Kementrian Lembaga: MPR RI

  • Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…

    Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…

    Polisi Aktif Dinilai Tetap Boleh Isi Jabatan Sipil, Asalkan…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun memantik kembali perdebatan soal batasan keterlibatan polisi di instansi non-kepolisian.
    Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (
    Kompolnas
    ) Mohammad Choirul Anam atau Cak Anam menegaskan bahwa aturan tetap membuka ruang tertentu bagi anggota Polri aktif untuk mengisi jabatan sipil, dengan syarat yang ketat.
    Undang-Undang Kepolisian memang membatasi penempatan
    polisi
    aktif pada jabatan sipil yang tidak memiliki relevansi dengan tugas pokok Polri.
    “Menurut undang-undang kepolisian, itu memang dilarang kalau tidak berkaitan,” ujar Cak Anam kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (15/11/2025).
    Namun, ia menegaskan bahwa penempatan berbasis kebutuhan tetap dimungkinkan selama jabatan tersebut berkaitan erat dengan tugas penegakan hukum atau memerlukan keahlian kepolisisian.
    “Kalau yang berkaitan memang boleh. Itu ada aturannya dalam undang-undang ASN yang diatur di PP. Jika berkaitan, memang dibolehkan,” kata Cak Anam.
    Ia mencontohkan lembaga-lembaga yang dalam praktiknya membutuhkan personel Polri karena karakteristik pekerjaannya.
    “Misalnya BNN, BNPT, KPK, atau lembaga lain yang memang erat kaitannya dengan kerja-kerja kepolisian. Khususnya penegakan hukum yang tidak bisa tergantikan,” ujarnya.
    Cak Anam merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN sebagai dasar hukum yang memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan tertentu di instansi sipil.
    Pasal 19 menyatakan:
    1. Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
    2. Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri yang dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai TNI dan Undang-Undang mengenai Polri.
    Sementara Pasal 20 mengatur sebaliknya:
    Pegawai ASN dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
    Hal ini yang menurut Cak Anam membuka ruang bagi anggota Polri untuk mengisi jabatan sipil, selama sifat jabatannya relevan dan dibutuhkan.
    Pengamat kepolisian dan mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, menilai polemik “polisi vs jabatan sipil” muncul karena adanya salah kaprah mengenai kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
    “Yang saya heran adalah dikotomi polisi dan jabatan sipil. Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” kata Poengky kepada
    Kompas.com
    , Sabtu.
    Ia menegaskan, sejak Reformasi 1998, Polri telah menjadi institusi sipil sepenuhnya.
    Hal ini ditegaskan melalui TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    “Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” tegas Poengky.
    Putusan MK menjadi sorotan karena saat ini banyak perwira tinggi Polri aktif yang menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga negara, termasuk yang tidak berkaitan langsung dengan penegakan hukum.
    Mereka juga menjadi pihak yang namanya tercantum dalam permohonan uji materi yang dikabulkan MK.

    Berikut nama-nama polisi aktif yang menduduki jabatan sipil dan tertuang dalam berkas permohonan ke MK:
    1. Komjen Pol Setyo Budiyanto – Ketua KPK
    2. Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho – Sekjen Kementerian KKP
    3. Komjen Pol Panca Putra Simanjuntak – Lemhannas
    4. Komjen Pol Nico Afinta – Sekjen Kementerian Hukum
    5. Komjen Pol Suyudi Ario Seto – Kepala BNN
    6. Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo – Wakil Kepala BSSN
    7. Komjen Pol Eddy Hartono – Kepala BNPT
    8. Irjen Pol Mohammad Iqbal – Inspektur Jenderal DPD RI
    Polisi aktif lain yang menduduki jabatan sipil:
    1. Brigjen Sony Sanjaya – Wakil Kepala Badan Gizi Nasional
    2. Brigjen Yuldi Yusman – Plt Dirjen Imigrasi, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
    3. Kombes Jamaludin – Kementerian Haji dan Umrah
    4. Brigjen Rahmadi – Staf Ahli Kementerian Kehutanan
    5. Brigjen Edi Mardianto – Staf Ahli Mendagri
    6. Irjen Prabowo Argo Yuwono – Irjen Kementerian UMKM
    7. Komjen I Ketut Suardana – Irjen Kementerian Perlindungan Pekerja Migran
    Sejumlah jabatan tersebut dinilai tidak seluruhnya memiliki keterkaitan langsung dengan penegakan hukum, sehingga keberadaannya dipertanyakan setelah putusan MK keluar.
    Pada Kamis pekan lalu, MK mengabulkan seluruh permohonan uji materi perkara 114/PUU-XXIII/2025 terkait Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
    Putusan tersebut menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dari institusi.
    “Amar putusan, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo, Kamis.
    Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat mutlak untuk menduduki jabatan sipil.
    Sementara penambahan frasa dalam penjelasan pasal “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru mengaburkan norma tersebut.
    Frasa itu memperluas makna aturan dan menyebabkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil maupun bagi ASN yang bersaing mengisi jabatan serupa.
    Menurutnya, hal tersebut berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.
    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” kata Ridwan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Taman di Jakarta Harus Bebas Dari Prostitusi!

