Kementrian Lembaga: MPR RI

  • Pimpinan MPR tegaskan komitmen Indonesia untuk transisi energi

    Pimpinan MPR tegaskan komitmen Indonesia untuk transisi energi

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk menjadi pemimpin dunia dalam percepatan transisi energi dan dekarbonisasi dalam KTT Iklim Pemimpin Dunia yang dikenal dengan Conference of the Parties (COP 30) di Brazil.

    “COP 30 menjadi ajang penting untuk menyampaikan komitmen Indonesia kepada pemimpin-pemimpin dunia untuk akselerasi transisi energi sekaligus mempercepat target dekarbonisasi. Hal ini adalah komitmen yang berulang kali disampaikan beliau Presiden Prabowo dalam berbagai forum pertemuan pemimpin dunia,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Dalam KTT tersebut, Eddy akan menjadi pembicara dalam tiga kesempatan, antara lain di Asia Climate Solutions Pavilion dan juga di event yang diselenggarakan Paviliun Indonesia.

    Beberapa tema yang akan dibahas Eddy adalah karbon sebagai pilar ekonomi baru dan peluang Indonesia sebagai produsen Sustainable Aviation Fuel (SAF) kelas dunia.

    Eddy menjelaskan sebagai bagian dari delegasi Indonesia yang dipimpin Utusan Khusus Presiden bidang Iklim Hashim Djojohadikusumo, ia akan menjelaskan komitmen Indonesia untuk melakukan akselerasi atau percepatan transisi energi.

    Eddy menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang dapat menjadi modal besar dalam transisi menuju ekonomi hijau. Dengan luas kawasan kehutanan mencapai 126 juta hektare—terbesar ketiga di dunia—dan 3,3 juta hektare hutan mangrove, Indonesia disebut berkomitmen mengoptimalkan potensi energi baru dan terbarukan.

    “Diantara poin yang penting disampaikan nanti adalah mendukung kepemimpinan Presiden Prabowo sebagai climate leader dalam aksi iklim global,” ujarnya.

    Lebih lanjut Eddy menjelaskan, di forum yang dihadiri stakeholders dari berbagai negara tersebut, ia akan menyampaikan potensi Indonesia dalam pengembangan ekonomi karbon sebagai pilar ekonomi baru di Indonesia.

    “Perpres ini menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto dalam membangun pasar karbon berintegritas tinggi guna mendukung pertumbuhan hijau,” ujarnya.

    Dalam kesempatan bicara di forum COP 30 nanti, Doktor Ilmu Politik UI ini juga menyampaikan bahwa saat ini Indonesia juga terus membahas beberapa RUU krusial dalam upaya percepatan energi terbarukan. Beberapa RUU itu diantaranya RUU Energi Baru dan Terbarukan dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim.

    “Kami ingin menyampaikan juga bahwa legislatif di Indonesia mendorong percepatan akselerasi energi terbarukan,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ibas: Indonesia bisa jadi jembatan untuk terciptanya perdamaian dunia

    Ibas: Indonesia bisa jadi jembatan untuk terciptanya perdamaian dunia

    “Kemajuan sejati terjadi ketika kita bekerja bersama, baik di bidang pendidikan, budaya, teknologi hijau, hingga pembangunan ekonomi yang inklusif,”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) mengatakan Indonesia harus berperan sebagai jembatan peradaban dunia dalam upaya memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan kolaborasi global.

    Hal tersebut disampaikan Ibas dalam pidato pembuka World Peace Forum ke-9, yang digelar di Gedung MPR RI, Jakarta, dengan tema “Indonesia as a Bridge of Civilizations: From Dialogue to Global Collaboration, Strengthening Values and Creating Harmony” seperti dikutip siaran pers resmi yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

    “Kemajuan sejati terjadi ketika kita bekerja bersama, baik di bidang pendidikan, budaya, teknologi hijau, hingga pembangunan ekonomi yang inklusif,” ujar Ibas dalam siaran pers tersebut.

    Menurut Ibas, Indonesia memiliki modal kuat dalam menerapkan konsep memelihara perdamaian antar umat.

    Modal kuat itu muncul dari suasana harmonis dan sikap toleransi antar umat beragama, suku dan ras yang telah terjalin di Indonesia hingga saat ini.

    “lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa daerah yang bersatu dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika,” kata dia.

    Melalui politik luar negeri “Seribu Kawan, Tanpa Musuh” (Thousand Friends, Zero Enemy), Indonesia berperan aktif sebagai jembatan antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat, Dunia Islam dan Dunia Barat.

    “Kami tidak mengklaim punya semua jawaban, tapi kami berkomitmen untuk terus belajar, berbagi, dan berjalan bersama komunitas global menuju perdamaian dan saling pengertian,” tutur Ibas.

