Kementrian Lembaga: MPR RI

  • Mahasiswa Siap Gelar Aksi Besar #RakyatTagihJanji di DPR, Usung 17+8 Tuntutan Rakyat

    Mahasiswa Siap Gelar Aksi Besar #RakyatTagihJanji di DPR, Usung 17+8 Tuntutan Rakyat

    GELORA.CO – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bersama berbagai elemen masyarakat akan menggelar aksi besar bertajuk #RakyatTagihJanji di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, pada Selasa (9/9/2025).

    Aksi ini membawa “17+8 Tuntutan Rakyat”, yang mencakup isu demokrasi, hak asasi manusia (HAM), hingga kesejahteraan ekonomi.

    Massa aksi dijadwalkan berangkat dari Lapangan FISIP UI, Depok, pukul 12.00 WIB, dan tiba di DPR sekitar pukul 13.00 WIB.

    “Kami akan berkumpul sejak pukul 10 pagi sebelum berangkat bersama-sama,” ujar Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI 2025, Bima Surya, pada Senin (8/9/2025).

    Meski diinisiasi BEM UI, aksi ini terbuka untuk semua kalangan.

    Sejumlah BEM kampus lain serta organisasi masyarakat sipil dipastikan bergabung.

    Menurut Bima, dokumen “17+8 Tuntutan Rakyat” bukan hanya hasil kajian mahasiswa, tetapi merangkum suara publik dari berbagai sumber, di antaranya:

    Unggahan viral figur publik seperti Abigail Muria, Jerome Polin, Salsa Erwina, hingga Cheryl Marella.

    Petisi daring “12 Tuntutan Rakyat” di Change.org yang telah mengumpulkan lebih dari 40.000 tanda tangan.

    Aspirasi buruh dalam aksi 28 Agustus 2025.

    Pernyataan sikap akademisi UI terkait demokrasi dan lingkungan.

    “Setiap fakultas di UI ikut menyusun kajian akademis. Dokumen itu akan kami serahkan ke DPR. Aksi tidak bubar sebelum ada perwakilan DPR menemui massa,” tegas Bima.

    Isi Tuntutan Utama

    Beberapa poin kunci dari 17 tuntutan mendesak antara lain:

    Presiden diminta membentuk tim independen atas kasus kekerasan demonstran, termasuk Affan Kurniawan dan Umar Amarudin.DPR diminta membebaskan demonstran yang ditahan, menghentikan kriminalisasi, serta mengusut aparat pelaku kekerasan.Partai politik diminta membatalkan kenaikan gaji DPR, membuka transparansi anggaran, dan menyerahkan pemeriksaan harta wakil rakyat ke KPK.Polri dan TNI diminta menghentikan kekerasan dalam pengendalian massa serta memastikan TNI tidak mengambil alih peran sipil.Kementerian Ekonomi diminta menjamin upah layak bagi guru, tenaga kesehatan, buruh, dan pengemudi ojol, sekaligus mencegah PHK massal.

    Selain itu, delapan agenda reformasi menyoroti pembenahan parlemen, partai politik, perpajakan, hingga penguatan KPK dan pembatasan peran politik TNI.

    Aksi Besar di Awal Pemerintahan Prabowo

    Aksi #RakyatTagihJanji digadang sebagai salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Dengan basis kajian akademis, dukungan petisi online, suara publik di media sosial, hingga tuntutan buruh, aksi ini disebut sebagai simbol konsolidasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah dan DPR.

    “Ini bukan hanya suara mahasiswa, tetapi suara rakyat luas. Kami datang dengan data, kajian, dan dukungan massa. DPR harus mendengar,” pungkas Bima.

  • Viral Bagan Isu Pemakzulan Gibran vs Bubarkan DPR Versi Diaspora, Mungkinkah Sebuah Kebetulan?

    Viral Bagan Isu Pemakzulan Gibran vs Bubarkan DPR Versi Diaspora, Mungkinkah Sebuah Kebetulan?

    GELORA.CO –  Jagat media sosial dihebohkan dengan beredarnya bagan isu pemakzulan Wapres Gibran versus Bubarkan DPR yang dibuat oleh sejumlah Diaspora. 

    Munculnya bagan ini menimbulkan banyak spekulasi politik Indonesia yang baru saja  diguncang aksi demonstrasi hingga memakan korban jiwa.

