Kementrian Lembaga: NASA

  • Gaji Pakar AI Bikin Minder Pembuat Bom Atom dan Bintang NBA

    Gaji Pakar AI Bikin Minder Pembuat Bom Atom dan Bintang NBA

    Jakarta

    Perang untuk menarik para pakar AI di Silicon Valley tengah terjadi di antara raksasa teknologi. Bahkan perusahaan seperti Meta dan lainnya, berani membayar mereka begitu tinggi, jauh dari ilmuwan penting di masa lalu.

    Dikutip detikINET dari Ars Technica, Selasa (19/8/2025) Meta baru-baru ini menawarkan peneliti AI Matt Deitke penghasilan USD 250 juta selama empat tahun dengan potensi pemberian USD 100 juta di tahun pertama saja.

    Keahlian Deitke dalam sistem AI yang menyulap gambar, suara, dan teks, menjadikannya target utama Meta. Dia tidak sendirian. CEO Meta, Mark Zuckerberg, dilaporkan juga menawarkan kompensasi USD 1 miliar ke seorang insinyur AI yang tak disebut namanya, yang akan dibayarkan selama beberapa tahun.

    Para pakar AI itu direkrut dalam lomba menciptakan kecerdasan umum buatan (AGI) atau kecerdasan super, yang mampu melakukan tugas intelektual pada atau di atas manusia. Meta, Google, OpenAI, dan lainnya bertaruh, siapa pun yang mencapai terobosan ini terlebih dulu dapat mendominasi pasar senilai triliunan dolar.

    Itu mendorong kompensasi ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai perbandingan, ilmuwan pembuat bom atom J. Robert Oppenheimer, yang memimpin Proyek Manhattan yang mengakhiri Perang Dunia II, memperoleh USD 10.000 per tahun di 1943. Disesuaikan inflasi, jumlahnya menjadi sekitar USD 190.865, kira-kira setara penghasilan insinyur perangkat lunak senior saat ini.

    Deitke yang berusia 24 tahun, akan memperoleh sekitar 327 kali lipat dari apa yang diperoleh Oppenheimer saat mengembangkan bom atom.

    Bahkan banyak atlet top tidak dapat bersaing dengan angka-angka ini. New York Times mencatat bahwa kontrak empat tahun terakhir Stephen Curry dengan Golden State Warriors adalah USD 35 juta lebih rendah dari kesepakatan Meta untuk Deitke.

    Mark Zuckerberg baru-baru ini memberi tahu para investor bahwa Meta berencana terus menggelontorkan dana untuk bakat AI. “Karena kami yakin bahwa kecerdasan super akan meningkatkan setiap aspek dari apa yang kami lakukan,” cetusnya.

    Perusahaan pun memperlakukan peneliti AI seperti aset tak tergantikan. Jika perusahaan-perusahaan ini jadi yang pertama mencapai kecerdasan super, mereka akan memiliki teknologi hebat untuk mengotomatiskan jutaan pekerjaan dan mengubah ekonomi global. Perusahaan yang mengendalikan teknologi semacam itu bisa menjadi perusahaan terkaya dalam sejarah.

    Tidak mengherankan bahwa bahkan gaji tertinggi karyawan dari era teknologi awal lebih kecil dibanding gaji peneliti AI. Program Apollo menawarkan perbandingan lain yang mencolok. Neil Armstrong, manusia pertama yang berjalan di bulan, memperoleh USD 27.000 per tahun, kira-kira USD 244.639 saat ini. Peneliti AI Meta memperoleh penghasilan lebih banyak dalam tiga hari dari yang diperoleh Armstrong dalam setahun.

    Para insinyur yang merancang roket dan sistem untuk program Apollo juga memperoleh gaji cukup rendah. Laporan NASA tahun 1970 menyebut insinyur yang baru lulus memulai karier dengan gaji tahunan antara USD 84.622 sampai USD 99.555 menurut nilai saat ini. Bahkan insinyur elit dengan pengalaman 20 tahun digaji USD 278.000 per tahun dalam nilai tukar saat ini, jumlah yang dapat diperoleh oleh peneliti AI seperti Deitke hanya dalam beberapa hari.

