Kementrian Lembaga: MK

  • Ini Daftar RUU yang Akan Disahkan DPR Besok, Ada UU BUMN dan Kepariwisataan

    Ini Daftar RUU yang Akan Disahkan DPR Besok, Ada UU BUMN dan Kepariwisataan

    Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengesahkan beberapa undang-undang baru, seperti UU BUMN dan UU Kepariwisataan.

    Dari informasi yang diterima Bisnis.com, Rabu (1/10/2025), selain mengesahkan UU BUMN, maka pemerintah juga akan menetapkan mitra kerja di Kementerian Haji dan Umrah, kemudian dilanjutkan dengan pidato DPR.

    Simak detail pembahasan dan pengesahan UU di DPR, Kamis (2/10/2025):

    1. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia tentang Ekstradisi (Treaty between the Republic of Indonesia and the Russian Federation on Extradiction);

    2. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;

    3. Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;

    4. Pendapat fraksi-fraksi atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), Usul Inisiatif Komisi XI DPR RI dilanjutkan dengan pengambilan Keputusan menjadi RUU Usul DPR RI;

    5. Pendapat Fraksi-fraksi atas Rancangan Undang-Undang tentang Statistik, Usul Inisiatif Badan Legislasi DPR RI dilanjutkan dengan pengambilan Keputusan menjadi RUU Usul DPR RI;

    6. Penetapan Mitra Kerja Kementerian Haji dan Umrah, di lanjutkan dengan pengambilan keputusan;

    7. Pidato Ketua DPR RI pada Penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026.

    Dalam pemberitaan sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa revisi Undang-Undang (UU) tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan disahkan besok Kamis (2/10/2025) dalam Rapat Paripurna DPR RI.

    “RUU BUMN akan disahkan besok,” kata Dasco dilansir dari Antara, Rabu (1/10/2025).

    Menurut dia, revisi UU BUMN yang akan disahkan itu memuat perubahan untuk menyesuaikan terkait sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun, Rapat Paripurna DPR RI besok juga beragendakan Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2026.

    Selain itu, rencananya akan ada RUU lainnya yang juga disahkan yakni RUU tentang Kepariwisataan, hingga RUU tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Rusia.

  • Dasco ungkap revisi UU BUMN disahkan di Rapat Paripurna besok

    Dasco ungkap revisi UU BUMN disahkan di Rapat Paripurna besok

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa revisi Undang-Undang (UU) tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Kamis (2/10) besok.

    “RUU BUMN akan disahkan besok,” kata Dasco usai memimpin sebuah audiensi di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, revisi UU BUMN yang akan disahkan itu memuat perubahan untuk menyesuaikan terkait sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    Adapun Rapat Paripurna DPR RI besok juga beragendakan Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2025-2026. Selain itu, rencananya akan ada RUU lainnya yang juga disahkan yakni RUU tentang Kepariwisataan, hingga RUU tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Rusia.

    Sebelumnya, Komisi VI DPR RI bersama pemerintah resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merevisi 84 pasal untuk selanjutnya dibawa ke pembicaraan tingkat II atau paripurna DPR.

    Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (26/9) menyatakan seluruh fraksi menyetujui hasil pembahasan Panja.

    “Kedelapan fraksi di Komisi VI dapat menyetujui RUU Perubahan Keempat atas UU BUMN untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat II di paripurna,” kata Anggia sebelum mengetuk palu mengakhiri sesi penyetujuan.

    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan revisi UU tersebut menghapus keberadaan Kementerian BUMN dan menggantinya dengan Badan Pengaturan BUMN (BPBUMN) sebagai lembaga regulator yang mengatur perusahaan negara.

    “Dengan sendirinya Kementerian BUMN dibubarkan, diganti menjadi Badan Pengaturan BUMN. Tugas dan fungsinya kurang lebih sama, hanya sekarang berperan sebagai regulator,” kata Supratman.

