Kementrian Lembaga: MK

  • Anggota Komisi II DPR RI suarakan kewenangan Bawaslu diperluas

    Anggota Komisi II DPR RI suarakan kewenangan Bawaslu diperluas

    Makassar (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI H.M. Taufan Pawe menyatakan mendukung penuh kewenangan Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu diperluas dalam hal pengawasan dengan menyuarakan penataan ulang Undang-Undang Pemilu, menyatukan regulasi pemilu, pilkada dan penyelenggara pemilu dalam satu undang-undang.

    “Saya berpandangan dan konsisten menyuarakan Bawaslu ke depan di semua tingkatan harus diberikan kewenangan yang lebih luas, mandiri, tidak bisa diintervensi,” kata Taufan saat Rapat Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.

    Menurut dia, Bawaslu penting diperkuat mengingat tugasnya berat melakukan pengawasan pemilu hingga pilkada. Bawaslu dapat diberikan kewenangan yang lebih besar, termasuk penindakan terhadap potensi pelanggaran pemilu dan pilkada.

    Selain itu, dari hasil evaluasi Komisi II DPR RI yang juga membidangi salah satunya urusan kepemiluan, Taufan mengatakan ditemukan banyak persoalan, termasuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang dinilai amburadul.

    Salah satu evaluasinya adalah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) pilkada pada 25 kabupaten/kota di Indonesia.

    Menurut dia, putusan MK tersebut sebagian besar disebabkan penyelenggara pemilu bekerja tidak sesuai standar.

    “Dengan pilkada kemarin, lahir putusan MK memerintahkan 25 daerah dilakukan PSU. Kalau kita meneropong detail putusan MK itu, sebagian besar karena tidak profesionalnya penyelenggara pemilu,” ujar mantan Wali Kota Parepare, Sulsel, itu.

    Untuk itu, Komisi II DPR menekankan pentingnya memperkuat pengawasan pemilu dengan memberikan Bawaslu kewenangan yang lebih besar, termasuk dapat melakukan penindakan tegas terhadap potensi pelanggaran pemilu maupun pilkada.

    “Termasuk soal putusan MK 135, kita menyelaraskan itu semua dalam satu revisi Undang-Undang Pemilu. Kodifikasi regulasi pemilu dan pilkada,” kata legislator berlatar belakang pengacara itu.

    Menanggapi hal tersebut, Ketua Bawaslu Kabupaten Maros Sufirman menyampaikan apresiasi atas dukungan yang diberikan Komisi II DPR kepada Bawaslu.

    Ia berkomitmen untuk terus meningkatkan kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugas pengawasan pemilu.

    “Kami menyadari bahwa tantangan dalam mengawasi pemilu semakin kompleks. Oleh karena itu, kami akan terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia kami,” tuturnya.

    Rapat Penguatan Kelembagaan Pengawasan Pemilu itu diselenggarakan Bawaslu Maros sebagai ruang evaluasi penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bersama Komisi II DPR.

    Pembicara yang dihadirkan pada rapat itu adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Prof. Muhammad dan Ketua Bawaslu Sulsel periode 2018-2023 Laode Arumahi.

    Pewarta: M Darwin Fatir
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • F-Golkar minta anggaran pendidikan 20 persen untuk pendidikan formal

    F-Golkar minta anggaran pendidikan 20 persen untuk pendidikan formal

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Golkar MPR RI meminta pemerintah fokus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2026 untuk sektor pendidikan formal, yakni pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

    “Semoga anggaran 2026, anggaran pendidikan kita sudah kembali kepada relnya, yaitu 20 persen minimal, dan digunakan untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi,” kata Ketua Fraksi Golkar MPR RI Melchias Marcus Mekeng di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Dia mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan mandat dari Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara wajib menyediakan anggaran 20 persen dari ABPN dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

    Namun, dalam implementasinya, pengalokasian anggaran tersebut masih belum sesuai di lapangan untuk menopang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi di tanah air.

    “Masih banyak fasilitas sekolah yang tidak layak, guru-guru yang tidak dibayar dengan layak, yang menimbulkan banyak keresahan di masyarakat,” ucapnya.

    Dia menuturkan berdasarkan data yang diperolehnya, ada sekitar 24 persen anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan, sedangkan hanya 22 persen yang lulus SD, dan hanya 4,8 persen yang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S1 sampai S3.

    “Sisanya (adalah) tamat SMP dan SMK. Jadi, ini adalah potret (pendidikan) kita,” ujarnya.

    Dia mengatakan fraksinya menyoroti pula penggunaan anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk kebutuhan sekolah kedinasan yang dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022 dan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007.