    Bagan itu memuat timeline mulai dari Surat pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dikirim oleh sejumlah purnawirawan TNI ke DPR April 2025 lalu. Diaspora menyebut hal ini menjadi  polemik yang jauh lebih besar: wacana pembubaran DPR.

    Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago mengungkapkan, munculnya dua isu ini bukan sekadar kebetulan. Ia melihat adanya pola dan keterkaitan yang mencurigakan.

    “Kalau surat pemakzulan itu tidak masuk ke DPR, saya yakin DPR tidak akan jadi target serangan. Polanya terlihat jelas, ada benang merah antara pemakzulan Gibran dan wacana pembubaran DPR,” kata Pangi, Senin, 8 September 2025.

    Di media sosial, warganet ramai membedah kronologi peristiwa ini. Bahkan, kini beredar bagan visual yang memetakan hubungan dan urutan kejadian antara isu pemakzulan Gibran dengan wacana pembubaran DPR. Bagan itu menampilkan tanggal, aktor politik, dan langkah-langkah yang diduga menjadi bagian dari skenario besar.

    Kemunculan bagan ini memicu kehebohan publik, memancing perdebatan sengit, dan menimbulkan pertanyaan serius: apakah DPR sedang digiring ke dalam jebakan politik tertentu?

    Pangi juga menyoroti peran kelompok politik yang ia sebut sebagai “Geng Solo”, yang diduga berada di balik ketegangan politik yang belakangan memuncak. Ia mengkritik sikap pasif para menteri yang dikaitkan dengan kelompok ini, terutama saat peristiwa “Agustus Kelabu” yang sempat memicu gejolak nasional.

    “Hampir semua menteri dari ‘Geng Solo’ diam seribu bahasa. Mereka tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang mereka bela?” sindirnya tajam.

    Isu dihembuskan Diaspora

    Isu ini lalu merembet ke diaspora Indonesia di luar negeri. Banyak warga negara Indonesia di berbagai negara mengaku khawatir, bahkan menilai gejolak politik ini berpotensi melemahkan stabilitas pemerintahan jika tidak segera ditangani.

    Menurut Pangi, kunci penyelesaian ada pada transparansi. DPR dan pemerintah diminta segera memberi penjelasan terbuka agar isu ini tidak berkembang menjadi krisis kepercayaan nasional.

    “Kalau pemerintah dan DPR terus bungkam, narasi liar akan semakin liar. Pada akhirnya, publik bisa kehilangan kepercayaan, bukan hanya kepada DPR, tapi juga pada negara,” pungkasnya.

    Kini, publik menunggu jawaban: apakah ini sekadar dinamika politik biasa, atau pertanda adanya “operasi politik besar” yang bisa mengguncang pondasi demokrasi Indonesia?

    Berikut isi Bagan Pemakzulan Gibran vs Bubarkan DPR:

    17 APRIL Forum Purnawirawan TNI mengeluarkan pernyataan sikap mengusulkan pergantian Wapres Gibran kepada MPR/DPR.

    26 MEI Forum Purnawirawan TNI menyurati MPR/DPR usulan pemakzulan Gibran sebagai Wapres.

    2 JUNI Surat usulan pemakzulan Gibran disampaikan ke MPR/DPR.

    6 JUNI Jokowi menanggapi surat purnawirawan TNI bahwa pemilihan Presiden dan Wapres 1 paket.

    12 JUNI Jokowi bertemu kelompok Youtuber Nusantara.

    2 JULI Forum Purnawirawan TNI mengancam akan menduduki MPR/DPR jika surat usulan pemakzulan Gibran tidak ditindaklanjuti untuk diproses.

    3 JULI Gibran bertemu Youtuber Nusantara.

    15 JULI Pimpinan DPR mengkaji surat pemakzulan Gibran.

    25 JULI Fenomena seruan memasang bendera One Piece berlangsung di semua platform medsos secara serentak.

    12 AGUSTUS Politisi DPR bicara Sulit Cari yang Halal di DPR, Gaji DPR 3P (Pasti) dan Tunjangan Rumah 50 juta.

    15 AGUSTUS Insiden joget joget anggota DPR setelah rangkaian sidang paripurna.

    19 AGUSTUS Forum Purnawirawan TNI mengirim surat ke MPR/DPR menanyakan tindak lanjut proses surat pemakzulan yang dikirimkan.

