Kementrian Lembaga: MPR RI

  • Ketua MPR Harap Pembentukan Ditjen Pesantren Maksimalkan Peran Ponpes dalam Membangun Karakter Bangsa

    Ketua MPR Harap Pembentukan Ditjen Pesantren Maksimalkan Peran Ponpes dalam Membangun Karakter Bangsa

    JAKARTA – Ketua MPR RI Ahmad Muzani, menyambut baik langkah Presiden Prabowo Subianto yang telah menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di bawah Kementerian Agama (Kemenag), bertepatan dengan Hari Santri 2025 kemarin.

    Muzani berharap, pembentukan Ditjen ini dapat memaksimalkan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang turut serta membangun karakter anak bangsa.

    “Di Hari Santri ini pemerintah membentuk satu Direktorat Jenderal baru, Direktorat Jenderal Pesantren dan harapannya dirjen baru ini bisa menjadikan pesantren yang selama ini eksistensinya sudah cukup dirasakan, bisa lebih terlembagakan lagi di dalam memberi peran kepada proses pembangunan karakter bangsa termasuk dalam proses pembangunan bangsa,” ujar Muzani kepada wartawan, Jumat, 24 Oktober.

    Eks Sekjen Partai Gerindra itu juga berharap, Ditjen ini juga dapat membantu pembangunan pondok pesantren baik secara fisik bangunan maupun sistem pendidikan yang ada di ponpes.

    “Karena itu, harapannya di dirjen yang baru ini nanti pembinaan terhadap pondok pesantren, kelembagaan, kurikulum, pendidikan, tentu saja pengembangan-pengembangan fisik lainnya bisa lebih berstandar lebih baik lagi,” kata Muzani.

    Diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag).

    Kabar tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhammad Syafi’i setelah Apel Hari Santri yang digelar di halaman kantor pusat Kemenag, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

    “Alhamdulillah, saya baru saja menerima kabar dari Kementerian Sekretariat Negara tentang telah terbitnya Persetujuan Izin Prakarsa Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 152 Tahun 2024 Tentang Kementerian Agama,”

    Melalui surat nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025 tertanggal 21 Oktober 2025, Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memerintahkan agar segera didirikan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama Republik Indonesia.

    “Dengan surat ini, saya ingin menyampaikan bahwa Presiden telah menyetujui pembentukan Dirjen Pesantren di lingkungan Kementerian Agama. Pembentukan Dirjen ini bertujuan untuk memberikan perhatian yang lebih besar, baik dari segi personalia, pendanaan, maupun program, agar pemerintah semakin hadir dalam melayani dan mendukung perkembangan pesantren di seluruh Indonesia,” lanjut Wamenag.

    “Semoga dengan kehadiran Ditjen ini, pesantren ke depan dapat semakin berdaya sesuai dengan tiga fungsinya: fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat,” imbuhnya

  • Amien Rais Minta Prabowo Pecat Luhut: Dia Sukses Berduet dengan Jokowi Menghancurkan Indonesia Selama 10 Tahun

    Amien Rais Minta Prabowo Pecat Luhut: Dia Sukses Berduet dengan Jokowi Menghancurkan Indonesia Selama 10 Tahun

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politisi senior Amien Rais mengingatkan Presiden Prabowo Subianto terkait orang di sekitarnya. Walau kepercayaan publik di masa setahun pemerintahannya terbilang tinggi.

    “Kita bersyukur tingkat kepuasan publik pada kinerja pemerintahan Prabowo itu cukup tinggi. Tapi banyak hal yang membuat kita gundah dan khawatir,” kata Amien dikutip dari YouTuube Amien Rais Official, Sabtu (25/10/2025).

    Di sekitar Prabowo, dia mengatakan, masih banyak pemuja Jokowi. Salah satunya Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaita.

    “Masih cukup banyak oknum-oknum jahat yang tetap memuja Jokowi, dan yang paling bahaya adalah tokoh bernama Luhut Binsar Pandjaita,” ujar mantan Ketua MPR RI itu.

    “Tokoh yang satu ini berduet dengan Jokowi, sukses menghancurkan Indonesia selama sepuluh tahun,” sambung Amien Rais.

    Bagi orang yang mengenal Luhut, Amien Rais mengatakan Luhut adalah sosok plin plan. Tidak hanya itu. Dia bahkan mengggambarkannya sebagai orang rakus dan serakah.