    “Di mana (putusan MK tahun 2007) menghapuskan frasa di Undang-Undang Sisdiknas bahwa anggaran kedinasan dan gaji pendidik di kedinasan tidak boleh mengambil anggaran pendidikan,” tuturnya.

    Untuk itu, Mekeng mengingatkan pemerintah harus menyiapkan dari sisi anggaran yang lain untuk anggaran sekolah kedinasan dan tidak bisa diambil dari anggaran pendidikan.

    “Jadi, itu dasarnya yang sangat kuat dan ruh daripada Undang-Undang Dasar 45 kita, Pasal 31 tentang anggaran pendidikan itu adalah anggaran pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Mereka tidak membahas tentang anggaran kedinasan,” katanya.

    Dia juga menambahkan, “Kami tidak anti terhadap kedinasan, kami minta kedinasan pun itu disiapkan anggaran, tapi tidak mengambil anggaran dari pendidikan.”

    Sebagai tindak lanjut, lanjut Mekeng, Fraksi Golkar MPR RI akan segera menyampaikan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto berisi rekomendasi hasil kajian dan diskusi yang telah dilakukan pihaknya untuk dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan RAPBN 2026.

    “Oleh karena itu, kami meminta kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Prabowo agar anggaran 20 persen pendidikan diberikan utamanya kepada pendidikan dasar, menengah, dan tinggi,” katanya.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sidang Gugatan UU Hak Cipta, Hakim MK Tanya Rekaman Bacaan Al Quran Harus Bayar Royalti?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Agustus 2025

    Sidang Gugatan UU Hak Cipta, Hakim MK Tanya Rekaman Bacaan Al Quran Harus Bayar Royalti? Nasional 8 Agustus 2025

    Sidang Gugatan UU Hak Cipta, Hakim MK Tanya Rekaman Bacaan Al Quran Harus Bayar Royalti?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Konstitusi Anwar Usman mempertanyakan apakah rekaman bacaan ayat-ayat suci Al Quran atau dikenal dengan sebutan murottal Quran yang diputar di tempat komersial perlu membayar royalti?
    Hal itu disampaikan Anwar Usman dalam sidang mendengarkan keterangan ahli pemerintah dalam gugatan Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 dengan nomor perkara 28, 37/PUU-XXIII/2025 yang digelar Kamis (7/8/2025).
    “Misalnya saya mendatangi sebuah pesantren, lalu disuruh nyanyi sebuah nyanyian yang dinyanyikan oleh Sahabat Rasulullah ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah, disambut dengan musik bertalu-talu, ‘Thola al-badru alayna’ oh itu indah sekali,” katanya.
    “Sama dengan orang membaca Al Quran, misalnya di Indonesia dengan irama sendiri, kan berbeda setiap negara, itu kan seni juga sebenarnya, nah kira-kira bagaimana regulasinya itu?” imbuhnya lagi.
    Selain itu, Anwar Usman juga menyinggung soal regulasi yang harus menguntungkan semua pihak, baik pencipta lagu, penyanyi, maupun penikmat seni.
    Sebab itu dia meminta masukan kepada ahli dari pemerintah, Ahmad M Ramli untuk menerangkan kembali UU Hak Cipta khususnya berkaitan dengan seni musik.
    Royalti terkait rekaman ini pernah disinggung oleh Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, Dharma Oratmangun.
    Ia mengatakan, rekaman sebuah karya, meskipun adalah suara kicauan burung tetap memiliki hak royalti.
    “Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma kepada Kompas.com, Senin (4/7/2025).
    Dalam sidang, ahli pemerintah Ahmad M Ramli menjawab secara umum bahwa dia tidak ingin orang menganggap sebuah lagu sebagai sesuatu yang menakutkan dan tidak berani disentuh.
    Misalnya seorang sedang merayakan ulang tahun dan menyewa penyanyi organ tunggal. Namun setelah bernyanyi, mereka diminta bayar royalti.
    “Enggak ada cerita itu (tidak boleh terjadi), karena undang-undang ini mengatakan sepanjang tidak komersial, enggak ada itu (pembayaran royalti), ya,” imbuhnya.
    Ramli bahkan menegaskan, orang-orang yang menyanyikan sebuah karya di acara ulang tahun atau acara-acara privat adalah agen iklan tanpa dibayar untuk mempopulerkan sebuah karya.
    “Jadi undang-undang ini justru mendorong ‘ayo, nyanyikan lagu sebanyak-banyaknya’ tapi kalau lagu itu kemudian digunakan untuk mendatangkan orang secara komersial, baik konser, baik apapun, maka tolong bayar ke LMK. Itu saja,” tuturnya.
    Sebagai informasi, gugatan uji materi UU Hak Cipta dengan nomor perkara 28, 37/PUU-XXIII/2025 ini berkaitan dengan kasus tuntutan pencipta lagu kepada para musisi yang marak terjadi belakangan.
    Salah satu permohonan mereka adalah meminta MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bawaslu RI sebut pelaksanaan PSU Papua di Biak taat aturan putusan MK

