Kementrian Lembaga: NASA

  • Jadwal dan Lokasi di Indonesia Bisa Lihat Blood Moon 7-8 September 2025

    Jadwal dan Lokasi di Indonesia Bisa Lihat Blood Moon 7-8 September 2025

    Jakarta

    Fenomena gerhana bulan total, yang populer disebut Blood Moon, akan kembali menghiasi langit Indonesia. Peristiwa alam yang langka ini akan terjadi pada 7-8 September 2025. Lantas, pukul berapa gerhana bulan total ini bisa diamati dari Indonesia?

    Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gerhana bulan total ini merupakan salah satu fenomena astronomi yang ditunggu-tunggu. Masyarakat di seluruh Indonesia berkesempatan untuk menyaksikan proses Blood Moon, baik secara langsung maupun melalui siaran daring. Berdasarkan data BMKG, puncak gerhana bulan akan terjadi pada dini hari.

    Kapan Puncak Fenomena Blood Moon Terjadi?

    Berdasarkan informasi resmi dari BMKG, fenomena gerhana bulan total ini akan berlangsung selama beberapa jam. Proses gerhana bulan akan dimulai pada Minggu, 7 September 2025, malam hari, dengan puncaknya terjadi pada dini hari Senin, 8 September 2025. Puncak gerhana diperkirakan akan terjadi pada pukul 01.30 WIB atau 02.30 WITA.

    Proses gerhana ini terbagi menjadi beberapa fase. Fase pertama, gerhana mulai (P1), yaitu saat bulan memasuki bayangan penumbra bumi, akan dimulai pada pukul 21.00 WIB atau 22.00 WITA. Selanjutnya, gerhana sebagian (U1) akan dimulai pada pukul 22.00 WIB atau 23.00 WITA. Puncak gerhana akan terjadi pada pukul 01.30 WIB (02.30 WITA). Fenomena ini akan berakhir pada Senin, 8 September 2025, pukul 05.00 WIB atau 06.00 WITA.

    Wilayah Mana Saja yang Dapat Menyaksikan?

    Menurut BMKG, seluruh wilayah di Indonesia dapat mengamati fenomena gerhana bulan total ini. Namun, waktu pengamatan berbeda-beda tergantung zona waktu masing-masing. Di wilayah Waktu Indonesia Barat (WIB), puncak gerhana akan terlihat sekitar pukul 01.30 WIB. Sementara itu, di wilayah Waktu Indonesia Tengah (WITA), puncaknya akan terlihat pada pukul 02.30 WITA. Untuk wilayah Waktu Indonesia Timur (WIT), fenomena ini akan terlihat pada pukul 03.30 WIT.

    Pengamatan di Planetarium dan Live Streaming

    Bagi pengamat yang ingin menyaksikan gerhana bulan total secara lebih mendalam, beberapa institusi menyediakan fasilitas pengamatan khusus. Salah satunya adalah Planetarium Jakarta di Taman Ismail Marzuki (TIM). Menurut informasi dari akun resmi Planetarium Jakarta, mereka akan mengadakan acara pengamatan gerhana bulan total pada malam 7 hingga dini hari 8 September 2025.

    Mengapa Gerhana Bulan Total Disebut Blood Moon?

    Fenomena gerhana bulan total sering dijuluki “Blood Moon” atau “Bulan Darah” karena warnanya yang berubah menjadi merah pekat atau oranye saat mencapai puncaknya. Perubahan warna ini adalah hasil dari efek optik yang menarik. Menurut situs Time and Date, ketika gerhana bulan total terjadi, Bulan sepenuhnya memasuki bayangan gelap Bumi, dan seharusnya menjadi gelap. Namun, sebagian kecil cahaya Matahari masih bisa sampai ke permukaan Bulan.

    Mengutip dari NASA Space Place, Bulan tidak menghilang sepenuhnya karena cahaya Matahari disaring dan dibelokkan oleh atmosfer Bumi. Atmosfer kita bertindak seperti prisma raksasa yang menyaring sebagian besar spektrum cahaya. Gelombang cahaya pendek, seperti biru dan ungu, tersebar di atmosfer, sementara gelombang cahaya yang lebih panjang seperti merah dan oranye akan menembus atmosfer dan dibiaskan atau dibelokkan ke arah Bulan. Sinar merah inilah yang kemudian menyinari permukaan Bulan, membuatnya tampak seperti darah. Efek ini sering disebut sebagai hamburan Rayleigh, yang pada dasarnya seolah-olah memproyeksikan seluruh matahari terbit dan terbenam dari Bumi ke permukaan Bulan.

    Tonton juga video “Akan Ada Fenomena Gerhana Bulan Total 7 September, Catat Waktunya!” di siin:

    (wia/idn)

  • Cincin Saturnus Sedikit demi Sedikit Menghilang

    Cincin Saturnus Sedikit demi Sedikit Menghilang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Selama beberapa bulan terakhir, para astronom terus mengamati cincin Saturnus yang perlahan tampak menghilang.

    Menurut penjelasan ilmuwan, peristiwa ini disebut ring plane crossing. Fenomena ini terjadi karena sudut pandang Bumi terhadap Saturnus membuat cincin planet tersebut terlihat dari sisi tipis (edge-on), sehingga menimbulkan ilusi seolah-olah menghilang.

    Saturnus membutuhkan waktu 29,4 tahun untuk mengitari Matahari. Selama perjalanannya, sudut cincin terlihat berbeda dari Bumi, kadang dari atas, kadang dari bawah. Namun saat ekuinoks Saturnus, ketika Matahari tepat berada di atas ekuator planet, cincin tidak lagi terlihat jelas.

    Peristiwa ring plane crossing terjadi sekitar setiap 15 tahun sekali. NASA mencatat momen langka ini justru membantu astronom melakukan penemuan baru, termasuk penemuan 13 satelit alami Saturnus pada periode 1655-1980.

