Kementrian Lembaga: MPR RI

  • Pesan Kemerdekaan untuk Birokrasi yang Cekatan

    Pesan Kemerdekaan untuk Birokrasi yang Cekatan

    Jakarta

    Persoalan birokrasi kembali mengemuka dalam pernyataan-pernyataan para pemimpin nasional belakangan ini. Dalam Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI 15 Agustus 2025, Presiden menyatakan bahwa perilaku korup ada di setiap eselon birokrasi di institusi dan organisasi pemerintahan.

    Pada forum yang sama, Ketua DPR-RI menyampaikan bahwa negara dan para pemegang kekuasaan harus moved on dari pola birokrasi yang lamban, dari rutinitas yang hanya formal, dan kebiasaan menunda penyelesaian masalah rakyat. Tujuannya adalah agar terciptanya pelayanan publik yang lebih responsif, adil, dan menyejahterakan masyarakat.

    Pesan-pesan penting tersebut bisa menjadi bahan bagi para pemangku kebijakan untuk melakukan upaya-upaya reflektif atas pelaksanaan program reformasi birokrasi. Terlebih, tahun 2025 merupakan tahun terakhir pelaksanaan Desain Besar (Grand Design) Reformasi Birokrasi (RB) 2010-2025.

    Pada awalnya, reformasi birokrasi dipicu oleh krisis ekonomi 1997/1998 dimana salah satu sumber persoalan yang memicu krisis adalah lemahnya akuntabilitas sektor publik, termasuk inefisiensi dan penyalahgunaan kewenangan. Target reformasi birokrasi saat itu adalah memulihkan kembali kepercayaan publik melalui pemberantasan korupsi.

    Sejak saat itu, reformasi birokrasi terus bergulir dengan berbagai macam dinamika kebijakannya. Area-area yang berusaha di reform meliputi aspek organisasi, tatalaksana, peraturan perundangan, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta pola pikir dan budaya kerja.

    Walakin, persoalan SDM aparatur seringkali menjadi isu yang paling disorot dan ramai diperbincangkan. Kebijakan penataan SDM aparatur mendominasi trajektori perubahan selama 20 tahun terakhir, seperti perbaikan remunerasi, penerapan sistem merit, seleksi terbuka (open bidding), de-eselonisasi, hingga penyelesaian persoalan tenaga honorer.

    Pada periode awal reformasi birokrasi, kebijakan yang menonjol untuk mengurangi praktik koruptif adalah dengan memperbaiki kesejahteraan PNS. Hal itu dilakukan melalui pemberian remunerasi kepada para PNS di beberapa K/L tertentu. Kebijakan ini merupakan embrio dari istilah tunjangan kinerja (tukin) yang kita kenal saat ini.

    Pada periode berikutnya, seleksi terbuka (open bidding) menjadi terobosan kebijakan dalam reformasi birokrasi. Pengisian jabatan setingkat eselon 1 dan eselon 2 dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS. Proses ini dilakukan untuk memastikan adanya meritokrasi dalam tubuh birokrasi.

    Selanjutnya, terjadi kebijakan yang begitu dramatis melalui penyederhanaan birokrasi dengan memangkas jabatan eselon 3 dan eselon 4.

    Sejumlah 47.992 struktur pada 95 K/L dan 148.256 struktur pada 33 provinsi dan 498 instansi daerah, serta 44.870 jabatan administrasi pada 91 K/L, 31 provinsi, 371 kabupaten, dan 86 kota telah dihilangkan.

    De-eselonisasi itu bertujuan untuk memangkas hierarki dan prosedur yang berlebihan agar mempercepat pengambilan keputusan. Secara garis besar, kebijakan ini dan kebijakan-kebijakan di bidang manajemen ASN lainnya bertujuan untuk menciptakan apa yang sering kita sebut dengan performance based bureaucracy.

    Oleh karena itu, agenda reformasi tata kelola pemerintahan yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto–dalam Astacita- memuat 7 (tujuh) program kerja untuk meningkatkan kualitas ASN.