    Bawaslu RI sebut pelaksanaan PSU Papua di Biak taat aturan putusan MK

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Bawaslu RI sebut pelaksanaan PSU Papua di Biak taat aturan putusan MK
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 22:45 WIB

    Elshinta.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia menilai bahwa penyelenggaraan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Papua pada Rabu 6 Agustus 2025 di Kabupaten Biak Numfor telah berlangsung sesuai aturan putusan Mahkamah Konstitusi.

    “Hasil monitoring Bawaslu RI sejak saat distribusi logistik, pembukaan logistik PSU hingga penggunaan data pemilih telah sesuai dengan amar putusan MK,” ujar Deputi Teknis Bawaslu Republik Indonesia La Bayoni dalam keterangan di Biak, Kamis.

    Ia mengatakan, sebagian besar masyarakat yang punya hak pilih secara bergantian telah mendatangi 345 tempat pemungutan suara dengan aman, lancar dan demokrasi.

    “Kami memberikan apresiasi atas keterlibatan semua pihak dan pemerintah daerah dalam menyukseskan penyelenggaraan PSU Pilkada Papua 6 Agustus 2025,” ujarnya.

    Diakuinya, dari hasil kunjungan langsung di beberapa TPS terlihat warga Kabupaten Biak Numfor sangat antusias mengikuti PSU 6 Agustus 2025.

    Bayoni berharap, kolaborasi yang sudah dilakukan KPU, Bawaslu, pemerintah daerah, forkompinda dan TNI/Polri dan menyukseskan PSU Pilkada Papua patut mendapat apresiasi Bawaslu.

    “Bawaslu memberikan atensi khusus terhadap pelaksanaan PSU Pilkada Papua di Kabupaten Biak Numfor berlangsung dengan aman dan sangat kondusif,” ujarnya.

    Hingga, Kamis (7/8) proses rekapitulasi penghitungan suara masih dilakukan pleno di 19 panitia pemilihan distrik/kecamatan hingga Jumat (8/8).

    Sementara untuk rekapitulasi pleno perolehan pasangan calon dari tingkat panitia pemilihan distrik selanjutnya akan disahkan pada rapat pleno di tingkat KPU Kabupaten Biak Numfor.

    Pada PSU Pilkada Papua 6 Agustus diikuti dua pasangan calon yakni nomor urut 1 Benhur Tommy Mano- Costan Karma dan nomor urut 2 Mathius D Fakhiri-Aryoko Alberto Rumaropen.

    Sumber : Antara

  • MPR Sebut Putusan MK soal Revisi UU Pemilu Tak Perlu Disikapi Berlebihan

    MPR Sebut Putusan MK soal Revisi UU Pemilu Tak Perlu Disikapi Berlebihan

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dihormati, namun tidak perlu disikapi secara berlebihan.

    Agun menilai konstitusi tetap menjadi hukum tertinggi yang harus menjadi rujukan utama dalam pembentukan undang-undang pemilu.

    “Putusan MK bukanlah hukum yang paling tinggi. Yang supreme itu konstitusi, bukan lembaganya. Jadi jangan menganggap MK itu super body. Tidak ada lembaga negara yang bersifat suprem dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Agun dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).

    Hal ini disampaikannya dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk ‘Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu’ di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

    Adapun diskusi tersebut merupakan kerja sama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), serta dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media nasional.

    Agun mengungkapkan DPR dan pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan merumuskan kembali undang-undang pemilu. Untuk itu, ka mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.

    Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18.

    Menurutnya, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di setiap daerah.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar judicial restraint.

    Ia mengatakan MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

    “Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul.

    Lebih lanjut, Abdul mengungkapkan keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak. Apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

    “Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” katanya.

    Abdul juga menilai keputusan MK terkait pemilu bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah.

    Untuk itu, ia mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

    “Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

    (ega/ega)

  • Membaca Arah Tafsir Putusan 135

    Membaca Arah Tafsir Putusan 135

    Jakarta

    Kontestasi politik nasional kembali mengalami konfigurasi pasca diterbitkannya Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 (Putusan 135) pada 26 Juni 2025 silam oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan 135 cukup mengguncang ruang politik nasional karena melegitimasi pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal.

