Demokrasi Lunglai, Partai Teralienasi
Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
KEMEROSOTAN
demokrasi di Indonesia sudah terjadi dan terpantau sejak beberapa waktu terakhir. Misalnya, terlihat dari indeks demokrasi Indonesia hasil perhitungan The Economist Intelligence Unit (EIU).
Sejak tahun 2022 hingga 2024, demokrasi Indonesia terus menunjukkan tren penurunan. Dari 6,71 pada 2022 menjadi 6,5 pada 2023, dan 6,44 pada 2024 dan berada dalam kategori demokrasi cacat (
flawed democracy
).
V-Dem Institute dalam laporan “Democracy Report 2025” menempatkan Indonesia dalam katagori
electoral autocracies
dan meninggalkan kluster “electoral democracies.”
“Electoral autocracies” dimaknai sebagai sistem pemilu multipartai berlangsung, tapi tidak mencukupi prasyarat minimal untuk terciptanya kebebasan berpendapat dan kebebasan serta keadilan Pemilu.
Tren penurunan ini diperkirakan akan terus terjadi menyusul
DPR
meloloskan
revisi UU TNI
yang memberikan ruang lebih besar pada TNI untuk menempati jabatan sipil.
Pada UU TNI sebelumnya jumlah jabatan sipil yang diperbolehkan hanya sepuluh, kini dilebarkan menjadi 15 posisi, termasuk posisi di Mahkamah Agung dan Jaksa Agung.
Sayangnya, DPR tidak menyentuh reformasi peradilan militer yang disyaratkan Ketetapan MPR. Meski menduduki jabatan sipil, prajurit TNI berada dalam lingkup peradilan militer.
Partai
politik seakan kehilangan legitimasinya di mata rakyat. Partai politik seakan teralienasi dengan kehendak rakyat.
Situasi dibuktikan dengan maraknya unjuk rasa tanpa henti menolak revisi UU TNI sampai ke kota-kota kecil, seperti Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, Bojonegoro, Tuban. Unjuk rasa bahkan terus berlangsung di bulan puasa.
Memang menjadi pertanyaan publik: mengapa revisi UU TNI harus dipaksakan diselesaikan dengan target waktu tertentu? Siapa sebenarnya yang mendapat keuntungan?
Kini, mulai muncul gejala aksi tandingan. Pro dan kontra revisi UU TNI bisa mengarah pada konflik horizontal sebagaimana pernah terjadi pada 1998.
Di Jakarta dan Yogyakarta, ibu-ibu turun ke lapangan dengan nama Suara Ibu Indonesia. Guru besar Universitas Indonesia Prof Dr Sulistyowati Irianto antara lain ikut turun ke jalan mengecam aksi kekarasan yang dilakukan aparat terhadap pengunjuk rasa.
Tren teralienasinya
partai
politik dengan pemilihnya menunjukkan oligarki tumbuh kuat di tubuh partai politik.
Partai politik sangat tergantung pada ketua umum partainya dan menghilangkan suara-suara anggota partai politik, apalagi suara rakyat.
Kepentingan rakyat telah ditinggalkan ketika partai politik berhasil meraih suara rakyat dan duduk di parlemen.
Situasi seperti sekarang seakan mengarah pada industrialisasi politik. Partai politik dikelola sebagaimana korporasi di mana ketua umum partai adalah Chief Executive Officer (CEO), bisa berunding menempatkan anggotanya sebagai menteri, duta besar ataupun komisaris BUMN.
Gejala elitisme di tubuh partai politik mempertontonkan oligarki di dalam partai politik. Sistem kepartaian telah menciptakann elitisme yang ditandai terputusnya hubungan antara wakil rakyat dan rakyat, penerima mandat dan pemberi mandat, pemilih dan yang dipilih.
Tren ini telah dibaca Robert Michel pada 1911 dalam buku “Iron Law of Oligarchy”. Tren ini mengingatkan pada perkataaan Louis XIX di Perancis, “negara adalah aku”. Jika Raja telah bersabda, maka semua panglima akan bekerja untuknya.
Ketika dalam tubuh partai politik terbangun elitisme, di dalam lembaga DPR pun terbangun, super elite, sosok yang sangat berkuasa dan menguasai pimpinan partai-partai politik lain.