    (fyk/fay)

  • Ada Bintang yang Lebih Panas dari Matahari, Diduga Sekumpulan

    Ada Bintang yang Lebih Panas dari Matahari, Diduga Sekumpulan

    Jakarta

    Para ilmuwan punya hipotesis baru soal bintang terjauh dari Bumi yang pernah ditemukan pada 2022, Earendel. Menurut mereka, mungkin Earendel merupakan gugus bintang.

    Jadi ilmuwan menilai kalau Earendel bukan bintang tunggal, melainkan sekumpulan bintang yang terikat oleh gravitasi dan terbentuk dari awan gas serta debu. Informasi ini terungkap berdasarkan studi yang diterbitkan pada 31 Juli 2025 di Astrophysical Journal.

    Saat kembali mengamati Earendel, sejumlah astronom menggunakan Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST). Dari situ mereka mencoba mengeksplorasi lebih dalam, dan akhirnya mendatangkan dugaan baru, dilansir detikINET dari Lives Science, Selasa (19/8/2025).

    Mereka menemukan bahwa fitur spektral Earendel cocok dengan gugus bola. Mahasiswa doktoral astronomi di University of California, Berkeley, dan penulis utama studi ini, Massimo Pascale, mengaku akan sangat bersyukur jika memang Earendel sebuah gugus bintang.

    “Penelitian ini menemukan bahwa Earendel tampaknya cukup konsisten dengan bagaimana kita memperkirakan gugus bola yang kita lihat di alam semesta lokal akan terlihat pada miliaran tahun pertama alam semesta,” kata Pascale.

    Earendel terletak di galaksi Sunrise Arc, yang mana jaraknya sekitar 12,9 miliar tahun cahaya dari Bumi. Saat itu keberadaannya ditemukan melalui fenomena yang dikenal sebagai pelensaan gravitasi.

    Setelah penemuan Earendel pada 2022, para peneliti menganalisis objek tersebut menggunakan data dari Near Infrared Imager (NIRCam) JWST. Dengan memeriksa kecerahan dan ukurannya, mereka menyimpulkan bahwa Earendel bisa jadi merupakan bintang masif, yang suhunya dua kali lebih panas dari matahari dan satu juta kali lebih terang daripada bintang di sekitar Bumi.

    “Setelah beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa Earendel memang bisa (tetapi belum tentu) jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya, saya yakin ada baiknya untuk mengeksplorasi skenario gugus bintang,” ujar Pascale.

    Menggunakan data spektroskopi dari instrumen NIRSpec JWST, Pascale dan tim mempelajari usia dan kandungan logam Earendel. Tim mendapati bagaimana kecerahannya berubah secara halus pada berbagai panjang gelombang cahaya. Pola ini sesuai dengan apa yang diharapkan dari sebuah gugus bintang dan, setidaknya, sesuai dengan gabungan cahaya dari beberapa bintang.

    Peneliti pascadoktoral di Universitas Maryland dan Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, Brian Welch, menganggap data baru tersebut cukup untuk mengonfirmasi bahwa Earendel adalah gugus bintang.

    Pascale dan Welch sepakat bahwa kunci untuk memecahkan misteri Earendel adalah memantau efek pelensaan mikro. Perubahan kecerahan akibat pelensaan mikro lebih terlihat ketika objek yang jauh berukuran kecil, daripada gugus bintang yang jauh lebih besar.

    “Akan menarik untuk melihat apa yang dapat dilakukan program JWST di masa mendatang untuk lebih mengungkap misteri Earendel,” ujar Pascale.

    (vmp/fay)

  • Google dan NASA Uji Coba Dokter AI untuk Astronaut di Mars

    Google dan NASA Uji Coba Dokter AI untuk Astronaut di Mars

    Jakarta

    NASA dan Google berkolaborasi untuk menguji coba asisten kesehatan berbasis AI. Tapi ‘dokter AI’ ini tidak bisa dicoba sembarangan karena dirancang untuk astronaut dalam misi luar angkasa jangka panjang.

    Sistem yang diuji oleh NASA dan Google bernama Crew Medical Officer Digital Assistant (CMO-DA), sejenis Clinical Decision Support System (CDSS). Saat ini sistem tersebut masih dalam tahap proof of concept.

    Asisten digital itu akan menyediakan dukungan medis untuk astronaut saat mengikuti misi jangka panjang, seperti misi ke Bulan atau Mars, sehingga mereka dapat mendiagnosis dan mengobati gejala penyakit sendiri.