    21 AGUSTUS Postingan provokatif untuk demo ke DPR di platform medsos X oleh akun @Ndrewstijan, @mas_veel, @Herabotics, @tekad007 yang terindikasi pendukung Gibran.

    23 AGUSTUS Seruan unjuk rasa ke DPR melalui pesan berantai di grup whatsapp dengan redaksi pesan ajakan demonstrasi membubarkan DPR dari kelompok yang mengatasnamakan Revolusi Rakyat Indonesia.

    25 AGUSTUS DPR di demo oleh massa tanpa organisasi, tanpa pimpinan, tanpa tuntutan yang sistematis tetapi dengan tema besar Bubarkan DPR

    27 AGUSTUS Forum Purnawirawan TNI mengirim kembali surat kedua kepada MPR/DPR terkait surat pemakzulan Wapres Gibran untuk segera diproses. 

    28 AGUSTUS Aksi massa besar bersamaan menyebut aksi Buruh yang mengendarai becak listrik dan driver Ojol.

    29 AGUSTUS Demonstrasi menyebar di berbagai kota di Indonesia dibarengi dengan aksi anarkis.

    30 AGUSTUS Rumah anggota DPR (Syahroni, Uya Kuya, Eko Patrio) digeruduk massa dan dijarah.

  • Kader Gerindra Merapat ke Rumah Prabowo di Kertanegara, Ada Apa?

    Kader Gerindra Merapat ke Rumah Prabowo di Kertanegara, Ada Apa?

    GELORA.CO – Sejumlah pimpinan dan anggota Fraksi Gerindra DPR RI mulai merapat ke rumah pribadi Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Presiden RI Prabowo Subianto di Jalan Kartanegara No. IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (8/9/2025) malam.

    Mayoritas dari mereka hadir dengan mengenakan kemeja putih dan celana berwarna krem. Beberapa nama yang hadir di antaranya Kamrussamad, Andre Rosiade, Bob Hasan, Ahmad Dhani, Mulan Jameela, hingga Habiburokhman. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi dan Ketua MPR RI Ahmad Muzani juga terlihat tiba.

    Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani, mengaku tidak mengetahui secara pasti apa yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Namun, ia menyebut undangan berkumpul sudah diterimanya sejak pagi.

    “Tadi pagi undangannya. Yang kami tahu (undangan) di grup Gerindra DPR,” kata Ahmad Dhani saat memberikan keterangan sebelum masuk ke kediaman Prabowo, Senin (8/9/2025).

    Pantauan Inilah.com di lokasi, awak media tidak diperbolehkan mendekat ke depan rumah Prabowo. Sejumlah petugas keamanan hingga personel TNI berjaga di bawah tenda berwarna putih di persimpangan dekat kediaman Prabowo.

    Sebelumnya, beredar keterangan tertulis dari Sekjen Partai Gerindra, Sugiono, yang ditujukan kepada pimpinan dan anggota Fraksi Gerindra DPR RI. Dalam surat itu disebutkan bahwa seluruh anggota diwajibkan hadir tanpa terkecuali di rumah Prabowo pada pukul 20.00 WIB.

  • Komisi II DPR RI usulkan Revisi UU Pemilu kembali dibahas

    Komisi II DPR RI usulkan Revisi UU Pemilu kembali dibahas

    Bisa saja nanti syarat untuk menjadi caleg dia harus lulus sejumlah pelatihan yang sudah dibuat oleh partainya masing-masing dengan standar kompetensi partai yang dibuat oleh multi-stakeholder (pemangku kepentingan)

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI mengusulkan agar Revisi Undang-Undang Pemilu kembali dibahas di Komisi itu, menyusul Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam waktu dekat akan melakukan revisi terhadap Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029.

    “Kami mengusulkan RUU Pemilu kembali untuk dibahas di Komisi II DPR RI dalam bentuk kodifikasi hukum dan/atau omnibus law,” kata Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Dia menjelaskan revisi UU Pemilu akan dilakukan dengan metode kodifikasi atau omnibus sehingga nantinya akan ada peraturan perundang-undangan lainnya yang akan digabungkan dalam revisi tersebut.

    Sejumlah undang-undang yang rencananya akan ikut dibahas, yaitu Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

    Rifqi membeberkan salah satu isu yang diusulkan untuk diatur dalam revisi UU Pemilu, yaitu terkait hukum acara sengketa pemilu. Menurut dia, ini merupakan beleid baru demi adanya kepastian penyelesaian sengketa.

