Kementrian Lembaga: MK

  • 3
                    
                        Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
                        Nasional

    3 Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi Nasional

    Dilarang MK, Polri Malah Buka Jalan Polisi Menjabat di 17 Instansi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
    Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
    Mahkamah Konstitusi
    (MK).
    MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
    Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken
    Perpol 10/2025
    yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
    Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
    Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.
    “Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
    Kompas.com
    , Jumat (12/12/2025).
    Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
    UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
    “Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
    Ia juga menekankan, Polri saat ini merupakan institusi sipil, namun itu tidak bisa menjadi landasan bagi polisi aktif untuk masuk ke institusi sipil lainnya.
    “Sebab semua harus sesuai dengan bidang tugas dan profesinya. Misalnya meski sesama dari institusi sipil, dokter tidak bisa jadi jaksa, dosen tidak boleh jadi jaksa, jaksa tak bisa jadi dokter,” kata Mahfud.
    Senada, advokat Syamsul Jahidin, penggugat UU Polri pada perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025, juga menilai Polri telah membangkangi MK dengan mengeluarkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
    Ia mengingatkan, secara hierarki perundang-undangan, peraturan Polri memiliki posisi di bawah undang-undang atau putusan MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” kata Syamsul.
    Syamsul pun meminta Polri agar patuh terhadap perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Dasar 1945.
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti Perpol 10/2025 yang isinya menandingi putusan MK.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    Ia menekankan, jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya, bukan polisi yang bukan berstatus ASN.
     “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” kata Syamsul.
    Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam meminta Polri mempertegas fungsi penempatan polisi aktif di 17 kementerian/lembaga.
    Menurut Anam, daftar lembaga yang tercantum dalam aturan tersebut perlu dijabarkan hingga ke level fungsi agar tidak menimbulkan tafsir yang keliru.
    “Persoalannya sederhana, harus dipastikan juga sebenarnya di fungsi apa? Fungsinya masih enggak ada sangkut-pautnya dengan kepolisian, di level fungsi. Jadi tidak hanya soal kementeriannya, tapi di kementerian itu fungsinya apa? Itu yang harus dipertegas,” kata Anam kepada
    Kompas.com
    , Jumat.
    Anam menjelaskan, Polri memaknai 17 kementerian/lembaga itu sebagai institusi yang memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian.
    Secara tata kelola, daftar kementerian dan prosedur penempatan yang diatur dalam Perpol memang memberikan kepastian.
    Namun, itu juga belum cukup apabila tidak disertai kejelasan mengenai fungsi yang benar-benar membutuhkan personel polisi aktif.
    “Karena memang sangkut-pautnya macam-macam ini ada yang memang disebutkan dalam undang-undang, ada yang tidak, jadi penting untuk kepastian itu,” kata dia.
    Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menjelaskan, penempatan anggota Polri pada 17 kementerian/lembaga memiliki dasar hukum yang jelas, baik dari undang-undang maupun peraturan pemerintah.
    “Polri pada pengalihan jabatan anggota Polri dari jabatan manajerial maupun non-manajerial pada organisasi dan tata kerja Polri untuk dialihkan pada organisasi dan tata kerja K/L berdasarkan regulasi yang sudah berlaku,” kata Trunoyudo kepada
    Kompas.com
    .
    Trunoyudo merinci sejumlah regulasi yang menjadi payung hukum penugasan anggota Polri di luar struktur Polri, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3), beserta penjelasannya, yang tetap berlaku setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, khususnya Pasal 19 ayat (2b), yang menyebut jabatan ASN tertentu dapat diisi anggota Polri, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Pasal 147 hingga 150, yang mengatur jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sudah Mau Tahun Baru, UMP 2026 Masih Misteri

    Sudah Mau Tahun Baru, UMP 2026 Masih Misteri

    Jakarta

    Pemerintah belum juga mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Hingga pertengahan Desember 2025, Peraturan Pemerintah (PP) yang nantinya menjadi dasar bagi penetapan upah minimum belum dirilis.

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli tak banyak berbicara saat ditanya soal kepastian kenaikan UMP 2026. Ia hanya menjawab singkat dan meminta masyarakat untuk menunggu.

