Kementrian Lembaga: NASA

  • Fakta-fakta Black Moon Alias Bulan Hitam, Muncul Akhir Pekan Ini

    Fakta-fakta Black Moon Alias Bulan Hitam, Muncul Akhir Pekan Ini

    Bisnis.com, JAKARTA – Fenoman bulan hitam atau black moon akan muncul pada 23 dan 24 Agustus akhir pekan ini.

    Disebutkan, pada saat fenoman tersebut terjadi, bulan akan terlihat gelap dan tidak akan terlihat oleh manusia di bumi.

    “Bulan hitam”, fenomena langka yang terjadi selama fase bulan baru dalam siklus bulan, akan terjadi akhir pekan ini. Namun, jangan terlalu berharap, kata para ilmuwan, karena secara teknis fenomena ini tidak akan terlihat.

    Dilansir dari NPR, berikut fakta-fakta black moon pekan ini

    1. Apa itu Black Moon

    Ketika bulan hampir berada di antara Bumi dan matahari, satu sisi bulan menghadap matahari, dan sisi tersebut diterangi, tetapi sisi yang dilihat Bumi gelap. Inilah yang disebut fase bulan baru dalam siklus bulan ketika bulan tidak terlihat di malam hari.

    Selama fase ini, sisi bulan yang diterangi tidak hanya membelakangi Bumi, tetapi juga berada di langit pada siang hari dan terbit serta terbenam bersamaan dengan matahari, menurut NASA. Bulan terkunci secara gravitasi dengan Bumi, artinya kita selalu melihat sisi bulan yang sama dari Bumi.

    2. Tidak bisa dilihat dari bumi

    Karena bagian bulan yang diterangi akan membelakangi Bumi, dan bulan terbit serta terbenam bersama matahari, bulan tidak akan terlihat di langit malam.

    Para ilmuwan mengatakan bahwa Bulan Bumi pernah mengalami periode ketika ia sangat mirip dengan Io, bulan Jupiter yang penuh dengan aktivitas vulkanik.

    Namun, ini adalah kesempatan bagus untuk mengamati bintang dan melihat Nebula Dumbbell (M27), yang dikenal karena bentuknya yang seperti halter, yang dapat dilihat dengan teleskop di antara bintang Altair dan Deneb, menurut NASA.

    3. Waktu kemunculan

    Pada tahun 2025, Bulan Hitam akan terjadi sesuai skenario “musiman”. Selama musim panas, antara titik balik matahari musim panas pada 21 Juni dan ekuinoks musim gugur pada 22 September, alam akan memberi kita empat bulan baru, bukan tiga.

    Peristiwa ini akan terjadi pada 23 Agustus, tepat dua minggu setelah bulan purnama Agustus, yang juga dikenal sebagai Bulan Sturgeon. Puncak fenomena ini, yaitu momen kegelapan maksimum, akan terjadi pada pukul 06.06 UTC. Bagi penduduk Ukraina, ini akan terjadi pada pukul 09.06 waktu Kyiv.

    4. Black moon selanjutnya

    Bulan hitam berikutnya diperkirakan akan terjadi pada 31 Agustus 2027, menurut Space.com. Bulan baru ini akan menjadi fase bulan baru kedua dalam satu bulan kalender.

  • NASA Temukan Bulan Baru di Uranus, Ukurannya Sepertiga Kota New York! – Page 3

    NASA Temukan Bulan Baru di Uranus, Ukurannya Sepertiga Kota New York! – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Uranus kembali menjadi sorotan dunia astronomi setelah pengamatan terbaru berhasil mengungkap adanya satelit mungil yang diduga menjadi bulan ke-29 planet tersebut.

    Mengutip Popular Science, Sabtu (22/8/2025), penemuan ini berasal dari data Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) yang menangkap citra planet es raksasa itu pada awal tahun ini.