    “Ini barang baru agar ada kepastian kapan waktu putusan inkrah dan kami upayakan seluruh sengketa pemilu, termasuk di Mahkamah Konstitusi, Itu bisa berakhir sebelum pelantikan pejabat politik hasil pemilu dilakukan,” ucapnya.

    Sementara itu, ketika ditanya terkait kemungkinan adanya syarat ambang batas pendidikan tertentu untuk menjadi anggota legislatif, Rifqi mengatakan pada prinsipnya, penyusunan norma undang-undang tidak boleh berbasis pada subjektivitas.

    “Itu bisa melanggar hak asasi manusia yang diatur di dalam konstitusi. Basisnya, kalau kita menyusun satu peraturan perundang-undangan adalah objektivitas. Karena itu, kita tidak melihat latar belakang profesi, kita tidak melihat latar belakang ekonomi,” ujarnya.

    Namun begitu, dia menyebut standar minimal tetap dibutuhkan untuk menjadi calon anggota legislatif. Dalam hal ini, dia menyoroti pentingnya standar kompetensi kader yang dapat dibangun dari tingkat partai politik.

    “Bisa saja nanti syarat untuk menjadi caleg dia harus lulus sejumlah pelatihan yang sudah dibuat oleh partainya masing-masing dengan standar kompetensi partai yang dibuat oleh multi-stakeholder (pemangku kepentingan),” katanya.

    Terlepas dari itu, Rifqi mengatakan hal terpenting dari omnibus atau kodifikasi UU Pemilu ke depan ialah meningkatkan kualitas pemilu sehingga dapat berdampak pada, salah satunya, institusi parlemen yang semakin baik.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tiga Titik Demo di Jakarta Hari Ini Senin 8 September 2025 – Page 3

    Tiga Titik Demo di Jakarta Hari Ini Senin 8 September 2025 – Page 3

    Untuk pengamanan di gedung DPR/MPR saja, Ruslan menyebut, sebanyak 1.723 personel gabungan dikerahkan.

    “Personel gabungan 1.723 orang,” tegas Ruslan.

    Ruslan mengingatkan massa agar tetap tertib selama menyampaikan aspirasi. Dia meminta massa untuk tidak merusak fasilitas umum, apalagi menutup jalan.

    “Silahkan menyampaikan pendapat, tetapi tetap dalam koridor hukum dan ketertiban. Kami hadir untuk memastikan semuanya berjalan dengan aman dan kondusif,” tandas dia.

  • Eddy Soeparno Ajak Anak Muda Ambil Peran Hadapi Dampak Krisis Iklim

    Eddy Soeparno Ajak Anak Muda Ambil Peran Hadapi Dampak Krisis Iklim

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno memberikan pembekalan terhadap delegasi simulasi Model United Nations (MUN) dari Rumah Kebangsaan Arifin Panigoro. Dalam paparannya, ia menyampaikan pentingnya Indonesia mengambil inisiatif kepemimpinan global untuk mencegah dampak krisis iklim.

    “Indonesia dapat mengambil peran untuk memimpin inisiatif agar transisi energi dan pembangunan hijau tetap mempertimbangkan keadilan bagi negara-negara berkembang,” ujar Eddy dalam keterangannya, Senin (8/9/2025).

    “Indonesia bisa menjadi jembatan persatuan dari berbagai negara dari timur maupun barat untuk mempersiapkan aksi kolektif menghadapi tantangan global seperti kemiskinan, terorisme, dan tentu juga menghadapi ancaman krisis iklim,” sambungnya.

    Eddy menjelaskan peluang Indonesia sebagai climate leader sangat terbuka karena penerimaan yang luas terhadap Presiden Prabowo Subianto dari dunia internasional.

    “Presiden Prabowo secara aktif hadir di berbagai forum internasional dengan berbagai strategi diplomasi yang membuat posisi Indonesia semakin diperhitungkan di kancah internasional baik oleh negara-negara BRICS maupun G-20,” paparnya.

    “Karena itu saya mengajak anak-anak muda yang bercita-cita untuk menjadi diplomat di forum ini. Ayo dukung Indonesia memimpin inisiatif global mencegah dampak perubahan iklim. Indonesia mampu, bisa dan layak memimpin inisiatif ini,” lanjut Wakil Ketua Umum dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.

