Kementrian Lembaga: MPR RI

  • KSAD siap berdiskusi dengan Pemprov Aceh bahas lahan Blang Padang

    KSAD siap berdiskusi dengan Pemprov Aceh bahas lahan Blang Padang

    “Kalau mau ada sesuatu hal, mestinya duduk bareng, ngobrol. Kita kan gak punya kewenangan ngasih,”

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatakan pihaknya siap duduk berdiskusi dengan Pemerintah Provinsi Aceh soal permasalah Lahan Blang Padang.

    “Kalau mau ada sesuatu hal, mestinya duduk bareng, ngobrol. Kita kan nggak punya kewenangan ngasih,” kata Maruli saat ditemui di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu.

    Menurut Maruli, Kementerian Keuangan adalah pihak yang memiliki kewenangan atas lahan tersebut.

    Berdasarkan peraturan dan administrasi yang berlaku, lahan tersebut lalu diserahkan ke Kementerian Pertahanan dan selanjutnya dipakai TNI AD untuk dikelola.

    Hal tersebut, lanjut Maruli, membuat TNI AD tidak bisa serta merta memberikan lahan tersebut sesuai dengan keinginan Pemerintah Provinsi Aceh.

    “Kami kan di situ ada juga surat kami legalitasnya dari Kementerian Keuangan,” jelas Maruli.

    Maruli berharap permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik melalui prosedur dan ketentuan yang berlaku.

    Asal muasal lahan Blang Padang

    Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana menjelaskan soal asal usul kepemilikan Tanah Lapang Blang Padang yang ada di Provinsi Aceh.

    Dalam pernyataan pers resmi Kadispenad yang diterima TNI AD di Jakarta, Selasa, dijelaskan bahwa tanah tersebut awalnya dipakai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai tempat pemusatan pasukan di masa perjuangan 1945.

    Setelah itu, KNIL selaku pihak militer Belanda menyerahkan lahan serta tersebut sarana dan prasarananya ke pihak Indonesia.

    “Pada tahun 1950 Pemerintah Belanda melalui KNIL melaksanakan penyerahan seluruh sarpras militer yang berada di atas tanah Blang Padang dan sekelilingnya kepada pihak militer Indonesia dan beberapa dokumen tersimpan di TNI AD terkait hal tersebut,” kata Wahyu dalam siaran pers resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (1/7).

    Selanjutnya, kata Wahyu, setelah melewati beberapa tahapan administrasi, Menteri Keuangan (Menkeu) selaku Pengelola Barang (PB) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KMK-193/KM.6/WKN.1/KNL.01/2021 tanggal 24 Agustus 2021 tentang Penetapan Status Pengguna (PSP) kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).

    Surat tersebut mengukuhkan status Kemhan sebagai Pengguna Barang (PB), dalam hal ini lahan tersebut.

    “Tahapan berikutnya, Kemhan selaku Pengguna Barang menyerahkan pengelolaan tanah tersebut kepada TNI AD selaku Kuasa Pengguna Barang (KPB),” kata Wahyu.

    Selanjutnya, jelas Wahyu, TNI AD menggunakan lahan tersebut untuk berbagai kebutuhan seperti upacara, sarana olahraga dan sarana yang kerap dipakai masyarakat ataupun pemerintah daerah untuk menggelar kegiatan.

    Wahyu sendiri menekankan pihaknya tidak masalah jika pemerintah daerah setempat ingin mengambil alih kepemilikan lahan tersebut.

    “Namun hal yang harus dipedomani adalah bahwa perubahan tersebut perlu dilaksanakan sesuai Prosedur yang berlaku,” jelas Wahyu.

    “Secara mekanisme dan prosedur, tentunya TNI AD tidak bisa serta merta menyerahkan kepada Pemprov Aceh,” tambah dia.

    Wahyu pun menjelaskan ada beberapa cara yang bisa ditempuh pihak pemerintah daerah jika ingin mengambil alih lahan tersebut.

    Salah satu caranya yakni Pemprov Aceh bisa berkomunikasi dengan Menkeu selaku pengelola barang untuk merubah PSP yang menetapkan Kemhan sebagai pengguna barang.

    Wahyu berharap, cara yang telah diatur sesuai dengan prosedur yang berlaku dapat ditempuh Pemprov Aceh untuk menyelesaikan masalah tanah ini.