    Mulanya, indikasi keberadaan bulan baru terdeteksi NASA pada 2 Februari 2025 ketika instrumen Near-Infrared Camera milik JWST memotret Uranus dengan serangkaian paparan gambar berdurasi 40 menit.

    Dari analisis lanjutan, muncul titik samar yang dipastikan bergerak seirama dengan gravitasi planet.

    Bulan tersebut sementara diberi kode S/2025 U1 dan diperkirakan hanya berdiameter sekitar 10 kilometer.

    Ukuran ini setara dengan sepertiga lebar kota New York, membuatnya jauh lebih kecil dibanding satelit utama Uranus seperti Ariel, Miranda, Oberon, Titania, atau Umbriel.

  • Akhirnya! NASA Pecahkan Misteri Matahari Terbit dari Barat

    Akhirnya! NASA Pecahkan Misteri Matahari Terbit dari Barat

    Jakarta, CNBC Indonesia – National Aeronautics and Space Administration (NASA) sudah mengungkapkan tanda-tanda kiamat, yakni melalui postingan terkait penemuan bukti-bukti bahwa Matahari dapat terbit dari Barat.

    Postingan lembaga antariksa Amerika Serikat (AS) yang sempat viral di sosial media beberapa waktu lalu tersebut beredar melalui Facebook dalam bahasa Thailand. Foto dan narasi soal Matahari terbit dari Barat di Facebook itu telah dibagikan lebih dari 15 ribu kali sejak 14 Januari 2021.

    “NASA mengonfirmasi kemungkinan Matahari terbit dari barat. Bumi berputar ke arah yang berlawanan yang menyebabkan matahari terbit dari sisi barat!!,” tulis teks viral itu, dikutip dari AFP, Sabtu (23/8/2025).

    “Para peneliti percaya bahwa kita sedang bergerak menuju kebalikan dari medan magnet yang akan membawa kita ke akhir umat manusia dan mendekati hari kiamat,” lanjut unggahan viral itu.

    NASA pun telah buka suara merespons klaim informasi yang menyebut Matahari terbit dari barat itu. Lembaga tersebut menyebut tidak pernah mengeluarkan prediksi soal klaim tersebut.

    “Baik NASA maupun organisasi ilmiah lain tidak ada yang memprediksi Matahari akan terbit dari barat,” kata Associate Administrator for Communications NASA, Bettina Inclan.

    Ia membenarkan fenomena pembalikan magnet bisa terjadi dan nyata, bahkan sejumlah ilmuwan pernah mempelajarinya. Fenomena tersebut terdapat di planet tetangga Bumi, Venus yang melakukan rotasi dengan berputar ke belakang.

    Sementara itu, Venus berotasi cukup lama, yakni 243 hari dan waktu planet itu untuk mengitari Matahari setara dengan 225 hari di Bumi. Ini membuat Matahari akan terlihat di permukaan di Venus hanya sebanyak dua kali selama setahun atau satu kali dalam 117 hari.

    (npb/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Bocorkan Wujud IKN dari Langit, Begini Perubahannya

    NASA Bocorkan Wujud IKN dari Langit, Begini Perubahannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ibu Kota Nusantara (IKN) yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, masih terus dibangun. Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono menegaskan tidak ada moratorium dan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan proyek tersebut.

    Beberapa saat lalu, NASA pernah merilis gambar penampakan IKN dari atas langit yang ditangkap oleh OLI-2 (Operational Land Imager-2) di Landsat 9 dan OLI di Landsat 8.

    Gambar yang dipublikasikan Earth Observatory NASA tersebut, memperlihatkan perubahan kondisi wilayah IKN pada April 2022 dan Februari 2024.

    Foto: NASA
    Wujud IKN dari tangkapan sensor NASA

    Pada gambar 2024, nampak banyak perubahan signifikan, dimana banyak lahan di dalam hutan yang sudah dibuka untuk pembangunan infrastruktur.