    Ibas melanjutkan, status Indonesia sebagai negara muslim terbesar di Indonesia juga mendukung untuk penguatan Wasatiyyat Islam (Islam yang moderat, adil, dan penuh kasih sayang) sebagai agenda global.

    Ia menyampaikan bahwa Indonesia telah membahas hal ini dalam pertemuannya dengan Sekretaris Jenderal OKI di Jeddah pada Desember 2024.

    “Dunia membutuhkan Islam yang membawa kedamaian, bukan ketakutan. Islam yang menumbuhkan harapan, bukan perpecahan,” tegasnya.

    Dengan status negara muslim yang mampu memelihara kerukunan penduduk dengan lintas ras, agama dan budaya, Ibas yakin Indonesia dapat menjadi jembatan untuk menyebarkan perdamaian dunia

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ibas tegaskan RI jadi jembatan perdamaian dunia di World Peace Forum

    Ibas tegaskan RI jadi jembatan perdamaian dunia di World Peace Forum

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas menegaskan bahwa Indonesia siap menjadi jembatan perdamaian dunia ketika berbicara dalam World Peace Forum ke-9 yang dihelat di Jakarta.

    Ibas, sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan kelompok etnis dan ratusan bahasa, tetapi masyarakat hidup dalam persatuan.

    “Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa, namun kami berdiri sebagai satu bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kami berkomitmen menjembatani perbedaan demi perdamaian dan kemanusiaan,” kata dia.

    Indonesia, imbuh Ibas, terus mengedepankan politik luar negeri “seribu teman, nol musuh” sebagai bentuk diplomasi aktif dan terbuka terhadap semua pihak.

    Ia menekankan pentingnya menjadikan dialog antarbangsa tidak hanya sebagai ajang pertukaran ide, tetapi juga sebagai dasar aksi nyata untuk mengatasi tantangan global, seperti disinformasi, krisis kemanusiaan, perubahan iklim, hingga ketidakadilan sosial.

    Di sisi lain, Ibas juga mengutarakan urgensi memperkuat nilai-nilai dasar yang menjadi panduan bersama, termasuk Pancasila, moderasi beragama, serta nilai-nilai budaya ketimuran yang menekankan harmoni dan tanggung jawab.

    World Peace Forum ke-9 dengan tema “Considering Wasatiyyat and Tionghoa for Global Collaboration” dibuka pada Senin (10/11). Pembukaan berlangsung di Gedung Nusantara V, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

    Dalam kesempatan itu, Ibas turut mengajak seluruh peserta untuk menjadikan World Peace Forum sebagai momentum memperkuat kerja sama antarbangsa demi mewujudkan dunia yang damai, adil, dan sejahtera.

    “Mari kita bangun dunia yang berlandaskan kepercayaan, keadilan, dan harmoni. Indonesia siap menjadi jembatan peradaban dan mitra perdamaian bagi dunia,” ujarnya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Di World Peace Forum, Ibas Bicara Peran RI Jadi Jembatan Peradaban Dunia

    Di World Peace Forum, Ibas Bicara Peran RI Jadi Jembatan Peradaban Dunia

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menekankan peran strategis Indonesia sebagai jembatan peradaban dunia. Caranya melalui kolaborasi global, penguatan nilai-nilai kemanusiaan, dan pembangunan ekonomi inklusif.

    Hal itu ia sampaikan dalam acara pembukaan World Peace Forum ke-9 yang bertema ‘Considering Wasatiyyat and Tionghoa for Global Collaboration’ di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/11).

    Dalam sambutannya, Ibas menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya forum internasional yang telah menjadi wadah penting bagi para pemimpin, cendekiawan, dan aktivis perdamaian sejak 2006.

    “Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa, namun kami berdiri sebagai satu bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kami berkomitmen menjembatani perbedaan demi perdamaian dan kemanusiaan,” ujar Ibas dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025).

    Ketua Fraksi Partai Demokrat ini menyoroti pentingnya menjadikan dialog antarbangsa tidak hanya sebagai ajang pertukaran ide, tetapi juga sebagai dasar aksi nyata untuk mengatasi tantangan global seperti disinformasi, krisis kemanusiaan, perubahan iklim, dan ketidakadilan sosial.

    Dalam kesempatan tersebut, Ibas juga menyebutkan pertemuan Indonesia dengan Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah pada Desember 2024 lalu, yang menandai komitmen Indonesia dalam memperkuat nilai-nilai moderasi Islam, keadilan, dan kerja sama global.

    “Kemajuan nyata hanya dapat dicapai jika kita bekerja sama melalui pendidikan, green technology, dukungan kemanusiaan, dan pembangunan ekonomi yang inklusif,” tambahnya.