    Menurut dia, BPBUMN akan tetap menjadi pemegang saham dwiwarna seri A sebesar satu persen mewakili pemerintah, sementara saham seri B sebesar 99 persen akan dipegang Danantara sebagai operator.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 10
                    
                        Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor
                        Nasional

    10 Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor Nasional

    Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
    Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, memohon agar MK menolak gugatan tersebut secara keseluruhan.
    “Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
    legal standing
    ,” kata Leonard dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
    “Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
    Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
    “Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” katanya.
    Permintaan pemerintah ini berseberangan dengan DPR RI yang menilai permohonan tersebut perlu dikabulkan oleh MK.
    Dalam persidangan yang sama, I Wayan Sudirta sebagai perwakilan DPR RI menyatakan permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK.
    Alasannya senada, karena ancaman hukuman 12 tahun penjara dinilai lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, 13 Agustus lalu.
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap seperti merusak barang bukti diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terancam Retak, Mampukah Kanselir Jerman Selamatkan Koalisinya?

    Terancam Retak, Mampukah Kanselir Jerman Selamatkan Koalisinya?

    Jakarta

    Tingkat kepuasan terhadap pemerintahan koalisi Jerman menurun drastis cuma lima bulan setelah dilantik. Survei “ARD-Deutschlandtrend” terbaru menunjukkan hanya 22% responden yang menyatakan puas terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Kanselir Friedrich Merz dari partai konservatif CDU/CSU bersama mitra koalisinya Partai Sosialdemokrat (SPD).

    Buntutnya, situasi politik di dalam negeri banyak mendominasi agenda retret anggota kabinet di Villa Borsig, Berlin.

    Krisis pemilihan hakim MK

    Situasi internal koalisi sempat memanas, khususnya saat pemilihan hakim baru Mahkamah Konstitusi yang menjadi jatah SPD.

    Parlemen Jerman Bundestag akhirnya memilih tiga hakim baru, dua perempuan dan satu laki-laki, dengan suara dua pertiga mayoritas, tapi proses tersebut baru berhasil dalam putaran kedua.

    Pada bulan Juli, proses pencalonan gagal setelah muncul keberatan dari sayap konservatif CDU/CSU terhadap kandidat yang diajukan SPD, Frauke Brosius-Gersdorf. Kejadian ini dinilai sebagai ujian atas soliditas koalisi.

    Kanselir Merz sendiri juga baru terpilih pada pemungutan suara putaran kedua, setelah terjadi perbedaan suara dari dalam partai koalisi.

    Tekanan terhadap kas negara

    Merz sedianya berkampanye dengan janji mempertahankan disiplin fiskal. Tidak heran, dia dihujani kritik dari barisan sendiri setelah mendukung pelonggaran “rem utang”—kebijakan kaum konservatif—demi membiayai ekspansi belanja negara.

    CDU/CSU sebabnya kini mendorong penghematan, sementara SPD mendorong belanja melalui peningkatan penerimaan negara, termasuk melalui kenaikan pajak.

    Naik turun pajak

    Sengketa klasik antara SPD dan CDU/CSU kembali mencuat. Partai SPD melihat kesenjangan sosial, dan ingin membaginya lebih adil melalui pajak warisan dan penghasilan tinggi. Namun, partai CDU/CSU menolak pendekatan ini, dengan dalih imbas buruk bagi pertumbuhan ekonomi.

    Namun, belakangan muncul celah kompromi, menyusul dukungan dari sebagian anggota CDU bagi pajak warisan. Potensi tawar-menawar politik pun muncul, misalnya, SPD memberi kelonggaran kepada CDU, dengan menyetujui penghematan tunjangan sosial yang dikenal dengan nama Brgergeld alias uang rakyat.

    Polemik uang tunjangan

    CDU/CSU tidak hanya menolak mekanisme pemberian tunjangan bagi pengangguran, tetapi juga nama yang digunakan. Program bantuan sosial ini diperkenalkan pada 2023 oleh pemerintahan SPD sebagai jaminan dasar bagi pencari kerja. CDU/CSU menilai nama tersebut memberi kesan bantuan negara adalah hak otomatis, serta menurunkan motivasi penerima untuk bekerja.