    Foto: NASA
    Wujud IKN dari tangkapan sensor NASA

    Pembangunan IKN sendiri dimulai pada Juli 2022 di kawasan hutan dan perkebunan kelapa sawit 30 kilometer ke daratan dari Selat Makassar. Hal ini dilakukan untuk menjawab tantangan lingkungan yang dihadapi Jakarta, ibu kota Indonesia saat ini.

    Wilayah metropolitan Jakarta dihuni oleh 30 juta orang dan telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Banjir yang sering terjadi, lalu lintas padat, polusi udara dan kekurangan air minum merupakan hal yang biasa terjadi di Jakarta.

    Jakarta juga diisukan bakal tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Pengambilan air tanah yang berlebihan telah berkontribusi terhadap laju penurunan permukaan tanah hingga 15 sentimeter per tahun, dan 40 persen wilayah kota kini berada di bawah permukaan laut.

    Meski demikian, beberapa peneliti khawatir perubahan penggunaan lahan untuk pembangunan IKN dapat membahayakan hutan dan satwa liar di wilayah tersebut.

    Hamparan daratan dan perairan pantai yang sedang dikembangkan kaya akan keanekaragaman hayati dan rumah bagi hutan bakau, bekantan, dan lumba-lumba Irrawaddy.

    Meskipun lokasinya telah banyak berubah selama satu setengah tahun terakhir, kota ini masih jauh dari selesai. Konstruksi direncanakan akan rampung sepenuhnya pada 2045 mendatang.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA dan Google Uji ‘Dokter AI’ untuk Obati Astronaut di Luar Angkasa, Bagaimana Cara Kerjanya? – Page 3

    NASA dan Google Uji ‘Dokter AI’ untuk Obati Astronaut di Luar Angkasa, Bagaimana Cara Kerjanya? – Page 3

    Meskipun sistem AI dinilai menjanjikan, NASA tidak serta-merta melepas kendali sepenuhnya kepada teknologi.

    Badan antariksa ini tetap melibatkan tim dokter untuk menguji dan memverifikasi akurasi dari sistem CMO-DA sebelum diterapkan dalam misi jangka panjang.

    Tujuannya jelas, yakni memastikan bahwa rekomendasi medis yang diberikan benar-benar selaras dengan standar kesehatan modern dan dapat diandalkan dalam situasi kritis.

    Google sendiri menegaskan bahwa CMO-DA tidak dirancang untuk menggantikan peran dokter di Bumi, melainkan sebagai asisten bagi kru ketika komunikasi dengan pusat kendali terganggu atau terhambat jeda waktu.

    Dengan analisis data kesehatan secara real-time, sistem ini memberikan lapisan tambahan dalam pengambilan keputusan medis berbasis bukti.

    Jika pengembangan ini berhasil, teknologi serupa bisa diterapkan di Bumi, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau layanan medis konvensional.

  • Pengusaha Antariksa Proyeksikan 2027 Indonesia Punya Satelit LEO

    Pengusaha Antariksa Proyeksikan 2027 Indonesia Punya Satelit LEO

    Bisnis.com, JAKARTA —  Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) berharap pada 2027 atau 2 tahun lagi Indonesia dapat meluncurkan satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) pertamanya. Sejumlah langkah disiapkan termasuk pengembangan space port atau tempat peluncuran roket untuk satelit LEO. 

    Satelit LEO adalah satelit yang mengorbit di ketinggian 500 kilometer – 2.000 kilometer di atas permukaan bumi. Karena ketinggiannya yang relatif dekat bumi, ongkos roket yang dipakai relatif lebih murah dibandingkan satelit GEO yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer. 

    Namun harus diingat, satelit GEO cukup diluncurkan satu kali untuk memberi layanan di seluruh antero bumi. Sementara LEO harus beberapa kali konstelasi satelit karena untuk memberikan cakupan layanan di seluruh bumi, dibutuhkan ratusan satelit LEO.

    “Tahun 2027 kita paling lambat meluncurkan LEO atau roket dari Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) Adi Rahman Adiwoso di Jakarta, Kamis (21/8/2025).