    Selain itu, ia juga mengajak seluruh peserta untuk menjadikan World Peace Forum ke-9 ini sebagai momentum memperkuat kerja sama antarbangsa demi mewujudkan dunia yang damai, adil, dan sejahtera.

    “Mari kita bangun dunia yang berlandaskan kepercayaan, keadilan, dan harmoni. Indonesia siap menjadi jembatan peradaban dan mitra perdamaian bagi dunia,” pungkasnya.

    Sementara itu, Ketua Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Prof Din Syamsudin, menyampaikan pentingnya konsep Wasatiyyat Islam atau Islam jalan tengah sebagai prinsip yang dapat menjadi dasar bagi perdamaian dunia.

    Menurutnya, Wasatiyyat Islam bukan sekadar ajaran tentang moderasi, melainkan juga mencakup nilai-nilai keadilan, keseimbangan, dan toleransi.

    Din Syamsudin juga mengingatkan perdamaian sejati tidak hanya dapat dicapai melalui kesepakatan politik, tetapi harus berakar pada nilai-nilai moral dan spiritual. Ia mengajak semua pihak untuk memperkuat kolaborasi lintas agama dan budaya guna menjawab tantangan global yang semakin kompleks.

    “Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga perdamaian dan keadilan. Mari jadikan forum ini sebagai langkah nyata menuju dunia yang harmonis,” ujarnya.

    Lalu, Pendiri Cheng Ho Multi Culture Education Trust, Tan Sri Lee Kim Yew juga menegaskan bahwa perdamaian bukan sekadar cita-cita, melainkan kebutuhan mendasar bagi keberlangsungan umat manusia.

    “Masalah perdamaian dunia bukan hanya penting, tetapi sangat diperlukan. Perdamaian adalah pelajaran dari belas kasih, pemahaman, dan keadilan,” ujarnya.

    Tan Sri Lee Kim Yew juga menyoroti peran penting Indonesia sebagai simbol persatuan dalam keberagaman. Menurutnya, Indonesia telah membuktikan bahwa perbedaan agama, suku, dan budaya dapat menjadi sumber kekuatan moral dalam menjaga keharmonisan dan menjadi inspirasi bagi kawasan ASEAN maupun dunia.

    (anl/ega)

  • Jadi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Syaikhona Kholil Berjasa Besar pada Keagamaan dan Kemanusian

    Jadi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Syaikhona Kholil Berjasa Besar pada Keagamaan dan Kemanusian

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Jazilul Fawaid menyampaikan apresiasi dan rasa syukur atas keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-IV RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

    “Kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pemerintah atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur dan Syaikhona Kholil,” kata Gus Jazil, sapaan akrab Jazilul Fawaid, Senin (10/11/2025).

    Menurut Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu, kedua tokoh tersebut merupakan sosok besar yang memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara, khususnya dalam bidang keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

    Gus Jazil menilai, momentum pemberian gelar pahlawan ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda untuk meneladani perjuangan dan nilai-nilai yang diwariskan oleh dua tokoh besar tersebut.

    “Semoga semangat perjuangan Gus Dur dan Syaikhona Kholil terus menginspirasi generasi penerus dalam menjaga keutuhan NKRI dan menegakkan nilai-nilai kebangsaan,” katanya.

    Wakil Ketua Umum PKB itu menjelaskan, KH Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan merupakan ulama besar dan guru para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), termasuk KH Hasyim Asy’ari. Pemikiran dan perjuangan Syaikhona Kholil telah melahirkan generasi ulama dan santri yang berperan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.

    Sementara itu, Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralisme, demokrasi, dan kemanusiaan yang tak hanya membela umat Islam, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang agama, suku, maupun golongan.

    “Gus Dur adalah simbol keberanian moral dan teladan dalam memperjuangkan kemanusiaan serta demokrasi. Beliau bukan hanya milik warga Nahdlatul Ulama, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia,” lanjut mantan Wakil Ketua MPR RI tersebut.

    Seperti diberitakan, Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan nasional terhadap 10 tokoh. Selain Syaikhona Kholil dan Gus Dur, ada juga Presiden RI kedua Soeharto, Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, dan Rahmah El Yunusiyyah.

    Kemudian Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah dari Provinsi Maluku Utara. [hen/ian]

  • Jadi Pahlawan Nasional, Ini Perjalanan Soeharto 31 Tahun Membentuk Indonesia Modern

    Jadi Pahlawan Nasional, Ini Perjalanan Soeharto 31 Tahun Membentuk Indonesia Modern

    Jakarta: Setelah tiga kali diusulkan, Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto akhirnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025. 

    Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara. Soeharto menjadi satu dari sepuluh tokoh yang mendapat penghargaan tersebut tahun ini.
     

    Lebih dari dua dekade setelah lengser, nama Soeharto tetap menjadi salah satu yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. 

    Ia dikenal sebagai pemimpin terlama dalam sejarah republik, memegang tampuk kekuasaan selama 31 tahun (1967–1998) sebuah periode yang membentuk wajah politik, ekonomi, dan sosial Indonesia hingga kini.
    Lahirnya Orde Baru: Dari Krisis ke Kekuasaan
    Kisah kebangkitan Soeharto bermula dari gejolak 1965, ketika peristiwa G30S mengguncang Indonesia dan menggiring negeri ini ke jurang perpecahan. Saat negara terbelah antara pendukung dan penentang PKI, Mayor Jenderal Soeharto, kala itu Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil alih kendali keamanan.

    Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan stabilitas nasional. Namun surat tersebut menjadi pintu masuk konsolidasi kekuasaan. Dalam waktu singkat, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia, menangkap tokoh-tokoh pro-Soekarno, dan membangun struktur politik baru yang disebut Orde Baru.

    Tahun 1967, MPRS secara resmi mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden, yang kemudian disahkan penuh setahun kemudian.
    Fokus utamanya sederhana: menyelamatkan ekonomi nasional yang kala itu terpuruk oleh inflasi hingga 600%. 

    Soeharto menunjuk kelompok ekonom muda lulusan Universitas California, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley, untuk merumuskan kebijakan baru. Investasi asing dibuka, hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat dipulihkan, dan kebijakan fiskal mulai diperketat.

    Di saat yang sama, Soeharto membangun kekuatan politik melalui Golongan Karya (Golkar). Dukungan militer, birokrasi, dan aparatur negara memastikan kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971, sekaligus mengokohkan posisi Soeharto sebagai figur sentral negara.
    Dekade Kejayaan: Pembangunan dan Pengendalian
    Tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an menjadi masa keemasan Orde Baru. Lonjakan harga minyak dunia membuat kas negara berlimpah. Soeharto meluncurkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) untuk mengejar swasembada pangan dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.

    Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai rata-rata 7% per tahun, inflasi menurun tajam, dan kemiskinan berhasil ditekan. Tahun 1984, Indonesia bahkan diakui FAO sebagai negara swasembada beras, pencapaian besar yang menegaskan citra Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan.”

    Namun, di balik kemajuan ekonomi itu, kekuasaan politik semakin tersentralisasi.  Seluruh organisasi masyarakat diwajibkan mengadopsi asas tunggal Pancasila, media dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah seringkali dianggap ancaman negara.

    Demonstrasi mahasiswa seperti Peristiwa Malari 1974 menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan dominasi modal asing, namun berakhir dengan penangkapan dan pembredelan media.

    Pada periode ini pula keluarga Cendana sebutan untuk lingkaran inti keluarga Soeharto mulai membangun kerajaan bisnis di berbagai sektor strategis: dari kehutanan, tambang, hingga telekomunikasi.
    Menjelang Runtuhnya Rezim: Krisis dan Reformasi
    Memasuki akhir 1980-an, harga minyak anjlok. Soeharto merespons dengan mendorong industrialisasi dan membuka sektor keuangan. Namun liberalisasi ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperkuat jaringan bisnis kroni.

    Di era 1990-an, Soeharto semakin bergantung pada keluarga dan para konglomerat dekatnya. Anak-anaknya menguasai berbagai sektor ekonomi, sementara partai oposisi dan media tetap dikontrol ketat.
     
    MPR secara rutin memilihnya kembali sebagai presiden tanpa pesaing berarti. Semua berubah ketika krisis moneter Asia 1997 menghantam Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh bebas  dari Rp 2.400 menjadi Rp 17.000 per dolar AS  dan inflasi menembus dua digit. Gelombang PHK massal dan kemiskinan membuat kepercayaan publik runtuh.

    Desakan reformasi datang dari segala arah: mahasiswa, tokoh masyarakat, dan bahkan sebagian elite militer.  Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat mahasiswa mempercepat kejatuhan rezim.

    Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah tiga dekade berkuasa, mengakhiri satu bab besar dalam sejarah politik Indonesia.

    Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, meninggalkan warisan yang terus diperdebatkan hingga kini. Bagi sebagian warga, ia adalah pembangun ekonomi dan pencipta stabilitas. Namun bagi korban represi politik dan pelanggaran HAM, Soeharto adalah simbol otoritarianisme dan korupsi sistemik.

    Warisan Orde Baru masih terasa dalam birokrasi, politik, dan budaya ekonomi Indonesia modern.  Banyak struktur kekuasaan, praktik patronase, dan cara pandang terhadap stabilitas nasional yang terbentuk pada masa pemerintahannya, masih memengaruhi cara negara ini dijalankan.