    “Dilatih menggunakan literatur penerbangan antariksa, sistem AI ini menggunakan pemrosesan bahasa alami dan teknik machine learning canggih untuk memberikan analisis kesehatan dan kinerja kru secara real-time dengan aman,” kata juru bicara Google, seperti dikutip dari Space.com, Selasa (19/8/2025).

    Menurut pernyataan resmi Google, hasil uji coba awal mengindikasikan kemungkinan diagnosis yang dapat diandalkan berdasarkan gejala yang dilaporkan. NASA dan Google kini bekerjasama dengan dokter untuk melakukan uji coba lebih lanjut sekaligus menyempurnakan modelnya.

    Misi deep-space, termasuk yang menuju Bulan atau Mars, biasanya mengalami penundaan komunikasi. Contohnya, perjalanan cahaya dari Bumi ke Mars bisa mencapai 45 menit, yang membuat konsultasi dengan dokter secara real-time sulit dilakukan.

    Astronaut juga tidak bisa kembali ke Bumi hanya untuk mendapatkan perawatan medis dari dokter. Karena itu, asisten AI di dalam penerbangan dapat membantu astronaut untuk menjembatani kesenjangan kritis tersebut.

    Selain di luar angkasa, teknologi asisten kesehatan AI ini juga dapat digunakan di lingkungan terpencil dan penuh tantangan yang ada di seluruh penjuru Bumi, di mana akses terhadap tenaga medis masih sangat terbatas.

    (vmp/vmp)

  • Trump Minta Satelit Iklim Milik NASA Stop Operasi

    Trump Minta Satelit Iklim Milik NASA Stop Operasi

    Jakarta

    Presiden AS Donald Trump tampaknya tidak peduli perubahan iklim. Satelit iklim NASA pun mau dimatikan.

    Dilansir dari News.com Australia, Selasa (19/8/2025) Trump sedang memangkas anggaran. Yang kena pangkas adalah anggaran untuk 2 satelit NASA untuk memantau pemanasan Bumi dan gas rumah kaca.

    Satelit Orbiting Carbon Observatory (OCO)-2 adalah satelit yang bebas bergerak. Sementara, OCO-3 adalah satelit yang menempel ke International Space Station (ISS). Keduanya mengukur tingkat karbon dioksida dan pertumbuhan pertanian di dunia yang menjadi data penting untuk ilmuwan dan industri pertanian.

    Namun malang, pendanaan untuk operasional satelit ini yang disebut sebagai Orbiting Carbon Observatory akan kena pangkas mulai Oktober 2025. Presiden Trump meminta pemangkasan anggaran untuk tahun fiskal 2026 nanti.

    “Misi satelit ini dimatikan untuk menyesuaikan dengan agenda dan prioritas anggaran dari Presiden,” kata NASA.

    Jika misi ini dibubarkan, satelit OCO-3 akan dimatikan dan dibiarkan menempel di ISS. Sementara itu OCO-2 yang terbang bebas, masih punya cukup bahan bakar sampai 2040. Menurut CNN, OCO-2 akan diturunkan ke orbit rendah dan akan berada di sana selamat bertahun-tahun sebelum nanti terbakar sendiri saat masuk ke atmosfer Bumi.

    Kongres AS belum membuat keputusan terhadap permintaan pemangkasan anggaran dari Trump. Namun, pensiunan ilmuwan NASA yang mengatur misi OCO, David Crisp mengatakan rencana pembubaran ini sudah bergulir.

    “Ini sudah kritis. Kita belajar sangat banyak dari planet yang berubah banyak,” kata Crisp.

    Atas hal tersebut, NASA mendapatkan dukungan dari Carnegie Science dan Stanford University. Crisp berharap Kongres AS tetap mempertahankan anggaran untuk NASA ini. Namun, Kongres AS masih reses sehingga kemungkinan permintaan Trump ini baru bisa diadopsi tahun depan.

    “Jika rencana anggaran Trump lolos, ini baru bisa dilaksanakan di permulaan tahun fiskal selanjutnya,” kata Jubir NASA.

    (fay/afr)

  • NASA Salah Beli Kabel, Roket Meledak, 3 Astronaut Terpanggang

    NASA Salah Beli Kabel, Roket Meledak, 3 Astronaut Terpanggang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Lembaga astronaut sebesar NASA ternyata pernah melakukan kesalahan fatal yang disebabkan oleh masalah sepele, yakni salah pasang kabel yang memicu ledakan dahsyat pada roket Apollo I. 