    “Sekali lagi saya tegaskan bahwa TNI AD tidak mempermasalahkan jika Pemprov Aceh akan mengelola tanah tersebut, tentunya setelah ada perubahan PSP, karena sebenarnya TNI AD juga sudah cukup banyak menerima bantuan tanah dari Pemda di wilayah melalui mekanisme yang berlaku,” tutup Wahyu.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua
    Komisi II
    DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 akan memicu banyak revisi undang-undang.
    Ia mengatakan, yang sudah pasti akan terkena revisi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Pilkada).
    Selain dua undang-undang itu, Dede mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga akan berubah.
    “Ada berapa Undang-Undang yang akhirnya akan terpaksa diubah? Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23. Karena dalam UU Nomor 23 itu menentukan soal Pemerintahan Daerah, di dalamnya ada DPRD. Berarti kan harus direvisi juga, harus diulang,” kata Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Adapun UU Otsus Papua diubah karena di dalamnya mengatur pemilihan anggota DPRD yang dilaksanakan lima tahun sekali.
    Sedangkan dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK mengusulkan agar pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada paling singkat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    “Itu undang-undang, loh, enggak mungkin kita hanya menambah dua tahun tanpa merevisi UU,” ucap Dede.
    Komisi II bersama alat kelengkapan dewan (AKD) lain disebutnya akan melakukan kajian terlebih dahulu ihwal putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
    “Kalau dari Komisi II, kita harus memberikan kajian terlebih dahulu dari sudut pandang Komisi II. Nah, dari berbagai kajian-kajian itu nanti kita sampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat konsultasi berikutnya,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan MK terkait pemisahan pelaksanaan
    pemilu nasional dan daerah
    berpotensi mendorong revisi
    UU Pemilu
    dengan mekanisme
    omnibus law
    .
    Pasalnya, putusan itu membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan di Indonesia.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk merubah merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menuturkan, putusan MK yang terbaru makin menambah deretan panjang putusan-putusan sebelumnya terkait topik keserentakan Pemilu.
    Setidaknya kata Doli, ada sejumlah UU yang perlu diubah karena putusan tersebut. Termasuk UU Pemilu,
    UU Pilkada
    , hingga UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
    Lebih lanjut, Doli sendiri mengaku setuju dengan putusan MK terbaru. Menurutnya, Pemilu serentak menimbulkan sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah kerumitan dalam penyelenggaraan, terutama bagi penyelenggara.
    Tahun lalu misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengurus ketentuan Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga Pemilihan Legislatif (Pileg). Belum selesai sepenuhnya, penyelenggara harus kembali mengurusi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
    “Mereka terpilih 2022 ya kemarin. Jadi dalam waktu dua tahun, harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tiga jenis Pemilu, nasional dan daerah. Tentu itu mengalami kerumitan,” tandas Doli.
    Diketahui, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR

    Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) kembali disorot
    DPR
    setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
    pemilu
    ) nasional dan daerah mulai 2029.
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
    guardian of constitution
    .
    Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
    Pemilu
    , Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
    Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
    Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
    Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
    UU Pemilu
    .
    Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
    Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
    Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
    Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
    “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
    Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
    MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
    parliamentary threshold
    (PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
    Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
    Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
    Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
    Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
    “Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
    Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
    MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
    Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
    Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
    Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
    presidential threshold
    sebesar 20 persen.
    Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
    Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
    MK menilai,
    presidential threshold
    sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
    “Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
    Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
    presidential threshold
    dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
    Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
    MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
    Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
    Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
    Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
    “Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
    Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
    Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
    MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
    “Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bamsoet Apresiasi Dukungan untuk Kembali Pimpin IMI Periode 2025-2030

    Bamsoet Apresiasi Dukungan untuk Kembali Pimpin IMI Periode 2025-2030

    Jakarta

    Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyampaikan apresiasi atas dukungan yang diberikan oleh IMI Provinsi DKI Jakarta untuk dirinya kembali maju sebagai Ketua Umum IMI periode 2025-2030.

    Dukungan dari IMI DKI Jakarta merupakan dukungan resmi pertama kepada Bamsoet dari seluruh IMI provinsi di Indonesia. Menurut Bamsoet, dukungan tersebut merupakan sebuah bentuk kepercayaan terhadap visi bersama yang telah dijalankan.

