Kementrian Lembaga: MK

  • K3 MPR usul semua lembaga tinggi laporkan kinerja pada Sidang Tahunan

    K3 MPR usul semua lembaga tinggi laporkan kinerja pada Sidang Tahunan

    Jakarta (ANTARA) – Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI mengusulkan semua lembaga tinggi yang dibentuk berdasarkan konstitusi untuk menyampaikan laporan kinerjanya kepada masyarakat pada momen Sidang Tahunan MPR RI, yang biasanya digelar menjelang HUT RI.

    Ketua K3 MPR RI Taufik Basari menjelaskan lembaga tinggi itu, yakni DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sebelumnya, laporan kinerja dari lembaga itu biasanya hanya disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya.

    “Jadi, bukan melaporkan kepada MPR RI karena kedudukannya sama, tapi melaporkan kepada masyarakat melalui forum MPR RI,” kata Taufik di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.

    Menurut dia, hal itu diusulkan agar sesuai seperti yang dilaksanakan dalam Sidang Tahunan MPR RI ketika awal-awal era reformasi. Kini laporan kinerja lembaga-lembaga itu hanya disebutkan dalam beberapa paragraf pidato Presiden.

    “Sehingga kita bisa mendapatkan satu sidang tahunan yang lebih optimal dibandingkan hanya satu kali, kemudian mendengarkan laporan kinerja ini yang diwakili oleh Presiden,” kata Taufik.

    Untuk itu, tambah Taufik, usulan tersebut akan disampaikan kepada pimpinan MPR RI sebagai bahan pengambilan keputusan.

    Selain itu, dia mengatakan K3 MPR RI juga membahas terkait kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh para pejabat.

    Menurut dia, semua lembaga negara wajib melaksanakan amanah untuk menjalankan kedaulatan rakyat sesuai dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan konstitusi.

    “Dan apabila kemudian keluar dari maksud dari konstitusi atau dari perintah konstitusi, maka di situ ada pelanggaran terhadap konstitusi,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Oktober 2025

    Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri Nasional 8 Oktober 2025

    Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Sarifudin Sudding meminta Komite Reformasi Polri yang akan dibentuk Presiden Prabowo Subianto untuk menyingkirkan praktik militeristik dan politik praktis yang masih tersisa di tubuh kepolisian.
    Sudding menilai, sejatinya ada tiga hal penting yang perlu segera menjadi prioritas kerja Komite Reformasi Polri.
    Pertama, transparansi dan akuntabilitas internal agar publik memiliki akses terhadap data kinerja, pelanggaran anggota, dan mekanisme penindakan.
    “Kedua, demiliterisasi dan depolitisasi. Polri perlu menyingkirkan praktik militeristik dan keterlibatan politik praktis yang masih tersisa sejak era ABRI,” ujar Sudding dalam keterangannya, Rabu (8/10/2025).
    Selain itu, lanjut Sudding, perubahan budaya organisasi juga harus menjadi fokus dalam agenda reformasi Polri.
    Perubahan budaya tersebut mencakup pola pendidikan, etika pelayanan publik, dan sikap aparat terhadap masyarakat.
    “Reformasi harus menyasar pola pendidikan, etika pelayanan publik, serta sikap aparat terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan,” terang Sudding.
    Politikus PAN itu mengingatkan, reformasi hanya bisa terwujud jika komite diberi kewenangan mengevaluasi kebijakan, budaya organisasi, dan praktik operasional Polri, bukan sekadar menjadi simbol formalitas.
    “Reformasi Polri harus lebih dari sekadar dokumen atau laporan administratif. Publik menuntut transparansi kinerja, akuntabilitas, dan pengawasan independen yang mampu mendorong perubahan nyata dalam budaya organisasi kepolisian,” kata Sudding.
    Menurut Sudding, keberhasilan reformasi Polri tidak boleh hanya diukur dari laporan administratif atau pencitraan politik, tetapi juga dampak nyata terhadap perlindungan hak warga dan kepastian hukum.
    “Komite Reformasi Polri harus menjadi instrumen kontrol yang efektif, menutup celah sejarah reformasi 1998 yang belum tuntas,” kata Sudding.
    “Dan tentunya harus memastikan Polri mampu menjalankan fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara profesional,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto disebut akan meresmikan Komite Reformasi Polri dan melantik sembilan orang anggotanya pada pekan ini.
    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, pelantikan akan dilakukan langsung oleh Presiden.
    “Minggu depan. Iya. Akan diumumkan dan dilantik oleh Pak Presiden,” ujar Prasetyo, usai Upacara HUT ke-80 TNI di Monas, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025).
    Sejumlah nama disebut akan bergabung dalam komite tersebut, di antaranya Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, eks Menko Polhukam Mahfud MD, serta mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
    Prasetyo menegaskan, komite bentukan presiden berbeda dengan Tim Transformasi Reformasi yang telah dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di internal kepolisian.
    Namun, keduanya akan bekerja dengan semangat yang sama untuk memperbaiki institusi Polri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tentang BO yang Disebut KPK Bak Genderuwo