    Putusan ini mengakhiri anomali pelaksanaan pemilu serentak yang secara praktik menimbulkan pelbagai krisis, mulai dari pelemahan pelembagaan partai politik, pelemahan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, hingga penurunan kualitas kedaulatan rakyat.

    Adanya kegagalan sistematis dalam desain sistem pemilu sangat beririsan dengan kualitas pemimpin rakyat yang muncul sebagai pemenang. Keserentakan pemilu tidak bisa lagi dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis dan implementasi undang-undang.

    Pengaturan jadwal pemilu akan berdampak serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu, serta kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu yang telah digarikan oleh konstitusi.

    Kesampingkan terlebih dahulu tendensi politis, mari lihat pendekatan penafsiran pada Putusan 135.

    Kegagalan Sistematis Pemilu

    Allen Hicken (2020) dalam studinya “When Does Electoral System Reform Occur?” memberikan 3 (tiga) pendekatan untuk melihat latar belakang adanya perubahan desain pemilu, yaitu kegagalan sistematis (systematic failure), krisis katalis (catalyst crisis), dan preferensi petahana (incumbent preference).

    Pemilu di Indonesia melihat preferensi petahana sebagai pendekatan yang paling ideal. Justru pendekatan tersebut cenderung pragmatis, karena merupakan upaya dari petahana untuk memperoleh keuntungan elektoral agar dapat menang kembali di pemilu.

    Melalui pendekatan tersebut, kondisi objektif dari desain sistem pemilu dikesampingkan, karena sesungguhnya pertimbangan keunggulan politik hampir selalu menjadi faktor utama bahkan satu-satunya.

    Kondisi objektif tersebut dapat diutamakan jika menjatuhkan pilihan pada pendekatan kegagalan sistematis. Kegagalan sistematis melihat perubahan desain sistem pemilu dari perspektif dampak, adanya kegagalan atau ketidakmampuan dari sistem pemilu dan justru melahirkan permasalahan.

    Sebagai contoh, Italia pernah menerapkan sistem pemilu proporsional dalam rangka menyeimbangkan perwakilan di parlemen dengan perolehan suara.

    Namun, sistem tersebut pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik, faksionalisasi, serta nirakuntabilitas. Melihat kondisi demikian, Italia melakukan perubahan sistem pemilu dari proporsional ke sistem pemilu campuran melalui mekanisme referendum.

    Arah Penafsiran Mahkamah Konstitusi

    Putusan 135 menjadi benchmarking bagi MK yang menerapkan pendekatan kegagalan sistematis dalam memaknai keserentakan pemilu. Kepekaan terhadap kegagalan sistematis berkorelasi erat dengan metode penafsiran yang dipakai oleh MK. MK selama ini terbelenggu dengan penafsiran originalis (original-intent) yang mencoba menghadirkan semangat awal terbentuknya suatu norma dalam konstitusi.

    Jika sepakat bahwa makna keserentakan tidak hanya persoalan teknis saja, kita harusnya sepakat karena melalui Putusan 135 MK mencoba keluar dari belenggu tersebut. Dengan menggunakan metode penafsiran non originalis (ethical), MK lebih mempertimbangkan aspek kemudahan bagi pemilih menentukan pilihan, kerumitan partai politik dalam proses pencalonan, dan beratnya beban penyelenggaraan pemilu.

    Konsekuensi dari adanya pergeseran metode tafsir tersebut, Pasal 22E ayat (2) UU UUD NRI 1945 tidak lagi bermakna sebagai norma keserentakan pemilu, melainkan hanya norma yang mengatur jenis pemilu. Pilkada merupakan bagian dari pemilu, di mana sistem dan modelnya menjadi bagian dari sistem pengisian pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

    Asas keberkalaan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 pun akan mengalami transisi, khususnya untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang tidak akan dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. Kondisi tersebut tunduk pada teori transisi hukum dalam pembentukan kebijakan hukum, sehingga Putusan 135 tidak dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

    Menyikapi Putusan 135

    Mempergunakan metode penafsiran non originalis secara teori sejalan dengan pandangan living constitution. Living constitution beranggapan bila terjadi perubahan yang mendasar sebagai kebutuhan dari masyarakat, MK tidak dilarang atau bahkan wajib untuk bertindak aktif dan meninggalkan pendiriannya sebagai negative legislator.

    Living constitution membenarkan penafsiran terjadi dalam bentuk yang akan berdampak pada perubahan makna teks konstitusi secara informal. Jimly Asshiddiqie pernah berkomentar bahwa salah satu ciri konstitusi yang fleksibel adalah apabila UUD nya mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak terlalu rumit dengan pertimbangan untuk tidak mempersulit perubahan, sehingga UUD dapat disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman.

