut para ilmuwan yang diwawancara NPR, dua satelit yang akan dimusnahkan tersebut sebenarnya diperkirakan masih berfungsi selama beberapa tahun lagi.

    Dalam wawancara pada 2023 silam, NASA mengatakan data yang dihasilkan kedua satelit berkualitas tinggi dan sangat bermanfaat.

    Observatorium tersebut menyediakan pengukuran karbon dioksida terperinci di berbagai lokasi, yang memungkinkan para ilmuwan mendapatkan gambaran detail tentang bagaimana aktivitas manusia memengaruhi emisi gas rumah kaca.

    Mantan karyawan NASA David Crisp, yang bekerja pada instrumen Orbiting Carbon Observatories, mengatakan kepada NPR bahwa staf saat ini menghubunginya untuk menanyakan beberapa hal yang mendesak.

    “Satu-satunya hal yang memotivasi mereka mempertanyakan hal-hal tersebut adalah ketika ada pihak yang meminta mereka menghentikan proyek tersebut,” kata Crisp, dikutip dari Futurism.

    Crisp mengatakan tidak masuk akal secara ekonomi untuk menghentikan misi NASA yang mengembalikan data yang sangat berharga.

    Ia membeberkan biaya pemeliharaan kedua observatorium tersebut hanya US$15 juta per tahun, yang merupakan sebagian kecil dari anggaran NASA sebesar US$25,4 miliar.

    Ilmuwan lain yang telah menggunakan data dari misi tersebut juga telah ditanyai pertanyaan terkait penghentian misi.

    Kedua observatorium tersebut hanyalah dua dari puluhan misi antariksa yang menghadapi ancaman eksistensial berupa anggaran tahun fiskal 2026 yang diusulkan pemerintahan Trump.

    Banyak ilmuwan yang geram dengan usulan tersebut, dengan alasan bahwa usulan tersebut dapat mempercepat berakhirnya kepemimpinan AS di bidang antariksa.

    Para anggota parlemen telah menyusun tawaran balasan yang akan menjaga anggaran NASA tetap sesuai dengan anggaran tahun ini.

    “Kami menolak pemotongan yang akan menghancurkan sains NASA sebesar 47 persen dan akan menghentikan 55 misi operasional dan yang direncanakan,” kata senator dan pejabat tinggi anggaran Chris Van Hollen (D-MD) dalam sebuah pernyataan pada bulan Juli, seperti dikutip Bloomberg.

    Pemusnahan misi antariksa dinilai sebagai hal yang berdampak fatal dan menunjukkan agenda anti-sains dari pemerintahan Trump. Bahkan, menurut otoritas hukum, hal tersebut berpotensi melanggar hukum.

    “Menghapus anggaran atau mereduksi operasi satelit monitor Bumi akan membawa petaka dan menghancurkan kemampuan kita untuk meramalkan, mengendalikan, dan merespons bencana alam dan perubahan iklim,” kata Zoa Lofgren, anggota DPR dan Komite Sains, Antariksa, dan Teknologi, kepada NPR.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Astronaut NASA Tak Bisa Pulang karena Kehabisan Ongkos

    Astronaut NASA Tak Bisa Pulang karena Kehabisan Ongkos

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah astronaut kabarnya tidak bisa kembali ke Bumi dan harus tinggal lebih lama di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dari jadwalnya. Alasannya karena pemangkasan dana yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Empat orang astronaut, Zena Cardman, Mike Fincke, Kimiya Yui, dan Oleg Platonov diketahui baru saja pergi ke luar angkasa lewat misi Crew-11 pekan lalu. Mereka dijadwalkan berada di ISS selama enam hingga delapan bulan ke depan.

    Namun ada ketidakpastian soal berapa lama empat orang tersebut berada di luar angkasa. Perpanjangan masa tinggal memang kerap terjadi dengan beberapa alasan seperti teknis atau cuaca buruk.

    Kini, bertambah alasan lain untuk mereka tinggal lebih lama. Terkait masalah pemangkasan keuangan yang diusulkan pemerintah AS.

    Pemerintah ingin memotong dana sebagian besar program NASA. Termasuk untuk ISS, transportasi awak dan kargo dengan pengurangannya memiliki persentase yang sedikit lebih tinggi.