    Kaum konservatif juga menyoroti, hampir separuh penerima Brgergeld adalah warga negara asing. SPD menolak tuduhan adanya penyalahgunaan sistem secara sistematis, serta menolak pemangkasan besar atau pengetatan persyaratan.

    Namun begitu, kedua belah pihak sepakat untuk memberantas penipuan terorganisir, yang dikeluhkan oleh Badan Tenaga Kerja Federal.

    Tekanan pada jaminan sosial

    Akibat populasi yang menua, ditambah menyusutnya jumlah pekerja, sistem jaminan hari tua, asuransi kesehatan, dan perawatan di Jerman menghadapi tekanan berat. CDU/CSU ingin memangkas biaya, termasuk kemungkinan menaikkan usia pensiun. SPD sebaliknya ingin mempertahankan tingkat manfaat dari dana pensiun.

    Benih perpecahan juga muncul antara CDU dan CSU dalam hal tambahan dana pensiun bagi ibu yang anaknya lahir sebelum 1992. Usulan CSU itu diterima meski mendapat keberatan dari kader CDU. Organisasi pemuda CDU, Junge Union, sebaliknya mendorong reformasi pensiun dengan tujuan mengurangi beban bagi generasi muda.

    Pertarungan politik di Jerman sebabnya diprediksi akan semakin tajam dalam isu jaminan kesehatan dan perawatan.

    Migrasi: Antara target koalisi dan tekanan elektoral

    Meningkatnya dukungan terhadap partai ekstrem kanan AfD menunjukkan bahwa pembatasan imigrasi menjadi isu penting. Koalisi pemerintahan telah meningkatkan kontrol perbatasan, dan menolak sebagian pencari suaka. Menteri Dalam Negeri CSU, Alexander Dobrindt, menyatakan “migrasi ilegal” telah menurun signifikan.

    Pembatasan migrasi tidak sepenuhnya disokong SPD. Gagasan dari Perdana Menteri Bayern, Markus Sder, untuk mencabut tunjangan sosial bagi pengungsi Ukraina ditolak SPD dan bahkan juga oleh CDU. Perbedaan utama antara SPD dan CDU/CSU dalam isu migrasi lebih terlihat dalam nada dan pendekatan kebijakan.

    Dinas Militer: Wajib atau sukarela?

    Kedua pihak sepakat memperkuat militer dan meningkatkan anggaran pertahanan. Perbedaan muncul dalam isu wajib militer. Pemerintah saat ini sedang mengajukan rancangan undang-undang untuk mengenalkan sistem dinas militer baru berbasis sukarela.

    Menteri Pertahanan SPD, Boris Pistorius, menyatakan, jika jumlah sukarelawan tidak mencukupi, maka kewajiban dinas militer akan dipertimbangkan. CDU/CSU ingin agar ada mekanisme otomatis yang mengaktifkan kembali wajib militer, jika kebutuhan tak tercapai.

    Namun SPD telah secara resmi menolak ide pemberlakuan otomatis wajib militer dalam kongres partai bulan Juni lalu.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    (ita/ita)

  • UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi Nasional 1 Oktober 2025

    UU Tipikor yang Digugat Hasto Disebut Bisa Digunakan Mengancam Pihak yang Tidak Korupsi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perwakilan DPR menyebut, Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bisa digunakan untuk mengancam pihak yang bukan merupakan pelaku korupsi.
    Hal ini disampaikan Anggota Komisi III DPR Wayan Sudirta, sebagai perwakilan DPR dalam sidang perkara nomor 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal DPP PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Rabu (1/10/2025).
    Sudirta mengatakan, Pasal 21 terkait perintangan penyidikan dalam kasus korupsi harus dimaknai bukan merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.
    Oleh sebab itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
    “Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta, dalam sidang yang ia hadiri melalui daring, Rabu.
    Hal ini diperkuat dengan ancaman pidana yang dinilai bisa lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
    Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
    Dia kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
    “Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
    obstruction of justice
    secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
    DPR meminta agar MK mengabulkan gugatan Hasto agar ancaman hukuman perintangan penyidikan kasus korupsi maksimal 3 tahun dari sebelumnya maksimal 12 tahun.
    Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut, ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
    obstruction of justice
    ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah, ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aturan Uang Pensiun Anggota DPR Digugat ke MK: Jabat 5 Tahun, Dapat Pensiun Seumur Hidup – Page 3