    “Si Luhut ini juga manusia sombong dan plin-plan. Tapi bagi yang tahu siapa Luhut sebenarnya, seperti Pak Mayjen Purnawirawan Soenarko, beliau berkata,” terangnya.

    “Dia Luhut ngomong kita kampungan, karena itu saya katakan Luhut itu manusia pembohong. Penjliat, yang sangat rakus dan serakah,” tambahnya.

    Amien Rais juga mengungkit bagaimana Prabowo pernah mendamprat Prabowo. Kala itu Prabowo mencalonkan presiden.

    “Sebagai pemuja Jokowi, dia pernah mendamprat Prabowo seenak mulutnya. Saya kutip omongan Luhut. “Dari TNI saja dipecat, masa Prabowo mau jadi presiden.”,” imbuhnya, mengulang kembali pernyataan Luhut.

  • Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    PIDATO Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi ekonomi — khususnya Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 33 — menandai sinyal strategis dalam orientasi pembangunan ekonomi nasional.
    Presiden Prabowo menyampaikan arahan itu pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Oktober 2025.
    Dalam arahan tersebut, ia menyatakan bahwa “perekonomian nasional harus dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata pertumbuhan atau keuntungan jangka pendek”.
    Ia juga menyinggung bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia masih mengalami kelangkaan minyak goreng — sebagai indikasi bahwa mekanisme pasar belum mencerminkan keadilan sosial.
    Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami substansi Pasal 33 UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum ekonomi negara.
    Pasal 33 ayat (1) menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
    Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Penjelasan lebih lanjut (termasuk setelah amandemen) menyebut bahwa ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi… dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Dalam tinjauan sejarah hukumnya, Pasal 33 dimaknai sebagai “ideologi ekonomi Indonesia” — yaitu suatu rumusan yang menegaskan kedaulatan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai salah satu tujuan dari Indonesia merdeka.
    Penafsiran yuridis-normatif menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting ataupun kekayaan alam tidak dapat direduksi hanya sebagai hak regulasi, melainkan mencakup mandat moral untuk kemakmuran rakyat secara kolektif.
    Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo kembali menegaskan Pasal 33 sebagai landasan ekonomi konstitusi dan mendorong kedigdayaan ekonomi rakyat, maka pidato tersebut sesungguhnya menegaskan “ekonomi konstitusi” sebagai kembali ke amanat UUD dan nilai-nilai Pancasila: kedaulatan, kemandirian, pemerataan, dan keberpihakan pada seluruh rakyat.
    Namun, penting dicatat bahwa meskipun landasan tersebut kuat secara konstitusional dan historis, implementasi nyata menghadapi tantangan struktural, yakni masih merajalelanya ideologi kapitalisme, seperti mekanisme pasar yang semakin terbuka hampir tanpa batas, globalisasi modal asing, liberalisasi investasi, termasuk isu persaingan modal besar oligarki versus kepentingan rakyat kecil.
    Pidato Presiden dapat dibaca sebagai momentum korektif terhadap bias kapitalisme yang telah lama mendominasi orientasi pembangunan nasional.
    Pemikiran ekonomi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga soal kemerdekaan, kedaulatan ­dan keadilan sosial.
    Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi tahun 1963 menegaskan bahwa pembangunan harus diarahkan untuk “menyusun perekonomian yang berdikari”, bebas dari ketergantungan modal asing, dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.
    Ekonomi Berdikari menjadi sikap ekonomi bagi perwujudan sosialisme Indonesia yang menjadi visi ekonomi dari Pancasila.
    Sementara itu, Mohammad Hatta dalam “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1954) memandang koperasi sebagai bentuk organisasi ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan modal.
    Ia menulis bahwa “koperasi adalah alat pendidikan sosial yang mengajarkan rakyat untuk saling tolong-menolong dan membangun kekuatan bersama.”
    Pemikiran tersebut mengusung jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengabaikan kebebasan individu.
    Beberapa dekade kemudian, Mubyarto secara konsisten mengembangkan pemikiran “Ekonomi Pancasila” sebagai kerangka sistem ekonomi alternatif.