    “Tunggu aja, kan sudah saya bilang UMP mah tunggu,” ujarnya di Jakarta International Expo, Jakarta Utara, Jumat kemarin.

    Yassierli juga hanya menjawab singkat saat ditanya target pengumuman UMP 2026. Lagi-lagi Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu hanya meminta untuk menunggu.

    “Tunggu aja,” singkat Yassierli.

    Pengumuman kenaikan UMP 2026 sudah mundur dari jadwal yang seharusnya dilakukan paling lambat pada 21 November. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menduga UMP 2026 akan naik serentak seperti UMP 2025 yang diputuskan naik 6,5%.

    “Saya curiga ada pembisik Presiden sengaja ‘buying time untuk kepentingan politis’ skenariokan kenaikan upah akan diputuskan Presiden sama rata kembali,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

    Ristadi mengatakan, sejak akhir November dirinya sudah mendapatkan informasi bahwa aturan baru tentang upah minimum yang memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan disparitas upah antar daerah sudah selesai di level kementerian terkait. Poin tersebut lantas dikirim ke Prabowo untuk disahkan dalam bentuk PP.

    “Namun hingga kini belum ada kabar kepastian kapan akan disahkan, padahal Upah Minimum 2026 sudah harus berlaku mulai 1 Januari 2026,” tutup Ristadi.

    (kil/kil)

  • Said Aqil Singgung Cara Jokowi Lumpuhkan Kampus dan Ormas, Izin Tambang Dinilai Jebakan Politik!

    Said Aqil Singgung Cara Jokowi Lumpuhkan Kampus dan Ormas, Izin Tambang Dinilai Jebakan Politik!

    GELORA.CO – Mantan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan pemberian izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas).

    Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi menjadi jebakan dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang dapat melemahkan daya kritis ormas dan lembaga pendidikan tinggi.

    Said Aqil mengungkapkan bahwa pada awalnya ia mendengar kabar pemberian konsesi tambang kepada ormas dan menyambutnya dengan antusias.

    Namun setelah menimbang dampak yang mungkin ditimbulkan, ia mengaku melihat lebih banyak sisi negatif daripada manfaatnya.

    Pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, terkait potensi masalah dalam pemberian izin tambang tersebut juga menjadi salah satu acuan bagi Said Aqil untuk menilai ulang kebijakan itu.

    Menurutnya, pemberian izin tambang kepada ormas berisiko menyandera independensi organisasi dalam bersuara kritis.

    Ia menilai ormas dapat terjebak dalam kepentingan ekonomi sehingga sulit mengkritik pemerintah, terutama ketika bersinggungan dengan isu ekologis maupun tata kelola sumber daya alam.

    Kontroversi izin tambang ini juga dianggap beririsan dengan dinamika politik internal PBNU yang memanas pada akhir November 2025.

    Konflik tersebut melibatkan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang saling bersilang pendapat soal kepemimpinan PBNU.

    Tensi meningkat setelah muncul kabar Syuriyah PBNU akan memberhentikan Gus Yahya karena dugaan pelanggaran nilai dan tata kelola keuangan tudingan yang kemudian dibantah keras oleh Gus Yahya.

    Di sisi lain, Gus Ipul yang sempat dicopot dari jabatan Sekjen PBNU oleh Gus Yahya menolak anggapan bahwa dirinya merupakan calon pengganti.

    Konflik ini membuat isu izin tambang semakin terseret ke dalam dinamika organisasi, karena muncul dugaan bahwa kepentingan tertentu berada di balik memanasnya hubungan dua tokoh besar NU tersebut.

    Said Aqil menilai bahwa dalam situasi seperti ini, ormas dan kampus harus mempertahankan jarak dari kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketergantungan politik dan ekonomi.

    Ia menegaskan bahwa organisasi besar seperti PBNU memiliki peran moral untuk menjaga independensi, terutama dalam menyuarakan kepentingan rakyat kecil dan menjaga lingkungan dari eksploitasi berlebihan.

    Kritik keras Said Aqil ini menambah panjang daftar polemik yang mengiringi kebijakan konsesi tambang bagi ormas.

    Publik mempertanyakan apakah izin tambang benar-benar solusi atau justru celah baru untuk mempolitisasi organisasi masyarakat.