    Ketujuh program tersebut terkait dengan beberapa isu strategis, seperti integritas, kompetensi, kesejahteraan, budaya kerja, akses belajar, manajemen talenta, dan manajemen kinerja. Program-program tersebut diarahkan untuk dapat meningkatkan kapasitas kebijakan (policy capacity) para ASN.

    Kapasitas kebijakan (policy capacity) diartikan sebagai seperangkat kemampuan (kompetensi) dan sumber daya (kapabilitas) yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan (X.Wu, M. Ramesh & M. Howlett, 2015). Terdapat tiga kapasitas yang harus dimiliki oleh SDM ASN, yaitu kapasitas analitik, kapasitas operasional, dan kapasitas politis.

    Pertama, kapasitas analitik menyangkut kemampuan untuk menggunakan pengetahuan ilmiah dan mengolah berbagai informasi sebagai dasar dalam melakukan analisis kebijakan (evidence based policy). Untuk mencapai ini maka akses belajar bagi ASN akan dibuka seluas mungkin melalui pendidikan gelar maupun non-gelar.

    Kedua, kapasitas operasional berkaitan dengan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi manajerial dari suatu kebijakan. Fungsi-fungsi tersebut melingkupi diantaranya perencanaan, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi. Kemampuan ini terutama ditujukan bagi pimpinan organisasi yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.

    Ketiga, kapasitas politis yang menyangkut kemampuan untuk membaca konteks politik dari suatu kebijakan. ASN harus dapat menemukan aktor-aktor kunci yang mempengaruhi kebijakan, memahami kepentingan aktor-aktor tersebut, serta menggali pandangan dan hubungan diantara aktor-aktor kebijakan dimaksud.

    Hanya dengan kepemilikan atas kemampuan-kemampuan tersebut maka harapan para pemimpin nasional akan adanya profil birokrasi yang cekatan dan lincah (agile) dapat terwujud.

    Husni Rohman. Perencana Ahli Madya di Kementerian PPN/Bappenas.

    (rdp/imk)

  • Warganet Ledek Sahroni Ngumpet saat DPR Dikepung Massa: Takut Ya?

    Warganet Ledek Sahroni Ngumpet saat DPR Dikepung Massa: Takut Ya?

    GELORA.CO -Nama Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni menjadi sasaran kemarahan ribuan massa masyarakat sipil bertajuk ‘Revolusi Rakyat Indonesia’ di Gedung DPR/MPR Jakarta, pada Senin 25 Agustus 2025.

    Gara-garanya politikus Partai Nasdem itu menyebut publik yang menuntut pembubaran parlemen sebagai ‘orang tolol sedunia’.

    Nama Sahroni juga ramai disebut dalam perbincangan di media sosial.

    Warganet menyesalkan sikap Sahroni yang tidak berani menemui massa yang marah lantaran parlemen memperoleh tunjangan fantastis.

    Salah satunya diungkap pemilik akun Facebook Piul Andrio yang dikutip redaksi Selasa 26 Agustus 2025.

    “Pas demo (25/8/2025) kenapa ngumpet Sahroni Komisi 3 DPR ? Takut dgn massa ya..,” tulis Piul Andrio.

    Sebelumnya, Ahmad Sahroni mengunggah video lengkap mengenai pernyataan kerasnya menanggapi seruan publik untuk membubarkan DPR yang ramai diperbincangkan publik.

    Dalam video yang diunggah melalui akun Instagram pribadinya, @ahmadsahroni88, Sahroni menyatakan, DPR terbuka terhadap segala bentuk kritik dan bahkan cacian dari masyarakat. 

    Namun, Sahroni menilai bahwa seruan membubarkan lembaga legislatif DPR merupakan bentuk cacian berlebihan yang merusak mental. 

    Ia mengklaim, mereka yang menyuarakan hal tersebut adalah orang-orang yang tak pernah merasakan duduk di DPR RI. 

    “Memang yang ngomong itu rata-rata orang yang nggak pernah jadi duduk di DPR,” kata Sahroni, dikutip dari video tersebut.