    Sayangnya, pada Maret 2025 lalu, Saturnus berada terlalu dekat dengan Matahari sehingga hilangnya cincin tidak bisa diamati langsung, baik dari Bumi maupun teleskop luar angkasa. Saturnus baru akan terlihat lagi pada akhir April, saat mulai muncul di langit fajar.

    Fenomena ini akan kembali terjadi pada 2038 dengan posisi Saturnus yang lebih ideal untuk diamati. Meski demikian, para ilmuwan menegaskan cincin Saturnus tidak akan benar-benar lenyap, setidaknya hingga 300 juta tahun mendatang.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Terungkap! Asteroid Bennu Mengandung Debu Bintang Berusia Lebih dari 4,6 Miliar Tahun

    Terungkap! Asteroid Bennu Mengandung Debu Bintang Berusia Lebih dari 4,6 Miliar Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA – Ilmuan mengungkapkan asteroid Bennu mengandung debu bintang yang lebih tua dari tata surya, serta material organik dan es dari ruang antarbintang.

    Para ilmuwan di seluruh dunia telah meneliti sampel Bennu sejak material dari asteroid tersebut dibawa ke Bumi pada tahun 2023, berkat misi OSIRIS-REx NASA, yang terbang bersama asteroid tersebut sebelum mendarat sebentar di atasnya dan mengambil sampel pada tahun 2020.

    Temuan ini memberikan gambaran sekilas tentang kondisi di kosmos sebelum tata surya kita terbentuk 4,6 miliar tahun yang lalu dan mengungkap lebih banyak tentang benda induk yang menghasilkan asteroid selebar 1.600 kaki (hampir 500 meter) tersebut.

    Dilansir dari livescience, Bennu terpecah dalam tabrakan dahsyat, setelah sejarah yang rumit. Benda langit yang lebih tua itu mengandung material dari sejumlah lingkungan yang berbeda: dekat dengan matahari, jauh dari matahari tetapi masih dalam tata surya kita, dan di luar tata surya kita di ruang antarbintang.

    Para ilmuwan menemukan lokasi-lokasi ini dengan mengamati isotop, atau jenis unsur, dalam sampel debu Bennu. Isotop yang berasal dari tata surya memiliki komposisi yang berbeda dengan isotop yang berasal dari debu bintang antarbintang, misalnya.

    Para ilmuwan menduga asteroid induk terbentuk di tata surya bagian luar, kemungkinan di luar Jupiter dan Saturnus. Namun kemudian terjadi peristiwa dahsyat: “Kami menduga benda induk ini ditabrak oleh asteroid yang datang dan hancur berkeping-keping,” ujar Jessica Barnes, salah satu penulis utama studi ini, seorang profesor madya di Laboratorium Lunar dan Planet Universitas Arizona, dalam sebuah pernyataan dari Universitas Arizona.

    Setelah tumbukan awal, “fragmen-fragmen tersebut kembali tersusun, dan ini mungkin terulang beberapa kali,” tambah Barnes. Akhirnya, beberapa material yang tersisa menyatu menjadi Bennu.

    Asteroid induk untuk Ryugu, Bennu, dan meteorit-meteorit tersebut kemungkinan besar muncul di “wilayah yang serupa dan jauh di tata surya awal,” tulis para pejabat NASA dalam pernyataan dari badan antariksa tersebut. Namun, Bennu berbeda dari benda-benda lain yang disampel dalam beberapa hal, menunjukkan bahwa “wilayah ini berubah seiring waktu, atau tidak bercampur sebaik yang diperkirakan beberapa ilmuwan,” kata mereka.

    Secara spesifik, materi Bennu dari asteroid induk berubah drastis saat bersentuhan dengan air, menurut studi kedua.

    Meskipun Bennu sendiri tidak memiliki kehidupan, studi ini dapat membantu para ilmuwan mempelajari bagaimana kehidupan muncul di planet kita, kata Michelle Thompson, penulis utama kedua makalah ini dan profesor madya di Universitas Purdue yang berspesialisasi dalam pelapukan antariksa.

  • 5 Jet Supersonik Calon Penerus Concorde, Lebih Cepat dari Suara

    5 Jet Supersonik Calon Penerus Concorde, Lebih Cepat dari Suara

    Jakarta

    Concorde pernah menjadi ikon penerbangan komersial supersonik, namun harus pensiun pada 2003 karena biaya operasional tinggi, kebisingan dentuman sonik, dan isu keselamatan. Meski begitu, mimpi terbang lebih cepat dari suara ternyata belum mati.

    Sejumlah perusahaan hingga badan antariksa kini tengah mengembangkan jet supersonik generasi baru yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan senyap. Pesawat-pesawat ini digadang sebagai calon penerus Concorde yang legendaris.

    Berikut 5 di antaranya dilansir dari laman Skycop:

    1. NASA X-59 QueSST

    NASA melalui proyek X-59 Quiet SuperSonic Technology (QueSST) berambisi menghadirkan supersonik yang senyap. Pesawat ini dirancang menghasilkan dentuman sonik yang lebih lembut dibanding Concorde, sehingga memungkinkan penerbangan di atas daratan tanpa gangguan kebisingan.

    NASA X-59 QueSST Foto: Skycop

    X-59 akan menjadi dasar riset untuk membuka jalan bagi jet penumpang supersonik di masa depan.

    2. Lockheed Martin Supersonic QSTA

    Didukung pendanaan NASA sebesar USD 247,5 juta, Lockheed Martin mengembangkan Quiet Supersonic Transport Aircraft (QSTA). Pesawat berkapasitas 40 penumpang ini dirancang dengan hidung tajam dan sayap delta untuk meminimalisir dentuman sonik.

    Lockheed Martin Supersonic QSTA Foto: Skycop

    Uniknya, sistem kamera dipakai untuk visibilitas depan, menggantikan desain hidung terkulai seperti Concorde.

    3. Spike S-512

    Perusahaan Spike Aerospace tengah mengembangkan S-512, jet supersonik bisnis dengan kapasitas 18 penumpang. Berbeda dari pesawat komersial lain, S-512 tidak punya jendela.