    Dalam bukunya “Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan” (1987), Mubyarto menyusun konsep sistem ekonomi Pancasila yang merujuk pada “usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan.”
    Ia mengkritik arus dominan ekonomi neoklasik yang terlalu menekankan efisiensi pasar dan mengabaikan dimensi moral pembangunan.
    Bagi Mubyarto, ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya pertumbuhan, tetapi sejauh mana kemiskinan berkurang, lapangan kerja terbuka, dan rakyat kecil memperoleh kemandirian ekonomi.
    Ketiga tokoh ini, meskipun berbeda dalam konteks zamannya, menyepakati substansi bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat — bukan hanya tatanan pasar bebas yang tanpa kendali.
    Soekarno dengan kedaulatan ekonomi, Hatta dengan prioritas koperasi dan manusia sebagai subjek ekonomi, serta Mubyarto dengan kerangka sistem ekonomi Pancasila yang menjembatani nilai moral dan struktur ekonomi.
    Warisan pemikiran mereka dapat menjadi fondasi bagi interpretasi “ekonomi konstitusi” masa kini — yaitu, bagaimana melaksanakan ekonomi yang dirancang dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai Pancasila dalam kerangka globalisasi dan persaingan pasar yang semakin terbuka.
    Empat dekade terakhir menunjukkan pergeseran tajam dalam orientasi ekonomi nasional menuju liberalisasi dan dominasi mekanisme pasar.
    Kebijakan deregulasi dan liberalisasi sejak 1980-an, undang-undang dilakukan seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka investasi asing dan memperluas ruang swasta tanpa pengaturan kontrol sosial yang memadai.
    Akibatnya, terjadi privatisasi BUMN, pelemahan proteksi sektor rakyat kecil, dan akumulasi modal besar yang semakin kuat.
    Realitas ini membentuk struktur ekonomi yang oleh banyak kritikus sebut sebagai “kapitalistik” dalam arti orientasi kepada akumulasi modal besar yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.
    Dari segi angka, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381.
    Ini menandakan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding Maret 2023 (0,388) ke Maret 2024 (0,379) , ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.
    Distribusi pengeluaran kelompok 40 persen terbawah pada September 2024 tercatat hanya 18,41 persen dari total pengeluaran nasional.
    Secara struktur, Bank Dunia mencatat 20 persen kelompok teratas menguasai hampir separuh total pendapatan nasional — yang mencerminkan pola akumulasi yang sangat timpang.
    Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pasar bebas dan akumulasi modal besar belum menciptakan pemerataan yang signifikan.
    Dari aspek hukum, penafsiran Pasal 33 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Namun, realitas pengelolaan sumber daya alam kerap menunjukkan bahwa nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar atau investor asing, sementara manfaat lokal atau rakyat kecil masih terbatas.
    Untuk menghidupkan kembali semangat “ekonomi konstitusi” sebagai yang ditekankan Presiden, setidak-tidaknya dapat ditempuh melalui empat langkah strategis.
    Pertama, memperkuat kembali peran negara dan BUMN di sektor strategis, bukan sekadar sebagai pelaku bisnis, tetapi sebagai pelindung kepentingan publik.
    Kedua, merevitalisasi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat modern dan profesional yang tumbuh dari bawah berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat banyak (sejalan dengan Hatta dan Mubyarto).
    Ketiga, mengarahkan kebijakan investasi dan hilirisasi sumber daya alam agar tercipta nilai tambah di dalam negeri dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.
    Keempat, memperkuat regulasi sosial dan perlindungan rakyat agar pembangunan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan manusiawi.
    Langkah-langkah ini tidak menolak mekanisme pasar modern, melainkan menempatkannya dalam bingkai moral pembangunan: bahwa keterbukaan ekonomi dan persaingan global harus tunduk pada nilai nasional dan kepentingan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik kemarin, Prabowo dapat surat dari siswa hingga KRI Belati-622

    Politik kemarin, Prabowo dapat surat dari siswa hingga KRI Belati-622

    Jakarta (ANTARA) – Berbagai peristiwa politik kemarin (24/10) menjadi sorotan, mulai dari Prabowo dapat surat dari siswa SR, ucap terima kasih dan selamat ultah hingga KSAL sebut KRI Belati-622 jadi simbol modernisasi alutsista laut.