Sosok ini telah “menguasai” anggota-anggota DPR untuk tunduk dan patuh menggolkan agenda legalisme otokratis.
Legalisme otokrasi adalah upaya merekayasa penyelenggaraan negara melalui mekanisme hukum sebagaimana diteorikan Letvisky dan Ziblatt, dua guru besar Harvard University dalam buku
How Democracies Die
.
Undang-undang yang diproduksi semata-mata disiapkan agar kekuasaan bisa mengkonsolidasikan dirinya. Itu tampak jelas dengan disahkannya UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU BUMN, dan UU TNI.
Sementara UU Perampasan Aset yang dituntut publik tidak mendapatkan tempat di mata elite partai politik karena tidak menguntungkannya. Stasiun televisi bahkan harus mengoreksi diskusi soal UU Perampasan Aset.
Situasi politik seperti sekarang tercipta karena praktik demokrasi “doltinuku” atau “demoracy for sale” yang diteorikan Aspinall.
Kelemahan elite partai politik yang terkait dengan kasus hukum, justru menjadi alat sandera politik untuk kepentingan kekuasaan.
Publik masih ingat bagaimana elite politik tersangkut kasus hukum tetap aman-aman saja, sejauh berada dalam lingkup kekuasaan.
Namun sebaliknya, mereka yang bersuara keras, tapi punya cacat hukum, harus berhadapan dengan hukum.
Praktik seperti ini pernah dilakukan Oscar Bonavides, diktator Peru, 1933-1939. “For my friends, everything. For my enemies, the law.” (Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum).
Bukankah situasi itulah yang sedang dihadapi bangsa ini? Bangsa yang tengah berada di simpang jalan, antara negara kekuasaan dan negara demokrasi konstitusional?
Pemimpin populis melakukan apa yang Thomas Power (2020: 298) atau Nancy Bermeo (2016) sampaikan dalam jurnal “Democracy Backsliding” sebagai
the executive weaponization of law enforcement
.
Penegakan hukum sebagai senjata politik oleh kekuasaan eksekutif dilaksanakan sepenuhnya dengan sangat selektif.
Terhadap elite politik yang mau beraliansi dengan pemimpin populis, hukum tidak ditegakkan sekalipun mereka berlumuran dengan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Asalkan loyal dan tunduk pada kehendak kekuasaan, mereka memperoleh proteksi hukum.
Terjadinya disfungsi partai politik tercermin pada kemandulan DPR sebagai lembaga pengawas. DPR seakan menutup mata maraknya unjuk rasa yang disertai dengan kekerasan.
DPR seakan tak melihat bagaimana praktik rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris BUMN, didiamkan padahal jelas-jelas melanggar UU Kementerian Negara.
Entah apa tafsir DPR terhadap pasal 23 UU Kementerian Negara yang dirumuskan DPR sebagai berikut:
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Berapa banyak menteri atau wakil menteri yang rangkap jabatan? Dan, mengapa DPR diam saja?
Apakah DPR tidak mempunyai data yang sudah sangat terbuka atau memang pura-pura tidak tahu karena ada konflik kepentingan di dalam tubuhnya?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: MPR RI
-
/data/photo/2025/03/27/67e53b5e36295.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Iwakum Kecam Tindakan Aparat yang Geledah Jurnalis Kompas.com Saat Liput Demo Tolak UU TNI
Iwakum Kecam Tindakan Aparat yang Geledah Jurnalis Kompas.com Saat Liput Demo Tolak UU TNI
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengecam tindakan aparat kepolisian yang mengintimidasi jurnalis
Kompas.com
, Rega Almutada (23), saat meliput demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Kamis (27/3/2025).
Tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat berpakaian sipil berupa penggeledahan barang milik jurnalis dinilai sebagai ancaman terhadap kebebasan pers.
“Kami mengecam keras tindakan penggeledahan yang dilakukan terhadap jurnalis
Kompas.com
. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap kebebasan pers, tetapi juga ancaman terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan transparan,” kata Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil dalam keterangannya, Jumat (28/3/2025).
Kecaman ini sekaligus mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk segera mengusut tuntas insiden ini dan memberikan sanksi kepada aparat yang terlibat.