    Ceritanya bermula pada Jumat, 27 Januari 1967. Kala itu, NASA sedang melakukan ujicoba penerbangan roket pertamanya sebagai praktik atas gagasan Presiden AS John F. Kennedy. Tahun 1961, Kennedy ingin orang AS bisa ke luar angkasa dan mendarat di Bulan sebelum tahun 1969 berakhir. Jika berhasil, AS akan mengalahkan rekor musuh bebuyutannya, Uni Soviet, sebagai negara pertama yang mengirim manusia ke orbit bumi.

    Alhasil, pada hari Jumat, NASA melakukan simulasi perdana untuk mengirim manusia ke luar angkasa. Sebagaimana diceritakan dalam buku Apollo: The Race to the Moon (1990), ada tiga astronaut NASA yang ikut serta dalam uji coba roket Apollo 1, antara lain Gus Grissom, Edward H. White II, dan Roger B. Chaffee. 

    Dalam skenario, simulasi berlangsung 1-3 jam. Namun, praktiknya simulasi molor sampai matahari terbenam. Berbagai masalah teknis muncul bergantian. Mulai dari gangguan kecil hingga paling sering kendala komunikasi. Sinyal transmisi sering terputus.

    “Bagaimana kita bisa sampai ke Bulan kalau dua atau tiga gedung saja tak bisa saling bicara?,” sindir Grissom yang sudah kesal, dikutip dari Astronomy, Kamis (14/8/2025).

    Kurang dari semenit setelah itu, para teknisi melihat kilatan cahaya dari dalam kapsul. Dalam hitungan detik, api muncul dan menyambar cepat di kabin berisi oksigen murni.

    Dari jauh, para teknisi mendengar suara teriakan “Kebakaran!” dari dalam kapsul sebelum akhirnya semuanya hening. Kapsul roket meledak. Api melalap kabin. Ketiga astronot tewas seketika. Bahkan sebelum sempat beranjak dari tempat duduk.

    NASA salah pasang kabel

    Tragedi Apollo 1 menjadi kecelakaan fatal pertama dalam sejarah program antariksa NASA. Berdasarkan laporan investigasi dari Komite Antariksa Senat AS, kebakaran dan ledakan yang menewaskan tiga astronot dipicu oleh percikan listrik (electrical arc) yang berasal dari kabel di bawah lantai kabin modul.

    “Tim menyimpulkan penyebab paling mungkin adalah percikan listrik yang terjadi di dekat lantai, pada bagian depan bawah ruang peralatan sebelah kiri,” ungkap tim investigasi.

    NASA disebut salah memasang kabel yang tidak sesuai standar keselamatan. Kabel bertegangan tinggi seharusnya dilapisi bahan tahan api, bukan bahan yang mudah terbakar seperti yang ditemukan di kabin.

    Alhasil, ketika percikan terjadi, api dengan cepat menyebar di dalam kabinnya yang tertutup rapat dan penuh oksigen murni bertekanan tinggi. Lebih parah lagi, material kabin pun dibuat dari bahan mudah terbakar.

    Ini menjadi kombinasi mematikan bagi penyalaan api.

    Situasi diperburuk oleh desain pintu kabin yang membuka ke dalam, sehingga saat tekanan di dalam meningkat akibat kebakaran pintu mustahil dibuka dari dalam. Akibatnya, ketiga astronot terjebak tanpa bisa menyelamatkan diri.

    Setelah kejadian inilah, NASA kemudian berbenah dan belajar banyak dari kesalahan tersebut. Dua tahun kemudian, pada 20 Juli 1969, langkah pertama manusia benar-benar tercetak di permukaan Bulan lewat misi Apollo 11.

    (mfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bukan Fiksi! NASA akan Bangun Reaktor Nuklir di Bulan, Buat Apa? – Page 3

    Bukan Fiksi! NASA akan Bangun Reaktor Nuklir di Bulan, Buat Apa? – Page 3

    Kutub selatan Bulan menjadi titik strategis yang banyak diincar karena diyakini menyimpan cadangan es air di dalam kawah yang tidak pernah tersinari matahari.

    Sumber daya ini berpotensi diolah menjadi bahan bakar roket, pasokan air minum, hingga oksigen bagi misi jangka panjang.