    Berikut rangkuman ANTARA untuk berita politik kemarin yang menarik untuk kembali dibaca:

    1. Prabowo dapat surat dari siswa SR, ucap terima kasih dan selamat ultah

    Presiden RI Prabowo Subianto mendapat surat dari salah satu siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) di Bandung Barat, Jawa Barat, yang berisi ucapan terima kasih atas pembangunan Sekolah Rakyat dan selamat ulang tahun.

    Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya melalui akun instagram resmi @sekretariat.kabinet yang diunggah Jumat, mendeskripsikan siswa SRMP II Bandung Barat, bernama Muhammad Daffa Rasyid menuliskan surat tersebut untuk Prabowo.

    “Sebuah titipan surat. Selembar kertas yang penuh makna. Dari Muhammad Daffa Raasyid, seorang siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama II Bandung Barat, untuk Presiden Prabowo,” kata Teddy seperti dikonfirmasi oleh Antara dalam pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    2. Ketua MPR: Usul Soeharto jadi pahlawan seharusnya tak jadi problem

    Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengemukakan usulan Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto untuk menjadi Pahlawan Nasional seharusnya tak lagi menimbulkan problem karena MPR sudah menyatakan Soeharto clear.

    “MPR kan pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan clear, dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR,” kata Muzani di Bandung, Jawa Barat, Jumat.

    Namun, Muzani menyerahkan sepenuhnya pemberian gelar pahlawan itu kepada Presiden Prabowo Subianto, termasuk tokoh-tokoh lainnya yang akan diberi gelar pahlawan.

    Baca selengkapnya di sini

    3. Jamu Lula dalam santap malam, Prabowo: Anda selalu bela kaum miskin

    Presiden RI Prabowo Subianto menjamu tamu negara Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva dan istri Rosangela (Janja) Lula da Silva dalam sebuah santap malam kenegaraan dan mengapresiasi Lula selalu membela kaum miskin.

    “Anda selalu membela kaum miskin. Anda selalu membela kaum lemah. Saya sendiri, rekan-rekan saya, partai saya, dan koalisi saya juga berkomitmen untuk selalu membela kaum miskin, membela rakyat, dan membela mereka yang tertindas. Karena itu, kita sangat dekat di hati,” kata Presiden Prabowo dalam sambutannya pada jamuan kenegaraan pada Kamis (23/10) malam, melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    4. KSAU terbangkan A400M, pesawat angkut baru punya Indonesia

    Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menerbangkan pesawat angkut baru milik TNI AU A400M pada Kamis (23/10).

    Proses uji terbang itu dilakukan langsung guna memastikan pesawat yang akan dimiliki TNI AU ini dalam kondisi baik.

    Dalam siaran pers resmi yang diterima Antara, Jumat, dijelaskan bahwa momen itu terjadi kala Tonny dan jajaran pejabat TNI AU mendatangi fasilitas Airbus Military Limitada Sociedad (AMSL) di Sevilla, Spanyol.

    Baca selengkapnya di sini

    5. KSAL sebut KRI Belati-622 jadi simbol modernisasi alutsista laut

    Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengungkapkan KRI Belati-622 merupakan simbol upaya modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) laut.

    “KRI Belati-622 merupakan realisasi dari program prioritas pembangunan TNI angkatan laut, yaitu modernisasi alutsista serta upaya pemenuhan kebutuhan alutsista TNI Angkatan laut,” kata Ali saat berada di kolinlamil Jakarta Utara, Jumat.

    KRI Belati-622 dianggap menjadi simbol modernisasi karena kapal cepat rudal (KCR) 60 meter ini memiliki satu kelebihan unik dibanding KRI lain yang dimiliki TNI AL yakni bermesin hybrid.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ahmad Muzani Bilang Tak Bermasalah

    Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ahmad Muzani Bilang Tak Bermasalah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengusulan nama Presiden ke-2 RI, Soeharto jadi Pahlawan Nasional menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak mempersoalkan pengusulan tersebut dengan alasan jejak masa lalunya saat berkuasa.

    Merespons pro dan kontra itu, Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menyebut pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden kedua RI, Soeharto sudah tak bermasalah.

    Alasannya, karena pencabutan nama eks Pangkostrad itu dalam TAP Nomor XI/MPR/1998.

    “Kalau dari sisi MPR, kan, pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan klir, dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR, sehingga seharusnya juga itu tidak menimbulkan problem lagi,” ujar Muzani kepada awak media seperti dikutip, Jumat (24/10).