    Aturan Uang Pensiun Anggota DPR Digugat ke MK: Jabat 5 Tahun, Dapat Pensiun Seumur Hidup – Page 3

    PETITUM

    1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

    2. Menyatakan Pasal 1 huruf A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3128), bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:

    Pasal 1 huruf A: Lembaga Tinggi Negara adalah Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, tidak termasuk Presiden,

    3. Menyatakan Pasal 1 huruf F Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3128), bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:

    Pasal 1 huruf F: Anggota Lembaga Tinggi Negara adalah Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan Hakim Mahkamah Agung,

    4. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3128), bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:

    Pasal 12 ayat (1): Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara, tidak termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berhenti dengan hormat dari jabatannya, berhak memperoleh pensiun.

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.Atau, dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

     

  • Eks Kabais Bongkar Praktik Penempatan 4.351 Polisi di Luar Struktur, Sebut Marak Sejak Era Jokowi

    Eks Kabais Bongkar Praktik Penempatan 4.351 Polisi di Luar Struktur, Sebut Marak Sejak Era Jokowi

    GELORA.CO – -Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto, menyoroti masifnya penempatan perwira Polri aktif di luar struktur kepolisian, seperti di BUMN, kementerian, dan lembaga negara lainnya.

    Menurutnya, praktik yang kini menempatkan 4.351 personel ini dieksploitasi secara besar-besaran sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu setelah tahun 2014.

    Ponto menjelaskan, praktik ini dimungkinkan oleh adanya celah dalam penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Kepolisian tahun 2002.

    Batang tubuh pasal tersebut sebenarnya melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar struktur kecuali mundur atau pensiun, sejalan dengan semangat TAP MPR Reformasi yang memisahkan TNI/Polri dari ranah sipil.

    Namun, bagian penjelasan pasal tersebut justru memberikan frasa “pengecualian” yang kemudian menjadi celah hukum yang “mentorpedo” batang tubuhnya sendiri.

    “Yang terlihat dimanfaatkan sebaik-baiknya itu setelah 2014 ke sini, setelah Presiden Jokowi,” tegas Ponto dalam sebuah diskusi di kanal YouTube Forum Keadilan TV pada Rabu, 1 Oktober 2025.

    Menurut keterangan yang ia dapat di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang menyidangkan gugatan atas pasal ini, pemanfaatan celah tersebut didasari oleh perintah presiden saat itu.

    Paradoks dan Politisasi Institusi

    Akibatnya, ribuan posisi yang seharusnya diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) kini ditempati oleh anggota Polri aktif.

    Hal ini tidak hanya menghilangkan ribuan kesempatan kerja bagi warga sipil, tetapi juga menciptakan paradoks di internal Polri sendiri.

    “Di satu sisi masih membutuhkan 350.000 personil, tapi pada saat yang sama mengeluarkan 4.351. Kapan mau nyampai jumlah itu?” kritiknya.

    Lebih jauh, Ponto menilai kebijakan ini telah secara efektif mengubah esensi Polri dari alat negara yang netral menjadi “alat presiden”.

    “Kepolisian itu sebetulnya bukan alat presiden, tapi alat negara,” tegasnya.

    Ketika penempatan tersebut didasarkan pada perintah presiden, maka keuntungan dari penempatan itu akan kembali kepada presiden sebagai pemerintah, bukan kepada negara secara institusional.