    “Membangun IMI sebagai organisasi otomotif modern yang tidak hanya melayani dunia balap, tapi juga menggerakkan sport tourism, budaya modifikasi, dan edukasi keselamatan berkendara,” ujar Bamsoet, dalam keterangan tertulis, Senin (1/7/2025).

    Hal tersebut ia sampaikan saat menerima dukungan tertulis dari Pengurus IMI Provinsi DKI Jakarta di Jakarta, Senin (1/7). Hadir antara lain Ketua IMI DKI Jakarta Anondo Eko dan Sekretaris IMI DKI Jakarta Dodi Irawan.

    Bamsoet menuturkan dirinya siap maju kembali apabila mendapatkan amanat dari anggota IMI dan pemilik suara. Bamsoet juga menegaskan bahwa pemilihan ketua umum bukan semata soal personal, tetapi tentang kesinambungan program, keberlanjutan visi, dan penguatan solidaritas lintas komunitas otomotif.

    “IMI bukan sekadar organisasi. Ini adalah gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan edukasi yang berangkat dari kecintaan terhadap dunia otomotif,” kata Ketua MPR RI ke-15 tersebut.

    “Jika kita ingin IMI terus relevan, kita harus terus bergerak bersama. Karena baik di jalanan maupun di sirkuit, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa finish dengan kehormatan,” sambungnya.

    Ketua IMI DKI Jakarta Anondo Eko menjelaskan dukungan pihaknya terhadap Bamsoet diberikan secara penuh dan bulat. Mengingat keberhasilan IMI di bawah kepemimpinan Bamsoet bukan hanya pada aspek prestasi, tetapi juga pada tata kelola organisasi.

    Di bawah kepemimpinan Bamsoet, IMI berhasil menyelenggarakan berbagai kejuaraan balap nasional dan internasional, membangun sistem digitalisasi database anggota, mempermudah akses perizinan event, hingga melibatkan komunitas dalam kebijakan strategis. Menurut Anondo, tidak kalah penting adalah perhatian IMI terhadap pengembangan komunitas kendaraan listrik dan modifikasi kendaraan, sejalan dengan tren elektrifikasi global.

    “IMI menjadi salah satu organisasi otomotif pertama yang mendukung penuh transisi kendaraan konvensional ke listrik melalui regulasi yang akomodatif dan pelatihan teknis di berbagai daerah,” kata Anondo Eko.

    (akd/akd)

  • Soroti Putusan MK, Eddy Soeparno: Justru Membuat Ketentuan Hukum Baru

    Soroti Putusan MK, Eddy Soeparno: Justru Membuat Ketentuan Hukum Baru

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal, menuai perdebatan di tengah masyarakat, bahkan di antara para elite politik sendiri.

    Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno misalnya menyebut MK seharusnya tidak membuat norma baru terhadap undang-undang, karena lembaga tersebut hanya memutuskan sebuah pasal bertentangan atau tidak terhadap konstitusi.

    Dia berkata demikian demi menanggapi usul dari NasDem agar DPR berkonsultasi dengan MK tersebut.

    “Ya, yang bisa dilakukan oleh MK itu ialah negative legislature, yaitu menyatakan bahwa sebuah pasal atau sebuah ketentuan dalam uu itu apakah sah berdasarkan konstitusi atau tidak,” kata Eddy melalui layanan pesan, Selasa (1/7).

    Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan MK ketika membuat putusan nomor 135 justru membuat norma baru terkait pelaksanaan pemilu di Indonesia.

    “Nah, ini dalam putusan kemarin ini MK justru membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun dari pemilu nasional,” ujar Eddy.

    Namun, kata Eddy, PAN belum bisa mengambil sikap terkait putusan nomor 135 karena partai perlu mempelajari lebih detail.

    “Kami masih mempelajari putusan tersebut, karena memang di satu pihak MK sudah menyatakan bahwa harus ada pemisahan pemilu nasional dan daerah,” ujar Eddy.

    Termasuk, kata dia, PAN mempelajari konsekuensi yang perlu ditempuh DPR dan pemerintah terhadap putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.

  • Presiden Prabowo pimpin upacara HUT Ke-79 Bhayangkara di Monas

    Presiden Prabowo pimpin upacara HUT Ke-79 Bhayangkara di Monas

    Presiden Prabowo Subianto didampingi oleh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo memeriksa pasukan saat upacara peringatan HUT Ke-79 Bhayangkara di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Selasa (1/7/2025). ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden.