    Namun, Sekretaris Dewan Pembina Gerindra itu menyerahkan kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto.

    Muzani merasa yakin Prabowo memiliki pertimbangan yang matang dalam memberikan seseorang gelar Pahlawan Nasional.

    “Jadi, saya kira tunggu bagaimana keputusan Presiden untuk memberi gelar Pahlawan Nasional ke tokoh yang dipilih,” ujarnya.

    Kementerian Sosial (Kemensos) mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh bisa memperoleh gelar Pahlawan Nasional pada Hari Pahlawan 10 November 2025 mendatang.

    Nama Soeharto bersama aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah dan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masuk usulan Kemensos.

    Mensos Saifullah Yusuf menyerahkan berkas usulan tersebut kepada Menteri Kebudayaan (Mnebud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta.

  • Konvensi DMDI, Ketua MPR Cerita soal Harmonisasi dan Perdamaian di Kawasan Negara Melayu – Page 3

    Konvensi DMDI, Ketua MPR Cerita soal Harmonisasi dan Perdamaian di Kawasan Negara Melayu – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ahmad Muzani mengungkap, catatan sejarah menggambarkan kawasan Melayu adalah pusat jalur dari perdagangan dunia. Menurut dia, dari sanalah muncul harmonisasi, toleransi dan masa depan ekonomi dunia.

    “Kawasan Melayu adalah kawasan yang sejak awal sangat menarik bagi perkembangan perdagangan. Di kawasan ini ratusan tahun bangsa-bangsa dari seluruh dunia bersinggah, berlayar dan melewati kawasan ini,” kata Muzani dalam pidato pembukanya di acara Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) ke-23 di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (24/10/2025).

    Muzani menambahkan, selain menjadi jalur dagang, kekayaan alam, kedamaian, dan keterbukaan masyarakat juga menjadi ciri utama di kawasan Melayu.

    “Inilah kawasan yang menjanjikan masa depan ratusan tahun yang lalu. Di kawasan ini berbagai macam tumbuhan subur, di kawasan ini berbagai macam kekayaan ada, dan di kawasan ini perdamaian dan ketenangan ditemukan. Itu sebabnya kawasan Melayu menjadi kawasan yang paling menarik dalam sejarah perdagangan-perdagangan dunia,” ujar Muzani.

    Muzani menjelaskan, dalam situasi tersebut Islam yang erat dengan masyarakat Melayu juga semakin berkembang sebagai agama yang mudah dipahami dan nyaman dijalankan, damai dan penuh toleransi.

    “Islam adalah agama yang dianut oleh kebanyakan atau mayoritas orang-orang Melayu. Tetapi Islam yang diterima oleh Melayu, Islam yang dianut oleh kita semua di dunia Melayu ini adalah Islam Rahmatanil Alamin. Islam yang menerima perbedaan, Islam yang menerima keyakinan-keyakinan yang berbeda, Islam yang menghormati dan Islam yang menghargai toleransi,” tutur Muzani.

    Karenanya, Konvensi dari Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) dapat diartikan sebagai upaya menjaga warisan harmoni dan persaudaraan. Dia pun menyerukan, pentingnya dukungan masyarakat terhadap stabilitas pemerintahan di masing-masing negara.

    “Yang di Indonesia, teruslah membantu Presiden Prabowo untuk menjaga stabilitas pemerintah Republik Indonesia. Yang di Malaysia, teruslah membantu Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk menjaga stabilitas pemerintah di Malaysia. Yang di Singapura sama, yang di Brunei sama, yang di Thailand sama, yang di Filipin sama, dan yang di negara-negara sama,” ajak Politisi Gerindra ini.

    “Jadi mudah-mudahan acara ini membawa berkah bagi kawasan kita, akan semakin maju, akan semakin moncar dunia Melayu yang akan datang,” imbuhnya menandasi.