    Taman di Jakarta Harus Bebas Dari Prostitusi!

    Jakarta

    Dugaan adanya praktik prostitusi di area Taman Daan Mogot, mendapat sorotan tajam dari Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth. Kenneth menilai kasus tersebut merupakan bukti nyata lemahnya pengawasan ruang publik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) Jakarta, dan aparat terkait.

    “Dugaan adanya praktik prostitusi, apa pun bentuknya di ruang publik seperti Taman Daan Mogot adalah tamparan keras bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan seluruh aparat yang bertanggung jawab atas keamanan kota ini,” ujar Hardiyanto Kenneth dalam keterangannya, Sabtu (15/11/2025).

    Menurut anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta itu, taman kota seharusnya menjadi ruang aman bagi keluarga, anak-anak, serta warga yang beraktivitas. Namun pemberitaan mengenai adanya praktik kegiatan yang melanggar hukum di kawasan tersebut menunjukkan adanya kelalaian yang serius.

    “Taman yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berolahraga dan beristirahat, justru diberitakan dimanfaatkan untuk aktivitas yang melanggar norma dan hukum. Ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.

    Bang Kent, sapaan akrab Hardiyanto Kenneth, menekankan bahwa isu ini bukan perkara orientasi seksual atau identitas kelompok tertentu, melainkan persoalan ketertiban umum dan penegakan hukum yang melemah.

    Kent pun mendesak Pemprov DKI, Satpol PP, dan Kepolisian untuk segera melakukan langkah penertiban sekaligus penyelidikan secara menyeluruh. Ia menolak tindakan parsial atau razia sesaat yang tidak menyelesaikan akar masalah.

    “Tidak cukup hanya razia simbolik. Kita butuh tindakan konsisten, terukur, dan berbasis data,” ujarnya.

    “Saya tidak mau mendengar alasan klasik seperti kekurangan personel, pencahayaan kurang, atau patroli terbatas. Anggaran keamanan dan pengelolaan ruang publik Jakarta tidak kecil. Jika pengawasan taman saja tidak mampu dijalankan, bagaimana warga bisa yakin pemerintah mampu menjaga kota dengan 11 juta penduduk?” kata Kepala BAGUNA DPD PDI Perjuangan Jakarta itu.

    Selain menyoroti penanganan saat ini, Kent juga menekankan pentingnya pengawasan berkelanjutan agar kejadian serupa tidak kembali terulang. Ia menilai Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) Jakarta perlu mengubah pola pengawasan dari yang bersifat reaktif menjadi preventif.

    “Kita tidak hanya bicara penertiban sesaat. Pengawasan ruang publik harus dilakukan secara konsisten, terstruktur, dan berkelanjutan. Jangan tunggu viral dulu baru bergerak,” ujar Kent.

    Menurutnya, salah satu penyebab suburnya aktivitas ilegal di taman adalah kondisi area yang remang-remang dan minim penerangan.

    “Taman yang remang-remang itu harus segera dipasangi penerangan tambahan. Jangan ada lagi sudut gelap di ruang publik Jakarta. Penerangan itu bukan sekadar fasilitas, tetapi instrumen keamanan,” tegasnya.

    Kent mendesak Pemprov DKI melakukan audit menyeluruh terhadap kondisi penerangan di taman-taman kota, terutama yang berada di kawasan rawan.

    “Kalau lampu taman banyak yang mati atau pencahayaan tidak memadai, itu tanggung jawab pemerintah. Segera evaluasi, perbaiki, dan pastikan taman-taman kita terang dan aman. Dengan begitu, potensi pelanggaran hukum bisa ditekan sejak awal,” ujarnya.

    Ia juga meminta agar sistem pengawasan ditingkatkan, mulai dari patroli rutin, pemasangan CCTV, hingga koordinasi teknis antara dinas terkait, Satpol PP, dan aparat kepolisian.

    “Intinya jelas, jangan hanya menindak, tetapi harus mencegah. Jangan hanya reaktif, tetapi antisipatif. Warga harus merasa aman ketika menggunakan fasilitas publik yang dibiayai dari uang rakyat,” tuturnya.

    Menurutnya, publik bukan tempat transaksi gelap. Taman bukan tempat kegiatan ilegal. Warga Jakarta berhak atas ruang yang aman, bersih, dan bermartabat-bukan ruang yang setiap tahun menghadirkan persoalan yang sama tetapi tidak pernah ada penyelesaiannya.

    “Ini bukan kejadian baru, bukan kejadian langka, ini kejadian yang terus berulang, dan faktanya hingga hari ini pemerintah belum mampu menghadirkan solusi yang nyata,” bebernya.

    Kent pun melihat pola penanganan pemerintah hanya bersifat reaktif dan seremonial. Razia dilakukan, tapi masalah kembali muncul. Pengawasan lemah. Koordinasi minim. Tindakan tidak konsisten.