    Presiden Prabowo pimpin upacara HUT Ke-79 Bhayangkara di Monas
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Selasa, 01 Juli 2025 – 08:21 WIB

    Elshinta.com – Presiden Prabowo Subianto selaku inspektur upacara memimpin upacara peringatan HUT Ke-79 Bhayangkara di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Selasa. HUT Ke-79 Bhayangkara merupakan peringatan atas terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada 1 Juli 1946.

    Presiden Prabowo, sebagaimana disiarkan dalam siaran langsung Sekretariat Presiden dan Divisi Humas Mabes Polri, tiba di Lapangan Silang Monas pukul 07.56 WIB. Presiden mengenakan setelan jas lengkap dengan kopiah.

    Kedatangan Presiden Prabowo, yang didampingi oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, disambut oleh Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto. Kemudian, Presiden Prabowo beserta Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kemudian diantar oleh Kapolri dan Panglima TNI menuju tenda dan mimbar kehormatan yang bernuansa warna biru dan putih.

    Di mimbar kehormatan, Presiden kemudian menyalami sejumlah pejabat negara yang hadir, di antaranya Ketua MPR Ahmad Muzani, Ketua DPR Puan Maharani, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Presiden Prabowo lanjut menyalami Sinta Nuriyah, Istri Presiden Ke-4 Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden Ke-6 Try Sutrisno, Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden Ke-13 Ma’ruf Amin.

    Usai menyalami sejumlah tamu kehormatan dan pejabat negara, Presiden didampingi Wapres Gibran berdiri di mimbar kehormatan, dan Presiden pun lanjut memimpin upacara peringatan HUT Ke-79 Bhayangkara.

    Prosesi upacara diawali dengan mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Selepas itu, Presiden didampingi oleh Kapolri lanjut naik mobil atap terbuka untuk memeriksa pasukan. Sepanjang pemeriksaan, lagu “Maju Tak Gentar” dinyanyikan oleh Korps Musik Polri.

    Selepas prosesi upacara, Presiden beserta tamu kehormatan lanjut menyaksikan parade (defile) dari satuan-satuan Polri,kelompok-kelompok masyarakat yang mengenakan pakaian tradisional sejumlah suku di Indonesia, dan perwakilan dari aparat lembaga lainnya yang bermitra dengan Polri.

    Kemudian, ada juga defile dari satuan pengamanan (satpam), perlindungan masyarakat (linmas), dan potensi masyarakat (potmas), hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Barisan Ansor Serbaguna (Banser), Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM), dan Persatuan Islam (Persis).

    Tidak hanya itu, parade juga dimeriahkan dengan penampilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, pemuda-pemudi Merah Putih, hingga kelompok tani, Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas), Aisyiyah, dan Fatayat Nahdlatul Ulama (NU).

    Di hadapan Presiden Prabowo, Polri turut menampilkan sejumlah robot mirip manusia (humanoid) dan robot mirip anjing penjaga dalam parade. Setidaknya, ada 25 robot ikut defile, yang mencakup robot tank, robot ropi, drone agriculture, dan robot anjing penjaga. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho menjelaskan adanya robot-robot tersebut merupakan simbol modernisasi Polri.

    Dalam rangkaian peringatan HUT Ke-79 Bhayangkara hari ini, petinggi-petinggi TNI dan jajaran pimpinan lembaga negara turut hadir, di antaranya Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI M. Tonny Harjono, dan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Erwin S. Aldedharma, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala Badan Intelijen Negara M. Herindra, kemudian jajaran menteri Kabinet Merah Putih, termasuk Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, yang mendampingi Presiden Prabowo.