    Sepakat atau tidak sepakat, secara teori dan hukum konstitusi, tidak terbuka opsi untuk menolak Putusan 135, sehingga apa yang ditafsirkan oleh MK harus dipatuhi dan dilaksanakan. Res judicata pro verotate habetur, setiap putusan hakim harus dianggap benar sehingga harus dihormati dan dilaksanakan.

    Bagi partai politik pun, Putusan 135 ini tidaklah merugikan. Justru momentum ini membuka ruang untuk menata ulang model keserentakan yang lebih proporsional bagi kepentingan partai politik.

    Muhammad Daffa Alfandy. Junior Associate of DSLC Law Firm.

    (rdp/rdp)

  • KPK Berpeluang Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Rumah Prajurit TNI AD, Tapi..

    KPK Berpeluang Usut Dugaan Korupsi Pengadaan Rumah Prajurit TNI AD, Tapi..

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons peluang untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI Angkatan Darat (TNI AD). 

    “Kami lihat dari siapa pelakunya ya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dilansir dari Antara, Kamis (7/8/2025). 

    Lebih lanjut, Asep menjelaskan jika pelaku kasus tersebut merupakan anggota TNI, maka tidak ditangani oleh KPK.

    Pasalnya, kata dia, tindak pidana yang menjerat prajurit kewenangannya ada di Kejaksaan. 

    “Itu koneksitas. Nanti bisa ditangani di Kejaksaan karena di Kejaksaan ada Jampidmil, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer,” ujarnya.

    Namun, apabila pelakunya adalah masyarakat sipil atau bukan anggota TNI, maka KPK bisa menangani kasus tersebut.

    “Jadi kami bisa join [ikut mengusut] gitu. Nanti misalkan kalau ada yang TNI, ditangani oleh TNI. Kemudian yang sipilnya kami tangani, walaupun di MK (Mahkamah Konstitusi) ada putusan kan ya,” katanya.

    Keputusan MK yang dimaksud Asep adalah Putusan Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang menegaskan KPK berwenang mengusut kasus-kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan anggota TNI.

    Walaupun demikian, Asep mengatakan akan mengecek terlebih dahulu ada atau tidaknya laporan dugaan korupsi dalam pengadaan rumah prajurit TNI AD ke Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK.

    Sebelumnya, konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri atas empat media, yakni Jaring.id, Suara.com, Independen.id, dan Tempo, berkolaborasi menelusuri pengadaan rumah prajurit TNI AD di masa Kepala Staf TNI AD (KSAD) Dudung Abdurachman.

  • Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Meluruskan Kembali Implementasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Jakarta

    Mungkin yang terbayang dalam pikiran para inisiator anggaran pendidikan 20 persen dari APBN adalah dalam beberapa waktu ke depan kualitas pendidikan nasional akan sejajar bahkan mendahului negara-negara ASEAN lainnya. Ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN menjadi anggaran wajib (mandatory spending) setiap tahunnya, terbayang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan alokasi belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia.

    Anggaran pendidikan di Indonesia mulai mencapai 20 persen dari APBN dimulai pada tahun 2009, semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 16 Tahun 2008 tentang APBN 2008 bertentangan dengan UUD 1945. Anggaran pendidikan 15,6 persen dalam APBN 2008 dinilai tidak memenuhi amanat konstitusi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN. Pasca-keputusan MK, anggaran pendidikan 2009 menjadi Rp 208,3 triliun atau sekitar 20,8 persen. Maka semenjak tahun 2009 hingga saat ini, perencanaan anggaran pendidikan selalu mencapai 20 persen.

    Pada saat awal implementasi penerapan anggaran pendidikan menjadi mandatory spending tahun 2009, kualitas pendidikan nasional yang tercermin dari skor keterampilan global (membaca, matematika dan sain) yang diukur dalam survey Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia memiliki skor rata-rata 385 berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Untuk kategori membaca, Indonesia memperoleh skor 402 (rata-rata OECD 493). Dalam kategori matematika, yakni 371 (rata-rata OECD 496). Sedangkan untuk kategori sains, Indonesia memperoleh skor 383, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 501. Skor ini menjadi baseline untuk mengukur dampak yang ditimbulkan oleh anggaran mandatory tersebut.