     

  • Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Oktober 2025

    Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional Nasional 24 Oktober 2025

    Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Meski pro dan kontra mengemuka, Kementerian Sosial RI resmi turut mengusulkan nama Presiden Kedua RI, Soeharto, sebagai salah satu pahlawan nasional pada 21 Oktober 2025.
    Usulan tersebut diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan yang kini memegang mandat untuk menetapkan gelar pahlawan nasional atas usulan yang diberikan.
    Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, usulan Soeharto jadi ”
    National Hero
    ” sudah melalui proses panjang.
    Dia mengatakan, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dia terima sejak menjabat sebagai Menteri Sosial.
    “Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu,” kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
    Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebenarnya bukan kali pertama mencuat.
    Catatan
    Kompas.com
    , usulan ini juga pernah digaungkan oleh elit politik partai Golkar yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR-RI, Ade Komarudin pada 2016 silam.
    Ade mengatakan, Soeharto banyak berbakti pada bangsa, terllepas dari kekurangan yang ada.
    Wacana ini kemudian terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sempat menjadi dagangan politik untuk Partai Berkarya jelang pemilihan umum 2019.
    DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengikrar janji, jika partai pecahan Golkar itu masuk Senayan, maka usulan Soeharto jadi pahlawan nasional bisa diperjuangkan lebih kuat lagi.
    Kini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat. Partai Golkar konsisten mendukung usulan tersebut.
    Golkar yang besar dan dibesarkan Soeharto itu mendorong agar Soeharto bisa menjadi nama yang bersanding dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya karena memiliki jasa yang besar.
    “Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, Selasa (21/10/2025).
    Sarmuji menilai, generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.
    Dia menyebut, dulu, kondisi rakyat sebenarnya kesulitan pangan.
    “Dari kisah orangtua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ucap dia.
    Setelah Soeharto memimpin, ada perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.
    “Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan,” kata Sarmuji.
    Namun suara lantang penolakan Soeharto sebagai
    National Hero
    tak kalah konsisten, datang dari para pegiat HAM, aktivis, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
    Politikus PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar “hero” untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai ”
    villain
    “, penjahat, atau musuh dari pahlawan.
    Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.
    “Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
    Dia menilai pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.
    Guntur menyebut negara telah mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966 hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhan rezim pada 1998.
    “Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru saat itu,” tutur Guntur.
    Belum lagi usulan ini disejajarkan dengan para tokoh yang menentang Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto, seperti Marsinah, dan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    “Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru,” kata Guntur.
    Selain melanggar HAM, Soeharto secara spesifik disebut dalam TAP MPR 11/1998 atas perlakuan nepotisme dan tindakan korupsi.
    TAP MPR itu mengatakan:

    Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia
    ,”
    Namun TAP MPR tersebut kini telah berubah, dan nama Soeharto menghilang.
    Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pencabutan itu tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.
    Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto berkelindan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
    “Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan,” kata Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, Kamis.
    Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.
    “Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan,” ujar dia.
    Catatan Kompas.com, terdapat beberapa kejahatan kemanusiaan yang terjadi saat Soeharto memimpin. Pertama, kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985 dengan perintah langsung Soeharto untuk menghukum mati para bromocorah hingga preman tanpa proses peradilan.
    Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat bahwa korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
    Kedua, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987. Soeharto disebut menggunakan militer sebagai instrumen kebijakan politiknya.
    Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih dari 24 orang meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan.
    Ketiga, peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran paksa, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
    Keempat, peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang mencoba mendongkel Megawati sebagai Ketua DPP PDI saat itu.
    Peristiwa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.
    Kemudian, ada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang juga terjadi perkosaan massal, dan penculikan para aktivis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • HNW: Gen Z penting laksanakan prinsip “Darul Ahdi wa Syahadah”

    HNW: Gen Z penting laksanakan prinsip “Darul Ahdi wa Syahadah”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menekankan pentingnya peran generasi muda, khususnya Gen Z dalam melaksanakan prinsip Darul Ahdi wa Syahadah (Negara Perjanjian dan Negara Kesaksian) untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

    Demikian disampaikan HNW dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bertajuk “Mempersiapkan SDM Unggul Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DKI Jakarta di Aula FEB Uhamka Pasar Rebo, Jakarta Timur, Minggu (19/10).

    “Muhammadiyah memandang Indonesia sebagai Darul Ahdi wa Syahadah (Negara Perjanjian dan Negara Kesaksian). Artinya, tidak ada lagi keraguan. Tugas kita, para pemuda dan mahasiswa Muhammadiyah adalah melanjutkan dan menjaga perjanjian ini serta memberikan kesaksian (syahadah),” ujar HNW dikutip dari keterangan tertulis diterima, Kamis (23/10) malam.