    Dia mengatakan untuk mensukseskan langkah besar ini dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dan ekosistem. 

    Adi Rahman mengatakan industri antariksa memiliki peranan penting dalam mendukung berbagai sektor di Indonesia mulai dari ekonomi hingga pertahanan. Saat ini fokus dalam pengembangan antariksa masih terpecah belah. Oleh sebab itu Ariksa dibentuk agar seluruh pemangku kepentingan memiliki misi bersama dalam membangun antariksa yang memberikan manfaat bagi Indonesia.

    Ada tiga hal yang harus menjadi fokus dalam pengembangan antariksa dalam negeri. Pertama, kebijakan yang berpihak dan ramah investasi. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan pertumbuhan industri.

    Terakhir, model bisnis.  “Bisnisnya supaya itu berputar semuanya,” kata Adi.

    Adi mengatakan industri antariksa telah berevolusi sebagai industri IT berubah. Pada era 90-an revolusi IT atau internet itu menuju kepada public service atau sharing of information. Perusahaan over the top seperti Facebook, Google hingga Microsoft yang menjadi perusahaan umum pada ’90-an dikenal sebagai startup. Saat ini mereka telah mengubah pandangan orang dan nilainya sudah triliunan dolar. 

    Kondisi yang sama akan terjadi di industri antariksa dunia. Salah satu indikasinya adalah anggaran besar yang dihabiskan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China dalam pengembangan industri luar angkasa. 

    Adi mengatakan dalam 5-6 tahun ini Amerika Serikat telah menghabiskan dalam sekitar US$200 miliar dengan perincian NASA sebesar US$20 miliar, Space Force sebesar US$80 miliar dan pemerintah AS sebesar US$100 miliar. 

    Kemudian Eropa menghabiskan sekitar US$50 miliar – US$56 miliar per tahun untuk pengembangan industri luar angkasa. 

    “Cina, ditambah dengan India dan lainnya, kami mengestimasi sekitar lebih dari US$200 miliar. Sehingga banyak perusahaan rintisan semuanya mencari jalan mendapatkan proyek-proyek dari US$200 miliar per tahun itu. Dan ini sudah konstan terjadi lebih daripada 5 tahun,” kata Adi. 

    Adi juga mengatakan investor dan perusahaan raksasa juga bermain di sektor antariksa. Mereka mengembangkan layanan antariksa dan berinvestasi di perusahaan startup. Rocket Lab, kata Adi, dahulu hanya memiliki valuasi US$2 miliar. Saat ini telah berkembang menjadi US$15 miliar. 

    “SpaceX dengan Starlink dan segala macamnya sekarang private valuation-nya itu mendekati US$400 miliar. Akan menjadi 1 triliun dolar,” kata Adi.

    Dia mengatakan perusahaan-perusahaan yang awalnya berukuran kecil itu kini telah menjadi perusahaan besar dan memberi dampak signifikan. Indonesia dapat meniru hal itu. 

    Melalui Ariksa, Adi berharap fokus pengembangan antariksa Indonesia yang saat ini masih tercecer di berbagai perusahaan swasta, lembaga hingga kementerian, ke depan dapat menyatu dan memiliki visi sama. 

  • Muncul Tanda Kiamat, NASA Beberkan Fakta Sebenarnya

    Muncul Tanda Kiamat, NASA Beberkan Fakta Sebenarnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak orang yang bertanya-tanya kapan kiamat akan menghancurkan Bumi. Beberapa tandanya sudah terlihat dari perubahan iklim yang kian mengkhawatirkan.

    Perubahan iklim merusak keseimbangan ekosistem Bumi, memicu bencana alam di mana-mana, dan menimbulkan krisis pangan.

    Terlepas dari itu, ada tanda kiamat lain yang diyakini banyak pihak, yakni ketika Matahari terbit dari barat. Beberapa saat lalu, ada konten viral yang beredar di media sosial terkait fenomena tersebut.