    Tentang BO yang Disebut KPK Bak Genderuwo

    Jakarta

    Ketua KPK Setyo Budiyanto sempat menyinggung BO (Beneficial Ownership) Gateway atau pemilik manfaat. Setyo menyebut BO seperti genderuwo. Apa maksudnya?

    Pernyataan soal BO disampaikan oleh Setyo saat sambutan dalam acara peluncuran aplikasi BO Gateway yang dibuat oleh Direktorat Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum (Kemenkum) yang terlaksana Senin (6/10), di kantor Kemenkum. BO diibaratkan seperti genderuwo atau seperti sosok manusia berpengaruh tapi jarang terlihat ataupun diketahui keberadaannya.

    “Kita berbicara tentang BO atau pemilik manfaat. Pemilik manfaat ini bukan perusahaan, bukan ras, bukan juga badan hukum. Tapi dia manusia yang berada di balik layar, orang-orang yang sembunyi dari perusahaannya, tapi dia punya pengaruh yang luar biasa,” ujar Setyo.

    Berkaca dari hal tersebut, Setyo pun mengungkapkan saat berdinas di Kementerian Pertanian (Kementan), sempat mengibaratkan sosok BO sebagai genderuwo. Dia mengatakan, meski tak pernah terlihat, sosok BO banyak ditakuti.

    “Dulu, saat saya di Kementerian Pertanian, Pak, saya sampaikan, ‘sering kali pejabat-pejabat itu takut sama genderuwo’, saya sampaikan gitu. Wujudnya nggak ada, tapi namanya menakutkan, kira-kira seperti itu,” jelas Setyo.

    Dia juga mengatakan BO ini bergerak dengan menggunakan orang di sekitarnya sebagai kaki tangan. Dia menyebut tidak sedikit pihak yang turut mengikuti hingga akhirnya memperkuat si BO itu sendiri.

    “Orang sembunyi di belakang layar supaya orang tidak takut, tapi kemudian di samping-sampingnya mereka ini banyak pengikut-pengikutnya, banyak orang-orang yang memanfaatkan segala macam pada titik modal, investasi, titik pengaruh, dan lain-lain yang kemudian semakin memperkuat si pemilik manfaat untuk melakukan banyak tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang luar biasa,” imbuhnya.

    Dia pun berharap kehadiran BO Gateway ini bisa mempermudah segala kegiatan yang diperlukan oleh aparat penegak hukum menyangkut data korporasi.

    “Dengan caranya yang kita lakukan ini, mudah-mudahan segala sesuatunya yang berhubungan dengan korporasi, entitas, dan lain-lain akan lebih mudah,” pungkasnya.

    Apa Itu BO?