    Sahroni menekankan pentingnya menyampaikan kritik melalui tata cara yang ada untuk evaluasi. 

    “Orang yang cuma mental bilang bubarin DPR, itulah orang tolol sedunia,” kata Sahroni.

    Di akhir video, Sahroni menegaskan bahwa DPR akan tetap berdiri kokoh meski dihantam berbagai hujatan.

    “Mau dihujat sampai mampus juga nggak apa-apa. Masih berdiri DPR-nya. Sampai kapanpun, tidak akan merubah,” pungkas Sahroni.

  • DPR di Ujung Teriakan Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat Nasional 27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    ADA
    gema yang lahir dari jalanan, dari ruang digital yang riuh, dari suara rakyat yang tak lagi sabar menunggu janji: “Bubarkan DPR.”
    Teriakan itu, seperti gaung dalam gua yang lembap, berulang dan berulang. Ia tak datang dari satu titik, tetapi dari rasa frustrasi yang meluas: gaji fantastis, tunjangan rumah, perjalanan dinas, gestur yang tampak meremehkan, hingga joget di ruang sidang yang mestinya sakral.
    Namun, apakah teriakan itu sungguh ditujukan untuk menutup pintu DPR, atau hanya jeritan kolektif yang ingin didengar? Di sanalah paradoksnya: rakyat bersuara, tetapi konstitusi menjawab dengan dingin—tidak bisa.
    Pasal 7C UUD 1945 tegas: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR. Sebuah norma yang lahir dari luka sejarah, dari trauma ketika Soekarno dengan satu penetapan menyingkirkan parlemen hasil Pemilu 1955, menggantinya dengan DPR Gotong Royong.
    Sebuah luka ketika Abdurrahman Wahid mencoba mengulanginya, hanya untuk berakhir dengan kejatuhan dirinya.
    Teriakan itu, dengan demikian, bukanlah instruksi. Ia adalah tanda. Sebuah alarm bahwa legitimasi sedang retak.
    Kita pernah hidup dalam sejarah ketika lembaga yang bernama DPR bisa dihentikan dengan selembar kertas.
    Pada 5 Maret 1960, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 3/1960. DPR dibubarkan. Alasan formalnya sederhana: penolakan RAPBN. Alasan politisnya lebih dalam: DPR dianggap tak revolusioner, tak sejalan dengan visi Demokrasi Terpimpin.
    Sejak itu, kita hidup dengan DPR Gotong Royong, lembaga tanpa akar elektoral, sekadar cermin kehendak presiden. Rakyat kehilangan rumah bagi aspirasinya.
    Empat dekade kemudian, 23 Juli 2001, sejarah hampir berulang. Abdurrahman Wahid, dengan Maklumat Presiden, membekukan DPR dan MPR.
    Namun kali ini, konstitusi dan politik tak berpihak. Militer menolak, rakyat terpecah, Mahkamah Agung menegaskan langkah itu tak sah. Gus Dur jatuh.
    Sejarah itu mengajarkan: pembubaran DPR bukan jalan. Ia hanya melahirkan krisis yang lebih dalam.
    Meski begitu, sulit menyangkal: ada jurang yang menganga antara DPR dan rakyat. Lembaga yang disebut “wakil rakyat” itu sering kali tak berwajah rakyat. Ia berwajah partai, fraksi, kepentingan dagang, bahkan transaksi.
    Narasi “bubarkan DPR” lahir dari nurani yang terluka. Dari rakyat yang melihat parlemen lebih sibuk dengan tunjangan ketimbang pengawasan.
    Dari buruh yang menunggu perlindungan, tetapi yang tiba adalah revisi undang-undang yang menguntungkan pemodal. Dari petani yang menjerit karena lahan diserobot, tetapi suara mereka hilang di ruang rapat.
    Nurani itulah yang memaksa publik bersuara. Meski mereka tahu, secara hukum, DPR tak bisa dibubarkan.
    Hukum berdiri seperti pagar. Ia dingin, rasional, sering kali terasa kaku. Pasal 7C UUD 1945 adalah pagar itu. Tidak ada pintu di sana. Tidak ada ruang tafsir untuk keadaan darurat sekalipun.