    Setelah 16 tahun (2009-2025) implementasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, apa dampak dan perubahan yang ditimbulkannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, adanya mandatory spending tersebut berdampak terhadap membaiknya akses pendidikan. Hal ini ditunjukkan dari angka partisipasi sekolah yang semakin meningkat setiap tahunnya. Namun dari sisi peningkatan mutu pendidikan, belum memberikan hasil yang menggembirakan. Skor PISA, HCI (Human Capital Index), kompetensi guru, dan ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah masih memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

    Pencapaian skor PISA anak-anak Indonesia bisa menjadi ukuran yang valid. Penilaian terakhir PISA dilakukan pada tahun 2022 yang publikasinya dirilis tahun 2023. Dilihat dari tiga unsur pengetahuan yang dinilai, untuk pengetahuan membaca Indonesia mendapatkan skor 359 poin (rata-rata OECD 476). Selanjutnya, pengetahuan matematika, Indonesia mendapatkan skor 366 poin (rata-rata OECD 472). Terakhir, pengetahuan sains dengan skor 383 poin (rata-rata OECD 485). Dari ketiga penilaian pengetahuan tersebut, jelas bahwa penilaian PISA Indonesia berada di bawah negara-negara OECD bahkan ASEAN.

    Hasil skor PISA 2022 yang didapatkan Indonesia memberikan sejumlah catatan terkait kualitas dan kondisi dunia pendidikan nasional. Secara rata-rata, Indonesia mendapatkan skor PISA 369 poin. Ironisnya, skor PISA 2022 ini merupakan skor terendah Indonesia yang nilainya berada di bawah skor tahun 2009. Artinya selama 16 tahun alokasi anggaran pendidikan 20 persen belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi dunia pendidikan. Hal ini tentunya, harus menjadi bahan evaluasi karena adanya penurunan tingkat kualitas pendidikan nasional.

    Meluruskan Anggaran Pendidikan 20 Persen

    Perjalanan panjang anggaran pendidikan dalam 16 tahun terakhir, mengalami banyak distorsi dalam pengalokasinnya, sehingga berdampak terhadap ketercapaian akses, kualitas, dan relevansi pendidikan terhadap kemajuan bangsa dalam fase bonus demografi yang sedang berlangsung. Salah satu bukti nyata adalah semakin menurunnya skor PISA Indonesia dalam dua dekade terakhir. Saat ini, tidak cukup hanya mengevaluasi nilai anggaran pendidikan 20 persen semata, tetapi juga harus melihat pengalokasiannya secara detail dan mendalam.

    Alokasi anggaran pendidikan tahun 2025 mencapai angka Rp 724 triliun. Dari total anggaran tersebut, sebesar Rp 297,2 triliun (41,05%) disalurkan melalui anggaran Belanja Pemerintah Pusat (BPP). Sedangkan alokasi anggaran melalui transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%). Dari alokasi anggaran BPP, disalurkan melalui Kementerian/Lembaga (K/L) senilai Rp 261,61 triliun (88,03%), sisanya untuk non-K/L sebesar Rp 35,55 triliun (11,96%).

    Alokasi anggaran pendidikan di kementerian yang terkait pendidikan secara langsung, terdapat di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar Rp 33,54 triliun (12,82%) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Rp 57,68 triliun (22,05%), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Rp 2,37 triliun (0,91%), serta Kementerian Agama Rp 65,92 triliun (25,19%). Artinya anggaran pendidikan yang dikelola oleh kementerian terkait pendidikan berkisar Rp 159,51 triliun atau 60,97 persen dari anggaran K/L, sisanya sebesar Rp 102,10 triliun atau 39,02% tersebar di 17 K/L.

    Ketimpangannya terlihat dari besarnya anggaran pendidikan di luar kementerian bidang pendidikan dan agama, jelas dialokasikan untuk pendidikan kedinasan di 17 K/L. Padahal, yang menikmati sekolah kedinasan per tahunnya hanya 13.000 orang. Bandingkan dengan pendidikan formal dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi serta agama, jumlah siswanya mencapai 62 juta di bawah Kementerian Pendidikan dan 12,5 juta di bawah naungan Kementerian Agama. Ketimpangan pengalokasian ini perlu diluruskan kembali.

    Begitu pula dengan anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah sebesar Rp 347,09 triliun (47,94%), efektivitas anggarannya banyak tidak tepat sasaran. Temuan World Bank layak untuk dicermati, terdapat empat aspek masalah alokasi biaya pendidikan melalui transfer ke daerah, yaitu: pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah, kualitas guru yang belum memadai, akuntabilitas yang rendah serta kualitas monitoring evaluasi yang belum optimal.

    Pemerintah harus segera meluruskan kembali implementasi anggaran pendidikan 20 persen. Terutama untuk memperkuat pendidikan dasar dan menengah yang menjadi fondasi utama kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, komitmen anggaran tersebut penting untuk meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana setiap sekolah. Membaca kembali hasil PISA 2022 bukan sekadar melihat capaian angka belaka, tetapi perlu untuk menjadi pijakan reflektif untuk memastikan arah transformasi pendidikan nasional benar-benar berada di jalur yang tepat untuk mengoptimalkan bonus demografi dan menyambut Indonesia maju tahun 2045.