    Kini, dua puluh tujuh tahun setelah lengser, nama Soeharto kembali muncul di ruang publik bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tapi juga sebagai pengingat betapa panjang bayangan Orde Baru membentuk Indonesia hari ini.

    Jakarta: Setelah tiga kali diusulkan, Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto akhirnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025. 
     
    Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara. Soeharto menjadi satu dari sepuluh tokoh yang mendapat penghargaan tersebut tahun ini.
     

    Lebih dari dua dekade setelah lengser, nama Soeharto tetap menjadi salah satu yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. 
     
    Ia dikenal sebagai pemimpin terlama dalam sejarah republik, memegang tampuk kekuasaan selama 31 tahun (1967–1998) sebuah periode yang membentuk wajah politik, ekonomi, dan sosial Indonesia hingga kini.
    Lahirnya Orde Baru: Dari Krisis ke Kekuasaan
    Kisah kebangkitan Soeharto bermula dari gejolak 1965, ketika peristiwa G30S mengguncang Indonesia dan menggiring negeri ini ke jurang perpecahan. Saat negara terbelah antara pendukung dan penentang PKI, Mayor Jenderal Soeharto, kala itu Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil alih kendali keamanan.

    Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan stabilitas nasional. Namun surat tersebut menjadi pintu masuk konsolidasi kekuasaan. Dalam waktu singkat, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia, menangkap tokoh-tokoh pro-Soekarno, dan membangun struktur politik baru yang disebut Orde Baru.
     
    Tahun 1967, MPRS secara resmi mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden, yang kemudian disahkan penuh setahun kemudian.
    Fokus utamanya sederhana: menyelamatkan ekonomi nasional yang kala itu terpuruk oleh inflasi hingga 600%. 
     
    Soeharto menunjuk kelompok ekonom muda lulusan Universitas California, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley, untuk merumuskan kebijakan baru. Investasi asing dibuka, hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat dipulihkan, dan kebijakan fiskal mulai diperketat.
     
    Di saat yang sama, Soeharto membangun kekuatan politik melalui Golongan Karya (Golkar). Dukungan militer, birokrasi, dan aparatur negara memastikan kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971, sekaligus mengokohkan posisi Soeharto sebagai figur sentral negara.

    Dekade Kejayaan: Pembangunan dan Pengendalian
    Tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an menjadi masa keemasan Orde Baru. Lonjakan harga minyak dunia membuat kas negara berlimpah. Soeharto meluncurkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) untuk mengejar swasembada pangan dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
     
    Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai rata-rata 7% per tahun, inflasi menurun tajam, dan kemiskinan berhasil ditekan. Tahun 1984, Indonesia bahkan diakui FAO sebagai negara swasembada beras, pencapaian besar yang menegaskan citra Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan.”
     
    Namun, di balik kemajuan ekonomi itu, kekuasaan politik semakin tersentralisasi.  Seluruh organisasi masyarakat diwajibkan mengadopsi asas tunggal Pancasila, media dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah seringkali dianggap ancaman negara.
     
    Demonstrasi mahasiswa seperti Peristiwa Malari 1974 menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan dominasi modal asing, namun berakhir dengan penangkapan dan pembredelan media.
     
    Pada periode ini pula keluarga Cendana sebutan untuk lingkaran inti keluarga Soeharto mulai membangun kerajaan bisnis di berbagai sektor strategis: dari kehutanan, tambang, hingga telekomunikasi.
    Menjelang Runtuhnya Rezim: Krisis dan Reformasi
    Memasuki akhir 1980-an, harga minyak anjlok. Soeharto merespons dengan mendorong industrialisasi dan membuka sektor keuangan. Namun liberalisasi ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperkuat jaringan bisnis kroni.
     
    Di era 1990-an, Soeharto semakin bergantung pada keluarga dan para konglomerat dekatnya. Anak-anaknya menguasai berbagai sektor ekonomi, sementara partai oposisi dan media tetap dikontrol ketat.
     
    MPR secara rutin memilihnya kembali sebagai presiden tanpa pesaing berarti. Semua berubah ketika krisis moneter Asia 1997 menghantam Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh bebas  dari Rp 2.400 menjadi Rp 17.000 per dolar AS  dan inflasi menembus dua digit. Gelombang PHK massal dan kemiskinan membuat kepercayaan publik runtuh.
     
    Desakan reformasi datang dari segala arah: mahasiswa, tokoh masyarakat, dan bahkan sebagian elite militer.  Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat mahasiswa mempercepat kejatuhan rezim.
     
    Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah tiga dekade berkuasa, mengakhiri satu bab besar dalam sejarah politik Indonesia.
     
    Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, meninggalkan warisan yang terus diperdebatkan hingga kini. Bagi sebagian warga, ia adalah pembangun ekonomi dan pencipta stabilitas. Namun bagi korban represi politik dan pelanggaran HAM, Soeharto adalah simbol otoritarianisme dan korupsi sistemik.
     
    Warisan Orde Baru masih terasa dalam birokrasi, politik, dan budaya ekonomi Indonesia modern.  Banyak struktur kekuasaan, praktik patronase, dan cara pandang terhadap stabilitas nasional yang terbentuk pada masa pemerintahannya, masih memengaruhi cara negara ini dijalankan.
     
    Kini, dua puluh tujuh tahun setelah lengser, nama Soeharto kembali muncul di ruang publik bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tapi juga sebagai pengingat betapa panjang bayangan Orde Baru membentuk Indonesia hari ini.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (SAW)

  • Ketua MPR Ahmad Muzani Bakal Bahas GBHN Bareng Prabowo

    Ketua MPR Ahmad Muzani Bakal Bahas GBHN Bareng Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani mengungkapkan kelanjutan pembahasan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

    Muzani menyampaikan bahwa MPR akan segera menjadwalkan pertemuan dengan Presiden Ke-8 RI itu untuk membicarakan hal tersebut.

    “Ya kita sedang minta waktu untuk ketemu dengan Presiden untuk berdiskusi persoalan itu,” ucapnya usai menghadiri Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

    Dia menambahkan sejauh ini bahan yang disampaikan oleh MPR sudah final dan selesai dan mereka akan segera menyampaikan ke Kepala Negara untuk didiskusikan.

    Mengenai dasar hukum yang akan digunakan dalam penerapan GBHN, Muzani menjelaskan bahwa tengah mengkaji hal tersebut

    “Nah, ini yang mau kita diskusikan apakah TAP MPR atau UU atau apa?” ucap petinggi Partai Gerindra tersebut. 

    Sementara itu, menanggapi pandangan sebagian pihak yang menilai susunan Tim Reformasi Polri berisi tokoh-tokoh yang sama, Muzani memberikan pandangan positif.

    “Ya kita sih berprasangka baik, kita beri optimisme karena mereka orang-orang yang sangat paham terhadap persoalan kepolisian dan menjadi tuntutan masyarakat. Kami percaya itu orang kredibel bisa perjuangkan reformasi kepolisian,” ujarnya.

  • Muzani Sebut Proses Hukum Soeharto Sudah Selesai, Tak Halangi Dapat Gelar Pahlawan

    Muzani Sebut Proses Hukum Soeharto Sudah Selesai, Tak Halangi Dapat Gelar Pahlawan

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto tidak memiliki hambatan hukum.

    Dia menjelaskan bahwa seluruh proses hukum terhadap Soeharto telah dinyatakan selesai sesuai dengan ketetapan MPR pada periode sebelumnya.

    “Dalam ketetapan MPR periode yang lalu, persoalan Presiden Bung Karno, Soeharto, dan Gus Dur, tiga Presiden sudah dinyatakan selesai. Mereka sudah dinyatakan telah menjalani semua proses yang diharuskan oleh ketetapan MPR, baik Bung Karno, Soeharto, ataupun Gus Dur,” ujar Muzani usai menghadiri Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).

    Dia menambahkan, ketetapan terkait para presiden tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku setelah masing-masing menjalani proses sesuai mekanisme yang berlaku.

    Menurutnya, Bung Karno ketetapannya dinyatakan tidak berlaku karena sudah menjalani. Gus Dur juga ketetapannya dinyatakan tidak berlaku karena sudah menjalani. Pak Soeharto sudah menjalani proses hukum, baik pidana ataupun perdata.

    Dia melanjutkan, oleh karena itu MPR beranggapan bahwa tidak ada halangan bagi pemerintah untuk memberi penghargaan kepada seseorang yang dianggap memberi jasa besar dalam hidupnya kepada bangsa dan negara, termasuk kepada Presiden Kedua Republik Indonesia Soeharto.

    Ketika ditanya mengenai dugaan keterkaitan keluarga Soeharto dengan kasus BLBI, Muzani menyatakan tidak mengetahui detailnya.

    “Saya tidak tahu, yang saya jelaskan adalah proses hukum Presiden Soeharto. Karena pemberian gelar pahlawan nasional diberikan kepada Haji Muhammad Soeharto,” tegasnya.