    Spike S-512 Foto: Skycop

    Sebagai gantinya, layar besar di kabin menampilkan pemandangan luar secara real time.

    Dengan target kecepatan Mach 1.6, Spike ingin menawarkan penerbangan bisnis super cepat yang nyaman.

    4. Boom Overture

    XB-1 Baby Boom Foto: Skycop

    Boom Overture sering disebut sebagai “penerus spiritual Concorde”. Jet ini menargetkan kecepatan Mach 2.2 dengan efisiensi bahan bakar lebih baik.

    Prototipe uji coba bernama XB-1BabyBoom sudah diperkenalkan, dan sejumlah maskapai sepertiVirginAtlantic sertaJapanAirlines menunjukkan minat untuk membawanya ke layanan komersial.

    Pesawat ini menjanjikanNew York ke London hanya 3 jam, jauh lebih cepat dibandingkan pesawat komersial biasa yang memakan waktu sekitar 7 jam.

    5. Aerion AS2

    Aerion Supersonic, bekerja sama dengan Boeing, mengembangkan jet bisnis eksklusif AS2. Pesawat ini dirancang untuk melaju Mach 1.4 di atas laut, namun tetap terbang subsonik di daratan agar tidak menimbulkan dentuman sonik.

    Aerion AS2 Foto: Skycop

    Dengan kapasitas hanya 11 penumpang, AS2 menyasar kalangan eksekutif dan pelancong bisnis kelas atas.

    Dari riset NASA hingga jet bisnis mewah seperti Aerion AS2, geliat penerbangan supersonik terus bangkit. Dengan inovasi pada teknologi peredam kebisingan dan efisiensi energi, era penerbangan komersial lebih cepat dari suara bisa saja kembali terwujud dalam waktu dekat.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kemkomdigi Panggil TikTok dan Meta soal Konten Ricuh Palsu Demo DPR”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • Bukan Tesla, Sumber Duit Elon Musk di Ujung Tanduk

    Bukan Tesla, Sumber Duit Elon Musk di Ujung Tanduk

    Jakarta, CNBC Indonesia – SpaceX batal melakukan peluncuran misi kesepuluh Starship dari Texas pada Minggu (25/8/2025) waktu setempat akibat masalah teknis di sistem darat.

    Roket Super Heavy setinggi 70,7 meter dan tahap atas Starship setinggi 52 meter sejatinya dijadwalkan lepas landas pukul 19.35 waktu setempat. Namun sekitar 30 menit sebelum peluncuran, SpaceX melalui X mengumumkan pembatalan tersebut, demikian dikutip dari Reuters, Senin (25/8/2025).

    Perusahaan milik Elon Musk itu tidak menyebutkan kapan jadwal uji coba berikutnya akan dilakukan. Dari pengalaman sebelumnya, penundaan biasanya berlangsung hanya beberapa hari.

    Starship merupakan roket generasi baru yang menjadi kunci ambisi Musk menuju Mars sekaligus proyek penting bagi NASA. Lembaga antariksa AS itu berharap dapat menggunakan Starship untuk misi pendaratan awak ke bulan pertama sejak era Apollo pada 2027.

    Namun, pengembangan Starship masih menghadapi sejumlah hambatan. Tahun ini, uji coba Starship mengalami dua kegagalan di tahap awal penerbangan, satu kegagalan di luar angkasa pada penerbangan kesembilan, serta insiden ledakan di landasan uji pada Juni lalu.

    Starship menjadi kunci ambisi Elon Musk untuk kolonisasi Mars sekaligus andalan NASA dalam misi mengembalikan astronot Amerika ke Bulan dengan versi modifikasi.

    Namun, sejumlah analis menilai tekanan terhadap proyek ini makin besar setelah serangkaian uji coba yang berakhir gagal.

    Sebelum peluncuran yang dibatalkan, Dallas Kasaboski, analis ruang angkasa dari Analysys Mason, menyebut reputasi SpaceX mulai tergerus.

    “Ada banyak tekanan pada misi ini. Sejauh ini, keberhasilan belum melampaui kegagalan,” ujarnya.

    Komentar lebih tajam datang dari Will Lockett, mantan insinyur yang kini menjadi komentator. Ia menilai kegagalan Starship mengirimkan muatan ke orbit menunjukkan konsep roket ini memiliki cacat fundamental.

    Meski begitu, Musk tetap mempertaruhkan masa depan SpaceX pada Starship. Ia berencana menghentikan penggunaan roket generasi lama dan sepenuhnya beralih ke sistem baru tersebut.

    Namun, sekalipun uji coba kesepuluh nantinya berhasil, sejumlah rintangan teknis besar masih menanti, mulai dari memastikan sistem dapat digunakan kembali secara penuh dan cepat dengan biaya rendah, hingga membuktikan kemampuannya mengisi ulang propelan super-dingin di orbit, yang menjadi syarat penting untuk misi ke ruang angkasa jauh.

    Meski demikian, SpaceX terus melaju dengan meningkatkan frekuensi peluncuran, walaupun menuai kritik dari kelompok lingkungan terkait dampak ekologis.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Demi Selamatkan Umat Manusia, IBM dan NASA Ciptakan Matahari Digital

    Demi Selamatkan Umat Manusia, IBM dan NASA Ciptakan Matahari Digital

    Jakarta

    International Business Machines Corporation (IBM) dan Badan Antariksa Amerika Serikat behasil menciptakan matahari digital dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

    Matahari digital yang dinamakan Surya itu terlahir berkat data yang dikumpulkan dari satelit Solar Dynamic Observatory (SDO), mulai dari pencitraan interior, atmosfer, hingga medan magnet Matahari selama sembilan tahun.

    Model AI tersebut berbeda secara umum karena teknologi ini memanfaatkan arsitektur foundation model yang diklaim mampu mempelajari data mentah Matahari secara langsung.

    Saat ini, para ilmuwan menggunakan data ini untuk memprediksi badai mataharidan memahami variabilitas matahari dengan lebih baik. Namun, karena faktor manusia, analisis data SDO mungkin berjalan lambat.