    Sistem presidensial memang dibangun agar tak ada pihak yang bisa membubarkan pihak lain. DPR hanya bisa berakhir dengan pemilu. Presiden hanya bisa jatuh dengan pemakzulan.
    Asimetri yang disengaja: eksekutif tak bisa mematikan legislatif, legislatif hanya bisa menjatuhkan eksekutif dengan mekanisme yang panjang.
    Seruan “bubarkan DPR” karenanya hanya gema politik. Ia tak akan menemukan jalannya dalam undang-undang, kecuali melalui amandemen UUD.
    Dan itu pun, sebuah jalan yang hampir mustahil: DPR dan DPD harus menyetujui, MPR harus mengesahkan. Artinya, mereka yang dituntut bubar justru memegang kunci.
    Di sinilah politik bekerja. Seruan “bubarkan DPR” bisa jadi lebih berguna sebagai simbol ketidakpuasan ketimbang agenda nyata.
    Ia jadi bahan bakar bagi oposisi, jadi komoditas di media sosial, jadi amunisi bagi kelompok yang ingin mengganggu status quo.
    Politik selalu pandai menunggangi suara rakyat. Teriakan yang lahir dari nurani bisa dibelokkan jadi alat tawar. Bisa dijadikan ancaman, bisa jadi alat legitimasi.
    Namun, politik juga bisa memaknai ulang suara itu. Jika DPR bijak, maka seruan itu seharusnya dilihat sebagai alarm, bukan ancaman. Alarm yang menandakan jarak yang kian jauh antara rakyat dan wakilnya.
    Rakyatlah yang pada akhirnya akan memutuskan. Tidak dengan dekrit, tidak dengan penetapan presiden, tidak dengan maklumat. Tetapi dengan selembar kertas bernama surat suara.
    Narasi “bubarkan DPR” mungkin tak akan pernah mewujud dalam hukum. Namun, ia bisa terwujud dalam pilihan rakyat di pemilu. Dengan cara itu, rakyat bisa “membubarkan” wajah lama DPR, menggantinya dengan wajah baru.
    Namun, pertanyaannya: apakah rakyat percaya pada mekanisme itu? Atau apakah demokrasi kita terlalu tersandera oleh partai politik, sehingga pilihan rakyat sekadar memilih nama-nama yang telah disiapkan oligarki?
    Di situlah letak tragedinya. Rakyat ingin perubahan, tetapi saluran formalnya dibatasi. Teriakan pun menggema, mencari jalan lain.
    “Bubarkan DPR” mungkin bukan instruksi yang realistis. Ia adalah metafora, cara rakyat mengekspresikan kehilangan kepercayaan. Sebuah tanda bahwa lembaga yang mestinya menyalurkan aspirasi justru terasa asing, bahkan menindas.
    Konstitusi sudah menutup pintu pembubaran. Sejarah sudah memperingatkan risikonya. Hukum sudah menegaskan ketidakmungkinannya, tetapi nurani rakyat tetap bersuara.
    Mungkin, yang perlu dibubarkan bukanlah DPR sebagai lembaga. Melainkan cara DPR bekerja. Cara ia mewakili. Cara ia hidup dari uang rakyat.
    Dan mungkin, pada akhirnya, yang benar-benar ingin dibubarkan rakyat adalah jurang yang memisahkan mereka dari wakil yang mengaku mewakili.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ini penjelasan Polda Metro terkait penangkapan massa aksi di restoran

    Ini penjelasan Polda Metro terkait penangkapan massa aksi di restoran

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ini penjelasan Polda Metro terkait penangkapan massa aksi di restoran
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 26 Agustus 2025 – 22:46 WIB

    Elshinta.com – Polda Metro Jaya menyatakan bahwa sejumlah orang yang diringkus di dalam sebuah restoran di Jalan KS Tubun, Jakarta Barat pada Senin (25/8) malam adalah massa yang merusak fasilitas umum saat melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI.