    Hal ini menempatkan Polri dalam posisi yang sangat politis dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.***

    Sumber: konteks 

  • Mahfud MD Ingatkan Pentingnya Dasar Hukum untuk Program MBG

    Mahfud MD Ingatkan Pentingnya Dasar Hukum untuk Program MBG

    Mahfud MD Ingatkan Pentingnya Dasar Hukum untuk Program MBG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memerlukan dasar hukum yang jelas dalam implementasinya, seperti peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (Perpres).
    “Mari kita lihat tata kelolanya dulu. Tata kelolanya itu, pertama, kalau kita cari di mana pun, apa sih dasar hukum dari MBG ini? Perpres, PP, atau undang-undang? Kalau ditarik secara umum, sejauh ini kita tidak temukan,” kata Mahfud, dalam podcastnya, Selasa (30/9/2025).
    Tanpa dasar hukum yang kuat, lanjut Mahfud, program sebesar MBG akan sulit dipertanggungjawabkan secara administratif maupun hukum.
    “Tidak tersedianya peraturan perundang-undangan yang bisa diakses harus ada tata kelolanya yang diatur, misalnya dengan PP atau Perpres. Sejauh ini tidak ada semua,” ujar dia.
    Ia mengatakan, asas kepastian hukum menjadi hal penting agar semua pihak memahami batas tanggung jawab dan konsekuensi hukum dari setiap tindakan.
    “Kalau saya melakukan ini, kalau benar akibatnya ini. Kalau salah, saya akan menerima akibat ini. Akibat perdatanya ini, akibat pidananya ini. Kan bisa, kalau ada kepastian hukum,” ujar Mahfud.
    Mahfud juga mengingatkan, tanpa landasan hukum yang jelas, program MBG bisa menimbulkan persoalan akuntabilitas di kemudian hari.
    “Tentu kalau secara konstitusi, nanti kan ujungnya ke KPK, ke BPKP kan. Tetapi tetap, BPKP pun kalau memeriksa itu kan selalu menanyakan nomenklatur dan dasar hukumnya mengacu ke mana. Ke Perpres kah, atau ke PP? Nomenklaturnya apa, cantolan ke undang-undang apa,” ujar Mahfud.
    Ia menegaskan pentingnya aturan yang menjamin ketepatan waktu, sanksi, dan standar operasional agar pelaksanaan program bisa berjalan sesuai prinsip Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
    “Jadi, dengan kepastian hukum itu akan menjamin di situ. Diatur tentang ketepatan waktu. Kalau waktunya tidak tepat, apa sanksinya?” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Cucu Jadi Korban, Mahfud MD Kritik Program Makan Bergizi Gratis: Itu Menyangkut Nyawa

    Cucu Jadi Korban, Mahfud MD Kritik Program Makan Bergizi Gratis: Itu Menyangkut Nyawa

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyoroti serius kasus keracunan yang terjadi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia menegaskan, masalah ini tidak bisa dianggap sekadar angka statistik karena menyangkut nyawa dan kesehatan anak-anak.

    Dalam kanal YouTube miliknya, Terus Terang Mahfud MD, yang tayang Selasa (30/9/2025), Mahfud mengungkapkan bahwa cucu keponakannya turut menjadi korban keracunan MBG di Yogyakarta.

    “Cucu saya juga keracunan MBG di Jogja. Cucu ponakan, jadi saya punya keponakan, keponakan saya punya anak namanya Ihsan,” kata Mahfud.

    Ia menceritakan, usai menyantap menu MBG siang hari, delapan siswa termasuk cucunya mengalami muntah-muntah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dari delapan korban, tujuh siswa diperbolehkan pulang setelah sehari sebelumnya sakit, sementara satu di antaranya, yang juga cucunya, harus menjalani rawat inap selama empat hari.

    “Jadi 6 (orang) dan kakaknya, habis muntah-muntah sehari, lalu disuruh pulang bisa dirawat di rumah. Tetapi yang satu ini harus dirawat 4 hari,” ujarnya.

    Mahfud menilai pernyataan presiden yang menyebut angka keracunan MBG masih kecil tidak bisa dijadikan pembenaran. Ia membandingkannya dengan kecelakaan pesawat yang meskipun angkanya kurang dari 0,1 persen tetap menimbulkan kekhawatiran besar di masyarakat.