    Pemangkasan diperkirakan akan berlanjut hingga 2030, saat stasiun ISS direncanakan untuk pensiun. Operasional akan dilakukan dengan jumlah astronaut lebih sedikit dan kapasitas penelitian lebih rendah.

    Manajer program kru komersial NASA, Steve Stich mengatakan pihaknya bekerja sama dengan SpaceX memastikan wahana antariksa Dragon bisa berada di orbit hingga delapan bulan lagi. Batas sertifikasi yang ada sekarang hanya tujuh bulan, meski pejabat telah menghapusnya untuk misi yang berlangsung lama.

    Sementara dalam informasi terbaru pekan lalu, manajer program ISS NASA Dana Weigel mengindikasikan para pejabat masih merencanakan Crew-11 untuk tinggal lebih lama. Namun keputusan ini masih menunggu hingga beberapa bulan lagi.

    “Kami menjajaki kemungkinan memperpanjang penerbangan saat ini, Crew-11. Masih ada beberapa bulan lagi yang harus dikerjakan,” jelas Weigel dikutip dari Ars Technica, Senin (4/8/2025).

    Weigel juga buka suara soal Crew-12 yang direncanakan diluncurkan awal tahun depan. NASA juga tengah mempertimbangkan opsi pengurangan biaya untuk misi tersebut.

    NASA disebutnya mempertimbangkan seluruh opsi yang ada. Salah satunya meluncurkan tiga orang saja, bukan empat orang seperti biasanya.

    “Kami sebenarnya bisa menunggu agak lama untuk mengurangi jumlah kru. Untuk kendaraan kargo, kami punya persediaan cukup hingga musim gugur, jadi dalam jangka pendek, hingga akhir tahun dan awal 2026, semunya normal sesuai rencana kami,” kata Weigel.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Misi Baru, NASA Berburu Planet Layak Huni

    Misi Baru, NASA Berburu Planet Layak Huni

    Bisnis.com, JAKARTA – NASA tengah menyiapkan misi luar angkasa terbaru yang dianggap sebagai langkah. NASA juga memotret dunia asing untuk mencari tahu planet keberadaan alien.

    Misi ini bernama Habitable Worlds Observatory (HWO), atau Observatorium Dunia Layak Huni. Jika berhasil, teleskop luar angkasa canggih ini bukan hanya akan mendeteksi tanda-tanda kehidupan di planet-planet jauh, tetapi juga memotret langsung dunia-dunia asing yang selama ini hanya bisa dibayangkan oleh manusia.

    Tujuan utama HWO adalah mencari pola kimia khusus disebut sebagai biosignature pada planet-planet seukuran Bumi yang berada di zona layak huni di sekitar bintang-bintang tetangga.

    NASA menilai bahwa zona layak huni adalah wilayah di mana suhu planet cukup mendukung keberadaan air dalam bentuk cair, salah satu syarat penting bagi kehidupan seperti di Bumi.

    Mencari Jejak Kehidupan Lewat Kimia Atmosfer

    Para ilmuwan akan mencari keberadaan molekul seperti oksigen, ozon, dan metana di atmosfer planet-planet tersebut. Kombinasi ketiganya sangat sulit dijelaskan tanpa adanya proses biologis, seperti kehidupan mikroorganisme atau bahkan sesuatu yang lebih kompleks.

    “Dengan Habitable Worlds Observatory, kita akan bisa mengamati langsung atmosfer planet-planet itu,” kata Dr. Shyam Balaji, seorang fisikawan teoretis dari King’s College London. “Kami mencari pola kimia seperti oksigen dan metana yang muncul bersamaan sesuatu yang sulit dijelaskan tanpa adanya kehidupan.”

    Dia menambahkan bahwa meski belum bisa disebut sebagai bukti mutlak kehidupan alien, pola kimia semacam itu akan menjadi petunjuk terkuat yang pernah ditemukan umat manusia sejauh ini.

    Titik Balik Pandangan Manusia Tentang Alam Semesta

    Dilansir dari The Sun, Senin (4/8/2025), Dr. Balaji juga percaya bahwa jika nanti ditemukan planet dengan atmosfer stabil dan tanda-tanda kehidupan, maka itu akan menjadi momen penting dalam sejarah manusia.