Selain itu, Kamil juga meminta Kapolri untuk mengevaluasi kinerja para personelnya agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
“Kapolri harus segera mengevaluasi jajarannya, terutama aparat yang bertugas di lapangan, agar kejadian serupa tidak kembali terjadi. Jurnalis harus dilindungi, bukan malah diintimidasi saat menjalankan tugasnya,” ujar Kamil.
Perlu diketahui, Rega sedang menjalankan tugas peliputan dengan dilengkapi kartu pers saat meliput aksi demonstrasi masyarakat yang menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Namun, hal tersebut tampaknya diabaikan oleh dua aparat yang terlibat, dan Rega diperlakukan secara semena-mena.
Sebelumnya diberitakan, jurnalis
Kompas.com
Rega Almutada (23) mengalami intimidasi saat melakukan tugas peliputan aksi unjuk rasa tolak UU TNI di depan Gedung MPR/DPR RI, Kamis (27/3/2025).
Insiden tersebut terjadi sekitar pukul 18.35 WIB, ketika aparat kepolisian tengah menyisir dan membubarkan massa menggunakan mobil
water cannon
.
Dua orang berpakaian sipil yang diduga aparat tiba-tiba menarik tubuh Rega dan memaksa memeriksa isi ponselnya.
Aplikasi WhatsApp Rega diperiksa secara menyeluruh di kedua ponsel yang dibawanya untuk kebutuhan kerja dan milik pribadi.
“Tiba-tiba saya ditarik dari belakang, di pundak dan baju saya, cukup kencang. Saya kaget karena posisi saya sedang merekam dan tidak menyangka akan ditarik seperti itu,” ucap Rega, Jumat (28/3/2025).
Selain Rega, insiden serupa juga dialami oleh seorang jurnalis dari media asing.
Dua wartawan dari media Russia Today diminta untuk mematikan kamera mereka saat meliput.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/03/27/67e527b907ef9.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penggeledahan Paksa Jurnalis Kompas.com di Aksi Tolak UU TNI, Komnas HAM: Bentuk Kesewenangan Aparat Nasional 28 Maret 2025
Penggeledahan Paksa Jurnalis Kompas.com di Aksi Tolak UU TNI, Komnas HAM: Bentuk Kesewenangan Aparat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia
(
Komnas HAM
) menegaskan bahwa penggeledahan paksa barang-barang pribadi milik jurnalis Kompas.com oleh aparat berpakaian sipil adalah perbuatan yang melanggar hukum.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, penggeledahan yang dilakukan aparat seharusnya memiliki prosedur yang jelas, bukan asal main geledah, terlebih saat jurnalis sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“Penggeledahan yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang jelas itu juga tidak bisa dilakukan karena melanggar hukum, apalagi data-data pribadi juga tidak bisa kemudian diperiksa begitu saja tanpa ada mekanisme yang jelas melalui proses hukum yang ada di Indonesia,” kata Anis, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/3/2025).
“Karena itu juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan aparat,” ujarnya lagi.
Atas kejadian itu, Komnas HAM mengecam dan menyesalkan sikap aparat yang brutal dan tidak menghormati kerja-kerja jurnalis.
Dia menyebut, tindakan tidak profesional aparat tersebut adalah gangguan terhadap
hak asasi manusia
(HAM), yang seharusnya dilindungi oleh negara.
“Kami mendorong dalam merespons aksi-aksi demonstrasi yang terjadi hari-hari ini karena penolakan UU TNI, aparat mesti menunjukkan sikap yang profesional, anti kekerasan, dan tidak melakukan intimidasi terhadap jurnalis dalam melakukan kerja-kerjanya dalam meliput aksi demonstrasi yang terjadi karena penolakan UU TNI,” kata dia.
“Kami (juga) mendorong ke depan pemerintah lebih menjamin dan melindungi jurnalis,” tambah Anis.
Sebelumnya, Rega Almutada (23), seorang jurnalis Kompas.com, mengalami intimidasi saat meliput demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, pada Kamis (27/3/2025).
Insiden tersebut terjadi sekitar pukul 18.35 WIB, ketika aparat kepolisian tengah menyisir dan membubarkan massa menggunakan mobil water cannon.
Rega mengaku ditarik secara tiba-tiba oleh dua orang berpakaian sipil yang diduga merupakan aparat.
Mereka kemudian memeriksa isi ponselnya tanpa alasan yang jelas.
Setelah ditarik, kedua orang tersebut meminta Rega untuk menunjukkan isi ponselnya.