    Keterbatasan tenaga surya di Bulan, yang mengalami siklus siang dan malam masing-masing selama 14 hari, membuat pembangkit listrik berbasis nuklir menjadi pilihan lebih stabil.

    Di beberapa kawah, cahaya matahari bahkan tidak pernah masuk, sehingga panel surya tak dapat digunakan sama sekali.

    Reaktor nuklir kecil mampu bekerja tanpa henti selama satu dekade, menyuplai energi untuk habitat, kendaraan penjelajah, printer 3D, hingga sistem pendukung kehidupan.

    Teknologi ini juga akan menjadi kunci keberhasilan misi ke Mars, di mana intensitas sinar matahari lebih rendah dibanding Bulan.

  • Donald Trump Longgarkan Aturan Penerbangan Luar Angkasa, Elon Musk Diuntungkan

    Donald Trump Longgarkan Aturan Penerbangan Luar Angkasa, Elon Musk Diuntungkan

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump telah menandatangani perintah eksekutif untuk menyederhanakan regulasi federal tentang peluncuran roket komersial pada Rabu (13/8/2025).

    Langkah itu disebut-sebut dapat menguntungkan SpaceX milik Elon Musk dan perusahaan antariksa swasta lainnya.

    Perintah eksekutif tersebut mengarahkan menteri transportasi AS untuk menghilangkan atau mempercepat tinjauan lingkungan untuk lisensi peluncuran yang dikelola oleh Administrasi Penerbangan Federal.

    Deklarasi tersebut juga menyerukan kepada sekretaris untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang ketinggalan zaman, berlebihan, atau terlalu membatasi peluncuran dan masuk kembali kendaraan.

    “Proses perizinan yang tidak efisien menghambat investasi dan inovasi, juga menghambat kemampuan perusahaan AS untuk memimpin pasar luar angkasa global,” begitulah isi perintah eksekutif Trump tersebut, dilansir Reuters, Kamis (14/8/2025).

    Walaupun Elon Musk dan Donald Trump sempat berselisih beberapa bulan lalu, tetapi SpaceX milik Elon Musk berpotensi menjadi penerima manfaat langsung terbesar dari perintah Trump.

    Meski tidak disebutkan namanya secara langsung dalam perintah eksekutif, perusahaan antariksa swasta tersebut akan dengan mudah memimpin semua entitas industri luar angkasa AS, termasuk NASA dalam jumlah peluncuran rutin.

    Perusahaan roket milik Jeff Bezos, Blue Origin beserta bisnis pariwisata luar angkasanya juga dapat memperoleh keuntungan dari regulasi yang lebih longgar.

    Elon Musk berulang kali mengeluhkan studi dampak lingkungan, investigasi kecelakaan pasca-penerbangan, dan tinjauan perizinan yang diwajibkan Federal Aviation Administration (FAA) telah memperlambat pengujian roket starship milik perusahaannya. 

    Starship sendiri adalah inti dari model bisnis jangka panjang SpaceX, sekaligus komponen inti ambisi NASA mengembalikan astronot ke permukaan bulan, membangun kehadiran manusia permanen di bulan, dan akhirnya mengirim misi berawak ke Mars.

    Pengawasan yang dilakukan FAA dipandang SpaceX sebagai hambatan bagi budaya teknik perusahaan yang dianggap lebih toleran terhadap risiko dibandingkan banyak pemain industri kedirgantaraan yang lebih mapan.

    Strategi uji terbang yang dilakukan perusahaan tersebut dikenal dengan mendorong prototipe pesawat luar angkasa hingga mencapai titik kegagalan, lalu menyempurnakannya melalui pengulangan yang sering.

    Itulah yang dianggap bertentangan dengan misi FAA untuk melindungi masyarakat dan lingkungan saat menjalankan peraturannya atas penerbangan luar angkasa komersial.

    Awal tahun ini, FAA telah menghentikan uji terbang Starship selama hampir dua bulan setelah dua ledakan beruntun pasca-peluncuran menghujani kepulauan Karibia dengan puing-puing, dan akhirnya memaksa puluhan pesawat mengubah arah.