    “Itu akan mengubah cara manusia memandang posisinya di alam semesta. Bahkan jika tidak menemukan kehidupan, sekadar mengetahui bahwa ada dunia lain yang layak huni saja sudah akan mengguncang pemahaman kita tentang keunikan Bumi,” ujarnya.

    Foto Dunia Asing

    Tak berhenti di pencarian kimia atmosfer, teleskop HWO juga akan mengirimkan foto-foto planet-planet jauh yang sebelumnya hanya bisa kita bayangkan lewat lukisan ilmiah. Selama ini, para seniman bekerja sama dengan ilmuwan untuk membuat ilustrasi berdasarkan data, karena hanya sedikit eksoplanet yang benar-benar berhasil dipotret langsung.

    Dengan HWO, dunia-dunia asing itu mungkin akan muncul nyata di depan mata, planet-planet yang bisa saja menyimpan kehidupan, atau justru mengonfirmasi bahwa Bumi memang satu-satunya oasis kehidupan di tengah kehampaan kosmos.

  • Gerhana Matahari Total 2 Agustus Gak Lewat RI, BMKG: Ini Fakta-Rutenya

    Gerhana Matahari Total 2 Agustus Gak Lewat RI, BMKG: Ini Fakta-Rutenya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) buka suara soal isu terjadinya Gerhana Matahari Total pada 2 Agustus 2025. Isu itu menyebutkan fenomena akan membuat Bumi gelap selama enam menit.

    BMKG yang mengutip website resmi NASA mengatakan baru dua tahun lagi Gerhana Matahari Total akan terjadi dengan durasi enam menit. Jalurnya pun tak melewati Indonesia.

    “Akhir-akhir ini beredar isu bahwa akan terjadi Gerhana Matahari Total pada tanggal 2 Agustus 2025 yang akan menyebabkan Bumi gelap selama 6 menit,” tulis BMKG dalam unggahan di akun Instagram @/infobmkg, dikutip Sabtu (2/8/2025).

    “Berdasarkan informasi dari website resmi NASA, Gerhana Matahari Total yang dikaitkan dengan kegelapan selama sekitar 6 menit justru jatuh pada 2 Agustus 2027, bukan 2025. Gerhana tersebut juga tidak akan melewati wilayah Indonesia. Jalur totalitas gerhana akan melewati Maroko, Spanyol, Algeria, Libya, Mesir, Arab Saudi, Yaman dan Somalia,” ungkap BMKG.

    BMKG menjelaskan Gerhana Matahari terjadi saat Bulan menghalangi cahaya Matahari ke Bumi. Ini bisa terjadi sebagian atau keseluruhannya.

    Biasanya fenomena itu terjadi pada fase Bulan baru. Namun BMKG mencatat fase Bulan baru terjadi di bulan ini pada 23 Agustus 2025 dan tidak dibarengi dengan Gerhana Matahari di lokasi manapun di dunia.

    “Jadi isu bahwa 2 Agustus 2025 akan terjadi Gerhana Matahari Total yang akan menyebabkan bumi gelap selama 6 menit adalah tidak benar atau hoax,” tegas BMKG.

    Menurut BMKG, Gerhana Matahari Total juga membuat beberapa wilayah gelap saja.

    “Peristiwa Gerhana Matahari Total juga hanya menyebabkan gelap di beberapa tempat saja di belahan bumi yang sinar mataharinya tertutup oleh bayangan umbra bulan,” ungkap BMKG.

    Jadwal Gerhana Matahari Tahun 2025

    BMKG juga menjelaskan tahun ini hanya terjadi empat peristiwa gerhana.

    Berikut informasinya:

    1. Gerhana Bulan Total pada 14 Maret 2025

    Dapat dilihat dari Indonesia bagian timur saat fase gerhana total berakhir

    2. Gerhana Matahari Sebagian pada 29 Maret 2025

    Tidak terlihat di Indonesia

    3. Gerhana Bulan Total pada 7 September 2025

    Bisa dilihat dari Indonesia

    4. Gerhana Matahari Sebagian pada 21 September 2025

    Tidak dapat dilihat dari Indonesia.