    “Selama pola ini tidak berubah, kejadian seperti ini akan terus berulang tanpa akhir. Tingkatkan patroli rutin, perbaiki penerangan, pasang CCTV, dan tindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Tidak boleh ada toleransi terhadap aktivitas ilegal apa pun di ruang publik. Jakarta tidak boleh dibiarkan dikelola dengan pola yang gagal berulang kali,” pungkasnya.

    Perlu diketahui sebelumnya, aktivitas prostitusi pria sesama jenis dilaporkan kian merebak di area pertamanan Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat (Jakbar). Warga resah atas aktivitas tersebut.

    Seorang pedagang kaki lima (PKL), Acong, mengatakan aktivitas prostitusi itu kerap terjadi menjelang tengah malam.

    “Iya (prostitusi sesama jenis pria), orang-orang pada berhenti aja. Pada berhenti di situ motornya. (Aktivitas prostitusi dilakukan) di area yang gelap di sana. Itu benar (ada prostitusi sesama jenis pria),” kata Acong.

    Para pelaku prostitusi itu mulai berdatangan pukul 22.00 WIB. Aktivitas tersebut disebut terjadi hampir setiap malam. Prostitusi di ruang publik itu bahkan diklaim telah berlangsung lama. Namun sampai saat ini belum ada penertiban dari pihak berwajib.

    Acong meyakini pria-pria yang datang ke area taman dan terlibat aktivitas prostitusi tersebut bukan warga setempat. Selain membawa motor, ada juga pelaku yang datang menggunakan mobil ke lokasi tersebut.

    (mpr/ega)

  • Bamsoet Sebut Buku Parenting Try Sutrisno Penting bagi Keluarga Masa Kini

    Bamsoet Sebut Buku Parenting Try Sutrisno Penting bagi Keluarga Masa Kini

    Jakarta

    Ketua MPR RI ke-15 sekaligus Anggota DPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengapresiasi peluncuran buku Filosofi Parenting Try Sutrisno karya mantan Menpora Adhyaksa Dault. Buku ini menyoroti kisah Wakil Presiden RI ke-6 Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno dalam membangun pola asuh berkarakter kepemimpinan dan integritas.

    Karya tersebut dinilai relevan bagi orang tua Indonesia yang ingin membentuk karakter anak secara kuat dan berprinsip. Nilai-nilai tanggung jawab sosial yang diangkat menjadi pedoman praktis dalam pengasuhan masa kini.

    “Buku ini memotret bagaimana nilai-nilai kepemimpinan Pak Try Sutrisno yang dikenal disiplin, kerja keras, keteguhan moral dan cinta tanah air, ditransformasikan menjadi pola asuh keluarga yang lugas dan hangat. Banyak yang mengetahui kiprah Jenderal Try Sutrisno sebagai pemimpin nasional, tetapi sedikit yang benar-benar memahami filosofi pengasuhan terhadap keluarganya,” kata Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (15/11/2025).

    Hadir dalam acara tersebut Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden ke 10 dan ke 12 Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke 11 Budiono, Wiranto, Agum Gumelar, Hendropriyono, Djoko Suyanto, Jimly Asshiddiqie, Aburizal Bakrie, Dudung Abdurahman, para menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih serta para tokoh bangsa lainnya.

    Bamsoet menjelaskan Try Sutrisno membesarkan anak-anaknya dengan disiplin sejak dini dan membiasakan kerja keras tanpa mengeluh. Ia juga memberi ruang bagi mereka untuk belajar dari kegagalan.

    Menurutnya, Try Sutrisno sengaja memberi tanggung jawab kecil, seperti mengurus kegiatan harian dan belajar mandiri, sebagai latihan mental menghadapi masa depan. Kedekatan keluarganya terlihat dari kebiasaan menjadikan makan malam sebagai momen berdiskusi.

    Ia menilai, peluncuran buku tersebut sangat pas di tengah tantangan parenting generasi saat ini. Di era digital di mana distraksi teknologi, tekanan sosial media, dan krisis identitas sering menjadi masalah utama para orang tua, filosofi pengasuhan Try Sutrisno bisa menjadi pijakan kokoh.

    Data Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan tren penggunaan gawai pada anak terus meningkat hingga 79% pada 2024. Situasi ini membuat banyak orang tua kehilangan kendali dalam membangun komunikasi, disiplin, dan pembiasaan karakter.

    (prf/ega)

  • Polisi Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Pengamat: Polisi Itu Sipil, Bukan Kombatan

    Polisi Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Pengamat: Polisi Itu Sipil, Bukan Kombatan