    “Di sinilah Surya, model AI baru yang dikembangkan IBM dan NASA berperan. Surya dapat memproses data SDO lebih cepat daripada manusia dan menghasilkan prakiraan lebih cepat,” dikutip dari Orbital Today, Selasa (26/8/2025).

    Dengan menerima prakiraan badai Matahari secara cepat, penduduk Bumi akan dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik menghadapi peristiwa antariksa yang berkaitan dengan bintang tersebut.

    Model AI baru ini merupakan model sumber terbuka yang menggunakan delapan kanal Atmospheric Imaging Assembly (AIA), yang memberikan pandangan berbeda tentang Korona Matahari. Model ini juga menggunakan lima produk Helioseismic and Magnetic Imager (HMI) untuk mempelajari representasi matahari. Instrumen HMI ini mempelajari osilasi dan medan magnet permukaan Matahari.

    Tak hanya itu, Surya ini tidak hanya dapat mendeteksibadai matahari di luar angkasa, tetapi juga dapat mempelajari fisika dasar evolusi matahari.

    Dalam waktu dekat, IBM dan NASA akan menggunakan Surya untuk memprediksi dinamika matahari, angin matahari, dan semburan matahari. Model AI baru ini juga akan membantu mendeteksi spektrum ultraviolet ekstrem (EUV).

    Selama pengujian model AI baru ini, model tersebut mampu mendeteksi apakah wilayah tertentu di Matahari akan memicu jilatan matahari satu atau dua jam sebelum terjadi. Pengujian juga membuktikan bahwa model AI tersebut belajar dengan cepat melalui observasi dan studi terhadap kumpulan data yang diberikan.

    Menurut IBM, kecepatan model ini menunjukkan peningkatan sebesar 16% dibandingkan metode prediksi yang saat ini digunakan. Di masa mendatang, kami berharap dapat melihat Surya beraksi secara penuh, memprediksi badai matahari, dan membantu menjaga keselamatan astronot dansatelit di luar angkasa.

    (agt/rns)

  • Potret Kabah dari Luar Angkasa, Astronaut NASA Kasih Pesan Penuh Makna

    Potret Kabah dari Luar Angkasa, Astronaut NASA Kasih Pesan Penuh Makna

    Jakarta, CNBC Indonesia – Setiap tahunnya, umat Muslim berbondong-bondong berkumpul ke Tanah Suci untuk menunaikan Ibadah Haji.

    Beberapa saat lalu, jemaah haji asal Indonesia sudah pulang ke Tanah Air, yakni sejak pertengahan Juni 2025. 

    Astronaut NASA, Sultan Al-Neyadi, sempat mengabadikan momen Ibadah Haji dari luar angkasa. Ia mengambil potret Kabah yang menggugah perasaannya. 

    Sultan Al-Neyadi merupakan astronaut beragama Islam. Ia memotret momen Ibadah Haji dari MBR Space Center dan Stasiun Luar Angkasa Internasional pada 2023 silam. 

    Dalam unggahannya, Al-Neyadi mengungkapkan bahwa jemaah yang dipotret sedang menjalankan prosesi wukuf di Arafah.

    Dia juga menyampaikan pesan yang hingga tahun ini masih relevan, bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga bagi seluruh umat manusia di bumi.

    “Hari ini adalah Hari Arafat, sebuah hari penting dalam ibadah Haji, mengingatkan kita bahwa iman bukan hanya soal keyakinan, tetapi dalam bentuk tindakan dan refleksi,” kata Al-Neyadi, beberapa saat lalu.

    “Semoga ini menginspirasi kita untuk berjuang demi kasih, kerendahan hati, dan persatuan,” sambungnya.

    Sebagai informasi, Al-Neyadi adalah salah satu astronaut yang beragama islam. Selain Al-Neyadi, Pangeran Sultan bin Salman Al-Saud dari Arab Saudi adalah sosok yang pernah mengunjungi luar angkasa pada Ramadan pada tahun 1985.

    Di luar angkasa, Al Neyadi melakukan 19 eksperimen terkait radiasi, tidur, sakit punggung, hingga sains material.

    Selain foto saat momen ibadah Haji, Al Neyadi juga sempat membagikan momen Tahun Baru Islam dari antariksa. Dia mengunggah foto penampakan permukaan Bumi bersama dengan bulan sabit pertama di Tahun Baru Hijriah.

    Tak lupa dia juga mengirimkan ucapan selamat tahun baru Islam. Termasuk juga doa dan harapannya kepada semua umat muslim.

    “Bersama dengan awal tahun baru Hijriah, saya ingin mengingatkan bahwa setiap momen adalah senja dari awal yang baru, kesempatan untuk tumbuh dan bertualang. Semoga tahun kalian penuh dengan berkah, kebahagiaan, dan penemuan hal baru,” ia menuturkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Adu Rudal Hipersonik, Punya Rusia Bisa Ubah Target Jadi Debu

    Adu Rudal Hipersonik, Punya Rusia Bisa Ubah Target Jadi Debu

    Jakarta

    Berkilauan di bawah sinar matahari yang menerpa sebuah lapangan parade di Beijing, rudal milik Tentara Pembebasan Rakyat China yang dibawa menggunakan truk bergerak perlahan melewati khalayak.

    Rudal itu berbentuk seperti jarum dengan panjang 11 meter dan berat 15 ton. Di setiap rudal, terlihat tulisan: “DF-17”.

    China baru saja memperkenalkan rudal hipersonik mereka yang diberi nama Dongfeng.

    Momen itu terjadi pada 1 Oktober 2019 dalam parade Hari Nasional China. Amerika Serikat sudah menyadari China sedang mengembangkan senjata itu.

    Namun, sejak saat itu, China terus meningkatkan kinerja rudal tersebut.

    Rudal itu dapat menjelajah lima kali lebih cepat dari kecepatan cahaya. Berkat kecepatan dan kemampuannya untuk bermanuver, rudal itu menjadi senjata yang hebat, sampai-sampai bisa mengubah cara berperang.