    [Gambas:Instagram]

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Ketahuan Bunuh Alien Mars, Ilmuwan Ungkap Fakta Tak Terduga

    NASA Ketahuan Bunuh Alien Mars, Ilmuwan Ungkap Fakta Tak Terduga

    Jakarta, CNBC Indonesia – NASA disebut telah membunuh ‘alien’ Mars pada 1970-an. Klaim ini datang dari ilmuwan Jerman yang menilai eksperimen yang dilakukan NASA di masa lalu malah mematikan kehidupan mikroba di Planet Merah.

    Dirk Schulze-Makuch, ahli astrobiologi dari Technische Universität Berlin di Jerman, memiliki teori unik soal kehidupan di Mars.

    Berdasarkan laporan Space.com yang dikutip oleh Futursim, Schulze-Makuch menduga misi Viking 1 NASA tanpa sengaja membunuh alien penghuni Mars lewat eksperimen mereka yang berlangsung pada tahun 1976.

    NASA saat itu menggelar eksperimen mencampur air, nutrien, dan sampel tanah di Mars. Asumsi NASA, makhluk hidup di Mars sama dengan makhluk hidup di Bumi yaitu membutuhkan air untuk hidup.

    Menurut Schulze-Makuch, makhluk hidup di Mars justru tewas akibat percobaan tersebut. Ia berpendapat kehidupan di Mars bergantung kepada garam seperti organisme di Bumi yang hidup di wilayah kering kerontang. Salah satu organisme yang hidupnya bergantung dari garam adalah mikroba di Padang Pasir Atacama di Cile.

    “Di lingkungan hyper-kering, kehidupan bisa mendapatkan ‘air’ dari garam yang menyerap kelembaban dari atmosfer. Garam ini seharusnya menjadi fokus pencarian makhluk hidup di Mars,” terangnya.

    Dia menyatakan misi Viking tanpa sengaja membunuh organisme yang mereka angkut dengan mencampurkan terlalu banyak air.

    “Jika cara pandang soal cara organisme hidup di kondisi kering Mars ini benar, artinya daripada menjalankan strategi ‘ikuti air’ yang selama ini digunakan NASA, lebih baik kita mengikuti garam untuk mencari mikroba,” ujar Schulze-Makuch.

    Ia mengusulkan menggunakan cairan garam yang pas sebagai habitat bakteria untuk “mengangkut” kehidupan dari Mars.

    Schulze-Makuch memberikan contoh hujan badai yang membunuh 70-80 persen bakteria di Padang Pasar Atacama karena organisme tersebut tak sanggup tersiram begitu banyak air dalam waktu singkat.

    “Hampir 50 tahun setelah eksperimen biologi Viking, saatnya untuk mencoba misi pencarian kehidupan baru, dengan pemahaman lebih baik soal ekosistem Mars,” tulis Schulze-Makuch dalam komentarnya.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ini Penjelasan BMKG soal Gerhana Matahari Total 2 Agustus 2025 yang Bikin Heboh! – Page 3

    Ini Penjelasan BMKG soal Gerhana Matahari Total 2 Agustus 2025 yang Bikin Heboh! – Page 3

    Salah satu penyebab utama munculnya informasi keliru soal gerhana matahari total tampaknya berasal dari kesalahan tahun yang tersebar di media sosial.

    Banyak warganet mengira fenomena langka tersebut akan terjadi pada tahun 2025, padahal menurut data resmi dari situs NASA, gerhana matahari total yang dimaksud baru akan berlangsung pada 2 Agustus 2027.

    Tak hanya itu, jalur totalitas gerhana tersebut tidak melewati wilayah Indonesia, melainkan hanya melintasi beberapa negara seperti Maroko, Spanyol, Aljazair, Libya, Mesir, Arab Saudi, Yaman, dan Somalia.

    Artinya, tidak akan ada momen gelap total yang bisa disaksikan di Indonesia pada tanggal tersebut, meskipun gerhana sebagian masih mungkin terjadi di wilayah tertentu.