    Polisi Aktif Dilarang Duduki Jabatan Sipil, Pengamat: Polisi Itu Sipil, Bukan Kombatan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Pengamat kepolisian sekaligus mantan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti menilai, perdebatan mengenai larangan tersebut justru memperlihatkan adanya salah kaprah dalam memahami kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan.
    “Yang saya heran adalah dikotomi
    polisi
    dan
    jabatan sipil
    . Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” kata Poengky kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2025).
    Ia menegaskan bahwa sejak Reformasi 1998,
    Polri
    telah sepenuhnya menjadi institusi sipil. Hal itu ditegaskan dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    “Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” kata Poengky.
    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menyatakan bahwa anggota Polri tidak lagi boleh menduduki jabatan sipil kecuali mereka telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
    Putusan pada perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu sekaligus menghapus ketentuan yang selama ini memungkinkan penempatan polisi aktif ke jabatan non-kepolisian hanya melalui izin Kapolri.
    Putusan ini menjadi sorotan karena saat ini sejumlah perwira tinggi Polri menjabat pada berbagai posisi strategis di kementerian dan lembaga negara, mulai dari Ketua KPK, Sekjen KKP, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, hingga Kepala BNPT, serta jabatan-jabatan lain di berbagai kementerian baru maupun lembaga teknis.
    Poengky menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga Polri tetap harus mematuhi ketentuan baru tersebut.
    Putusan ini tampaknya ditujukan untuk menarik kembali perwira Polri yang bertugas di luar institusi kepolisian agar kembali ke struktur Polri.
    Padahal banyak penugasan itu dilakukan bukan karena keinginan Polri, melainkan karena adanya permintaan resmi dari kementerian atau lembaga terkait.
    “Penugasan tersebut atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga, bukan atas permintaan Polri. Posisi, jabatan, dan penempatan juga disesuaikan dengan aturan di kementerian/lembaga,” ujar Poengky.
    Dengan adanya putusan MK ini, Poengky memperkirakan pemerintah perlu menyiapkan skema transisi agar proses penarikan pejabat berjalan tertib.
    “Dengan adanya putusan MK ini, maka perlu dilakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Kemungkinan akan ada aturan peralihan secara bertahap,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • HNW apresiasi keputusan jadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai pahlawan

    HNW apresiasi keputusan jadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai pahlawan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid atau HNW mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada Rahmah El Yunusiyah.

    Menurut dia, Rahmah El Yunusiyah layak diberikan gelar pahlawan nasional karena memberikan kontribusi besar dalam memajukan bangsa, terutama di bidang pendidikan.

    “Rahmah El Yunusiah adalah tokoh perempuan pejuang di berbagai medan; sosial, kemerdekaan, dan pendidikan. Bahkan sebagai pendiri Sekolah/Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang, beliau diapresiasi oleh Rektor Universitas Al Azhar Mesir saat mengunjunginya di Padang Panjang tahun 1955,” kata HNW dalam siaran pers resmi yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.

    Kunjungan tersebut, kata HNW, membuat Rektor Al Azhar terinspirasi untuk mendirikan fakultas khusus perempuan di Universitas Al Azhar Mesir.

    HNW mengatakan pihak Universitas Al Azhar juga sempat menganugerahi gelar Syaikhah sehingga Rahmah El Yunusiyah menjadi wanita Muslim pertama di dunia yang mendapat gelar kehormatan Syekhah dari Al Azhar, tahun 1957.

    Sederet penghargaan dari luar negeri ini menjadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai wanita Minang pertama yang berpengaruh kepada dunia Islam internasional.

    Status ini membuat dia sejajar dengan beberapa tokoh besar Islam seperti Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi Imam di masjid Haram Mekah dan menjadi Guru bagi KH Ahmad Dahlan dsn KH Hasyim Asyari (pendiri Muhammadiysh dan NU) dan Syaikh Yasin Padang yang terkenal sebagai ulama ahli dalam bidang Hadits.

    “Minang juga dikenal sebagai asal dari banyak pahlawan bangsa seperti Bung Hatta, Yamin, Sutan Sahrir, M Natsir dan Buya Hamka,” ujar HNW.

    HNW berharap pemberian gelar pahlawan kepada Rahmah dapat memicu semangat putra putri terbaik Sumatera Barat untuk menjadi insan yang dapat memajukan bangsa pada masa depan.

    “Mudah-mudahan semangat keulamaan, ketokohan dan kenegarawanan yang membawa nama harum tersebut senantiasa hadir dan bisa dilanjutkan oleh warga Sumatera Barat di tingkat nasional maupun di kancah dunia internasional,” tutur HNW.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR: RI siap pimpin aksi iklim Asia lewat transisi energi bersih

    MPR: RI siap pimpin aksi iklim Asia lewat transisi energi bersih

    visi Prabowo sangat jelas, yakni mencapai kedaulatan energi, mempercepat penggunaan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade, serta mencapai nol emisi bersih atau net-zero emission pada 2050 tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi nasional

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno menegaskan bahwa Indonesia siap memimpin aksi iklim Asia melalui transisi energi bersih, tata kelola karbon yang transparan, dan investasi berkelanjutan.

    Dalam forum Asia Climate Solutions Pavilion yang diselenggarakan oleh Swaniti Initiative di sela-sela Conference of the Parties (COP30) UNFCCC di Belem, Brazil, ia mengatakan Indonesia berada di posisi strategis untuk menjadi pusat solusi iklim global.

    “Kita memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, seperti hutan, gambut, dan mangrove yang mampu menyerap miliaran ton CO₂,” ujar Eddy dalam keterangannya yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.

    Jika dikelola dengan baik, kata dia, potensi tersebut dapat menjadi fondasi ekonomi karbon yang berkeadilan.