    Penangkapan orang dalam restoran itu sempat viral di media sosial serta berlangsung rusuh, bahkan pegawai restoran pun ikut melawan dan menghalangi penangkapan oleh petugas kepolisian.

    “Bahwa ada beberapa orang yang diamankan dari restoran cepat saji itu adalah orang yang diduga melakukan aksi perusakan secara masif, melawan petugas, melakukan perusakan fasilitas umum,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

    Awalnya, mereka yang ditangkap telah dipukul mundur oleh aparat dari arah depan Gedung DPR/MPR RI, lalu kabur ke arah restoran tersebut.

    “Sebelumnya sudah dipukul mundur oleh petugas. Akhirnya mereka lari ke sana, ke restoran itu, kemudian diambil (ditangkap),” tutur Ade Ary.

    Mereka yang ditangkap di dalam restoran itu, termasuk dalam 351 orang yang diamankan aparat saat aksi.

    “Jadi kami membenarkan bahwa oran- orang yang diamankan di dalam restoran bagian dari 351 orang tadi,” katanya.

    Dalam video viral, nampak aparat terlibat tarik ulur massa pendemo yang intens dengan pegawai restoran. Warga yang kebetulan mengunjungi restoran itu pun berteriak histeris sambil mengabadikan momen itu dengan gawai mereka.

    Kepolisian pun mengamankan sebanyak 351 orang buntut aksi massa di depan gedung DPR/MPR RI pada Senin (25/8) malam.

    Ke-351 orang itu terdiri dari 155 dewasa dan 196 anak, atau berusia di bawah 18 tahun.

    “Mereka yang secara masif diduga melakukan perusakan fasilitas umum kemudian melempari pengendara di jalan tol sehingga membahayakan pengguna jalan, kemudian menyerang petugas,” tuturnya.

    Ade Ary menyampaikan bahwa 351 orang itu bukanlah massa aksi yang awalnya hendak menyampaikan pendapat di depan gedung DPR, melainkan massa dari luar yang bertindak destruktif.

    Sumber : Antara

  • Demo di DPR, Muhaimin minta anggota DPR bijak kelola anggaran

    Demo di DPR, Muhaimin minta anggota DPR bijak kelola anggaran

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Abdul Muhaimin Iskandar angkat bicara terkait massa yang melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPR/MPR RI pada Senin (25/8) yang mengeluhkan soal tingginya tunjangan bagi anggota DPR.

    Muhaimin menyebut bahwa DPR memiliki kewenangan penuh menyusun anggaran, namun dia meminta agar DPR bijak membuat kebijakan agar tak menimbulkan kecemburuan kepada masyarakat.

    “Ya DPR kan memiliki kewenangan budgeting, membuat anggarannya, ya tentu sudah harus pintar-pintar menyerap agar tidak membuat kecemburuan,” katanya di Balai Kota Jakarta, Selasa.

    Pria yang biasa disapa Cak Imin ini menyebut demo yang terjadi pada Senin (25/8) menjadi pelajaran bagi seluruh pihak, khusus bagi anggota DPR.

    Ia berharap ke depannya, para anggota dewan bisa bekerja secara produktif dan lebih banyak menyerap aspirasi masyarakat.

    “Khususnya para anggota dewan untuk benar-benar meningkatkan kinerja secara produktif, sehingga aspirasi masyarakat tersalurkan dengan baik,” kata Cak Imin.

    Sebelumnya diketahui, massa melakukan aksi unjuk rasa terkait tingginya tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di depan Gedung DPR/MPR RI.

    Kepolisian menangkap sebanyak 351 orang buntut aksi massa di depan gedung DPR/MPR RI pada Senin (25/8).

    Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary menyebut bahwa 351 orang itu terdiri dari 155 dewasa dan 196 anak, atau berusia di bawah 18 tahun.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Salah Sasaran, Lurah Manggarai Selatan Babak Belur Dikeroyok Massa Demo DPR, Hape hingga Dompet Raib

    Salah Sasaran, Lurah Manggarai Selatan Babak Belur Dikeroyok Massa Demo DPR, Hape hingga Dompet Raib

    GELORA.CO – Aksi demonstrasi menolak kenaikan gaji dan tunjangan DPR di kawasan Slipi, Jakarta Barat pada Senin, 25 Agustus 2025 berujung ricuh. 