  • Prabowo Gelar Pelantikan Sore Ini, Wakil BRIN hingga Hakim Agung MA Merapat ke Istana

    Prabowo Gelar Pelantikan Sore Ini, Wakil BRIN hingga Hakim Agung MA Merapat ke Istana

    Prabowo Gelar Pelantikan Sore Ini, Wakil BRIN hingga Hakim Agung MA Merapat ke Istana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Presiden RI Prabowo Subianto akan menggelar pelantikan sejumlah pejabat di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (10/11/2025).
    Pantauan dari halaman
    Kompleks Istana
    , sejumlah pejabat turut berdatangan ke Kompleks Istana sejak pukul 14.15 WIB dengan memakai dasi biru muda.
    Beberapa pejabat yang datang antara lain Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian dan Rektor IPB Arif Satria.
    Kemudian, Hakim Agung MA Dwiarso Budi Santiarto juga hadir di lokasi.
    Arif Satria mengaku datang untuk memenuhi undangan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya.
    Dia membenarkan akan mendapat tugas baru, namun enggan membeberkan rinciannya.
    “Pak Seskab undang lebih kurang jam setengah 1 siang tadi untuk segera ke istana rapat, saya belum bisa menjelaskan, nanti setelah acara selesai kita ketemu lagi ya,” ujar dia.
    Sejumlah pejabat lain turut datang untuk menyaksikan proses pelantikan.
    Mereka adalah Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Mendikti Saintek Brian Yuliarto, hingga Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah melalui tiga rezim pemerintahan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mewujudkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. 

    Keputusan tersebut akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025) yang kabarnya akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan, Jakarta.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan hal itu usai menghadiri rapat terbatas di kediaman Presiden, Jalan Kertanegara IV, Jakarta, Minggu (9/11/2025) malam.

    “Iya,” ujar Prasetyo saat dikonfirmasi apakah rapat tersebut berkaitan dengan Hari Pahlawan.

    Dia menjelaskan, rapat malam itu membahas proses finalisasi daftar tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini. 

    “Bapak Presiden juga mendapatkan masukan dari Ketua MPR, kemudian juga dari Wakil Ketua DPR. Karena memang cara bekerja beliau, menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga diharapkan apa yang nanti diputuskan Presiden, oleh pemerintah, sudah melalui berbagai masukan,” jelasnya.

    Ketika ditanya apakah pengumuman itu akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo, Prasetyo membenarkan hal tersebut.

    Menurutnya, bahkan ada sekitar sepuluh nama tokoh yang akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

    Saat ditanya apakah di antara nama-nama tersebut termasuk Soeharto, Prasetyo menegaskan bahwa nama Bapak Pembangunan itu masuk dalam daftar.

    “Ya, masuk, masuk [dari 10 nama yang akan dapat gelar pahlawan],” ucapnya.

    Dia menambahkan, keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap jasa para pendahulu bangsa. 

    “Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” tuturnya.

    Langkah ini menandai pertama kalinya pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, setelah wacana tersebut sempat muncul sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, tetapi tak pernah terealisasi.

    Dinamika Panjang Menuju Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Perjalanan untuk menjadikan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional bukanlah proses yang singkat. Wacana ini telah bergulir lebih dari dua dekade, melewati tiga rezim pemerintahan berbeda—Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi), hingga akhirnya terealisasi di era Presiden Prabowo Subianto.

    Setelah lengser pada 1998 di tengah krisis multidimensi dan gelombang reformasi, figur Soeharto kerap menimbulkan perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, banyak kalangan menilai Soeharto sebagai tokoh pembangunan yang berhasil membawa Indonesia pada masa stabilitas ekonomi dan pertumbuhan pesat selama tiga dasawarsa kepemimpinannya. Namun di sisi lain, warisan pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman politik, dan praktik korupsi yang melekat pada rezim Orde Baru membuat wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional selalu menjadi isu sensitif.

    Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh politik pernah mengusulkan agar Soeharto mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Namun, pemerintah kala itu memilih bersikap hati-hati, dengan alasan perlu menyeimbangkan pandangan publik dan memastikan proses seleksi tetap sesuai dengan prinsip keadilan sejarah.

    Wacana serupa muncul kembali di masa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Beberapa menteri bahkan sempat mengonfirmasi bahwa nama Soeharto masuk dalam pembahasan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun hingga akhir masa jabatan Jokowi, keputusan itu tidak pernah diambil, dengan alasan masih adanya perbedaan pandangan yang tajam di masyarakat.

    Baru di era Presiden Prabowo Subianto—mantan perwira TNI yang dikenal dekat secara personal dan ideologis dengan Soeharto—keputusan itu akhirnya terealisasi. Melalui pendekatan konsultatif dengan berbagai tokoh nasional, lembaga legislatif, dan Dewan Gelar, pemerintah menilai bahwa Soeharto layak mendapat pengakuan atas jasa-jasanya dalam menjaga keutuhan bangsa dan meletakkan dasar pembangunan nasional.