    Dengan suhu politik internal PBNU yang masih panas, ditambah isu konsesi tambang yang ramai di kalangan publik, dinamika organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat.

    Isu jebakan yang dilontarkan Said Aqil pun menjadi peringatan bagi banyak pihak agar tetap kritis terhadap kebijakan yang berpotensi menggerus independensi ormas dan lembaga pendidikan.***

  • Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…

    Penggugat UU Polri: Maunya Rakyat Sederhana, Polisi Kerja Sesuai Undang-Undang Dasar…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin yang pernah menggugat UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, keinginan masyarakat terhadap Polri sebenarnya sederhana.
    Hal ini disampaikan Syamsul menanggapi langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang baru meneken Peraturan
    Polri
    Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    “Rakyat itu sebenarnya sederhana, Anda (Polri) bertugas sesuai undang-undang dasar,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, Polri merupakan alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.
    Dalam UUD 45, tidak disebutkan Polri punya tugas dan kewenangan untuk membuat aturan seperti
    Perpol 10/2025
    yang isinya menandingi putusan MK.
    Syamsul mengatakan, masyarakat berharap Polri dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai UUD 1945 agar tidak ada lagi elemen sipil yang dikriminalisasi.
    “Tidak ada wartawan yang dikriminalisasi. Tidak ada aktivis yang dikriminalisasi. Tidak ada orang yang dimarginalkan,” katanya.
    “Tidak ada pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Tidak ada jenderal-jenderal lagi yang diadili karena membacking-membackingi. Itu sebenarnya yang kami inginkan,” lanjut Syamsul.
    Menurut Syamsul, jika seseorang sudah memutuskan untuk menjadi polisi, ia seharusnya menjalankan tugas selayaknya seorang polisi, bukannya melaksanakan tugas lain, misalnya, dengan masuk ke ranah sipil.
    “Awal mulanya terciptanya parcok (partai cokelat) ini kan gara-gara ini, gara-gara mereka (polisi) menempati jabatan sipil,” imbuhnya.
    Syamsul menegaskan, polisi bukan seorang aparatur sipil negara (ASN) sehingga UU ASN tidak berlaku untuk mereka.
    Jabatan di kementerian dan lembaga seharusnya diisi oleh ASN sesuai dengan keahliannya.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur bahwa polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan

    Aturan Baru Kapolri Dinilai Langgar Putusan MK, Penggugat UU Polri: Itu Pembangkangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Advokat Syamsul Jahidin mempertanyakan kewenangan Polri untuk membuat aturan penempatan polisi di kementerian dan lembaga eksternal setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi keterlibatan mereka di ranah sipil.
    Syamsul menegaskan, putusan MK mengubah tatanan di level undang-undang, secara spesifik, Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    Sementara itu, peraturan Polri yang baru diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini secara hierarkis memiliki tata aturan yang lebih rendah dari undang-undang.
    “Peraturan polisi itu bukan undang-undang. Itu hanya bagi Polri. (Peraturan) Polri turunan daripada undang-undang. Berarti apa? Dia (Polri) sudah bukan alat negara lagi kalau dia mengeluarkan Perpol seperti itu,” ujar Syamsul saat dihubungi, Jumat (12/12/2025).
    Syamsul menilai, Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 ini merupakan bentuk pembangkangan Polri terhadap MK.
    “Itu pembangkangan, pengkhianatan terhadap konstitusi atau pengkhianatan terhadap undang-undang. Murni itu makar,” tegas Syamsul.
    Syamsul mengatakan, melalui putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025, Polri sudah tidak bisa lagi menduduki jabatan sipil atau mengisi kursi di kementerian/lembaga.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dinilai janggal karena bertentangan dengan putusan MK.
    “Undang-undangnya (setelah diputus MK) ngelarang (penempatan polisi di kementerian). Perpol-nya mengizinkan. Apakah itu enggak… Ah… Gua bingung,” kata Syamsul.
    Ia pun menyinggung tugas dan fungsi pokok Polri yang termaktub dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum.”
    Syamsul menegaskan, dalam UUD 45, Polri tidak berwenang untuk membuat aturan setara undang-undang.
    “Pertanyaannya, apakah itu tidak melanggar hukum kalau enggak ada di undang-undang?” tanyanya.
    Syamsul juga menyinggung asas lex superior derogat legi inferiori yang artinya, peraturan yang lebih tinggi (lex superior) mengesampingkan (derogat) peraturan yang lebih rendah (lex inferior).
    “Jadi, pertanyaannya Perpol itu lebih tinggi dari undang-undang?” tanyanya lagi.
    Diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
    Beleid ini mengatur polisi aktif dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil di luar institusi Polri.
    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” demikian bunyi Pasal 1 Ayat (1) peraturan tersebut.
    Kemudian, Pasal 2 mengatur bahwa anggota Polri dapat melaksanakan tugas di dalam maupun luar negeri.
    Selanjutnya, pada Pasal 3 Ayat (1) disebutkan, pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dapat dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi dan organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
    Daftar kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh anggota Polri itu diatur dalam Pasal 3 Ayat (2), yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Kehutanan.
    Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kapolri Teken Pekap Nomor 10 Tahun 2025, Said Didu: Bapak Presiden, Apakah Bapak Masih Mengengdalikan Kekuasaan di Indonesia?