    Eddy menjelaskan visi Presiden RI Prabowo Subianto menempatkan transisi energi sebagai inti strategi pembangunan nasional.

    Menurut dia, visi Prabowo sangat jelas, yakni mencapai kedaulatan energi, mempercepat penggunaan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade, serta mencapai nol emisi bersih atau net-zero emission pada 2050 tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Ia turut menyoroti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebagai tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia.

    Dikatakan bahwa RUPTL hijau tersebut akan menambah 53 gigawatt kapasitas energi dari sumber terbarukan, mulai dari surya, hidro, panas bumi, angin, hingga penyimpanan baterai.

    “Implementasinya akan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja hijau dan menyumbang hingga 0,7 persen pertumbuhan PDB per tahun,” tuturnya.

    Dirinya pun menekankan selain transisi energi, Indonesia memiliki target menurunkan emisi CO2 sebagai aksi penanganan iklim yang akan menghasilkan peluang ekonomi karbon yang besar.

    Selama ini, katanya, koordinasi lintas kementerian sering menjadi hambatan di sektor ekonomi karbon. Melalui Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Indonesia akhirnya memiliki payung kebijakan yang menyatukan tata kelola karbon nasional.

    “Ini langkah besar menuju efisiensi dan kepastian investasi,” kata Eddy.

    Di sisi lain, Eddy menegaskan peran strategis parlemen dalam menjaga keberlanjutan kebijakan. MPR RI berkomitmen memastikan agar seluruh legislasi terkait energi dan iklim selaras dengan RPJMN dan visi Net Zero 2060.

    MPR RI juga terus memperkuat sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil agar implementasi kebijakan benar-benar inklusif dan transparan.

    Sementara itu, dia turut menyoroti peran aktor non-negara dalam mendukung transisi rendah karbon, terutama di negara-negara Global South.

    Dikatakan bahwa seluruh dunia menyaksikan transformasi besar, yakni dari sekadar advokasi menjadi kolaborasi nyata.

    Dirinya menilai filantropi, lembaga keuangan, dan industri kini bergerak bersama mendorong inovasi dan pembiayaan transisi energi yang lebih adil.

    Ia juga menambahkan bahwa Indonesia terus membangun reputasi di pasar karbon global melalui pengakuan standar internasional seperti Gold Standard, Verra, Plan Vivo, dan GCC.

    Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, Indonesia kini memiliki dasar hukum yang membuat pengakuan global lebih mudah dan efisien.

    “Ini menunjukkan bahwa kita bukan hanya mengikuti pasar, tapi ikut membentuknya,” ucap dia menambahkan.

    Pria yang juga merupakan anggota Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut berharap adanya langkah konkret yang akan dilakukan Indonesia dalam 18 bulan ke depan.

    Menurut dia, Indonesia harus berani mengambil langkah cepat dengan mempercepat elektrifikasi nasional lantaran hal tersebut bukan hanya soal emisi, melainkan tentang membuka lapangan kerja baru, meningkatkan daya saing industri, dan memperkuat kedaulatan energi nasional.

    Selain itu, ia menyebutkan Indonesia juga perlu memperdalam kerja sama energi di kawasan ASEAN. Melalui integrasi ASEAN Power Grid dan kolaborasi investasi hijau, Indonesia dinilai bisa menjadi motor penggerak transisi energi di Asia Tenggara.

    “Dengan begitu, kita tidak hanya menjembatani ambisi global dan implementasi lokal, tapi juga menunjukkan kepemimpinan nyata Indonesia di panggung iklim dunia,” kata Eddy.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bamsoet Ajak Komunitas Otomotif Jadi Penggerak Sosial dan Ekonomi Rakyat

    Bamsoet Ajak Komunitas Otomotif Jadi Penggerak Sosial dan Ekonomi Rakyat

    Jakarta

    Ketua Dewan Pembina Ikatan Motor Indonesia (IMI), Bambang Soesatyo atau Bamsoet menuturkan komunitas otomotif kini telah menjadi kekuatan sosial dan ekonomi yang berperan besar di Indonesia. Dia menilai, di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan gaya hidup, komunitas otomotif terus menunjukkan jati dirinya sebagai ruang kebersamaan, solidaritas, dan gotong royong lintas daerah.

    “Komunitas otomotif adalah perekat sosial yang lahir dari jalanan. Mereka mempertemukan berbagai latar belakang dengan semangat yang sama, persaudaraan dan kemajuan bersama. Solidaritas mereka bukan slogan. Ketika masyarakat membutuhkan, anggota komunitas langsung bergerak cepat dan tepat,” ujar Bamsoet saat menerima Pengurus Black Hawk Batavia MC di Jakarta, melalui keterangan tertulis, Jumat (14/11/25).

    Diketahui, pengurus Black Hawk Batavia MC hadir antara lain Ketum Tommy Nanlohy, Sekjen Keris Ferdiansyah, Syarief Hidayat, Sonny Prins, Adhi Abdurrohman, Angger Rizaki, Dwi Aditya, Yulius Manuputty, Eko Baox, dan Dinno.