  • Profesor Harvard Sebut Komet 3I/ATLAS adalah Alien

    Profesor Harvard Sebut Komet 3I/ATLAS adalah Alien

    Bisnis.com, JAKARTA – Seorang ilmuwan di Harvard memberikan pernyataan kontroversi dengan menyebutkan komet yang dikenal sebagai “3I/ATLAS” bisa jadi merupakan wahana alien.

    Profesor Avi Loeb mengatakan ada tanda-tanda jelas bahwa komet itu adalah wahana alien.

    “Kita harus mengesampingkan semua kemungkinan bahwa itu adalah batu, komet, atau sesuatu yang lain sampai kita mendapatkan bukti, data yang akan memberi tahu kita apa itu,” kata Loeb dilansir dari CBS.

    Profesor Loeb dan timnya mengatakan objek antarbintang itu berada di jalur yang sangat tidak biasa untuk sebuah komet, jalur yang akan membawanya mendekati Venus, Mars, dan Jupiter.

    Loeb mengatakan objek itu tampaknya diarahkan secara “cerdas” dan jika itu alien, dunia harus bersiap.

    Loeb mengatakan risiko tersebut harus dinilai menggunakan skala Richter untuk gempa bumi.

    Profesor Loeb mengatakan objek tersebut akan melewati titik terdekatnya dengan matahari pada 29 Oktober.

    Menurut NASA, Komet 3I/ATLAS tidak menimbulkan ancaman bagi Bumi dan akan tetap berada jauh.

    Dilansir dari USA Today, sebuah komet yang kemungkinan dikenal sebagai 3I/ATLAS menjadi berita awal Juli ketika dipastikan berasal dari luar tata surya Bumi, menjadikannya salah satu dari tiga objek antarbintang yang pernah ditemukan di lingkungan kosmik kita.

    Lebih lanjut, objek tersebut, yang diperkirakan para ilmuwan memiliki lebar lebih dari 19 kilometer, melesat dengan kecepatan 72 kilometer per detik relatif terhadap matahari pada lintasan yang pada 30 Oktober akan membawanya dalam jarak sekitar 200 juta kilometer dari Bumi, menurut NASA.

    Sebuah teleskop di Chili bagian dari Sistem Peringatan Terakhir Dampak Terestrial Asteroid (ATLAS) yang didanai NASA – adalah teleskop pertama yang mendeteksi sesuatu yang awalnya tampak seperti asteroid tak dikenal di jalur yang mendekati orbit Bumi.

    Pengamatan ini dilaporkan ke Pusat Planet Minor, otoritas resmi untuk mengamati dan melaporkan asteroid, komet, dan benda-benda kecil baru lainnya di tata surya. Objek tersebut, yang akhirnya dipastikan hampir pasti sebagai komet dan diberi nama 3I/ATLAS, kemudian dipastikan berasal dari antarbintang setelah pengamatan lanjutan.

  • SpaceX Hadapi Dua Tuntutan Hukum

    SpaceX Hadapi Dua Tuntutan Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA — SpaceX, perusahaan yang fokus pada dirgantara luar angkasa milik Elon Musk, akan hadapi gugatan bulan ini, mengenai pemutusan hubungan kerja yang tidak adil setelah mengabaikan peringatan salah satu mantan karyawannya.

    Supervisor lama SpaceX, Robert Markert, memperingatkan petinggi perusahaannya bahwa salah satu bagian dari proses pemulihan fairing roket dengan mudah akan menyebabkan cedera serius, bahkan kematian, namun akibat hal tersebut, dia malah dipecat.

    Markert menuduh, selama masa jabatannya, teknisi terkadang diharuskan bekerja 15 hingga 20 hari berturut-turut. Itu dilakukan di tengah lingkungan kerja penuh tekanan yang akhirnya mengakibatkan cedera, tetapi ketika dia menyampaikan hal tersebut kepada supervisor, jawabannya adalah “jadwal kerja harus diutamakan”.

    Dia juga sempat menyarankan agar perusahaan memprioritaskan pelatihan dan sertifikasi, namun perusahaan berdalih tidak memiliki waktu dan tidak akan mengeluarkan biaya untuk hal tersebut.