    Secara khusus, Eddy juga mengajak anak-anak muda untuk mengambil peran dalam menghadapi dampak krisis iklim yang semakin terasa saat ini.

    “Ini waktunya membangun kolaborasi lintas generasi untuk mencegah dampak krisis iklim dan berkontribusi menjaga lingkungan sekitar kita,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, acara ini ini diikuti oleh 60 delegasi dari seluruh Indonesia.Para delegasi ini terpilih dalam sidang PBB maupun dalam konferensi internasional seperti Conference of Parties (COP).

    (ega/ega)

  • 5
                    
                        Ada Tiga Titik Demo di Jakarta Hari Ini 8 September 2025
                        Megapolitan

    5 Ada Tiga Titik Demo di Jakarta Hari Ini 8 September 2025 Megapolitan

    Ada Tiga Titik Demo di Jakarta Hari Ini 8 September 2025
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tiga aksi unjuk rasa dijadwalkan berlangsung di sejumlah titik di Jakarta pada Senin (8/9/2025).
    Polres Metro Jakarta Pusat telah menyiapkan pengamanan untuk memastikan jalannya aksi tetap tertib.
    Kasi Humas Polres Metro Jakarta Pusat, Iptu Ruslan Basuki, menginformasikan kepolisian akan menggelar apel pengamanan pada pukul 09.00 WIB untuk tiga lokasi aksi.
    “Ada tiga aksi yang akan berlangsung di Jakarta hari ini,” ujar Ruslan saat dihubungi Kompas.com, Senin.
    Aksi pertama akan digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Indraprasta PGRI, melalui Unit Aktivitas Mahasiswa Teknik Industri.
    Titik aksi dipusatkan di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
    Para mahasiswa dijadwalkan menyuarakan sejumlah tuntutan terkait isu pendidikan dan kebijakan publik.
    Polisi menyiapkan pengamanan di sekitar kawasan Senayan untuk mengantisipasi penumpukan massa dan arus lalu lintas.
    Aksi kedua berasal dari Aliansi Rakyat Papua untuk Kebenaran dan Keadilan Tabi Saireri Nusantara bersama sejumlah elemen massa di wilayah Gambir.
    Massa akan berkumpul di sekitar Pospol Merdeka Barat.
    Ruslan mengatakan, kepolisian akan menurunkan personel di kawasan tersebut untuk menjaga ketertiban dan memastikan arus kendaraan di Jalan Medan Merdeka Barat tetap terkendali.
    Aksi ketiga digelar oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
    Kegiatan tersebut akan berlangsung di depan kantor Komnas HAM RI, Menteng, Jakarta Pusat.
    Aksi ini digelar bertepatan dengan momentum peringatan 21 tahun meninggalnya aktivis HAM, Munir Said Thalib.
    Massa rencananya akan menuntut negara mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat dan memastikan akuntabilitas hukum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jakarta Utara tenun persatuan  usai penjarahan

    Jakarta Utara tenun persatuan usai penjarahan

    Jakarta (ANTARA) – Sabtu (30/8) menjadi hari yang gelap di Jakarta Utara. Pada hari tersebut terjadi aksi tindak pidana yang dilakukan segerombolan orang sebagai dampak lanjutan dari aksi anarkis yang terjadi di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, hingga Tanah Abang.

    Kondisi genting yang terjadi di Jakarta Pusat, yang dimulai oleh unjuk rasa Senin (25/8), itu ternyata merambat ke sejumlah daerah di DKI Jakarta bahkan sejumlah daerah di Indonesia. Kota Jakarta Utara juga tak luput dari gelombang aksi anarkis tersebut.

    Aksi anarkis pertama terjadi pada Sabtu (30/8) siang saat warga melakukan aksi unjuk rasa ke rumah anggota DPR RI Ahmad Sahroni di kelurahan Kebon Bawang Kecamatan Tanjung Priok.

    Awalnya aksi tersebut berlangsung damai, ada yang menyampaikan pendapat, mereka juga meneriakkan kata-kata sampai sumpah serapah. Sejumlah oknum memanfaatkan rasa kemarahan warga dengan melakukan pelemparan.

    Satu per satu batu beterbangan ke bangunan kokoh tersebut, satu, dua hingga jumlah benda keras berterbangan ke rumah kader Partai NasDem tersebut.