    Beneficial ownership atau kepemilikan manfaat mungkin masih awam terdengar. Namun, dalam beberapa kasus terutama korupsi, istilah ini cukup lazim karena sering menjadi celah yang dimanfaatkan.

    Ringkasnya si pemilik manfaat ini biasanya tidak tercatat secara administratif pada korporasi, tetapi mendapatkan manfaat atau keuntungan yang didapat korporasi dalam menjalankan bisnis. Nah, pemerintah sebenarnya sudah membuat regulasi mengenai hal ini, yaitu pada Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme (selanjutnya disebut Perpres BO).

    Perpres BO itu mengatur pelaporan data pemilik manfaat secara pribadi atau self-declaration. Namun langkah itu belum optimal sehingga Kemenkum meluncurkan aplikasi sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Hukum Nomor 2 Tahun 2025 tentang Verifikasi dan Pengawasan Pemilik Manfaat Korporasi.

    Melalui aplikasi itu, sistem verifikasi BO disebut akan lebih akurat. Selain itu, Kemenkum mengenalkan prototipe BO gateway yang dirancang sebagai sistem terintegrasi yang akan memfasilitasi pertukaran dan verifikasi data BO secara digital antar kementerian dan lembaga.

    “Dengan sistem BO gateway yang dikembangkan itu tidak sekadar hanya orang mendaftar untuk pemilik manfaat, tetapi akan ada kolaborasi lintas kementerian untuk memastikan bahwa pemilik manfaat itu adalah benar-benar orang yang menerima manfaat atas pendaftaran dari BO yang dilakukan,” tutur Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas saat memberi sambutan di Grha Pengayoman, Kemenkum, Jakarta Selatan, Senin (6/10).

    “Dengan ketersediaan data BO yang akurat melalui BO gateway, kita membekali aparat penegak hukum dengan instrumen yang presisi untuk melakukan follow the money hingga ke akar-akarnya,” imbuh Supratman.

    Contoh Kasus Libatkan BO

    Meskipun disebut seperti genderuwo, ternyata ada beberapa kasus yang melibatkan Beneficial Ownership atau BO. Ada juga BO yang pernah ditangkap oleh KPK.

    Berikut ini daftar kasus yang melibatkan BO sebagai tersangkanya:

    Kasus Suap Emirsyah Satar

    Salah satu kasus yang melibatkan beneficial owner dan diusut KPK ialah kasus suap mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar. Pada 2017, KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Emirsyah Satar dan pengusaha Soetikno Soedarjo.

    KPK menyebutkan Soetikno merupakan beneficial owner dari Connaught International Pte Ltd. Saat itu, KPK menyebut Soetikno memberi suap 1,2 juta euro dan USD 180 ribu kepada Emirsyah terkait pengadaan mesin pesawat.

    Keduanya telah divonis bersalah karena terbukti terlibat suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC. Emirsyah telah divonis 8 tahun penjara dan Soetikno 6 tahun penjara.

    Kasus Korupsi Pengadaan Lahan Rumah DP Rp 0

    KPK pernah menjerat Rudy Hartono Iskandar sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan lahan rumah DP Rp 0 di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Saat persidangan, Rudy disebut sebagai beneficial owner dari PT Adonara Propertindo. Rudy telah divonis 7 tahun penjara dalam kasus itu.

    Rudy kembali dijerat sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan lahan proyek rumah DP Rp 0 di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Dalam kasus ini, Rudy juga dijatuhi vonis 7 tahun penjara.

    Kasus Suap Eks Hakim MK

    Pada 2017, KPK menetapkan Basuki Hariman, yang disebut beneficial owner dari PT Impexindo Pratama, PT Cahaya Timur Utama, PT Cahaya Sakti Utama, dan CV Sumber Laut Perkara, sebagai tersangka. Basuki saat itu dijerat sebagai tersangka kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar.