    Di tengah kericuhan tersebut, Lurah Manggarai Selatan, Muhammad Sidik, bersama sopirnya, Asep Yudiana, menjadi korban pengeroyokan massa.

    Peristiwa bermula ketika Sidik melintas di Bundaran Slipi menggunakan mobil dinas berpelat merah. 

    Massa yang melihat kendaraan tersebut langsung meneriakinya sebagai milik anggota DPR. Upaya Sidik untuk menjelaskan bahwa dirinya hanya seorang lurah tak digubris.

    Dalam hitungan menit, puluhan orang menyerbu mobil tersebut. Batu dan benda keras dilemparkan hingga kaca bagian belakang pecah dan pintu kendaraan rusak parah. 

    Situasi semakin mencekam ketika mobil yang coba melarikan diri justru menabrak gerobak dan sepeda motor milik warga.

    Sidik dan sopirnya kemudian dipaksa turun. Mereka dipukuli secara brutal hingga wajah sang lurah babak belur. 

    Tidak hanya itu, barang pribadi ikut raib, mulai dari dua unit ponsel senilai Rp25 juta, dompet, hingga pakaian.

    Aksi demo di sekitar Gedung DPR/MPR sejak Senin siang memang berlangsung panas. Ribuan massa turun ke jalan menyuarakan pembubaran DPR serta penolakan terhadap kenaikan tunjangan baru anggota dewan yang disebut mencapai ratusan juta rupiah per bulan. 

    Kondisi kian tak terkendali ketika aparat menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

    Imbas dari kericuhan itu merembet ke sejumlah titik di kawasan Slipi, termasuk lokasi kejadian pengeroyokan Sidik. 

    Bentrokan antara massa dan aparat, pelemparan batu, hingga kerusakan fasilitas umum terjadi di beberapa ruas jalan.

    Kini, baik Sidik maupun sopirnya masih menjalani perawatan akibat luka pukulan. Polisi menyatakan tengah mengidentifikasi pelaku pengeroyokan serta kerusakan mobil dinas yang ditumpangi lurah tersebut.

  • KPAI jamin anak yang terlibat aksi di DPR tak dikeluarkan dari sekolah

    KPAI jamin anak yang terlibat aksi di DPR tak dikeluarkan dari sekolah

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjamin 196 anak yang terlibat aksi di depan Gedung DPR/MPR RI dan ditangkap aparat kepolisian tidak dikeluarkan dari sekolah.

    “Kita akan koordinasi ke Dinas terkait (Dinas Pendidikan) dan sekolah-sekolah untuk memastikan mereka tidak dikeluarkan,” kata Komisioner KPAI Sylvana Maria merespons keluhan para orang tua yang takut anak-anak mereka dikeluarkan dari sekolah di Mapolda Metro Jaya, Selasa.

    Pihaknya juga akan mendatangi beberapa sekolah yang sejumlah muridnya terlibat aksi di depan Gedung DPR/MPR RI.

    Upaya itu dilakukan untuk menelusuri akar terlibatnya anak-anak sekolah dalam aksi kekerasan, termasuk aksi demonstrasi yang destruktif.

    “Kami tentu akan terus “follow up”. Saya sudah mencatat misalnya beberapa nama sekolah yang jumlah muridnya (yang terlibat dalam aksi) lumayan signifikan lebih dari 5, lebih dari 10. Untuk mengetahui kira-kira apa yang akan dikerjakan oleh sekolah itu untuk mencegah keberulangan murid-muridnya ikut dalam aksi-aksi yang mereka tidak tahu,” kata Sylvana.

    Sebelumnya diberitakan, Polda Metro Jaya akhirnya memulangkan sebanyak 196 anak di bawah umur yang ditangkap saat aksi di depan Gedung DPR/MPR RI pada Senin (25/8), kepada orang tuanya.