    FAA kemudian memperluas zona bahaya pesawat di sepanjang lintasan peluncuran Starship sebelum memberikan lisensi untuk penerbangan selanjutnya. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • NASA Percepat Bangun Reaktor Nuklir di Bulan pada 2030

    NASA Percepat Bangun Reaktor Nuklir di Bulan pada 2030

    Bisnis.com, JAKARTA – NASA sedang mempercepat rencananya untuk membangun reaktor nuklir di bulan.

    Selama beberapa tahun, badan tersebut telah berupaya menyiapkan sistem fisi berdaya 40 kilowatt untuk diluncurkan ke bulan pada awal tahun 2030-an. Namun, kepala sementara NASA, Sean Duffy, akan segera mengumumkan langkah yang lebih ambisius, melalui sebuah arahan yang akan dirilis minggu ini.

    “Arahan reaktor tersebut memerintahkan badan tersebut untuk meminta proposal industri terkait reaktor nuklir berdaya 100 kilowatt yang akan diluncurkan pada tahun 2030, sebuah pertimbangan utama bagi kembalinya para astronaut ke permukaan bulan,” demikian pernyataan NASA dilansir dari livescience.

    NASA sedang berupaya untuk mengembalikan para astronaut ke bulan melalui program Artemis, yang bertujuan untuk membangun satu atau lebih pangkalan di permukaan bulan pada sekitar tahun 2030.

    Sistem tenaga nuklir merupakan bagian penting dari visi ini. Tenaga surya bukanlah pilihan yang tepat untuk pos terdepan berawak; Karena bulan berotasi sangat lambat, malam hari di bulan berlangsung sekitar dua minggu Bumi.

    China juga berencana membangun pangkalan di bulan, bermitra dengan Rusia dan sejumlah negara lain. Arahan Duffy yang akan datang diarahkan untuk mengalahkan Tiongkok, tulis Politico.

    Arahan tersebut menyatakan bahwa negara pertama yang memiliki reaktor di bulan dapat “mendeklarasikan zona terlarang, yang akan secara signifikan menghambat Amerika Serikat,” menurut Politico.

    Presiden Donald Trump menunjuk Duffy — mantan pembawa acara Fox Business Channel dan bintang “Real World: Boston” yang juga Menteri Perhubungan AS — untuk menjadi administrator sementara NASA pada 9 Juli.

    Penunjukan ini dilakukan lima minggu setelah Trump menarik nominasi calon kepala NASA, pengusaha miliarder, dan astronaut swasta Jared Isaacman, yang awalnya ia pilih. Langkah mengejutkan ini dilakukan hanya sekitar seminggu sebelum Isaacman dijadwalkan untuk dikukuhkan oleh Senat AS.

  • Alasan Astronaut NASA Bawa Titipan Israel ke Luar Angkasa

    Alasan Astronaut NASA Bawa Titipan Israel ke Luar Angkasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Misi Crew-11 yang diluncurkan NASA bersama SpaceX pada Jumat (1/8) ternyata membawa “penumpang” tak biasa ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Selain astronaut, badan antariksa AS itu juga turut membawa bakteri untuk diteliti.

    Bakteri yang dikirim meliputi E. Coli, Salmonella bongori, dan Salmonella typhimurium. Tujuan pengiriman ini bukan untuk membahayakan astronot, melainkan untuk meneliti bagaimana kondisi mikrogravitasi memengaruhi pertumbuhan dan sifat bakteri tersebut.

    Penelitian ini merupakan kolaborasi antara Sheba Medical Center, Israel, dan perusahaan teknologi luar angkasa asal AS, SpaceTango.

    Para ilmuwan akan menumbuhkan berbagai strain bakteri di ISS, membekukannya pada suhu -80 derajat Celsius, lalu membawa kembali sampelnya ke Bumi untuk dibandingkan dengan bakteri yang tumbuh di lingkungan normal.

    Menurut Kepala Laboratorium Penelitian Penyakit Menular Sheba Medical Center, Ohad Gal-Mor, kondisi luar angkasa dapat memengaruhi perilaku bakteri, termasuk pertumbuhan, ekspresi gen, hingga kemampuan mengembangkan resistansi antibiotik atau tingkat keganasannya.

    “Eksperimen ini akan memungkinkan kami, untuk pertama kalinya, memetakan secara sistematis dan molekuler bagaimana profil ekspresi gen dari beberapa bakteri patogen berubah di luar angkasa,” ujarnya dikutip dari laman Space, Jumat (8/8/2025).