    Saat itu, Basuki divonis 7 tahun penjara. Dia saat itu dinyatakan bersalah menyerahkan uang USD 50 ribu kepada Kamaludin yang disebut orang dekat Patrialis terkait judicial review (JR) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Hakim saat itu berkesimpulan, dari total USD 50 ribu yang diberikan kepada Kamaludin, USD 10 ribu telah diserahkan kepada Patrialis.

    Kasus Korupsi Eks Dirut ASDP

    KPK menetapkan Adjie sebagai tersangka kasus korupsi pembelian PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP. Dalam dakwaan, Adjie disebut sebagai beneficial owner PT Jembatan Nusantara.

    Jaksa mengatakan perkara ini telah memperkaya Adjie Rp 1,25 triliun. Kasus ini masih dalam tahap persidangan.

    Halaman 2 dari 4

    (maa/rfs)

  • Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

    Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan Nasional 7 Oktober 2025

    Wujudkan Layanan Persidangan Bermartabat dan Inklusif, MA Susun Regulasi Strada Dilan
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki peran penting sebagai pilar negara yang independen. 
    Berdasarkan teori
    trias politica
    yang dicetuskan John Locke dan dikembangkan Montesquieu, kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar kekuasaan negara.
    Cabang kekuasaan yudikatif diamanatkan kepada Mahkamah Agung (MA), badan peradilan di bawahnya, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial sesuai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 
    Kepala Biro Keuangan Badan Urusan Administrasi MA Edi Yuniadi mengatakan, konsep tersebut menjadi landasan utama dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.
    Dia menjelaskan, kekuasaan kehakiman di Indonesia dijalankan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya, dengan fokus utama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara atau sengketa di bidang hukum pidana, perdata, agama, dan tata usaha negara. 
    Kekuasaan tersebut lazim dengan sebutan kewenangan mengadili perkara/sengketa. 
    “Peran mengadili perkara/sengketa menjadi kekuasaan hakim yang tidak dapat diwakilkan atau memiliki otoritas penuh sebagai peran pemberi keadilan dalam penyelesaian perkara/sengketa,” kata Edi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (7/10/2025).
    Dalam konteks administratif, kewenangan MA diberikan untuk menciptakan atau membuat putusan yang disebut dengan istilah putusan hakim dan menjadi indikator kinerja utama badan peradilan.
    Edi menjelaskan, kesan pertama terhadap pengadilan dapat dilihat dari jalannya persidangan yang di dalam ruang sidang pengadilan.
    “Ruang sidang bukan sekadar tempat berlangsungnya proses hukum, tetapi juga merupakan simbol nyata dari keadilan yang ditegakkan negara,” sebutnya. 
    Menurut Edi, ruang sidang adalah ruang sakral mengingat hukum berbicara, kebenaran diuji, dan keadilan ditegakkan. 
    Oleh karenanya, pandangan terhadap ruang sidang tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik dan arsitekturnya, tetapi memiliki nilai-nilai filosofis, psikologis, dan sosiologis yang melekat di dalamnya. 
    Dalam sistem hukum modern, pengadilan merupakan lembaga yang memiliki fungsi sentral dalam menegakkan keadilan, menyelesaikan sengketa, dan menjaga supremasi hukum. 
    Edi menilai, salah satu elemen penting dalam proses peradilan adalah ruang sidang. 
    Meskipun sering dipandang hanya sebagai tempat berlangsungnya persidangan, secara akademik ruang sidang memiliki makna yang lebih luas, baik secara normatif, simbolik, maupun sosial.
    “Ruang sidang tidak hanya menjadi arena pelaksanaan hukum, tetapi juga representasi dari integritas, profesionalisme, dan wibawa lembaga peradilan,” kata Edi. 
    Secara simbolik, kata dia, ruang sidang mencerminkan struktur dan otoritas dalam peradilan. 
    Tata letak yang hierarkis, dengan posisi majelis hakim yang lebih tinggi dari para pihak, melambangkan supremasi hukum dan independensi yudikatif. 