    HNW menyebutkan dua poin penting yang harus dipegang teguh oleh Gen Z, khususnya IMM, yakni menjaga perjanjian dan kesaksian.

    Dalam hal ini, peserta harusnya berada di garda terdepan memahami dan melaksanakan kesepakatan nasional yang oleh MPR dikemas menjadi empat pilar MPR RI, juga memberikan kesaksian dengan senantiasa mengingatkan masyarakat dan penyelenggara negara bila terjadi penyimpangan dari kesepakatan dasar itu bahwa ideologi negara kita adalah Pancasila.

    Hal itu dilakukan agar semua pihak segera kembali ke jalan kebenaran berbangsa dan bernegara, dengan berani mengoreksi penyimpangan, dalam hal ini peran kesaksian sangat vital, terutama ketika terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila.

    Tidak hanya itu, HNW juga menyoroti potensi ancaman jika penyimpangan dalam menerapkan Pancasila dibiarkan, di antaranya mengaku Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi anti-agama atau juga mengaku ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, tetapi membiarkan hukum tidak manusiawi dan perilaku tidak beradab.

    Selain itu, mengakui Persatuan Indonesia, tetapi kesukaannya malah memecah belah anak bangsa antara yang kebangsaan dan keagamaan. Termasuk, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, tetapi didominasi oleh sikap pendiktean dan pengabaian musyawarah.

    Terakhir, Keadilan Sosial, tetapi orientasinya hanya untuk kelompoknya saja atau oligarki tertentu.

    “Jika penyimpangan ini dibiarkan, kita akan sulit membayangkan Indonesia Emas 2045. Yang muncul justru adalah kecemasan dan kelemahan, yang tidak akan menghadirkan keemasan,” ucapnya.

    Lebih lanjut, HNW juga menyoroti perlunya mengoreksi framing negatif terhadap Gen Z yang kerap digambarkan sebagai generasi antisosial, antiproses, dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

    Menurutnya, pelabelan semacam itu tendensius dan tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga berpotensi mengabaikan potensi besar yang dimiliki anak muda masa kini.

    “Itu adalah framing yang tidak benar dan bertentangan dengan konsep Darul Ahdi wa Syahadah yang sudah diputuskan oleh Muhammadiyah. Buktinya, kawan-kawan IMM ini menunjukkan dedikasi gen Z yang luar biasa. Mereka sejak beberapa hari ini aktif dalam berbagai kegiatan positif. Itu artinya, mereka fakta tentang Gen Z yang benar, tidak sebagaimana di-framing-kan itu,” jelasnya.

    Ia menegaskan bahwa Gen Z seperti dicontohkan oleh IMM justru menunjukkan kepedulian tinggi terhadap isu-isu sosial, lingkungan, dan kemanusiaan melalui berbagai bentuk kreativitas dan aksi nyata di ruang digital maupun lapangan.

    Untuk itu, ia meminta agar masyarakat dan para pemangku kebijakan melihat generasi ini dengan perspektif yang lebih adil dan konstruktif serta memberi ruang bagi mereka untuk berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa.

    Selain itu, ia juga mendorong mahasiswa untuk meneladani tokoh-tokoh bangsa dari Muhammadiyah yang terlibat langsung dalam perumusan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, MR Kasman Singodimejo serta Presiden Pertama RI Soekarno (Bung Karno) yang juga tokoh Muhammadiyah.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR Dorong Semua Pihak Bergerak Hadapi Perubahan Iklim: Sudah Tak Ada Waktu Lagi – Page 3

    MPR Dorong Semua Pihak Bergerak Hadapi Perubahan Iklim: Sudah Tak Ada Waktu Lagi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menyampaikan, Indonesia Climate Change Forum (ICCF) 2025 menjadi titik temu dan ruang dialog inklusif antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat sipil, pemuda, dan komunitas lokal dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim.

    Menurut dia, forum tersebut menjadi Call to Action bahwa krisis iklim sudah terjadi di depan mata dan bukan di masa depan

    “Krisis iklim terjadi hari ini di sekitar kita. Karena itu tidak ada waktu lagi, aksi iklim harus dimulai saat ini, Climate Action Starts Now!,” ujar Eddy saat menutup gelaran ICCF, seperti dikutip dari keterangan pers, Kamis (23/10/2025).