    Dalam sebuah unggahan berbahasa Thailand yang viral di Facebook sejak 14 Januari 2021, tertulis bahwa NASA menyebut Matahari akan terbit dari Barat yang disebabkan oleh perputaran Bumi ke arah berlawanan. Unggahan foto dan narasi soal Matahari terbit dari Barat di Facebook sudah banyak dibagikan di mana-mana.

    “NASA mengonfirmasi kemungkinan matahari terbit dari barat. Bumi berputar ke arah yang berlawanan yang menyebabkan matahari terbit dari sisi barat!!,” tulis teks tersebut.

    “Para peneliti percaya bahwa kita sedang bergerak menuju kebalikan dari medan magnet yang akan membawa kita ke akhir umat manusia dan mendekati hari kiamat,” imbuhnya.

    NASA Jelaskan Fakta Sebenarnya

    NASA buka suara terkait klaim tersebut. Lembaga itu menyebut tidak pernah mengeluarkan prediksi soal klaim Matahari terbit dari barat.

    “Baik NASA maupun organisasi ilmiah lain tidak ada yang memprediksi Matahari akan terbit dari barat,” kata Bettina Inclan, Associate Administrator for Communications NASA, beberapa saat lalu.

    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa fenomena pembalikan magnet memang benar terjadi dan nyata, bahkan sejumlah ilmuwan pernah mempelajarinya. Fenomena tersebut terdapat di planet tetangga Bumi, Venus yang melakukan rotasi dengan berputar ke belakang.

    Sementara itu, lama Venus berotasi cukup lama yakni 243 hari dan waktu planet itu untuk mengitari Matahari setara dengan 225 hari di Bumi.

    Ini membuat Matahari akan terlihat di permukaan di Venus hanya sebanyak dua kali selama setahun atau satu kali dalam 117 hari.

    Namun, sekali lagi NASA menegaskan fenomena serupa tak terjadi di Bumi. Dengan begitu, unggahan viral terkait Matahari terbit dari barat di Bumi merupakan kesalahan informasi. Semoga klarifikasi ini bermanfaat bagi Anda. 

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • ‘Bola Api’ Misterius Bikin Heboh Langit Jepang, Fenomena Apa Itu?

    ‘Bola Api’ Misterius Bikin Heboh Langit Jepang, Fenomena Apa Itu?

    GELORA.CO – Langit Jepang bagian barat mendadak heboh. Sebuah ‘bola api’ melintas cepat pada Selasa (19/8/2025) malam, membuat kaget warga dan menjadi sorotan para ahli astronomi. Fenomena tak biasa ini terjadi sekitar pukul 23.00 waktu setempat dan terlihat dari jarak ratusan kilometer.

    Video dan foto yang beredar di media sosial menunjukkan cahaya sangat terang yang melaju kencang di angkasa.

    “Sebuah cahaya putih yang belum pernah saya lihat sebelumnya turun dari atas, dan menjadi begitu terang hingga saya bisa melihat jelas bentuk rumah-rumah di sekitar,” kata Yoshihiko Hamahata, seorang pengemudi di Prefektur Miyazaki, kepada NHK seperti dikutip Rabu (20/8/2025).

    “Rasanya seperti siang hari. Sesaat saya tidak tahu apa yang terjadi dan sangat terkejut,” ujarnya.

    Yesterday, a large fireball passed through the sky above Japan. For a moment, it became as bright as daytime🌠 pic.twitter.com/4ahr9FASXb

    — おはよ!まいぶらざー (@OhayoMybrother) August 20, 2025
    Fireball atau Bolide?

    Para ahli buru-buru menjelaskan fenomena ini. Kepala Museum Antariksa Sendai di Kagoshima, Toshihisa Maeda, menyebut cahaya misterius itu sebagai fireball, atau meteor dengan cahaya yang sangat terang. Maeda menduga, benda angkasa itu jatuh ke Samudra Pasifik.