    Sejatinya Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum dan kesempatan untuk melakukan koreksi dan review terhadap kebijakan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen. Saat ini pemerintah sedang menyusun nota keuangan dan RAPBN 2026 yang akan disampaikan oleh presiden di hadapan sidang paripurna DPR tanggal 16 Agustus 2025. Hal ini mendesak, selain sebagai amanat konstitusi, anggaran pendidikan 20 persen ini menjadi kunci untuk memperbaiki kualitas dan akses pendidikan nasional sesuai dengan harapan dan rencana pemerintah untuk membangun peta jalan menuju Indonesia maju tahun 2045.

    Handi Risza. Wakil Rektor Universitas Paramadina.

    (fas/fas)

  • PSU kedua kalinya di Barito Utara berjalan baik 

    PSU kedua kalinya di Barito Utara berjalan baik 

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ketua Bawaslu RI: PSU kedua kalinya di Barito Utara berjalan baik 
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 06 Agustus 2025 – 19:34 WIB

    Elshinta.com – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan jalannya pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Barito Utara Tahun 2024 yang digelar kedua kalinya untuk memilih calon bupati dan wakil bupati berjalan dengan baik.

    Hal itu disampaikannya usai melakukan pemantauan langsung ke tiga titik tempat pemungutan suara (TPS) di Barito Utara, Kalimantan Tengah, yaitu TPS 22 Kelurahan Lanjas, TPS 07 Kelurahan Melayu, dan TPS 06 Kelurahan Jinggah.

    “Seluruh prosesnya berjalan dengan baik. Tidak ada pemilih yang kemudian memaksa masuk di tiga TPS tadi,” kata Bagja saat ditemui usai melakukan pemantauan di rumah jabatan Bupati Barito Utara.

    Meski demikian saat memantau langsung ke salah satu TPS, dia menyebut sempat ada salah satu warga yang kemudian dipulangkan dari TPS karena tidak membawa kartu tanda penduduk (KTP).

    Dia juga mensyukuri partisipasi pemilih pada PSU Pilkada Kabupaten Barito Utara Tahun 2024 telah mencapai angka 50 persen sampai dengan jam 10.00 WIB, Rabu.

    “Lebih dari 60 persen kami harapkan partisipasi pemilih karena biasanya memang kalau sudah PSU itu partisipasi menurun biasanya. Semoga ini tidak (seperti) biasanya,” tuturnya.

    Dia juga menyebut pengamanan yang dilakukan di TPS-TPS pun telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan.

    “Di luar TPS ada seorang polisi minimal, dan juga satu orang tentara. Untuk menjaga atau pun perbantuan terhadap proses-proses keamanan di tempat TPS,” katanya.

    Bagja menambahkan bahwa para komisioner Bawaslu Kabupaten Barito Utara turut memantau pula jalannya PSU di TPS-TPS daerah perbatasan kabupaten.

    “Para komisioner ada yang melaksanakan pengawasan, dan juga sekaligus pecoblosan karena warga Barito Utara. Ada yang tiga jam dari sini rumahnya. Jadi sekalian mengawasi daerah perbatasan dengan Kalimantan Timur,” kata dia.

    Sebelumnya, Gubernur Kalteng Agustiar Sabran bersama Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja dan rombongan lainnya memantau pelaksanaan PSU Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Barito Utara Tahun 2024 melalui udara menggunakan dua helikopter pada Rabu.

    Rombongan itu termasuk pula Penjabat Bupati Barito Utara Indra Gunawan, Kapolda Kalimantan Tengah Inspektur Jenderal Polisi Iwan Kurniawan, Panglima Kodam XII/Tanjungpura Mayor Jenderal TNI Jamalulael, Staf Khusus Bidang Pertahanan Kemenko Polkam Letnan Jenderal TNI (Purn) Yoedhi Swastanto, hingga anggota KPU Provinsi Kalimantan Tengah Harmain.

    Rombongan kemudian melanjutkan pemantauan ke sejumlah TPS dengan iring-iringan mobil secara berturut-turut ke TPS 22 Kelurahan Lanjas, TPS 07 Kelurahan Melayu, dan TPS 06 Kelurahan Jinggah.

    Rombongan lantas mengakhiri perjalanan dengan menyambangi rumah jabatan Bupati Barito Utara untuk melakukan sesi konferensi daring dengan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kecamatan Se-Kabupaten Barito Utara.