    “Anak-anak yang ditangkap kemarin, sudah kita pulangkan hari ini,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

    Lebih lanjut, ia menambahkan, mereka terlibat perusakan fasilitas umum serta tidak termasuk klaster massa yang menyampaikan pendapat di depan DPR.

    “Mereka datang karena ajakan dari media sosial. Kemarin, di jam pelajaran kejadiannya, anak-anak pelajar ini berasal dari Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, ada juga dari Sukabumi,” katanya.

    Untuk menangani anak-anak itu, Polda Metro Jaya menugaskan Sub Direktorat Remaja, Anak dam Wanita (Renakta).

    “Selain itu, karena ini pembinaan spesifik anak, kita libatkan juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta dan Dinas Sosial,” katanya.

    Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KPAI awasi pemeriksaan ratusan anak yang ditangkap dalam aksi di DPR

    KPAI awasi pemeriksaan ratusan anak yang ditangkap dalam aksi di DPR

    Sejumlah pengunjuk rasa membawa bambu saat melakukan aksi di Jalan Letjend S Parman, depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/8/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa/pri.)

    KPAI awasi pemeriksaan ratusan anak yang ditangkap dalam aksi di DPR
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Selasa, 26 Agustus 2025 – 15:32 WIB

    Elshinta.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengawasi proses pemeriksaan oleh Polda Metro Jaya terhadap ratusan anak yang terlibat unjuk rasa depan Gedung DPR/MPR/DPD RI.

    Komisioner KPAI Sylvana Maria menyebutkan, pihaknya berkoordinasi dengan pihak Kepolisian serta Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta dalam pengawasan tersebut.

    “Kami melakukan pengawasan lewat kordinasi dengan polisi, Dinas PPAPP dan bicara langsung dengan anak-anak yang diamankan,” kata Sylvana saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

    Pihaknya hendak memastikan hak anak-anak yang diamankan pihak Kepolisian itu terpenuhi.

    “Dari KPAI pasti (menjamin pemenuhan hak anak). Saya sudah di Polda Metro Jaya dari jam 07.30 WIB sampai sekarang. Menunggu tunggu anak-anak yang sedang digali informasi pendalaman oleh polisi,” kata dia.

    Informasi sementara, kata Sylvana, ada sebanyak 203 anak yang diamankan pihak Kepolisian dalam aksi depan Gedung Parlemen pada Senin (25/8) malam.

    “Menurut info 203 anak. Tapi angka pastinya saya sedang tunggu info resmi polisi,” katanya.

    Demo pada 25 Agustus yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI tanpa mobil komando maupun koordinator lapangan, bahkan pada aksi itu sejumlah pelajar ikut bergabung.

    Pantauan di lokasi, sejumlah anak sekolah yang mengenakan pakaian putih abu-abu ikut masuk ke lokasi aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI pada Senin.

    Padahal sebelumnya petugas Kepolisian sudah menghalau agar para siswa tidak masuk dengan tidak memberikan izin kepada mereka.

    Mengetahui adanya haluan dari petugas, sejumlah massa yang berkumpul di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI kemudian menjemput para pelajar agar bisa masuk ke lokasi demo.

    Sumber : Antara

  • Aksi demo di DPR sisakan 18,72 ton sampah 

    Aksi demo di DPR sisakan 18,72 ton sampah 

    sampah-sampah itu didominasi bahan anorganik

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mencatat aksi demonstrasi di kawasan Gedung DPR/MPR dan Medan Merdeka, Jakarta pada Senin (25/8) menyisakan 18,72 ton sampah.

    Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa mengatakan sampah-sampah itu didominasi bahan anorganik, seperti banner, botol plastik, dan sisa-sisa poster.

    Adapun para petugas yang dikerahkan yakni 150 personel petugas kebersihan Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) Jakarta Pusat dan 100 personel Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) dari Kelurahan Gelora dan Kelurahan Bendungan Hilir.

    Kemudian didukung 12 road sweeper atau penyapu jalan mekanis, tiga mini dump truk, dan 10 truk angkut sampah anorganik.