    Hasil penelitian ini diharapkan membantu para ahli mengendalikan penyebaran penyakit menular atau menemukan cara mencegah resistansi antibiotik, yang saat ini menjadi masalah kesehatan global.

    Penelitian bakteri di luar angkasa menjadi penting mengingat kesehatan astronot juga dipengaruhi kondisi mikrogravitasi.

    Sebelumnya, studi menunjukkan bahwa gen manusia dapat berekspresi berbeda di luar angkasa, dan mikrogravitasi berpotensi mempercepat hilangnya massa otot serta meningkatkan risiko ruam kulit.

    Perubahan genetik pada bakteri diharapkan dapat memberi para peneliti lebih banyak petunjuk tentang bagaimana perilaku mereka ketika berada di dalam tubuh manusia, baik dari kecepatan penyebarannya maupun kemampuannya menghindari pengobatan di luar angkasa maupun di Bumi.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Astronaut NASA yang Terdampar di Antariksa Umumkan Pensiun

    Astronaut NASA yang Terdampar di Antariksa Umumkan Pensiun

    Jakarta

    Astronaut NASA Butch Wilmore, yang sempat terjebak sembilan bulan di stasiun luar angkasa (ISS), mengumumkan pensiun setelah 25 tahun berkarier. Hal itu diumumkan hanya lima bulan setelah misi terakhirnya yang menjadi sorotan dunia.

    Steve Koerner, Acting Head Johnson Space Center di Houston tempat NASA melatih astronaut, mengatakan komitmen Wilmore terhadap misi NASA dan dedikasinya terhadap eksplorasi luar angkasa benar-benar patut dicontoh.

    “Warisan keteguhannya yang abadi akan terus memberikan dampak dan menginspirasi karyawan Johnson, para penjelajah masa depan, dan bangsa ini hingga beberapa generasi ke depan,” kata Koerner, seperti dikutip dari CNN, Minggu (10/8/2025).

    Wilmore pensiun di usia 62 tahun, hampir 20 tahun lebih tua dibandingkan usia rata-rata astronaut. Kandidat astronaut NASA biasanya dipilih di antara usia 26 sampai 46 tahun.

    Sebelum menjadi astronaut, Wilmore adalah kapten Angkatan Laut AS dan pilot uji terbang yang bertugas dalam 21 misi tempur. Ia bergabung dengan korps astronaut NASA pada tahun 2000.

    Selama 25 tahun kariernya di NASA, Wilmore pernah mengikuti tiga misi antariksa, termasuk misi menggunakan kapal ulang alik Atlantis dan penerbangan ke ISS menggunakan kapsul Soyuz milik Rusia. Secara total, Wilmore sudah menghabiskan 464 hari di luar angkasa.

    Misi terakhir Wilmore sebagai astronaut adalah menguji kapsul Boeing Starliner bersama astronaut Suni Williams dalam penerbangan uji coba ke ISS pada pertengahan tahun 2024. Namun karena masalah teknis, kapsul itu tidak bisa membawa Wilmore dan Williams pulang, dan keduanya harus tinggal di ISS lebih lama.

    Wilmore dan Williams awalnya hanya direncanakan untuk tinggal di ISS selama delapan hari. Namun NASA dan Boeing menghabiskan berbulan-bulan untuk mencari penyebab masalah kapsul Starliner dan menimbang apakah kapsul itu aman untuk membawa para astronaut pulang.

    NASA memutuskan kapsul Starliner terlalu berisiko untuk membawa Wilmore dan Williams pulang, dan keduanya harus menunggu kendaraan lain untuk kembali ke Bumi. Setelah menunggu sembilan bulan di antariksa, Wilmore dan Williams akhirnya pulang ke Bumi menggunakan kapsul SpaceX Crew Dragon pada Maret 2025.

    Meski misi terakhirnya berjalan kurang mulus, Wilmore mengatakan secara teori ia ingin terbang lagi menggunakan kapsul Boeing Starliner jika diberi kesempatan.

    “Kami akan memperbaiki semua masalah yang kami hadapi. Kami akan memperbaikinya, kami akan memastikan itu berhasil. Dan dengan itu, saya akan melakukannya lagi tanpa berpikir dua kali,” ujar Wilmore dalam konferensi pers pada 31 Maret 2025.

    (vmp/fay)