    Gugatan lainnya yang juga diajukan terhadap SpaceX adalah dari tukang ledeng perusahaan tersebut sejak 2014, David Lavalle, yang dipecat setelah perusahaan gagal mengakomodasi beberapa cedera terkait pekerjaan, termasuk patah kaki, nyeri leher parah, cedera punggung dan bahu, dan nyeri pergelangan tangan.

    Lavalle mengakui, dia mengajukan kompensasi untuk beberapa cedera yang dialaminya, namun tidak secara keseluruhan karena takut akan “pembalasan”.

    Dua tuntutan hukum tersebut muncul di tengah upaya perusahaan bidang luar angkasa tersebut mempersiapkan roket heavyweightnya, Starship, agar dapat menyelesaikan misi bersama NASA, serta untuk meluncurkan layanan internet satelit Starlink.

    Dilansir TechCrunch (31/07/25), dalam laporan terbarunya, menunjukkan SpaceX melampaui pesaingnya dalam urusan cedera pekerja pada 2024. Itu terbukti berdasarkan data dari Occupational Safety and Health Administration, yang menunjukkan angka cedera 4,27 per 100 pekerja di internal perusahaan SpaceX.

    Selain itu, di dalam gugatan yang sama juga mencatat, operasi pemulihan fairing roket SpaceX di pantai barat memiliki tingkat cedera tertinggi di antara semua lokasi SpaceX dengan 7,6 per 100 pekerja yang cedera untuk operasi di sana.

    Kedua gugatan itu diajukan di Pengadilan Tinggi Daerah Los Angeles, untuk kemudian dipindahkan oleh SpaceX ke Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Pusat California. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • NASA dan ISRO Sukses Luncurkan Satelit NISAR untuk Pantau Kondisi Bumi

    NASA dan ISRO Sukses Luncurkan Satelit NISAR untuk Pantau Kondisi Bumi

    JAKARTA – Satelit NASA-ISRO Synthetic Aperture Radar (NISAR) telah diluncurkan pada Rabu, 30 Juli sekitar pukul 19.10 WIB. Satelit ini lepas landas dari Pusat Antariksa Satish Dhawan di India.

    Seperti namanya, satelit ini merupakan hasil kolaborasi antara NASA dan Organisasi Penelitian Antariksa India (ISRO). Dengan sistem radar yang canggih, NISAR akan memperlihatkan detail dari Bumi dengan pandangan tiga dimensi yang dinamis.

    Sistem radar ini akan dimanfaat untuk mendeteksi pergerakan dari permukaan daratan dan es di berbagai belahan dunia. Satelit canggih ini juga dapat memberikan informasi penting untuk menangani bencana, masalah infrastruktur, hingga pengelolaan pertanian.

    NISAR diluncurkan menggunakan roket Geosynchronous Satellite Launch Vehicle (GSLV) milik ISRO. Peluncuran dikonfirmasi berjalan dengan lancar karena ISRO berhasil menjalin komunikasi dengan satelit tersebut sekitar 20 menit setelah peluncuran.

    Nicky Fox, Administrator Asosiasi Direktorat Misi Sains NASA, mengapresiasi keberhasilan dari peluncuran ini. Ia meyakini bahwa NISAR akan membantu banyak pihak dengan data yang dikumpulkan sistem radarnya.

    “Di saat-saat yang paling krusial, data NISAR akan membantu memastikan kesehatan dan keselamatan mereka yang terdampak di Bumi, serta infrastruktur yang mendukung mereka, demi kepentingan bersama,” kata Fox.

    NISAR akan beroperasi pada ketinggian 747 kilometer dari atas Bumi. Dengan memanfaatkan dua instrumen radarnya, NISAR akan memantau seluruh permukaan daratan dan es sebanyak dua kali dalam 12 hari.

    Dalam beberapa minggu mendatang, wahana antariksa ini akan memulai fase commissioning sekitar 90 hari. Selama periode ini, NISAR akan memasang reflektor antena radar sepanjang 12 meter yang akan mengarahkan dan menerima sinyal gelombang mikro dari kedua radar.

    “Dengan peluncuran yang sukses ini, kami berada di ambang pemenuhan potensi ilmiah luar biasa yang NASA dan ISRO bayangkan untuk misi NISAR lebih dari 10 tahun yang lalu,” ujar Ketua ISRO V Narayanan.