Meskipun Rega telah menunjukkan kartu pers dari Kompas.com, mereka tetap memeriksa isi galeri dan grup WhatsApp di ponselnya.
“Saya punya dua ponsel, satu untuk kerja dan satu pribadi. Dua-duanya dicek. Bahkan grup WhatsApp kantor saya di-scroll, termasuk grup keluarga dan teman-teman,” kata Rega.
Rega menambahkan bahwa aparat yang memeriksanya tidak mengenakan seragam dan tidak memperkenalkan diri sebagai polisi.
Awalnya, ia mengira mereka adalah peserta aksi atau wartawan lain.
“Saya baru sadar mereka aparat karena postur tubuhnya, dan mereka begitu saja menarik saya. Mereka tidak membawa senjata, tapi cara mereka mendekati saya cukup membuat saya terkejut,” ujar dia.
Selain Rega, insiden serupa juga dialami oleh seorang jurnalis dari media asing.
Dua wartawan dari media Russia Today diminta untuk mematikan kamera mereka saat meliput.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pimpinan MPR komitmen tingkatkan pembahasan konstitusi pro lingkungan
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyatakan komitmennya untuk terus mengkaji lebih jauh dan meningkatkan pembahasan usulan terkait dengan penerapan environmental constitution (konstitusi lingkungan hidup) yang pro pada lingkungan.
“Karena itu usulan environmental constitution yang pro lingkungan hidup ini akan kami kaji lebih lanjut dan tingkatkan pembahasannya bersama pimpinan MPR lainnya,” kata Eddy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Eddy menyampaikan hal itu saat menerima audiensi dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), yang dipimpin oleh mantan Wakil Ketua KPK sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI) Mas Achmad Santosa.
“Prinsipnya adalah selama berkaitan dengan kebaikan masyarakat dan memenuhi lingkungan hidup yang sehat untuk masyarakat maka regulasi atau undang-undang itu menjadi relevan dan penting,” ujarnya.
Setiap cabang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, kata dia, memiliki peran penting dalam upaya menjaga dan merawat lingkungan hidup.
Dalam konteks isu lingkungan hidup, pihaknya sebagai pimpinan MPR RI menjalankan amanat konstitusi Pasal 28 H Ayat (1) tentang hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan layak.
Selaku pimpinan MPR RI, dia akan terus mendorong akselerasi transisi energi untuk memperkuat ketahanan energi sesuai dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto.
“Indonesia berlimpah dengan sumber energi terbarukan dan sumber energi fosil. Namun, sayangnya kebutuhan energi nasional masih bergantung pada impor,” tuturnya.
Ia lantas berkata, “Karena itu sebagai pimpinan MPR saya mendukung penuh visi Presiden Prabowo agar Indonesia memiliki ketahanan energi dan memanfaatkan keberlimpahan sumber energi untuk kesejahteraan rakyat.”
Sementara itu, Mas Achmad Santosa menyampaikan perihal urgensi penerapan environmental constitutionalism dalam arah kebijakan negara.
Diutarakan pula dibutuhkan langkah-langkah perbaikan paradigmatik pada sektor ekonomi, pemerintahan, hingga penegakan hukum dalam kaitannya dengan isu lingkungan hidup.
“Kami memperhatikan dan mengikuti bahwa Pak Eddy Soeparno adalah pimpinan MPR yang sangat fokus pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, kami menyampaikan urgensi penerapan ecological constitutionalism dengan harapan agar isu-isu lingkungan hidup menjadi prioritas dalam kebijakan,” kata dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025 -

MPR: Butuh kreativitas dan kolaborasi untuk tingkatkan literasi rakyat
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, mengatakan dibutuhkan beragam kreativitas dan kolaborasi dengan lebih banyak pihak untuk mendapatkan hasil yang signifikan dalam meningkatkan gemar membaca di kalangan masyarakat.
Untuk itu, kolaborasi yang kuat antara para pemangku kepentingan dan masyarakat harus terus diwujudkan untuk mendorong peningkatan literasi masyarakat di tanah air.
“Berbagai upaya kreatif untuk meningkatkan literasi masyarakat melalui sejumlah program yang mendorong agar masyarakat gemar membaca harus terus dilakukan di tengah sejumlah keterbatasan yang kita hadapi saat ini,” kata Lestari dalam keterangannya di Jakarta, Kamia.