    Lebih lanjut, Bamsoet memaparkan, dari Sabang sampai Merauke, ribuan komunitas otomotif aktif berkontribusi melalui kegiatan sosial, touring lintas daerah, hingga kampanye keselamatan berkendara yang memberi dampak nyata bagi masyarakat. Aktivitas komunitas otomotif juga terbukti mampu menggerakkan ekonomi daerah. Setiap kali event otomotif digelar, perputaran ekonomi lokal meningkat signifikan, mulai dari sektor akomodasi, kuliner, hingga usaha bengkel.

    “Kegiatan komunitas otomotif selalu membawa efek ekonomi langsung bagi masyarakat sekitar. Ini contoh nyata bagaimana hobi bisa menjadi penggerak ekonomi rakyat,” kata Bamsoet.

    Ketua MPR RI ke-15 ini juga turut mengajak komunitas otomotif terus berkontribusi dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan seperti ketika terjadi bencana alam, anggota komunitas yang bisa turun langsung menyalurkan bantuan, mengatur logistik, hingga membantu evakuasi. Kecepatan gerak dan jaringan luas komunitas otomotif membuat mereka efektif dalam merespons kondisi darurat.

    Saat kegiatan touring, komunitas otomotif juga diminta membawa nilai edukatif dan nasionalis. Dalam setiap perjalanan, para peserta diharapkan dapat berinteraksi dengan masyarakat lokal, memperkenalkan nilai disiplin berlalu lintas, serta mengkampanyekan semangat kebangsaan.

    “Nilai bela negara bisa diwujudkan secara modern. Saat para anggota komunitas otomotif menjelajah daerah dan menyebarkan pesan positif, di situlah semangat cinta tanah air hidup dalam bentuk nyata,” pungkas Bamsoet.

    (akn/ega)

  • Fraksi Golkar MPR temui Sultan Yogya sebelum gelar sarasehan nasional

    Fraksi Golkar MPR temui Sultan Yogya sebelum gelar sarasehan nasional

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Melchias Markus Mekeng melakukan kunjungan silaturahmi ke Keraton Yogyakarta untuk bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum menggelar Sarasehan Nasional tentang Obligasi Daerah.

    Mekeng menyebut pertemuan itu perlu dilakukan sebagai permintaan izin dan permohonan dukungan atas acara sarasehan yang akan digelar di Yogyakarta pada 24 November 2025 mendatang.

    “Kami merasa perlu kulo nuwun kepada Ngarsa Dalem Sri Sultan sebelum kegiatan nasional ini dilaksanakan,” kata Mekeng dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Dalam pertemuan tersebut, dia menyampaikan bahwa kegiatan sarasehan ini akan menjadi forum strategis untuk membahas potensi obligasi daerah sebagai salah satu instrumen pembiayaan pembangunan daerah dan investasi publik.

    “Yogyakarta kami pilih bukan hanya karena nilai historis dan budayanya yang tinggi, tetapi juga karena peran pentingnya sebagai pusat pendidikan dan pemikiran kebangsaan,” kata dia.

    Sementara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyambut baik gagasan penyelenggaraan sarasehan nasional tersebut. Sultan menyampaikan bahwa inisiatif tersebut sangat relevan dengan semangat kemandirian fiskal daerah dan upaya memperkuat tata kelola keuangan publik di Indonesia.

    “Gagasan obligasi daerah merupakan langkah maju untuk memperkuat otonomi daerah dan kemandirian pembiayaan pembangunan. Saya menyambut dengan antusias dan, Insya Allah, akan hadir sebagai keynote speaker pada sarasehan nanti,” kata Sultan.

    Mekeng dan Sultan pun berharap agar kegiatan sarasehan nasional itu dapat memberikan kontribusi nyata dalam memperkaya wacana kebijakan fiskal daerah, serta memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengembangkan instrumen keuangan yang sehat dan berkelanjutan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jelang Sarasehan Nasional, Ketua Fraksi Golkar MPR Temui Sultan HB X

    Jelang Sarasehan Nasional, Ketua Fraksi Golkar MPR Temui Sultan HB X

    Jakarta

    Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Melchias Markus Mekeng melakukan kunjungan silaturahmi ke Kraton Yogyakarta, untuk bertemu dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.

    Hal tersebut dilakukan dalam rangka kulo nuwun sekaligus memohon izin dan dukungan atas rencana pelaksanaan Sarasehan Nasional, tentang Obligasi Daerah yang akan digelar di Yogyakarta pada 24 November 2025 mendatang.

    Dalam pertemuan yang berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan tersebut, Mekeng menyampaikan kegiatan sarasehan ini akan menjadi forum strategis untuk membahas potensi obligasi daerah sebagai salah satu instrumen pembiayaan pembangunan daerah dan investasi publik.

    “Yogyakarta kami pilih bukan hanya karena nilai historis dan budayanya yang tinggi, tetapi juga karena peran pentingnya sebagai pusat pendidikan dan pemikiran kebangsaan. Kami merasa perlu kulo nuwun kepada Ngarsa Dalem Sri Sultan sebelum kegiatan nasional ini dilaksanakan,” ujar Mekeng dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).