    Sumber : Antara

  • SBY, JK, hingga Ma”ruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran

    SBY, JK, hingga Ma”ruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran

    SBY, JK, hingga Maruf Amin Ikut Upacara HUT ke-79 Bhayangkara Bareng Prabowo-Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI
    Prabowo Subianto
    menghadiri acara Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
    Pantauan dari lokasi sekitar pukul 08.00 WIB, Prabowo tiba bersama dengan Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka dan istrinya, Selvi Ananda.
    Dalam upacara ini, Prabowo akan menjadi Inspektur Upacara.
    Selain Prabowo dan Gibran, para pejabat tokoh nasional lain turut hadir di antaranya Presiden ke-6 RI
    Susilo Bambang Yudhoyono
    (
    SBY
    ); Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin; Wapres ke-10 dan ke-12 RI
    Jusuf Kalla
    (JK), Wapres ke-6 Try Surtisno, hingga anak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, yakni Alissa Wahid dan Yeny Wahid.
    Selain itu, hadir tuan rumah Kapolri Jenderal Lisyo Sigit Prabowo. Kemudian sejumlah menteri Kabinet Merah Putih yaitu Panglima TNI Agus Subiyanto, Menteri Koperasi Budi Arie; Menteri ESDM Bahlil Lahadali; Ketua DPR RI Puan Maharani; Ketua MPR RI Ahmad Muzani; Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
    Adapun dalam acara
    HUT Bhayangkara
    ini turut dihadiri masyarakat umum yang sudah memenuhi Kawasan Monas sejak pagi hari.
    Sejak pagi hari, di lokasi terpajang sejumlah kendaraan taktis milik Polri serta penampilan pasukan terjun payung yang membawa bendera logo satuan Korps Bhayangkara dan bendera Merah Putih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD 45 karena Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
    Nasdem
    menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait
    pemisahan pemilu
    adalah melanggar konstitusi serta mencuri kedaulatan rakyat. Begini pernyataan lengkap
    NasDem
    .
    Pernyataan sikap partai ini disampaikan di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) malam.
    Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi
    Partai Nasdem
    Lestari Moerdijat, yang disaksikan oleh sejumlah kader Nasdem.
    Adapun kader-kader yang hadir meliputi Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Ada pula Ketua Komisi II DPR RI yang merupakan kader Nasdem, Rifqinizamy Karyasuda.
    DPP Partai Nasdem menilai putusan tersebut
    inkonstitusional
    sehingga mencuri kedaulatan masyarakat.

    Nasdem pun beranggapan bahwa
    putusan MK
    seolah mengambil tanah legislasi.
    “Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat
    Partai NasDem
    menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” kata Lestari memulai pernyataan sikap.
    Berikut adalah 10 poin yang disampaikan Lestari Moerdijat mewakili DPP Partai NasDem:
    1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
    2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
    3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
    4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum; ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
    5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
    6. MK, dalam kapasitas sebagai guardian of constitution, tidak diberikan kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22B UUD NRI 1945.
    7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis, padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya, berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional.
    8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, dalam putusan MK kali ini, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
    9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
    10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    dalam pernyataan sikapnya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta penjelasan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait putusan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (
    pemilu
    ) serentak nasional dan lokal.
    “Partai
    NasDem
    mendesak
    DPR RI
    untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Pasalnya, Nasdem dengan tegas menyatakan bahwa
    putusan MK
    tersebut menyalahi konstitusi.
    “Pemisahan skema pemilihan presiden,
    DPR
    RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Lestari.
    Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari lagi.
    Selain itu, dia menyebut, MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah. Sebab, penentuan waktu pasti penyelenggaraan pemilu merupakan
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata Lestari.
    Tak hanya itu, Nasdem menilai, MK melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat karena memutuskan pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal.
    Sebab, lagi-lagi berdasarkan Pasal 22e ayat 1 UUD NRI 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” ujar Lestari.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    NasDem
    menilai putusan
    MK
    soal pemisahan pemilu serentak tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lantaran bersifat inkonstitusional.
    “Dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem,
    Lestari Moerdijat
    di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Dalam pengumuman pernyataan sikap DPP Partai NasDem ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    NasDem menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
    Adapun menurut putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nantinya dipisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda antara 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Putusan itu akan diberlakukan untuk
    Pemilu 2029
    .
    “Pemisahan skema pemilihan presiden, DPR RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” kata Rerie, sapaan Lestari Moerdijat.
    NasDem juga menyatakan MK tidak punya kewenangan mengubah norma hukum dan konstitusi.
    Sebagaimana diketahui, MK memutuskan bahwa pemilu serentak dibagi menjadi dua, yakni, pertama, pemilu serentak nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, MPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal terdiri dari Pilkada, Pileg DPRD Provinsi, dan Pileg DPRD Kabupaten/Kota.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.