    Kapolri Teken Pekap Nomor 10 Tahun 2025, Said Didu: Bapak Presiden, Apakah Bapak Masih Mengengdalikan Kekuasaan di Indonesia?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu bersuara lantang terkait praktik mengangkangi konstitusi di negeri ini.

    Hal itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota polri aktif menduduki jabatan sipil, atau harus memilih mengundurkan diri jika ingin tetap menjabat di jabatan sipil.

    Meski putusan MK tersebut dinilai mengikat, Polri bukannya menjalankan amanah dari putusan MK dimaksud, namun memilih membuat regulasi lain yang menegaskan anggota polri tetap boleh menduduki jabatan sipil.

    Atas kondisi itu, Said Didu memberikan sorotan tajam. Dia bahkan melayankan pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto apakah dia masih mengendalikan kekuasaan di Indonesia dan apakah Indonesia masih sebagai negara hukum.

    “Bapak Presiden @prabowo yth, mohon bertanya, apakah Bapak secara de Jure dan de facto masih mengengdalikan kekuasaan di Indonesia dan apakah Indonesia masih Negara hukum ? Ataukah memang “kudeta syunyi” sedang berjalan cepat?,” kata Said Didu, Jumat (12/12).

    Faktanya kata Said Didu, saat Mahkamah Konstitusi menetapkan melarang polisi aktif memegang jabatan di luar institusi Polri – Kapolri membuat keputusan Melawan keputusan MK tersebut dengan menetapkan 17 lembaga bisa diisi oleh Polisi.

    “Saat Bapak mengumumkan akan membuat Tim Reformasi Polri – Kapolri juga “MELAWAN” dg mendahului membentuk Tim Reformasi Polri internal,” kata Said Didu.

    Diketahui, usai putusan Mahkamah Konstitus (MK) yang melarang polisi aktif berdinas di luar organisasi kepolisian tanpa pensiun dini atau mengundurkan diri, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Kapolri (Pekap) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Kepolisian.

  • Wacana Kepala Daerah Dipilih oleh DPRD, Apeksi: Kami Tunggu yang Terbaik

    Wacana Kepala Daerah Dipilih oleh DPRD, Apeksi: Kami Tunggu yang Terbaik

    Bisnis.com, SURABAYA – Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Eri Cahyadi angkat suara mengenai wacana kepala daerah yang dipilih kembali oleh DPRD.

    Eri menjelaskan, hal yang paling krusial dalam setiap pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah implementasi pelaksanaan demokrasi melalui keterlibatan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya sesuai hati nurani dan preferensinya masing-masing.

    “Yang terpenting itu kepala daerah dipilih oleh rakyat,” tegas Eri saat ditemui di Balai Kota Surabaya, Jumat (12/12/2025).

    Meski begitu, Eri masih belum mengetahui lebih lanjut mengenai sistem pilkada selanjutnya akan digelar.

    Politikus PDIP ini pun menyebut dia masih menunggu hingga ada aturan resmi yang diputuskan oleh pemerintah pusat.