    Inilah yang membuat persaingan global untuk mengembangkan rudal itu makin panas.

    “[Persaingan seperti ini] tak pernah terlihat lagi setelah Perang Dingin.”

    AFP via Getty ImagesChina memperkenalkan rudal hipersonik DF-17 di parade militer pada 2019.

    Perlombaan rudal hipersonik Rusia, China, dan Amerika Serikat

    Upacara di Beijing itu memicu spekulasi mengenai kemungkinan peningkatan ancaman dari pengembangan teknologi hipersonik oleh China. Saat ini, China memimpin di bidang rudal hipersonik, diikuti Rusia.

    Amerika Serikat mulai menyusul, sementara Kerajaan Bersatu belum punya sama sekali rudal hipersonik.

    Freer dari Council on Geostrategy, yang mendapatkan sebagian dananya dari perusahaan-perusahaan pertahanan dan Kementerian Pertahanan, berpendapat bahwa alasan China dan Rusia bisa memimpin sebenarnya relatif sederhana.

    “Mereka memutuskan untuk mengivestasikan banyak uang untuk program-program ini sejak beberapa tahun lalu,” katanya.

    ReutersPengunjung berpose di depan kendaraan militer yang membawa senjata, termasuk rudal hipersonik DF-17 di pertunjukan di Beijing.

    Sementara itu, kebanyakan negara Barat menghabiskan sebagian besar waktu dalam dua dekade pertama di abad ini untuk memerangi terorisme yang terinspirasi dari jihadi di dalam negeri mereka, dan perang-perang melawan pemberontakan di mancanegara.

    Saat itu, kemungkinan bertempur melawan musuh dengan persenjataan modern masih tampak jauh.

    “Akibatnya, kita gagal menyadari kebangkitan masif China sebagai kekuatan militer,” ucap Sir Alex Younger, tak lama setelah pensiun sebagai kepala Badan Intelijen Inggris pada 2020.

    Negara-negara lain juga sudah berpacu lebih maju. Israel punya rudal hipersonik Arrow 3 yang didesain untuk menjadi pencegat.

    KCNA/EPA-EFE/REX/ShutterstockUji coba rudal balistik jarak menengah berisi hulu ledak hipersonik di Korea Utara.

    Iran juga mengklaim memiliki senjata hipersonik. Mereka menyatakan bakal meluncurkan rudal hipersonik ke arah Israel saat perang 12 hari pada Juni lalu.

    (Senjata itu benar-benar menjelajah di kecepatan sangat tinggi, tapi manuvernya diyakini tidak terlalu hebat hingga bisa masuk klasifikasi hipersonik).

    Sementara itu, Korea Utara sudah menggarap senjata hipersonik versi mereka sendiri sejak 2021. Mereka mengklaim sudah memiliki senjata yang layak dan berfungsi (seperti terlihat di gambar).

    Kini, AS dan Kerajaan Bersatu juga mulai berinvestasi pada teknologi rudal hipersonik, begitu pula negara-negara lain, termasuk Prancis dan Jepang.

    Morteza Nikoubazl/NurPhoto via Getty ImagesIran mengklaim sudah meluncurkan rudal hipersonik ke arah Israel dalam perang 12 hari pada Juni lalu.

    AS tampak meningkatkan kekuatan pencegahan mereka, dan sudah memulai debut senjata hipersonik yang diberi nama “Dark Eagle”.

    Menurut Kementerian Pertahanan AS, Dark Eagle “mengingatkan pada kekuatan dan tekad negara kami dan tentaranya karena senjata Dark Eagle melambangkan semangat dan daya mematikan dari senjata hipersonik Angkatan Darat dan Angkatan Laut.”

    Namun, China dan Rusia saat ini sudah jauh di depan. Menurut beberapa pakar, ini bisa berpotensi menjadi kekhawatiran.

    Sangat cepat dan sangat tidak menentu

    Hipersonik berarti sesuatu yang bergerak di kecepatan Mach5 atau lebih cepat. Itu berarti lima kali lebih cepat dari kecepatan suara atau sekitar 6.208,8 kilometer per jam.

    Ini menempatkan rudal hipersonik ke level yang bukan cuma supersonik, yang berarti bergerak di atas kecepatan suara (1.234,37 km per jam).

    Kecepatan ini menjadi salah satu alasan rudal hipersonik dianggap sebagai ancaman.

    Rudal hipersonik tercepat saat ini adalah Avangard milik Rusia, yang kecepatannya diklaim bisa mencapai Mach 27 (33.313,42 km per jam), walau kecepatannya lebih sering tercatat di angka sekitar Mach 12 (14.805 km per jam), atau 3,2 km per detik.

    Namun, kalau masalah kekuatan menghancurkan, rudal hipersonik tak jauh berbeda dari rudal supersonik atau subsonik, menurut Freer.

    “Yang membedakan mereka adalah kesulitannya untuk dideteksi, dipantau, dan dicegat,” ucapnya.

    BBC

    Secara umum, ada dua jenis rudal hipersonik. Pertama, rudal “boost-glide” yang mengandalkan roket (seperti DF-17 milik China) untuk meluncurkan rudal ke arah yang ditentukan, terkadang tepat di atas atmosfer Bumi.

    Dari sana, rudal itu akan meluncur turun dengan kecepatan luar biasa.

    Tak seperti rudal-rudal balistik pada umumnya, yang meluncur dengan arah yang bisa diprediksi, kendaraan yang membawa rudal hipersonik dapat bergerak lebih tak menentu, lalu bermanuver saat sudah mengarah ke target.

    Kedua, ada rudal jelajah hipersonik yang meluncur mendekati medan, tapi tetap berada di bawah radar supaya tidak terdeteksi.

    Kedua rudal itu sama-sama diluncurkan menggunakan roket.

    Saat sudah mencapai kecepatan hipersonik, sistem yang dikenal sebagai “mesin scramjet” kemudian aktif. Mesin itu menyedot udara saat terbang, mendorong rudal itu ke arah targetnya.