    “Orang-orang melaporkan merasakan getaran udara,” ujar Maeda kepada AFP. “Cahayanya seterang bulan.”

    Menurut badan antariksa Amerika Serikat, NASA, benda penyebab fenomena fireball bisa berukuran lebih dari satu meter. Jika fireball itu meledak di atmosfer, istilah teknisnya adalah bolide. Meskipun begitu, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian.

    Fenomena seperti ini, meskipun jarang, bukan hal baru. Namun, intensitas cahaya dan getaran yang dirasakan warga Jepang menunjukkan adanya objek angkasa yang cukup besar.

    Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa alam semesta menyimpan banyak misteri yang masih menunggu untuk dipecahkan.

  • Peneliti Harvard Ungkap Alien Ada di Bumi Menyamar Jadi Manusia

    Peneliti Harvard Ungkap Alien Ada di Bumi Menyamar Jadi Manusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Keberadaan alien masih menjadi tanda tanya besar. Para ilmuwan di Bumi terus-terusan melakukan eksplorasi luar angkasa dan hingga kini belum ditemukan jejak alien yang bisa dipastikan secara absolut.

    Pada 2023 lalu, sempat heboh klaim dari tim peneliti Harvard yang mengaku berhasil menemukan bukti kunjungan alien di Bumi. Para peneliti menemukan pesawat misterius yang letaknya berada jauh di dasar Samudra Pasifik.

    Penelitian yang dilakukan oleh Avi Loeb dan tim, menemukan pecahan meteor alien yang diyakini “IM1” yang jatuh ke Samudra Pasifik tahun 2014.

    Ia percaya objek tersebut berasal dari luar Tata Surya. Bahkan, Loeb meyakini objek misterius itu mewakili teknologi peradaban alien.

    Tim tersebut berlayar membawa peralatan “pengais dasar laut.” Pada 21 Juni 2023, mereka berhasil menemukan pecahan yang disebut spherules yang merupakan campuran besi, magnesium dan titanium.

    Futurism mencatat ketiga bahan campuran tersebut adalah khas meteorit atau asteroid. Material yang ditemukan di dasar Pasifik diperkirakan berasal dari objek yang meledak dengan dahsyat.

    Namun temuan tersebut diragukan oleh sejumlah ilmuwan lain. Objek misterius itu diyakini bisa dengan mudah ditemukan di manapun.

    Kurator debu kosmik NASA, Marc Fries mengatakan pecahan itu sangat umum ditemukan di muka Bumi. Ada kemungkinan lain objek bisa juga berasal dari ratusan meteorit.

    “Berasal dari knalpot mobil, rem kendaraan, pengelasan, gunung api dan mungkin sejumlah sumber lain yang belum diidentifikasi,” ungkap Fries.

    Meski begitu, Loeb bersikukuh dengan pandangannya. Namun dia menambahkan perlu penelitian lebih lanjut untuk detail informasi berikutnya.

    Loeb sebelumnya dikenal menemukan objek asing Oumuamua pada 2017. Temuan itu juga dia sebut sebagai bagian dari teknologi alien.

    Alien Menyamar Jadi Manusia

    Terpisah, kelompok peneliti Harvard lainnya baru-baru ini mengeluarkan laporan terkait jejak alien di Bumi. Disebutkan bahwa alien sudah ada di Bumi dan menyamar menjadi manusia.

    Laporan juga mengatakan ada kemungkinan alien tinggal di pangkalan rahasia yang tersembunyi di bawah tanah atau bahkan di sisi terjauh bulan.

    Artikel ilmiah yang mengejutkan ini menunjukkan bahwa alien “bersembunyi secara diam-diam” atau “bahkan berjalan di antara kita” dalam wujud manusia.

    Artikel tersebut berteori bahwa makhluk luar angkasa (ET) ini adalah “sisa-sisa” peradaban kuno yang telah lama menetap di Bumi, atau mungkin bahkan penjelajah waktu dari masa depan.