    “Itu menyangkut nyawa, menyangkut kesehatan. Ini bukan persoalan angka. Ini harus diteliti lagi,” tegas Mahfud. (bs-zak/fajar)

  • 10
                    
                        Nada Ketua MK Meninggi, Minta Semua Pihak Terbuka soal IDI vs Menkes
                        Nasional

    10 Nada Ketua MK Meninggi, Minta Semua Pihak Terbuka soal IDI vs Menkes Nasional

    Nada Ketua MK Meninggi, Minta Semua Pihak Terbuka soal IDI vs Menkes
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Nada bicara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo meninggi saat meminta semua pihak terbuka dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang membenturkan pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Menteri Kesehatan.
    Awalnya, Suhartoyo bertanya kepada tiga pihak yang hadir untuk dimintai keterangan, yakni Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, dan Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran Gigi terkait perkara tersebut.
    Salah satunya terkait dengan masalah independensi standar profesi kedokteran yang berubah setelah UU Kesehatan berlaku.
    “Apakah ini sudah justifikasi atau hanya dugaan bahwa kolegium dan konsil ini sekarang sudah tidak independen karena bagian dari eksekutif (Kementerian Kesehatan) tadi?” tanya Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang MK, Selasa (30/9/2025).
    Suhartoyo meminta penjelasan secara empiris agar majelis hakim bisa mendapat gambaran asli dari konflik yang sedang berlangsung tersebut.
    Ia kemudian menegaskan dengan suara yang meninggi agar tidak ada pihak yang menutupi fakta terkait masalah yang sedang dihadapi dua entitas kesehatan di Indonesia ini.
    “Karena kalau ada pihak-pihak yang menutupi persoalan ini, kemudian kesalahan bukan pada Majelis Hakim, tapi ada pada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,” kata Suhartoyo dengan nada tinggi.
    “Kalau berkenaan dengan hal ini tidak diungkap secara terbuka, secara jujur, kemudian secara komprehensif, nanti ada yang tertinggal. Kami kan tidak semua hakim MK paham betul dengan hal-hal berkaitan dengan Undang-Undang Kesehatan ini, dalam arti substansi yang ada di dalamnya, di dalam tataran implementasinya,” ujar dia lagi.
    Pertanyaan Suhartoyo ini kemudian dijawab oleh Ketua Umum Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI) Suryono.
    Dia mengatakan, sebelum UU Kesehatan berlaku, kepatuhan disiplin profesi berada di bawah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang merupakan bagian dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang independen.
    KKI saat itu berada langsung di bawah Presiden, bukan seperti saat ini yang berada di bawah Kementerian Kesehatan.
    KKI saat itu juga memiliki komposisi dari tokoh masyarakat, ahli hukum, dan juga profesi terkait untuk melengkapi disiplin profesi.
    Atas dasar hal tersebut, Suryono menilai disiplin profesi saat ini tidak independen karena berada dalam intervensi Kementerian Kesehatan.
    “Kolegium saat ini, ya tidak independen kalau menurut saya, ya, karena di bawah intervensi daripada konsil maupun Kementerian Kesehatan,” ucap dia.
    Selain itu, kata Suryono, keraguannya atas independensi terlihat saat proses pemilihan konsil yang dinilai tidak demokratis sejak berada di bawah Kemenkes.
    Sebagai informasi, terdapat tiga perkara uji materi yang sedang berjalan dalam sidang MK.
    Tiga perkara tersebut yakni perkara 156/PUU-XXII/2024, perkara 111/PUU-XXII/2024, dan perkara 182/PUU-XXII/2024.
    Perkara-perkara tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang dinilai mengambil alih independensi kolegium.
    Perkara tersebut juga berkaitan dengan konflik organisasi profesi kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan organisasi tunggal profesi dokter.
    Catatan MK, sidang tiga perkara ini telah berjalan sebanyak delapan kali, lebih panjang dari perkara uji materi biasanya.
    Karena para pihak seperti pemerintah dan DPR telah diminta keterangan, para saksi dan ahli baik dari pembentuk undang-undang dan pemohon juga telah didengarkan keterangannya.
    Sidang pendalaman ini menghadirkan Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, dan Asosiasi Dekan Fakultas Kedokteran Gigi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.