    Rudal-rudal ini dikenal sebagai “senjata berfungsi ganda”. Artinya, hulu ledaknya dapat berupa nuklir atau peledak tingkat tinggi konvensional.

    Namun, rudal ini bukan hanya soal kecepatan.

    Untuk dapat diklasifikasikan sebagai “hipersonik”, rudal itu harus bisa bermanuver. Dengan kata lain, tentara yang menembakkan rudal itu harus bisa mengubah arahnya secara tiba-tiba ke arah yang tidak tertebak, sementara rudal itu sedang bergerak di kecepatan ekstrem.

    Rudal itu pun akan sangat susah dicegat. Kebanyakan rudal berbasis darat tidak bisa mendeteksi rudal hipersonik hingga senjata itu sudah di detik-detik akhir penerbangan.

    “Dengan terbang di bawah radar, rudal itu bisa menghindari deteksi awal dan baru muncul di sensor di akhir fase terbang, membuat kesempatan untuk mencegat rudal ini sangat terbatas,” tutur Patrycja Bazylczyk, peneliti di Missile Defence Project di Centre for Strategic and International Studies di Washington DC, yang mendapatkan pendanaan dari pemerintahan AS dan perusahaan pertahanan.

    Jawaban dari tantangan ini, kata dia, adalah memperkuat sensor-sensor luar angkasa negara-negara Barat, yang bisa mengatasi keterbatasan radar di darat.

    Masyarakat melihat sisa-sisa rudal hipersonik Zircon milik Rusia yang menghantam bangunan di Kyiv pada November 2024. (AFP via Getty Images)

    Dalam skenario perang sesungguhnya, muncul pula pertanyaan mengkhawatirkan dari negara-negara yang menjadi target: apakah serangan itu menggunakan nuklir atau senjata konvensional?

    “Hipersonik tidak banyak mengubah sifat perang, tapi mengubah kerangka waktu kapan kalian beroperasi,” kata Tom Sharpe, seorang mantan Komandan Angkatan Laut Kerajaan Bersatu yang merupakan spesialis perang anti-udara.

    “Kepentingan dasar untuk mendeteksi musuh, dan menembak mereka, lalu bermanuver agar bisa menembak target bergerak seperti ini sebenarnya tidak berbeda dari rudal-rudal sebelumnya, baik itu balistik, supersonik, atau subsonik.”

    “Langkah-langkah yang harus dilakukan target serangan untuk melacak atau menghancurkan rudal hipersonik juga sama seperti sebelumnya, tapi waktunya saja lebih sedikit.”

    Ada tanda-tanda teknologi ini meresahkan AS. Pada Februari lalu, Badan Riset Kongres AS merilis sebuah laporan yang salah satunya berisi peringatan.

    “Pejabat-pejabat pertahanan AS menyatakan bahwa arsitektur sensor darat dan luar angkasa tidak cukup untuk mendeteksi dan melacak senjata-senjata hipersonik,” demikian bunyi peringatan itu.

    Namun, sejumlah pakar meyakini sebagian kehebohan soal hipersonik ini terlalu berlebihan.

    Apakah kehebohan ini berlebihan?

    Sidharth Kaushal dari lembaga kajian pertahanan Royal United Services Institute merupakan salah satu ahli yang menganggap rudal hipersonik bukan terobosan yang bisa mengubah peperangan.

    “Kecepatan dan kemampuannya untuk bermanuver membuat rudal itu menarik jika melawan target-target berharga,” kata Sharpe.

    “Energi kinetiknya yang berpengaruh pada dampak serangan juga membuat senjata hipersonik berguna dalam menguburkan target, yang mungkin sulit dihancurkan dengan senjata konvensional sebelumnya.”

    Namun, kata Kaushal, walau senjata itu bisa meluncur lima kali lebih cepat dari kecepatan suara, ada beberapa cara untuk bertahan dari serangan hipersonik. Beberapa cara itu, ucapnya, “efektif”.

    Cara pertama yaitu membuat pihak yang meluncurkan rudal hipersonik lebih sulit melacak atau mengikuti target.

    “Kapal-kapal dapat melakukan segala cara untuk melindungi diri,” tuturnya.

    “Citra satelit yang kabur dari satelit komersial juga hanya bertahan beberapa menit, kemudian tak bisa lagi dijadikan acuan untuk menentukan lokasi target.”

    “Mendapatkan satelit yang terkini dan akurat untuk mencapai target saat ini sangat sulit dan mahal.”

    Namun, ia memperingatkan bahwa kecerdasan buatan dan teknologi-teknologi lainnya mungkin bisa mengubah keadaan ini seiring waktu berjalan.

    Waspada ancaman Rusia

    Bagaimanapun, faktanya Rusia dan China sudah “curi start” mengembangkan senjata hipersonik.

    “Saya pikir program hipersonik China sangat menakjubkan dan mengkhawatirkan,” ujar Freer.

    Namun, ia juga berkata, “Jika bicara soal Rusia, kita mungkin harus lebih waspada terhadap klaim mereka.”

    Pada November 2024, Rusia meluncurkan rudal balistik jarak menengah eksperimental di salah satu situs industri di Dnipro, Ukraina, yang dipakai sebagai lokasi uji coba.

    Ukraina menyatakan rudal itu meluncur dengan kecepatan hipersonik, yaitu Mach 11 atau sekitar 13.581 km per jam.

    Presiden Vladimir Putin mengklaim rudal bernama Oreshnik atau “pohon hazel” dalam bahasa Rusia itu bergerak dengan kecepatan Mach 10.

    BBC

    Hulu ledaknya dilaporkan sengaja dipecah menjadi beberapa proyektil lemah yang punya target masing-masing, sebuah metode yang sudah ada sejak Perang Dingin.

    Seseorang yang mendegar rudal itu mendarat berkata kepada saya bahwa suaranya tak begitu kencang, tapi ada beberapa dampak yang terlihat.

    Enam hulu ledak mendarat di target berbeda, tapi karena daya luncurnya lemah, kerusakan yang ditimbulkan tidak lebih signifikan dari pengeboman yang dilakukan Rusia di kota-kota Ukraina.