    “Kami tidak mengatakan ini benar, kami tidak mengatakan bahwa ini 100 persen benar,” kata profesor Universitas Teknologi Montana, Michael Masters, kepada CBS News, yang ikut menulis makalah tersebut bersama peneliti Harvard, Tim Lomas dan Brendan Case, dikutip dari Yahoo News, Rabu (20/8/2025).

    “Kami mengatakan ini adalah beberapa kemungkinan,” ia menambahkan.

    Menurutnya, penemuan dalam laporan ilmiahnya akan menjelaskan banyaknya penampakan UFO yang telah dicatat selama beberapa dekade oleh pilot pesawat tempur militer dan pengamat sipil.

    Menurut laporan Globe sebelumnya, Pentagon menyelidiki penampakan 1.650 UFO yang setengahnya muncul antara Mei 2023 hingga Juni 2024, dikutip dari CNN International.

    Para petinggi militer menyangkal bahwa semua ini berasal dari alien, meskipun beberapa pesawat melakukan aksi udara yang melampaui batas teknologi modern dan bahkan fisika.

    Anehnya, makalah yang ditulis oleh Masters, Lomas, dan Case dihapus dari ResearchGate, sebuah platform online untuk makalah ilmiah, tak lama setelah diterbitkan pada pertengahan Juli 2025, yang menyebabkan beberapa pemburu UFO menuduh adanya upaya menutup-nutupi.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • NASA Berencana Bangun Reaktor Nuklir di Bulan

    NASA Berencana Bangun Reaktor Nuklir di Bulan

    Jakarta

    Pemerintahan Donald Trump mempercepat rencana Amerika Serikat (AS) untuk menempatkan reaktor nuklir di Bulan, guna memberi daya pada pangkalan bagi manusia di satelit alami Bumi tersebut.

    Dikutip dari NPR, reaktor dijadwalkan akan diluncurkan ke Bulan pada 2030. Target ambisius ini membuat beberapa komunitas ilmiah khawatir tentang tingginya biaya dan jadwal yang berpotensi tidak realistis.

    Rencana ini sejalan dengan tujuan AS untuk mengembalikan astronaut ke Bulan dan menjadi pemimpin dalam eksplorasi ruang angkasa. Sementara itu, pesaingnya, China dan Rusia juga menargetkan penggunaan tenaga nuklir di Bulan pada akhir dekade ini.

    Acting NASA Administrator Sean Duffy menyebutkan, penggunaan energi nuklir sebagai sumber daya di Bulan diperlukan untuk menopang kehidupan di sana, dan bahwa AS tertinggal dalam upaya tersebut.

    “Ada bagian tertentu di Bulan yang semua orang tahu adalah yang terbaik. Kita punya es di sana. Kita punya sinar Matahari di sana. Kita ingin sampai di sana lebih dulu dan mengklaimnya untuk AS,” kata Duffy.

    Berikut ini yang perlu diketahui tentang rencana AS, dan bagaimana penggunaan reaktor nuklir sebagai sumber tenaga di Bulan dapat berhasil.

    Mengapa ada reaktor nuklir di Bulan?

    Wahana antariksa yang mengorbit Bumi atau ditempatkan di Bulan biasanya ditenagai oleh panel surya. Namun, untuk pendudukan manusia jangka panjang di Bulan, tenaga surya saja tidak akan cukup, menurut Roger Myers, pakar tenaga nuklir berbasis antariksa.

    “Matahari terbenam di Bulan selama dua minggu. Kita harus punya sumber energi lain: Matahari dan baterai tidak berfungsi. Kita harus punya tenaga nuklir,” katanya.

    NASA kini ingin meluncurkan reaktor nuklir dengan daya listrik minimal 100 kilowatt, menurut arahan tersebut. Hal ini akan menghasilkan daya yang lebih kecil daripada reaktor nuklir pada umumnya di AS dan hanya dapat memasok listrik untuk 70 hingga 80 rumah, menurut para ilmuwan.