    Tak puas melempar, gelombang massa ini mencoba mendobrak pagar rumah tersebut dan dalam hitungan menit gerbang itu roboh. Massa langsung merangsek ke dalam rumah dan melakukan aksi perusakan.

    Sejumlah mobil mewah yang terparkir di garasi mobil menjadi sasaran, selain itu sejumlah barang berharga juga ikut diambil mulai dari uang, sertifikat tanah, jam mewah, dan lainnya.

    Aksi tersebut terekam di sejumlah video yang tersebar di media sosial. Video tersebut tersebar luas dan memancing orang untuk datang ke lokasi tersebut sehingga massa terus bertambah dan merangsek masuk.

    Setelah menjarah, oknum-oknum meninggalkan rumah Ahmad Sahroni dengan membawa barang-barang yang bukan milik mereka. Setelah rumah itu ditinggal massa, polisi dan tentara TNI membuat pembatas dan menutup kawasan tersebut agar tak dimasuki warga.

    Tak sampai di situ, pada malam harinya, Jalan Yos Sudarso yang merupakan jalan utama di Jakarta Utara menjadi sasaran aksi perusakan dan vandalisme yang dilakukan orang tak dikenal.

    Mereka merusak sejumlah fasilitas umum berupa kamera pengintai di jalanan, traffic light, hingga sejumlah rambu-rambu.

    Ratusan warga yang datang bergelombang tersebut seperti tidak puas dengan yang sudah dilakukan. Mereka mengarahkan target mereka ke Mako Polres Metro Jakarta Utara. Massa melemparkan batu dan petasan ke dalam kawasan Polres.

    Serangan tersebut berlangsung bergelombang dan dengan adanya pengawalan dari petugas hingga bantuan dari masyarakat sekitar serangan ke Mako tersebut dapat dihentikan pada Minggu (31/8) dinihari.

    Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Erick Frendriz mengucapkan terima kasih atas bantuan dari Wali Kota Jakarta Utara Hendra Hidayat, Dandim 0502/Jakarta Utara Kolonel Inf Donny Gredinad serta tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat yang secara bersama-sama ada di Polres malam tersebut menenangkan warga.

    Kombes Erick berterima kasih atas dukungan yang diberikan sehingga aksi penyerangan itu dapat dicegah.

    Ia bersyukur tidak ada bangunan Polres Metro Jakarta Utara yang rusak sedikitpun dan tidak ada petugas yang terluka dalam bentrokan massa dengan petugas.

    Menyikapi dua kejadian tersebut, Forum Komunikasi Pimpinan Kota (Forkopimko) langsung menggelar rapat untuk mengantisipasi terjadinya aksi lanjutan.

    Apalagi Jakarta Utara sebagai kota yang heterogen yang berisikan warga dari beragam suku di Indonesia bahkan warga asing, selain itu Jakarta Utara juga memiliki warga dengan beragam ras, agama dan status sosial.

    Hal ini menjadi tantangan bagaimana melakukan aksi pencegahan sebagai upaya agar tak ada lagi aksi anarkis hingga penjarahan di Jakarta Utara.

    Pemerintah Jakarta Utara langsung mengundang seluruh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama yang ada di Jakarta Utara. Keseluruhan diundang untuk berdiskusi dan memberikan rekomendasi untuk menjaga situasi di Jakarta Utara tetap kondusif.

    Setelah itu, para tokoh masyarakat diajak menandatangani pakta integritas dan nota kesepakatan untuk bersama -sama melakukan aksi “Jaga Jakarta”.

    Seluruh tokoh diminta terlibat langsung dalam menjaga situasi tetap tenang, aman dan nyaman. Mereka yang ikut menyepakati deklarasi juga harus menyampaikan hal ini kepada masyarakat.

    Dalam deklarasi tersebut seluruh tokoh masyarakat serta perwakilan ojek online Jakarta Utara bersama Forkopimda berpegangan tangan untuk menyatakan kesepakatan mereka bersatu untuk menjaga wilayah Jakarta Utara tetap aman, damai dan tenang.

    Tak hanya di situ, Forkopimda esok harinya mengundang perwakilan Organisasi Masyarakat (Ormas) untuk menyatakan deklarasi menjaga Jakarta Utara.