    “Yang terbaik apa? Ya kita lihat nantilah. Apakah [kepala daerah dipilih] rakyat itu langsung atau DPRD, kita lihat nanti,” ungkapnya.

    Selain itu, Eri juga masih menunggu evaluasi dengan para pimpinan pemerintah kota lainnya di tanah air yang tergabung dalam APEKSI. Sebelum memberikan tanggapan resmi perihal wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD tersebut. 

    “Sambil kita evaluasi ya nanti dengan Apeksi seperti apa,” tutupnya.

    Diberitakan sebelumnya, wacana agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat sempat disuarakan Presiden Prabowo Subianto dan Partai Golkar. 

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengusulkan agar mekanisme pemilihan kepala daerah pada pemilu mendatang cukup dilakukan melalui DPRD.

    Usulan tersebut dihembuskannya secara langsung di hadapan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat HUT ke-61 Golkar, di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025) malam. 

    “Khusus menyangkut pilkada, setahun lalu kami menyampaikan kalau bisa pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro-kontra, tapi setelah kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR kabupaten/kota biar tidak lagi pusing-pusing. Saya yakin ini perlu kajian mendalam,” kata Bahlil.

    Menteri ESDM ini juga menilai, pembahasan RUU bidang politik dapat dimulai tahun depan. Namun, ia mengingatkan agar pembahasan dilakukan secara komprehensif.

    “RUU ini harus melalui kajian yang mendalam,” ucap dia. 

    Meski begitu, Bahlil juga risau bilamana Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian membatalkan beleid tersebut meski sudah melalui kajian mendalam.

    “Saya khawatir, jangan sampai UU sudah jadi, sampai di MK, MK membuat yang lain, bahkan bisa mengubah, bahkan bisa membuat norma baru lagi,” ungkap Bahlil.

  • Kapolri Tetap Bolehkan Polisi Aktif Menjabat di Luar Polri, Ini Aturannya

    Kapolri Tetap Bolehkan Polisi Aktif Menjabat di Luar Polri, Ini Aturannya

    Liputan6.com, Jakarta – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi aktif pun dapat menjabat di 17 Kementerian/Lembaga.

    Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang polisi aktif menduduki jabatan di luar Polri alias jabatan sipil, dengan mengharuskan pengunduran diri atau pensiun terlebih dahulu.

    Aturan yang diteken Kapolri ini diundangkan pada 10 Desember 2025. Dalam dokumen yang dilihat Liputan6.com, Jumat (12/12/2025), Pasal 1 berisikan sejumlah pengertian, termasuk pelaksanaan tugas di luar struktur Polri.

    “Pelaksanaan Tugas Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Pelaksanaan Tugas Anggota Polri adalah penugasan anggota Polri pada jabatan di luar struktur organisasi Polri yang dengan melepaskan jabatan di lingkungan Polri,” tulis poin satu.

    Kemudian dalam Pasal 2 dijelaskan pelaksanaan tugas anggota Polri meliputi jabatan di dalam negeri. jabatan di luar negeri. Pasal 3 melanjutkan, bahwa pelaksanaan tugas anggota Polri pada jabatan di dalam negeri dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi, dan organisasi Internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

    Pelaksanaan tugas anggota Polri dapat dilaksanakan pada 17 kementerian/lembaga/badan/komisi, yaitu Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan; Kementerian Kehutanan.

    Disusul Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perhubungan; Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; Lembaga Ketahanan Nasional.

    Selanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; Badan Narkotika Nasional; Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; Badan Intelijen Negara; Badan Siber Sandi Negara; dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

     

  • Kapolri Terbitkan Perpol soal 17 K/L Bisa Dijabat Anggota, Ini Daftarnya

    Kapolri Terbitkan Perpol soal 17 K/L Bisa Dijabat Anggota, Ini Daftarnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meneken peraturan polri (Perpol) terkait penugasan anggota di luar struktur kepolisian.

    Berdasarkan Perpol No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri, kini anggota diperbolehkan menjabat di 17 kementerian atau lembaga (K/L).

    Dalam pasal 3 Perpol No.10/2025 memuat anggota Polri bisa mengisi jabatan di dalam maupun di luar negeri seperti organisasi internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

    Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. Anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    “Jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jabatan yang ada pada instansi atau instansi lain yang memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian berdasarkan permintaan dari kementerian/ lembaga/badan/komisi, Organisasi Internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia,” bunyi Pasal 3 ayat (4).