    Bagi Eropa, bahaya laten bagi negara-negara NATO datang dari rudal-rudal Rusia, yang beberapa di antaranya sudah ditempatkan di pesisir Baltik, tepatnya di Kaliningrad.

    Bagaimana jika Putin memerintahkan serangan di Kyiv menggunakan Oreshnik yang berisi peledak tingkat tinggi?

    BBC

    Putin mengklaim Oreshnik bakal diproduksi secara massal dan senjata itu, katanya, bisa mengubah target “menjadi debu”.

    Rusia juga punya rudal-rudal lainnya yang bisa meluncur dengan kecepatan hipersonik.

    Putin terus memuji rudal Kinzhal milik angkatan udara Rusia, dengan klaim rudal itu meluncur sangat cepat sampai tak bisa dicegat.

    Sejak saat itu, dia sudah menembakkan banyak rudal Kinzhal ke arah Ukraina. Namun ternyata, rudal Kinzhal bukan benar-benar hipersonik dan banyak di antaranya berhasil dicegat.

    China dan Rusia “curi start” pengembangan rudal hipersonik. (Getty Images)

    Salah satu senjata Rusia yang dikhawatirkan Barat adalah rudal Avangard yang sangat cepat dan bermanuver tinggi. Dalam upacara peluncurannya pada 2018, Putin mendeklarasikan Avangard tak terhentikan.

    Sidharth Kaushal menduga tugas utama rudal itu adalah “menghadapi pertahanan rudal AS”.

    “Program persenjataan Rusia juga mengindikasikan kapasitas mereka untuk memproduksi sistem seperti Avangard sebenarnya terbatas,” katanya.

    Di sisi lain, adu kekuatan pengaruh di Pasifik Barat antara China dan AS terus memanas.

    Perkembangan senjata rudal balistik China menimbulkan potensi ancaman serius bagi keberadaan angkatan laut AS di Laut China Selatan dan sekitarnya.

    China saat ini memiliki kekuatan persenjataan hipersonik paling kuat di dunia. Pada akhir 2024, China mengungkap kendaraan hipersonik terbaru mereka, GDF-600.

    Dengan muatan 1.200 kilogram, kendaraan itu bisa membawa sub-munisi dengan kecepatan mencapai Mach 7 (8.642 km per jam).

    ‘Momen penting’ dalam upaya Kerajaan Bersatu untuk mengejar ketertinggalan

    Kerajaan Bersatu tertinggal dalam perlombaan senjata ini, terutama jika melihat negara ini sebagai salah satu dari lima negara pemilik senjata nuklir yang menjadi anggota permanen Dewan Keamanan PBB.

    Namun belakangan, Kerajaan Bersatu berupaya mengejar ketertinggalan, atau setidaknya ikut serta dalam perlombaan senjata itu.

    Pada April, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Sains dan Laboratorium Teknologi mengumumkan bahwa para ilmuwan Kerajaan Bersatu sudah mencapai “momen penting” setelah mereka berhasil merampungkan satu program uji coba besar.

    Uji coba daya penggerak atau propulsi itu merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah Kerajaan Bersatu, industri, dan pemerintah AS.

    Dalam periode enam pekan, total 233 “uji coba statis yang sukses” berlangsung di Pusat Riset Langley NASA di Virginia, AS.

    Menteri Pertahanan Kerajaan Bersatu, John Healey, menyebutnya sebagai “momen penting”.

    Namun, Kerajaan Bersatu masih membutuhkan bertahun-tahun sampai senjatanya siap.

    Rudal Kinzhal diduga bukan hipersonik dan sudah beberapa kali berhasil dicegat. (REUTERS/Valentyn Ogirenko)

    Selain menciptakan rudal hipersonik, negara-negara Barat juga harus fokus menciptakan pertahanan yang kuat, kata Freer.

    “Ketika bicara soal perang rudal, sama seperti dua sisi mata koin. Kalian harus bisa membatasi kerusakan sembari memiliki kemampuan untuk menyerang sistem peluncuran musuh,” ucap Freer.

    “Jika kalian mampu, dan kalian bisa mempertahankan diri sendiri dan juga menyerang balik, maka musuh cenderung tidak akan mencoba untuk memulai konflik.”

    Namun, Tom Sharpe masih berhati-hati untuk menyatakan sejauh mana kita harus khawatir sekarang ini.

    “Poin kunci dari hipersonik adalah kedua belah pihak masih sama-sama kesulitan dan belum ada yang sempurna,” katanya.

    Lihat juga Video ‘Korut Pamer Aksi Militer saat Bantu Rusia Lawan Ukraina’:

    (ita/ita)

  • Peneliti NASA Ungkap Fakta Tak Terduga Soal Planet Mars

    Peneliti NASA Ungkap Fakta Tak Terduga Soal Planet Mars

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak ilmuwan telah lama mencari planet yang bisa ditinggali selain bumi. Mars merupakan planet dekat Bumi yang digadang-gadang bisa menjadi hunian manusia di masa depan.

    Namun, ternyata Mars dan Bumi memiliki perbedaan mendasar dari cara pembentukannya. Fakta mengejutkan ini terungkap dari hasil eksperimen NASA. Risetnya sudah dipublikasikan di jurnal Nature Communications. Berdasarkan penelitian tersebut, Mars ternyata terbentuk lebih cepat, yakni hanya dalam beberapa juta tahun setelah Tata Surya lahir.

    Sebagai perbandingan, Bumi terbentuk miliaran tahun pasca Tata Surya muncul.

    Hasil eksperimen di NASA mengindikasikan bahwa inti Mars terbentuk karena lelehan besi dan nikel sulfida yang merembes melalui celah-celah batuan padat, langsung menuju pusat planet tersebut.

    Proses ini terjadi bahkan sebelum panas dari peluruhan radioaktif sempat mencairkan bagian dalam planet sepenuhnya.