    Elemen-elemen, seperti palu hakim, toga, dan lambang negara memperkuat legitimasi dan otoritas negara dalam menegakkan hukum. 
    Edi menyebutkan, hal tersebut sejalan dengan teori simbolik dalam sosiologi hukum yang menyatakan bahwa aspek-aspek visual dan ritual dalam ruang sidang memperkuat persepsi publik terhadap keadilan, seperti diungkapkan Cohen (2006).
    Dari sudut pandang psikologis, ruang sidang memiliki dampak signifikan terhadap para pencari keadilan. 
    Bagi pihak awam, suasana formal ruang sidang bisa menimbulkan tekanan, ketakutan, atau kecemasan. 
    Oleh karena itu, penting bagi aparat peradilan untuk menciptakan suasana sidang yang tetap profesional namun inklusif. 
    “Secara sosiologis, ruang sidang adalah panggung sosial tempat berbagai kepentingan bertemu dan diuji oleh hukum,” ungkap Edi. 
    Peneliti seperti Habermas (1996) menyatakan, ruang publik, seperti pengadilan, harus menjamin partisipasi rasional dan setara dari semua pihak. 
    Perkembangan teknologi telah mendorong reformasi dalam sistem peradilan, termasuk perubahan dalam bentuk dan fungsi ruang sidang. 
    Implementasi sistem
    e-court
    , persidangan secara daring/
    online court
    , serta digitalisasi dokumen hukum mengubah persepsi tradisional terhadap ruang sidang. 
    Meski demikian, transformasi itu tidak boleh mengurangi esensi ruang sidang sebagai tempat yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. 
    Dengan kata lain, digitalisasi harus dilihat sebagai alat, bukan pengganti dari nilai-nilai substantif peradilan.
    Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA memiliki tanggung jawab dalam menciptakan pelayanan peradilan yang berwibawa, profesional, dan berstandar nasional. 
    Purwarupa Gedung Kantor Pengadilan di Lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya merupakan salah satu upaya konkret untuk mewujudkan standarisasi ruang sidang.
    Dalam hal ini, ruang sidang tidak hanya mendukung kenyamanan dan efisiensi proses peradilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan sumber daya nasional.
    Hal itu sesuai dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung (KMA) Nomor 216/KMA/SK.PL.1.2.2./X/2023 tentang Pedoman Standarisasi Tata Ruang, Sarana Prasarana. 
    Namun, kata Edi, pada tataran implementasi, SK KMA 216/2023 belum dapat dipenuhi seluruhnya karena kondisi ruang sidang yang belum memenuhi standarisasi.  
    Oleh karena itu, diperlukan terobosan melalui suatu inovasi dalam rangka mewujudkan Standarisasi Ruang Sidang Pengadilan (Strada Dilan) pada empat lingkungan peradilan untuk mewujudkan layanan persidangan yang bermartabat, inklusif dan berkeadilan.
    Untuk mewujudkan itu, Edi mempelopori tim MA yang akan menyiapkan tiga regulasi.
    Pertama
    , pedoman standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
    Kedua
    , pedoman pemanfaatan PNBP Mahkamah Agung untuk mendukung standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
    Ketiga
    , penetapan
    pilot project
    standarisasi ruang sidang pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
    Hal itu juga dilakukan Edi sebagai sebagai
    project leader
    pelaksanaan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XV yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia.
    Edi mengatakan, ketiga regulasi tersebut akan meningkatkan kualitas layanan peradilan, meningkatkan kepercayaan publik, memberikan pengalaman beracara yang lebih baik terutama bagi kelompok rentan, seperti perempuan, disabilitas, dan anak.
    “Dengan begitu, Strada Dilan dapat mewujudkan layanan persidangan yang bermartabat, inklusif, serta berkeadilan bagi masyarakat pencari keadilan maupun
    stakeholders
    pengadilan,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hakim MK Tanya Dampak Jika Gugatan UU Cipta Kerja Terkait PSN Dikabulkan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