    Dalam kesempatan tersebut, Sri Sultan HB X menyambut baik gagasan penyelenggaraan sarasehan nasional tersebut. Ia menyampaikan inisiatif tersebut sangat relevan dengan semangat kemandirian fiskal daerah dan upaya memperkuat tata kelola keuangan publik di Indonesia.

    Pertemuan diakhiri dengan harapan bersama agar kegiatan sarasehan nasional ini dapat memberikan kontribusi nyata dalam memperkaya wacana kebijakan fiskal daerah, serta memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengembangkan instrumen keuangan yang sehat dan berkelanjutan.

    (anl/ega)

  • Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil

    Akhir Celah Penugasan Kapolri di Jabatan Sipil
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    PUTUSAN
    Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2025, mengakhiri satu bab yang menggantung lama di ruang publik: bolehkah polisi aktif merangkap jabatan di luar institusi kepolisian?
    Pertanyaan yang tampak teknis ini sesungguhnya memuat pertaruhan besar: apakah reformasi sektor keamanan benar-benar dijalankan, atau pelan-pelan sedang ditarik mundur lewat celah-celah hukum.
    Melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan uji materi atas Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    MK menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
    Arti praktisnya sederhana, tapi tegas: anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni jabatan sipil, wajib mengundurkan diri atau pensiun lebih dahulu dari dinas kepolisian.
    Celah penugasan Kapolri sebagai alasan untuk tetap berstatus polisi aktif sambil memegang jabatan sipil resmi ditutup.
    Ini bukan sekadar koreksi redaksional. Ini penegasan ulang arah reformasi: membatasi peran aparat bersenjata di wilayah sipil, mengembalikan jabatan sipil kepada birokrasi sipil, dan menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara.
    Pasal 28 ayat (3) UU Polri sebenarnya cukup jelas: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
    Namun penjelasan pasalnya berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.”
    Frasa terakhir inilah yang selama bertahun-tahun berubah menjadi celah. Di atas kertas, anggota Polri boleh menduduki jabatan di luar kepolisian hanya setelah mundur atau pensiun. 
    Namun dalam praktik, penjelasan itu ditafsirkan seolah-olah penugasan Kapolri dapat menjadi karpet merah bagi polisi aktif untuk tetap berseragam sekaligus duduk di jabatan sipil strategis: dari ketua KPK, kepala BNN, kepala BNPT, wakil kepala BSSN, hingga jabatan-jabatan di kementerian dan BUMN.
    Di sidang MK terungkap data yang disampaikan ahli pemohon: 4.351 anggota Polri aktif merangkap jabatan sipil.
    Angka itu bukan sekadar statistik; ia menggambarkan betapa lebar celah itu telah dimanfaatkan.
    Bagi ASN yang puluhan tahun berkarier di jalur birokrasi, ini terasa seperti perlombaan yang garis final-nya tiba-tiba dipotong oleh pintu samping.
    Mahkamah tidak sekadar mencoret frasa. MK menjelaskan mengapa penjelasan itu harus dibatalkan.
    Pertama, soal kepastian hukum yang adil. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
    Dengan adanya frasa penugasan Kapolri, norma menjadi rancu: di satu sisi mensyaratkan mundur atau pensiun, di sisi lain membuka jalur khusus melalui penugasan.
    Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, MK menegaskan bahwa rumusan “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” adalah syarat yang sudah jelas dan tidak memerlukan pemaknaan lain.
    Kedua, menyangkut kesetaraan kesempatan. Ketika polisi aktif bisa menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan statusnya, ruang persaingan bagi ASN dan warga sipil lain menyempit.
    Para ahli yang dihadirkan pemohon mengingatkan bahwa ribuan polisi yang merangkap jabatan sipil telah menghilangkan kesempatan warga sipil untuk berkontribusi dalam jabatan-jabatan tersebut.
    Ketiga, soal fungsi penjelasan undang-undang. Dalam beberapa putusan sebelumnya, MK konsisten menyatakan bahwa penjelasan tidak boleh memuat norma baru yang memperluas atau mengubah makna pasal.
    Hal yang sama ditegaskan kembali di perkara ini: penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bukan sekadar memperjelas, melainkan memperlebar makna sehingga bertentangan dengan batang tubuh.
    Uji materi ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia didorong oleh praktik yang kian meluas: polisi aktif memegang jabatan sipil, sementara desain reformasi pasca-Reformasi 1998 justru ingin memisahkan tegas fungsi militer, kepolisian, dan sipil.
    TAP MPR VII/MPR/2000 secara eksplisit menegaskan, anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Dalam logika reformasi, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah “dwifungsi gaya baru” di mana aparat keamanan kembali menguasai ruang-ruang sipil.