    Dalam dunia ilmu planet, struktur planet yang berlapis, mulai dari kerak, mantel, hingga inti, dikenal dengan istilah differentiation.

    Elemen berat seperti besi dan nikel biasanya tenggelam ke pusat planet, sementara elemen ringan tetap di permukaan.

    Selama ini, ilmuwan meyakini bahwa proses tersebut hanya bisa terjadi jika interior planet sudah mencair akibat panas dari peluruhan isotop radioaktif seperti aluminium-26. Inilah yang diyakini membentuk inti Bumi dalam waktu miliaran tahun.

    Namun, meteorit Mars menunjukkan bukti isotop yang menunjukkan bahwa inti Mars terbentuk jauh lebih cepat dalam hitungan beberapa juta tahun saja.

    Hal ini sempat membingungkan model pembentukan tata surya, hingga akhirnya tim ilmuwan dari NASA Johnson Space Center menemukan jawabannya.

    Tim NASA dari Divisi Astromaterials Research and Exploration Science (ARES) akhirnya melakukan eksperimen suhu tinggi. Mereka memanaskan sampel batuan kaya sulfur lebih dari 1.020°C. Suhu ini cukup untuk melelehkan sulfida, tapi tidak batu silikat.

    Lewat pencitraan 3D di laboratorium tomografi X-ray, mereka melihat lelehan sulfida merembes melalui celah antar mineral. Ini menunjukkan bahwa lelehan logam berat dapat mencapai inti planet bahkan saat batuan masih padat.

    Untuk memastikan, tim juga meneliti meteorit Mars dan menemukan pola kimia khas dari logam-logam kelompok platinum seperti iridium, osmium, palladium, platinum, dan ruthenium, yang tertinggal sebagai residu akibat perembesan sulfida cair di masa lalu.

    Metode identifikasi tanpa merusak sampel dikembangkan oleh ilmuwan ARES, Jake Setera, menggunakan teknik laser ablation khusus. Hasilnya menguatkan hipotesis bahwa perembesan sulfida memang terjadi di tubuh planet awal.

    Model ini bukan hanya menjelaskan pembentukan Mars, tapi juga berlaku bagi benda-benda besar lain yang terbentuk di wilayah tengah cakram protoplanet tempat Mars berasal. Penemuan ini bahkan memprediksi bahwa inti Mars kemungkinan besar kaya akan sulfur.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Peneliti NASA Ungkap Fakta Tak Terduga Soal Planet Mars

    Peneliti NASA Ungkap Fakta Tak Terduga Soal Planet Mars

    Jakarta, CNBC Indonesia – Banyak ilmuwan telah lama mencari planet yang bisa ditinggali selain bumi. Mars merupakan planet dekat Bumi yang digadang-gadang bisa menjadi hunian manusia di masa depan.

    Namun, ternyata Mars dan Bumi memiliki perbedaan mendasar dari cara pembentukannya. Fakta mengejutkan ini terungkap dari hasil eksperimen NASA. Risetnya sudah dipublikasikan di jurnal Nature Communications. Berdasarkan penelitian tersebut, Mars ternyata terbentuk lebih cepat, yakni hanya dalam beberapa juta tahun setelah Tata Surya lahir.

    Sebagai perbandingan, Bumi terbentuk miliaran tahun pasca Tata Surya muncul.

    Hasil eksperimen di NASA mengindikasikan bahwa inti Mars terbentuk karena lelehan besi dan nikel sulfida yang merembes melalui celah-celah batuan padat, langsung menuju pusat planet tersebut.

    Proses ini terjadi bahkan sebelum panas dari peluruhan radioaktif sempat mencairkan bagian dalam planet sepenuhnya.

    Dalam dunia ilmu planet, struktur planet yang berlapis, mulai dari kerak, mantel, hingga inti, dikenal dengan istilah differentiation.

    Elemen berat seperti besi dan nikel biasanya tenggelam ke pusat planet, sementara elemen ringan tetap di permukaan.

    Selama ini, ilmuwan meyakini bahwa proses tersebut hanya bisa terjadi jika interior planet sudah mencair akibat panas dari peluruhan isotop radioaktif seperti aluminium-26. Inilah yang diyakini membentuk inti Bumi dalam waktu miliaran tahun.

    Namun, meteorit Mars menunjukkan bukti isotop yang menunjukkan bahwa inti Mars terbentuk jauh lebih cepat dalam hitungan beberapa juta tahun saja.

    Hal ini sempat membingungkan model pembentukan tata surya, hingga akhirnya tim ilmuwan dari NASA Johnson Space Center menemukan jawabannya.

    Tim NASA dari Divisi Astromaterials Research and Exploration Science (ARES) akhirnya melakukan eksperimen suhu tinggi. Mereka memanaskan sampel batuan kaya sulfur lebih dari 1.020°C. Suhu ini cukup untuk melelehkan sulfida, tapi tidak batu silikat.

    Lewat pencitraan 3D di laboratorium tomografi X-ray, mereka melihat lelehan sulfida merembes melalui celah antar mineral. Ini menunjukkan bahwa lelehan logam berat dapat mencapai inti planet bahkan saat batuan masih padat.

    Untuk memastikan, tim juga meneliti meteorit Mars dan menemukan pola kimia khas dari logam-logam kelompok platinum seperti iridium, osmium, palladium, platinum, dan ruthenium, yang tertinggal sebagai residu akibat perembesan sulfida cair di masa lalu.

    Metode identifikasi tanpa merusak sampel dikembangkan oleh ilmuwan ARES, Jake Setera, menggunakan teknik laser ablation khusus. Hasilnya menguatkan hipotesis bahwa perembesan sulfida memang terjadi di tubuh planet awal.

    Model ini bukan hanya menjelaskan pembentukan Mars, tapi juga berlaku bagi benda-benda besar lain yang terbentuk di wilayah tengah cakram protoplanet tempat Mars berasal. Penemuan ini bahkan memprediksi bahwa inti Mars kemungkinan besar kaya akan sulfur.

    (hsy/hsy)

    [Gambas:Video CNBC]