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

    Putusan MK

    Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    Adapun, pada putusan itu penggugat menguji soal norma Pasal 28 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 tentang Kepolisian (UU Polri).

    Pasal 28 memang memperbolehkan anggota boleh menjabat di luar struktur setelah tidak berdinas di kepolisian atau mengundurkan diri. Sementara, pada penjelasan Pasal 28 mengatur jabatan di luar kepolisian adalah tidak ada sangkut paut dengan polisi atau tidak ada penugasan Kapolri.

    Kemudian, dalam putusan MK nomor 114PUU-XXIII/2025 juga telah menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan secara substansial Pasal 28 ayat (3) menjelaskan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. 

    Ridwan menegaskan jika Pasal 28 ayat (3) dipahami secara cermat, frasa ‘mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian’ merupakan syarat mutlak bagi anggota Polri untuk menjabat di luar kepolisian.

    “Tidak ada keraguan, rumusan demikian adalah rumusan norma yang expressis verbis [jelas] yang tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan lain,” tutur Ridwan.

  • Eks Ketum PBNU Sebut Izin Tambang untuk Ormas Diduga ‘Jebakan’ Jokowi agar Tidak Kritis

    Eks Ketum PBNU Sebut Izin Tambang untuk Ormas Diduga ‘Jebakan’ Jokowi agar Tidak Kritis

    GELORA.CO – Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj menilai pemberian izin tambang diduga sebagai “jebakan” Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) untuk melumpuhkan daya kritis ormas dan kampus.

    Mulanya, Said Aqil mengaku sempat mendengar bahwa Jokowi memberikan konsesi tambang kepada ormas dan dirinya menyambutnya dengan gembira.

    “Barangkali itu merupakan penghargaan kepada ormas yang dulu berjuang sebelum lahirnya NKRI. NU, Muhammadiyah, dan sebagainya, apresiasi,” kata Said Aqil dikutip dari Forum Keadilan TV, Kamis (11/12/2025).

    Namun setelah dipertimbangkan, Said Aqil menilai lebih banyak dampak buruknya. Ia juga berkaca dari pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra.

    “Tapi secara negative thinking, bisa-bisa saya katakan jebakan, sehingga akhirnya nanti ormas ini lumpuh, tidak mampu untuk memberikan kritik atau apalah, masukan, ya, rekomendasi yang agak tajam kepada pemerintah,” ujar Said Aqil.

    Tidak sampai di situ, polemik kepemimpinan PBNU antara KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang memuncak pada akhir November 2025 juga disebut berkaitan. Konflik internal PBNU itu dipicu isu pemberhentian Gus Yahya oleh Syuriyah karena dugaan pelanggaran nilai dan tata kelola keuangan—yang dibantah Gus Yahya. Sementara itu, Gus Ipul sebelumnya dicopot dari jabatan Sekjen oleh Gus Yahya, kemudian menolak disebut sebagai calon pengganti.

    “Yang jelas, itu juga menjadi sebab konfliknya antara Ketum (Gus Yahya) dan Sekjen (Gus Ipul), yang Sekjen di belakangnya ada Rais Aam,” ucap Said Aqil.

    Lebih jauh dia kemudian menyinggung kondisi di negara lain, seperti Bolivia, Venezuela, dan Nigeria, yang mengalami perang saudara akibat perebutan sumber daya alam.

    “Negara Bolivia, Venezuela, Nigeria, yang tadinya bersatu, kompak, perang saudara gara-gara tambang. Masa kita enggak bisa mengambil pelajaran seperti itu?” kata Said Aqil mengingatkan.

    Said Aqil menilai konsesi tambang tersebut sebaiknya dikembalikan kepada pemerintah karena sudah menimbulkan perpecahan sebelum membawa manfaat apa pun.

    “Ternyata belum sampai ke sana (kemaslahatan) sudah jelas di situ sudah pecah, sudah mudarat, sudah melahirkan kemudaratan. Oleh karena itu, pendapat saya, kembalikan,” ujarnya menegaskan.