    Misalnya, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyatakan sepakat atas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto, terlepas dari kontroversinya.

    Dia mengatakan bahwa Partai NasDem melihat sisi positif terhadap pemberian gelar pahlawan tersebut. Meskipun ada kekurangan, tetapi dia menilai Soeharto telah memberikan peran dan dan arti terhadap pembangunan negara.

    “Sukar juga kita menghilangkan objektivitas bahwa sosok Soeharto telah memberikan posisi, peran, dan arti, keberadaan beliau sebagai Presiden yang membawa progres pembangunan nasional kita cukup berarti, seperti apa yang kita nikmati hari ini,” kata Surya Paloh usai acara FunWalk HUT Ke-14 NasDem di Jakarta, Minggu (9/11/2025).

    Selama 32 tahun memimpin Indonesia, menurut dia, Soeharto pasti tak lepas dari kekurangan, kesalahan, dan kesilapan. Namun jika ingin membawa gerakan perubahan, dia mengatakan bahwa faktor objektif atas peran Soeharto juga harus dihargai bersama.

    “Saya pikir memang kalau sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk konsekuensi pro dan kontra, polemik yang terjadi, bagi NasDem melihat sisi positifnya saja,” tuturnya.

    Senada, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang menuai perdebatan publik.

    Dia menilai, perbedaan pendapat terkait hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi bangsa Indonesia tetap harus menghargai jasa para tokoh yang telah berkontribusi besar bagi negara.

    “Bagi kami, Pak Harto adalah seorang tokoh, kemudian pemimpin bangsa 32 tahun yang mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100% kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujarnya.

    Meski begitu, menurut Bahlil, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk para pemimpin bangsa. Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk menilai jasa para tokoh secara proporsional dan menghargai kontribusi positif yang telah mereka berikan bagi kemajuan Indonesia.

    Bahkan, Bahlil menilai bahwa apabila perlu partainya menyarankan agar seluruh tokoh-tokoh bangsa terkhusus mantan-mantan presiden agar dapat dipertimbangkan untuk meraih gelar pahlawan nasional.

    “Kalau kita mau bicara tentang manusia yang sempurna, kesempurnaan itu cuma Allah Subhanahu wa taala. Semua masih ada plus minus, sudahlah yang yang baik ya kita harus hargai semua para pendiri dan para tokoh bangsa,” imbuhnya.

    Termasuk saat ditanya mengenai usulan agar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberi gelar serupa, Bahlil menegaskan bahwa Golkar bersikap terbuka terhadap penghargaan bagi seluruh mantan presiden yang telah wafat.

    Dia juga menilai Gus Dur dan BJ Habibie merupakan tokoh besar yang turut memberikan kontribusi penting bagi perjalanan bangsa.

    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanyalah ya,” pungkas Bahlil

    Pro dan Kontra di Lapangan

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.

    Berbeda pandangan, Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebut bahwa mayoritas responden setuju pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Kesimpulan itu diungkapkan KedaiKOPI ketika merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Presiden RI ke-2, Soeharto, dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional.

    Survei dilaksanakan dengan metode CASI (Computer Assisted Self Interviewing) pada 5-7 November 2025 dengan melibatkan 1.213 responden.

    Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menyebut 80,7% publik setuju Presiden ke-2 Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, 15,7% tidak mendukung, dan 3,6% tidak tahu.

    Dia menjelaskan alasan publik mendukung Soeharto adalah karena keberhasilannya dalam program swasembada pangan 78% dan Pembangunan Indonesia 77,9%.

    Selain itu, memori akan sekolah dan sembako murah 63,2% serta stabilitas politik yang baik 59,1% juga menjadi pertimbangan penting bagi responden yang mendukung.

    “Yang terbanyak karena berhasil membawa Indonesia swasembada pangan, kemudian berhasil melakukan pembangunan di Indonesia, karena sekolah murah dan sembako murah, karena stabilitas politik yang baik, lainnya macam-macam ada perjuangan kemerdekaan dan militer,” kata Hensa, dalam keterangan, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Kemudian, bagi responden yang tidak mendukung, 88% beralasan bahwa Soeharto lekat dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), 82,7% terkait isu pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers, dan isu pelanggaran HAM mendapatkan respon 79,6%.

    Menurutnya, alasan ini tidak bisa dihilangkan dari ingatan masyarakat sehingga pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.

    “Ini adalah poin krusial. Dukungan pada Soeharto didasarkan pada aspek pembangunan dan kesejahteraan ekonomi, namun penolakan didominasi oleh isu KKN, pelanggaran HAM, dan kebebasan sipil. Ini adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Gelar,” jelas Hendri.