    Adapun Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kemudian melanjutkan pemantauan PSU kembali bersama Ketua Bawaslu Kabupaten Barito Utara Adam Parawansa dengan menyambangi TPS 12 Kelurahan Lanjas, dan TPS 06 Kelurahan Melayu, serta TPS 04 Melayu.

    Saat menyambangi TPS 04 Melayu, Bagja kemudian bertemu dengan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Yulianto Sudrajat dan melanjutkan perjalanan bersama menuju Kantor KPU Barito Utara untuk melangsungkan rapat.

    Total ada 270 TPS dengan jumlah warga yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 114.980 jiwa pada PSU Pilkada Kabupaten Barito Utara yang digelar untuk kedua kalinya pada Rabu hari ini.

    PSU Pilkada Barito Utara yang merupakan tindak lanjut putusan MK, diikuti dua pasangan calon bupati dan wakil bupati, yakni pasangan calon nomor urut 1 Shalahuddin-Felix S Tingan dan pasangan calon nomor urut 2 Jimmy Carter-Inriaty Karawaheni.

    Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 menyatakan mendiskualifikasi seluruh pasangan calon bupati dan wakil bupati pada PSU Pilkada Barito Utara 2024 karena terbukti sama-sama melakukan politik uang.

    Sumber : Antara

  • Sri Mulyani Terus Sisir Belanja, Sinyal Efisiensi Bakal Terus Berlanjut

    Sri Mulyani Terus Sisir Belanja, Sinyal Efisiensi Bakal Terus Berlanjut

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.56/2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN.

    PMK itu mengatur ihwal efisiensi belanja yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan mendukung program prioritas pemerintah. 

    Saat dikonfirmasi lebih lanjut mengenai beleid yang diterbitkannya, Sri Mulyani masih enggan menjelaskan. Usai mengikuti rapat kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Rabu (6/8/2025), Bendahara Negara langsung menuju mobilnya lantaran ada kegiatan yang harus diikutinya lagi. 

    “Aku nanti ada rapat. Terima kasih, ya,” ucapnya sebelum menutup pintu mobilnya dan bertolak pulang dari Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu(6/8/2025). 

    Adapun Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara juga merespons singkat. Dia juga enggan menjelaskan lebih lanjut perincian efisiensi APBN yang dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto setelah pelaksanaan pertama di awal tahun ini. 

    Namun demikian, Suahasil menjelaskan bahwa kementeriannya bakal mengumumkan lebih lanjut soal implementasi PMK tersebut. 

    Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu menuturkan, efisiensi akan terus dilakukan karena merupakan keinginan setiap lembaga. 

    “Kalau efisiensi kan memang sudah menjadi keinginan kita setiap lembaga. Terus mencari efisiensi dalam anggaran. Jadi lanjut terus aja, dalam pelaksanaan, dalam perencanaan,” tuturnya di Istana Kepresidenan. 

    PMK Efisiensi Anggaran

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, PMK No.56/2025 itu mengatur bahwa anggaran belanja yang terdampak efisiensi antara lain anggaran belanja kementerian atau lembaga, dan efisiensi transfer ke daerah. 

    “Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas Presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi beleid yang dikutip, Rabu (6/8/2025).

    Menariknya di dalam beleid itu, Sri Mulyani tidak memasukkan anggaran belanja lainnya dalam pos anggaran yang kena efisiensi. Itu artinya ada pengurangan pos anggaran dari 16 menjadi 15 pos yang diefisiensi kalau membandingkannya dengan jumlah yang tertera dalam Surat Menkeu No: S-37/MK.02/2025. 

    Adapun kalau merujuk beleid baru tersebut, pos-pos anggaran yang kena efisiensi antara lain, alat tulis kantor; kegiatan seremonial; rapat, seminar, dan sejenisnya; kajian dan analisis; diklat dan bimtek; honor output kegiatan dan jasa profesi; percetakan dan souvenir; sewa gedung, kendaraan, dan peralatan.

    Selanjutnya, lisensi aplikasi; jasa konsultan; bantuan pemerintah; pemeliharaan dan perawatan; perjalanan dinas; peralatan dan mesin; infrastruktur.

    Meski demikian, aturan baru tersebut juga tidak menyebut secara spesifik berapa nilai besaran anggaran yang terdampak efisiensi. PMK itu hanya menekankan bahwa Menteri Keuangan (Menkeu) bisa menyesuaikan item anggaran yang terkena efisiensi sesuai arahan presiden. 

    Selain itu, meski tetap merujuk kepada kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh presiden, Menteri Keuangan berhak menetapkan besaran efisiensi anggaran dan menyampaikannya kepada masing-masing kementerian dan lembaga.