    Bagaimana cara kerjanya?

    Reaktor nuklir di Bulan bekerja dengan cara yang hampir sama seperti reaktor di Bumi, menurut Bhavya Lal, mantan administrator asosiasi untuk teknologi, kebijakan, dan strategi di NASA. Reaksi nuklir terkendali dalam bahan bakar uranium digunakan untuk menghasilkan panas yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan listrik.

    Hal ini sangat mirip dengan cara kerja 94 reaktor nuklir komersial di AS, menurut Departemen Energi AS. Sebuah reaktor nuklir standar di AS menghasilkan setidaknya 1 gigawatt daya, yang setara dengan 100 juta bola lampu LED.

    Perbedaan utama antara Bumi dan Bulan adalah, di Bumi ada atmosfer, jadi manusia bisa mendinginkan reaktor-reaktor ini. Banyak reaktor nuklir didinginkan oleh air, yang kemudian membuang kelebihan panas ke lingkungan.

    Tanpa atmosfer atau perairan, reaktor nuklir di Bulan perlu memancarkan kelebihan panasnya langsung ke luar angkasa. Artinya, reaktor membutuhkan radiator besar yang dapat membantu menghilangkan beban panas. Desain reaktor juga mengharuskan reaktor beroperasi pada suhu yang lebih tinggi daripada di Bumi.

    Apa saja risikonya dan bahayanya?

    “Gempa Bulan dan hantaman meteorit dapat merusak reaktor, tetapi kemungkinannya kecil. Lebih lanjut, bahkan jika sesuatu terjadi di permukaan, tidak ada angin, tidak ada air yang dapat memindahkan radioaktivitas,” kata Patrick McClure, kepala operasi SpaceNukes, perusahaan yang mengembangkan reaktor nuklir berbasis ruang angkasa.

    Hal ini berbeda dengan Bumi. Kejatuhan radioaktif di Bumi, dapat menyebar hingga jarak jauh oleh angin dan hujan.

    Kathryn Huff, profesor teknik nuklir, plasma, dan radiologi di University of Illinois di Urbana-Champaign, mengatakan bahwa reaktor nuklir yang berada di Bulan bukanlah masalah keselamatan utama.

    Kekhawatiran utamanya adalah bagaimana reaktor tersebut dapat ditempatkan di sana dan apa yang terjadi setelah masa pakainya berakhir. Belum jelas berapa lama reaktor tersebut dapat beroperasi, tetapi sebagian besar reaktor di AS dapat bertahan setidaknya 80 tahun.

    “Itu tidak bisa meledakkan Bulan. Jika Anda mempertimbangkan untuk membawa reaktor itu keluar dari Bulan suatu hari nanti, memastikan masuknya kembali reaktor itu ke atmosfer Bumi tanpa cacat akan sangat penting karena saya pikir tidak ada yang benar-benar ingin melihat insiden Kosmos 954 terulang,” kata Huff.

    Kosmos 954, satelit bertenaga nuklir milik Rusia, mengalami kegagalan fungsi pada Januari 1978 saat memasuki kembali atmosfer Bumi dan meledak di atas Kanada, menyebarkan puing-puing radioaktif ke seluruh negara tersebut.

    McClure mengatakan bahwa bahan bakar uranium yang digunakan dalam reaktor Bulan mana pun akan memiliki tingkat radioaktivitas yang sangat rendah saat diluncurkan.

    “Bahkan jika terjadi kecelakaan saat roket lepas landas, dosis aktual yang diterima publik akan jauh di bawah batas minimum yang ditetapkan oleh peraturan keselamatan,” ujarnya.

    Lebih lanjut, ia menambahkan, reaktor tidak akan diaktifkan hingga mencapai apa yang disebut sebagai ‘orbit aman nuklir’, setidaknya 1.000 km di atas Bumi.

    (rns/rns)