Adapun di tengah suasana mudik, pada Rabu (26/3), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Muti membagikan buku untuk para pemudik di Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Langkah tersebut merupakan bagian dari
Program Mudik Asyik Baca Buku (MABB) 2025 yang berlangsung pada 26–27 Maret 2025 di berbagai titik keberangkatan mudik.Publikasi Hasil Kajian Perpustakaan Indonesia Tahun 2024, yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Indonesia (Perpusnas RI) dan PT Indekstat Konsultan Indonesia pada akhir tahun lalu mengungkapkan bahwa kegemaran membaca masyarakat Indonesia menunjukkan tren positif.
Tingkat Gemar Membaca (TGM) masyarakat Indonesia pada 2024 berada pada poin 72,44. Capaian itu meningkat jika dibandingkan tahun lalu yang hanya 66,70. Meski meningkat, capaian TGM pada 2024 masih masuk kategori sedang.
Lestari berharap upaya untuk mewujudkan gemar membaca menjadi sebuah gerakan yang dapat melibatkan semua pihak, sehingga berdampak lebih luas.
Lestari yang juga anggota Komisi X DPR RI dari dapil II Jawa Tengah itu menilai upaya meningkatkan gemar membaca masyarakat merupakan langkah strategis untuk mendorong peningkatan literasi masyarakat di berbagai sektor.
Dengan semakin baik literasi, masyarakat diharapkan dapat memahami sejumlah tantangan yang dihadapi bangsa ini, sehingga dapat ikut berperan aktif dalam mengatasi sejumlah tantangan tersebut.
Wakil rakyat yang membidangi pendidikan, olahraga, dan riset itu berharap para pemangku kepentingan dapat menciptakan sejumlah kreativitas untuk meningkatkan minat baca masyarakat dengan memanfaatkan potensi kearifan lokal yang dimiliki seperti Taman Bacaan Masyarakat yang tersebar di sejumlah daerah.
Ia meyakini dengan keterlibatan semua pihak, upaya peningkatan kegemaran membaca masyarakat dapat lebih masif dan diharapkan mampu meningkatkan literasi setiap warga negara.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Azhari
Copyright © ANTARA 2025 -

Wakil Ketua MPR dukung sekolah rakyat tingkatkan kesetaraan pendidikan
Semoga sebarannya terus meluas hingga ke berbagai daerah sehingga kita bisa sama-sama mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045.
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas mendukung program Sekolah Rakyat sebagai upaya untuk kesetaraan pendidikan dengan menghasilkan pendidikan yang unggul, adil, dan berkualitas.
Ibas berharap program ini bisa sampai ke tengah masyarakat dan jumlahnya terus bertambah sehingga dapat menjangkau secara meluas hingga ke pelosok. Hal ini mengingat program tersebut adalah gebrakan bagi sistem pendidikan Indonesia.
“Negara hari ini juga memperhatikan dan membuat satu program baik dan harus terus kita uji supaya sampai di hadapan masyarakat, yaitu program Sekolah Rakyat,” kata Ibas dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Wakil rakyat ini menjelaskan bahwa sekolah rakyat yang diadakan oleh Presiden RI Prabowo Subianto adalah sekolah untuk anak-anak dengan asrama yang disiapkan secara gratis.
Disebutkan ada 53 titik yang akan dibangun untuk sekolah rakyat yang disiapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Sosial.
Menurut dia, pemerintah daerah bisa menyediakan lahannya untuk pembangunan sekolah rakyat, yang kemungkinan membutuhkan 5 hektare. Selanjutnya pembangunan akan dilakukan oleh pemerintah pusat oleh dua kementerian itu.
Ia mengharapkan kualitas pendidikan Indonesia bisa meningkat hingga terwujudnya Indonesia Emas 2045. Pasalnya, pendidikan yang unggul dan berkualitas bisa didapatkan oleh masyarakat tanpa dibebani biaya.
“Semoga sebarannya terus meluas hingga ke berbagai daerah sehingga kita bisa sama-sama mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045,” katanya.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025
/data/photo/2025/03/29/67e80c47da9d4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2025/03/27/67e520057df8c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5176206/original/078193500_1743067442-06c78267-de25-4324-b343-befef8b98161.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)