    Namun kenyataannya, praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil berjalan lama dengan pembenaran “penugasan Kapolri”.
    Di hadapan MK, ahli dan pemohon menggambarkan dampaknya: potensi ganda gaji, konflik kepentingan, hingga hilangnya kesempatan ASN dan warga sipil untuk memasuki jabatan strategis.
    Pada titik ini, masalahnya tidak lagi sekadar teknis administrasi. Ia menjelma menjadi soal keadilan dan desain kekuasaan.
    Putusan MK
    menarik kembali batas yang selama ini dikaburkan. Setelah frasa penjelasan itu dibatalkan, yang berlaku hanyalah norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan prinsip yang termuat dalam TAP MPR: anggota Polri baru boleh menduduki jabatan di luar kepolisian jika sudah mengundurkan diri atau pensiun.
    Artinya, polisi aktif tidak boleh lagi memegang jabatan sipil di kementerian, lembaga, maupun BUMN hanya dengan bermodal surat penugasan.
    Hal yang tersisa kemudian adalah ranah kebijakan: bagaimana pemerintah mengatur bentuk-bentuk kerja sama lintas lembaga yang masih membutuhkan keahlian kepolisian—misalnya dalam fungsi koordinasi atau penghubung—tanpa menjadikannya sebagai “jabatan sipil” yang menggeser ASN.
    Itu bukan bagian dari amar MK, tetapi konsekuensi logis yang mesti dirumuskan eksekutif dan legislatif secara transparan dan konstitusional.
    Dengan kata lain, MK telah menarik garis; tugas politik selanjutnya ada di tangan pembuat kebijakan.
    Dampak langsung putusan ini setidaknya tampak dalam empat lapis. Pertama, bagi anggota Polri sendiri. Pilihannya menjadi lebih tegas: tetap berkarier di korps dengan seluruh konsekuensinya, atau mengundurkan diri/pensiun untuk memasuki birokrasi sipil. Tidak ada lagi status ganda yang rawan konflik kepentingan.
    Kedua, bagi ASN dan birokrasi sipil. Putusan ini memberi sinyal kuat bahwa jabatan sipil harus dikembalikan kepada mekanisme meritokrasi yang berlaku bagi ASN.
    Jabatan tidak boleh menjadi “lahan perluasan” pengaruh aparat keamanan. Ini peluang untuk menata kembali sistem karier pegawai negeri yang selama ini merasa disalip penugasan.
    Ketiga, bagi pemerintah. Presiden dan para menteri tidak lagi dapat berlindung di balik penugasan Kapolri untuk menunjuk polisi aktif di jabatan sipil.
    Ruang manuver politik memang menyempit, tetapi kepastian hukum menguat. Pemerintah justru berkesempatan menunjukkan keseriusan menghormati putusan MK dan semangat reformasi.
    Keempat, bagi reformasi sektor keamanan secara keseluruhan. Putusan ini menjadi koreksi keras terhadap kecenderungan menarik aparat keamanan kembali ke panggung sipil.
    Bila dijalankan konsisten, ia akan memperkuat prinsip supremasi sipil dan membatasi penetrasi “logika keamanan” ke dalam kebijakan sipil.
    Putusan ini bisa dibaca sebagai teguran halus kepada dua pihak sekaligus. Kepada Polri, agar tidak tergoda memperluas peran di luar fungsi konstitusionalnya.
    Kepada pemerintah, agar tidak malas membangun birokrasi sipil yang kuat dan justru menggantinya dengan aparat bersenjata.
    Secara politis, ini adalah momentum untuk menata ulang relasi antara kepolisian, birokrasi, dan politik.
    Komisi atau Komite Reformasi Polri yang tengah digagas pemerintah akan tampak paradoksal jika di saat yang sama negara membiarkan polisi aktif bercokol di berbagai jabatan sipil.
    Putusan MK memberikan landasan kuat bagi agenda reformasi itu: hentikan rangkap jabatan, kembalikan Polri ke rel profesionalnya.
    Bagi publik, arah ini memberi harapan bahwa jalan mundur reformasi masih bisa diputar. Demokrasi tidak boleh diserahkan kepada logika keamanan. Negara hukum tidak boleh digerakkan oleh privilese institusional.
    Larangan rangkap jabatan bagi polisi aktif mungkin tampak seperti detail teknis perundang-undangan.
    Namun di balik detail itu, kita sedang membicarakan hal-hal yang jauh lebih besar: batas kekuasaan, keadilan bagi warga sipil, serta masa depan reformasi sektor keamanan.
    Mahkamah Konstitusi telah melakukan bagiannya: menutup celah, menegaskan kembali norma, dan mengingatkan bahwa penjelasan undang-undang bukan tempat menyelipkan ambisi kekuasaan baru.
    Kini giliran pemerintah dan Polri membuktikan: apakah putusan itu benar-benar akan dijalankan, atau sekadar dijadikan catatan di lembar negara tanpa perubahan nyata di lapangan.
    Jika negara sungguh-sungguh, kita akan melihat peta jabatan sipil yang lebih jernih, tanpa bayang-bayang seragam yang seharusnya hanya bertugas menjaga keamanan, bukan mengatur birokrasi.
    Dan ketika batas itu dijaga, bukan hanya reformasi yang diselamatkan, tetapi juga kepercayaan publik kepada institusi yang memegang kewenangan memaksa atas nama negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.