    “Operasi pembersihan yang dilakukan sejak Senin (25/8) malam hingga Selasa dini hari. Prinsip kami sederhana, hak demonstrasi boleh, tapi hak warga atas lingkungan bersih juga harus dipenuhi,” kata Asep.

    Operasi pembersihan terkonsentrasi di dua lokasi, yakni di sekitar Gedung DPR/MPR yang meliputi Jalan Pemuda Senayan, Jalan Pejompongan, hingga Tanah Abang, serta kawasan Gambir di Jalan Medan Merdeka Barat dan Timur.

    Petugas mulai menyisir area sejak pukul 20.00 WIB. Pembersihan berat dilakukan pukul 23.00 WIB hingga dini hari dengan memanfaatkan lalu lintas yang sepi.

    Asep mengatakan Pemprov DKI melakukan operasi pasca-demonstrasi sejak 2023 dengan protokol standar yakni pemantauan lokasi, penyiapan armada, dan peluncuran tim begitu massa bubar.

    ”Kami punya timeline ketat. Maksimal pukul 05.00 pagi, semua harus sudah bersih. Alhamdulillah pagi tadi kondisi sudah normal,” ujarnya.

    Asep berharap ada kesadaran bersama dari semua pihak untuk tidak meninggalkan sampah.

    ”Berkumpul itu wajar, tapi tinggalkan tempat sebagaimana adanya. Kami siap menampung sampah dengan penyediaan tempat sampah,” katanya.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Viral Pedemo Ditangkap di Gerai Mie Gacoan, Polisi: Mereka Rusak Fasum dan Lawan Petugas
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        26 Agustus 2025

    Viral Pedemo Ditangkap di Gerai Mie Gacoan, Polisi: Mereka Rusak Fasum dan Lawan Petugas Megapolitan 26 Agustus 2025

    Viral Pedemo Ditangkap di Gerai Mie Gacoan, Polisi: Mereka Rusak Fasum dan Lawan Petugas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Keributan terjadi di restoran Mie Gacoan, Jalan KS Tubun, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025) malam.
    Insiden terjadi saat polisi masuk ke restoran untuk menangkap massa demo 25 Agustus yang bersembunyi setelah dipukul mundur dari area DPR/MPR RI, Jakarta Pusat.
    Berdasarkan unggahan video di akun Instagram @lbj_jakarta, para pedemo yang ditangkap hanya bisa tertunduk.
    Saat digiring, polisi sempat diadang sejumlah pegawai restoran tersebut dan pengunjung sampai akhirnya terjadi cekcok.
    Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi membenarkan penangkapan itu.
    Sebuah kiriman dibagikan oleh Lensa Berita Jakarta (@lbj_jakarta)
    Dia mengatakan, para pedemo diduga merusak fasilitas umum dan menyerang petugas kepolisian saat diminta membubarkan diri.
    “Itu adalah orang yang diduga melakukan aksi perusakan secara masif, melawan petugas, melakukan perusakan fasum, sebelumnya sudah dilakukan pendorong oleh petugas, akhirnya mereka lari ke sana, kemudian diamankan,” kata dia di Polda Metro Jaya pada Selasa (26/8/2025).
    Ade Ary tidak merinci jumlah pedemo yang ditangkap di restoran itu, tetapi memastikan mereka termasuk dalam total 351 orang yang diamankan.
    “Kami membenarkan bahwa orang-orang yang diamankan adalah bagian dari 300 sekian tadi,” ujar dia.
    Untuk diketahui, 351 orang yang ditangkap dalam demo 25 Agustus terdiri atas 155 orang dewasa dan 196 anak di bawah umur.
    Kini, 196 anak di bawah umur itu telah dipulangkan usai para orangtua membuat surat pernyataan.
    Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Putu Kholis Aryana mengatakan, sebanyak 155 dari total 351 orang dewasa yang ditangkap masih diperiksa secara intensif.
    “Saat ini masih berjalan proses pendalaman untuk mengetahui peran mereka masing-masing,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.