    Kegiatan yang juga digelar di Ruang Bahari Kantor Wali Kota Jakarta Utara tersebut dipenuhi semangat untuk bersatu dan melawan aksi provokasi yang dapat menimbulkan kerusakan di wilayah setempat.

    Tokoh masyarakat Jakarta Utara Sabri Suaiman mengajak seluruh warga Jakarta Utara bersama-sama menjaga rumah mereka agar tidak terjadi lagi aksi anarkis.

    Menurut dia Jakarta Utara ini pernah mengalami aksi yang bahkan lebih kacau dari yang terjadi saat ini belasan tahun yang lalu. Namun Jakarta Utara tetap bisa bangkit dan bersatu menghadapi perpecahan ini.

    Dia juga mengajak masyarakat mendukung langkah yang dilakukan Wali Kota Jakarta Utara serta Kapolres Metro Jakut dan Dandim 0502/JU yang melakukan upaya bersama masyarakat meredam suasana.

    Wali Kota Jakarta Utara Hendra Hidayat mengatakan dengan mempererat silaturahmi itu berarti komitmen bersama untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Dia bersyukur situasi cepat kembali kondusif dan ini berkat kerja sama dan kesiapan Forkopimko bersama masyarakat. Dia mengajak seluruh pihak untuk membantu memastikan tidak ada lagi aksi vandalisme hingga perusakan fasilitas umum.

    Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Erick Frendriz mengucapkan terima kasih kepada semua unsur masyarakat Jakarta Utara yang telah membantu menjaga dan mengamankan lingkungan.

    Sementara itu, Dandim 0502 Jakarta Utara Kolonel (Inf) Donny Gredinand mengingatkan kepada seluruh masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi atau termakan fitnah yang bisa memicu kerusuhan.

    Kondisi yang sempat meruncing dan menimbulkan keresahan menyadarkan bahwa ketenteraman dan keamanan merupakan hal yang amat mahal untuk diwujudkan.

    Upaya terbaik yang dilakukan adalah menjaga situasi persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga dan secara bersama-sama mewujudkan rasa aman di lingkungan terkecil mulai dari keluarga hingga lingkungan masyarakat.

    Dengan adanya situasi aman maka kondisi perekonomian berjalan dengan baik dan seluruh masyarakat dapat menjalankan usaha untuk meraih kesejahteraan bersama.

    Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hentikan Joget-Joget di Istana dan DPR, Selamat Ginting: Warisan Tidak Layak!

    Hentikan Joget-Joget di Istana dan DPR, Selamat Ginting: Warisan Tidak Layak!

    GELORA.CO – Pengamat politik dan militer, Selamat Ginting, mengkritik keras gaya perayaan kemerdekaan 17 Agustus di Istana yang dinilainya kehilangan kekhidmatan.

    Dalam podcast ‘Akbar Faizal Uncensored’, Ginting menyoroti tradisi joget-joget yang belakangan ditampilkan dalam acara kenegaraan, baik di Istana maupun di gedung DPR/MPR.

    Menurutnya, hal tersebut bukanlah warisan dari pemimpin sebelumnya yang patut dipertahankan.

    “Sejak 17 Agustus publik sudah tidak suka dengan gaya-gaya istana mengikuti pola corak Jokowi yang joget-joget, yang kemudian ditindaklanjuti di DPR/MPR,” ujar Selamat Ginting.

    “Ada anggapan bukankah di Istana kemarin juga joget-joget. Saya kira hentikan warisan yang tidak layak,” ujar Ginting.

    Ia menekankan, peringatan Hari Kemerdekaan seharusnya dijaga kekhidmatannya sebagai momentum sakral bagi bangsa.

    “Mestinya kekhidmatan perayaan 17 Agustus betul-betul dijaga. Mau joget-joget silakan di luar Istana,” katanya.

    Ginting menilai gaya tersebut tidak peka terhadap kondisi masyarakat.

    “Karena rakyat sedang sulit. Ibarat rakyat yang diperas, mereka (pejabat) yang joget-joget,” ucapnya.

    Menurutnya, pemerintah seharusnya menunjukkan sikap yang lebih berempati terhadap penderitaan rakyat.

    “Rasa sensitivitas itu harus dikirimkan. Misalnya kirim rasa sayang, keadilan, tunjukkan mereka adalah pelayan rakyat,” tegas Ginting.***