    Eddy melanjutkan, bagi MPR, Forum ICCF adalah implementasi nilai konstitusi dalam menjaga hak atas lingkungan hidup yang sehat sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat 1.

    “Kami di MPR RI yakin dan percaya, pesan Prof. Emil Salim ‘Satu Bumi untuk semua generasi’ harus menjadi kompas moral sekaligus panduan bagi pegiat iklim, pengambil kebijakan hingga entitas bisnis dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim,” terang dia.

    Eddy mencatat, salah satu rekomendasi utama dalam ICCF adalah mendorong peran aktif Indonesia dalam COP 30 sebagai upaya kolaborasi global dalam menghadapi dampak krisis iklim.

    Selain itu, lanjut dia, forum ICCF juga sejalan dengan upaya MPR RI untuk mendorong Indonesia dan Presiden Prabowo untuk menjadi Climate Leader dengan mengambil inisiatif kepemimpinan global dalam aksi iklim.

     

    Tingginya polusi udara Jakarta dan sekitarnya beberapa waktu lalu, disusul kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah saat ini, adalah bagian dari lingkaran setan krisis iklim yang dihadapi dunia. Indonesia dicap sebagai salah satu kontributor besa…

  • Forum Iklim 2025 Ditutup, Tekankan Aksi Iklim Tak Bisa Ditunda

    Forum Iklim 2025 Ditutup, Tekankan Aksi Iklim Tak Bisa Ditunda

    Jakarta

    Rangkaian Indonesia Climate Change Forum 2025 (ICCF 2025) resmi berakhir pada Kamis (23/10). Forum tersebut dihadiri sejumlah pejabat pemerintah, pelaku usaha energi terbarukan, hingga pegiat iklim.

    Dalam pidato penutupan, Wakil Ketua MPR sekaligus inisiator ICCF Eddy Soeparno menyebut forum ini menjadi ruang dialog berbagai pihak dalam merespons dampak perubahan iklim.

    “Forum ini menjadi Call to Action bahwa krisis iklim sudah terjadi di depan mata kita, bukan lagi di masa depan tapi terjadi hari ini di sekitar kita. Karena itu tidak ada waktu lagi, aksi iklim harus dimulai saat ini, Climate Action Starts Now!” kata Eddy dalam keterangannya, Rabu (23/10/2025).

    Ia mengatakan, bagi MPR RI forum ini merupakan implementasi amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat 1 tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat.

    “Kami di MPR RI yakin dan percaya, pesan Prof. Emil Salim ‘Satu Bumi untuk semua generasi’ harus menjadi kompas moral sekaligus panduan bagi pegiat iklim, pengambil kebijakan hingga entitas bisnis dalam upaya menghadapi dampak perubahan iklim,” lanjutnya.

    Salah satu rekomendasi forum ini adalah mendorong Indonesia mengambil peran lebih aktif dalam COP 30. Eddy juga mendorong Indonesia mengambil posisi kepemimpinan global terkait aksi iklim.

    “Sejalan dengan itu melalui forum ICCF ini sejalan dengan upaya kami di MPR untuk mendorong Indonesia dan Presiden Prabowo untuk menjadi Climate Leader dengan mengambil inisiatif kepemimpinan global dalam aksi iklim,” ujarnya.

    Ia juga menyoroti pembahasan pengelolaan sampah melalui pendekatan teknologi termasuk waste to energy sesuai Perpres No. 109 Tahun 2025.

    “Kami di MPR terus berkolaborasi dengan walikota dan kepala daerah serta Kementerian terkait untuk memastikan pendekatan waste to energy ini bisa secara signifikan mengurangi masalah sampah dan di saat yang sama menjadi sumber energi terbarukan,” tuturnya.

    Eddy menutup forum dengan menekankan pentingnya kolaborasi multipihak dalam aksi iklim.

    “Forum ini mengingatkan kita bahwa masa depan hanya bisa dijaga bila semua pihak berjalan bersama. ICCF sekali lagi Adalah call to action bahwa bahwa aksi iklim tidak menunggu besok tapi harus dimulai hari ini.”

    “Pesan Prof, Emil satu Bumi untuk semua generasi harus menjadi kompas moral bagi pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat sipil,” kata Eddy.

    (fdl/fdl)