    Hakim MK Tanya Dampak Jika Gugatan UU Cipta Kerja Terkait PSN Dikabulkan Nasional 7 Oktober 2025

    Hakim MK Tanya Dampak Jika Gugatan UU Cipta Kerja Terkait PSN Dikabulkan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan dampak yang akan terjadi jika uji materi Undang-Undang Cipta Kerja terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) dikabulkan seluruhnya.
    Hal ini ditanyakan Enny kepada Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menginginkan agar uji materi dengan nomor perkara 162/PUU-XXIII/2025 itu dikabulkan.
    Pertanyaan ini juga diajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang turut hadir memberikan keterangan dalam sidang tersebut.
    “Kalau dikabulkan misalnya dari Bu Maria itu apa dampaknya yang dikaji oleh Komnas Perempuan?” kata Enny dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
    Salah satu permohonan uji materi tersebut adalah Pasal 3 huruf d dalam UU Cipta Kerja yang spesifik menyinggung terkait percepatan PSN.
    “Sementara PSN itu kan jangkauan kemudian variannya luar biasa, banyak macam-macam termasuk salah satunya untuk mendukung SDGs (Sustainable Development Goals) juga di situ,” ucap Enny.
    Ketika dikabulkan, tak ada asas dasar yang menentukan PSN harus dipercepat, apakah akan berdampak pada tujuan pembangunan berkelanjutan 2030 dalam konsep SDGs atau tidak.
    Enny menegaskan perlu dijelaskan agar kepentingan umum dalam PSN berkaitan dengan upaya negara untuk sebesar-besarnya mensejahterakan rakyat Indonesia.
    “Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini untuk bisa mewujudkan itu dalam kerangka apakah itu kepentingan umum dan atau PSN itu tadi?” ucapnya.
    Komnas HAM dan Komnas Perempuan bersepakat akan menjawab pertanyaan Enny tersebut melalui keterangan tambahan secara tertulis.
    Sebagai informasi, permohonan ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya.
    Mereka mengajukan uji materi “kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN)” dan/atau frasa “PSN” dalam Ketentuan Pasal 3 huruf d;
    Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 Ayat (2) dan Ayat (4); Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 Ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1; Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 A Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A Ayat (1) dan Ayat (2) dalam Pasal 17 Angka 18 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
    Para pemohon mendalilkan UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN, menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
    Para pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara.
    Norma tersebut dianggap kabur (
    vague norm
    ) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret.
    Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna.
    Atas dasar hal tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang digugat dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

    Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka Nasional 7 Oktober 2025

    Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyebutkan, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka harus diperiksa terlebih dahulu sebagai calon tersangka.
    Hal ini ia sampaikan saat dihadirkan tim hukum mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).
    Mulanya, kuasa hukum Nadiem, Hotman Paris, meminta pandangan Chairul sebagai ahli mengenai mekanisme penetapan tersangka yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap seseorang.
    “Anda setuju calon tersangka kalau belum diperiksa tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka. Setuju?” tanya Hotman Paris.
    “Betul. Calon tersangka tentu harus diperiksa. Oleh karena itu, harus dipastikan pemeriksaan calon tersangka itu bukan formalitas, tetapi pemeriksaan yang substansial,” jawab Chairul.
    Hotman pun meminta penjelasan tentang penetapan tersangka, bahwa penegak hukum setidaknya harus memiliki minimal dua alat bukti.
    Ia kemudian menyinggung perlunya pemeriksaan seseorang sebagai calon tersangka sebelum penetapan resmi.
    Pasalnya, menurut Hotman, keterangan saksi yang menjadi alat bukti harus terlebih dahulu dikonfirmasi kepada calon tersangka.
    “Dalam kasus ini, Jaksa mengatakan ada 117 saksi. Tentu, apakah Anda setuju bahwa keterangan 117 saksi itu harus dikonfirmasi kepada calon tersangka?” tanya Hotman.
    Mendengar pertanyaan Hotman, Chairul menegaskan bahwa orang itu memang harus diperiksa sesuai substansi perkaranya.
    Ia pun menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengisyaratkan adanya pemeriksaan calon tersangka dalam proses hukum.
    “Saya kebetulan yang mulia, juga ahli yang memberikan pendapat di Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian ketentuan tersebut. Jadi, prosedur pemeriksaan calon tersangka itu memang dimaksudkan untuk membuat penetapan tersangka tidak sepihak dan subjektif dari penyidik,” papar Chairul.
    Ia menjelaskan bahwa aparat harus memperhatikan keterangan yang diberikan orang yang nantinya secara logis ditetapkan sebagai tersangka.
    Inilah yang kemudian disebut calon tersangka, lantaran dari pemeriksaan itu akan terlihat bahwa orang tersebut diperiksa sebagai calon tersangka meski saat dipanggil dalam kapasitasnya, misalnya sebagai saksi.
    “Kalau menurut saya, kalau memang ada sekian banyak saksi yang kemudian misalnya dari situ bisa disimpulkan dan ada keterangan-keterangan yang memberatkan dia, untuk itulah kemudian perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan. Di sinilah fungsi kenapa Mahkamah Konstitusi memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan calon tersangka seperti itu,” kata Chairul.
    Dia menambahkan, para saksi yang telah diperiksa aparat pun harus dikonfirmasi keterangannya pada calon tersangka, karena keterangan itu terkait perbuatan yang diterangkan para saksi sekaligus menjadi tanda bahwa dia telah diperiksa sebagai calon tersangka.
    “Barulah dikatakan dia telah diperiksa sebagai calon tersangka. Nanti bisa dilihat saja. Buktinya kan sudah diperiksa sebagai calon tersangka, nanti kan akan diperlihatkan BAP-nya. Itu saja dilihat. Apakah ditanyakan tentang hal-hal itu atau tidak,” kata Chairul.
    “Oke. Anda tadi mengatakan, lihat saja BAP-nya. Mudah-mudahan mohon izin majelis, seluruh BAP dari saksi dan tersangka agar dibawa besok (oleh termohon) agar bisa kami baca. Mohon izin majelis, diminta kepada pihak termohon karena itu sangat penting,” timpal Hotman.
    Hotman pun meminta agar BAP para saksi dalam kasus terkait penetapan Nadiem sebagai tersangka diperlihatkan besok, agar validasi dapat dilakukan bahwa keterangan para saksi telah dikonfirmasi ke kliennya dan kliennya ditanyai tentang perbuatan yang dituduhkan.
    “Takutnya yang ditanyakan kepada tersangka bukan tentang kerugian negara. Jangan-jangan yang ditanya, ‘kapan kau berdansa dengan Hotman Paris di Bali gitu loh.’ Itu makanya itu sangat penting, kalau tidak dikonfirmasi,” kata Hotman berkelakar.
    Diketahui, Nadiem mengajukan gugatan praperadilan agar statusnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dicabut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan yang Minta Penyakit Kronis Dianggap Disabilitas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

    Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan yang Minta Penyakit Kronis Dianggap Disabilitas Nasional 7 Oktober 2025

    Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan yang Minta Penyakit Kronis Dianggap Disabilitas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemerintah meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Disabilitas yang meminta agar seseorang dengan penyakit kronis dinyatakan sebagai penyandang disabilitas.
    Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial, Supomo, yang mewakili pemerintah. 
    “Menolak permohonan pengujian para pemohon untuk seluruhnya atau setidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” kata Supomo, dalam sidang perkara nomor 130/PUU-XXIII/2025 yang digelar, Selasa (7/10/2025).
    Adapun alasan pemerintah meminta MK menolak permohonan, karena penyakit kronis dinilai bukan sebuah kondisi disabilitas.
    Walakin, penyakit kronis bisa menjadi penyebab seseorang menjadi disabilitas karena kecacatannya.
    Namun, penderita penyakit kronis tidak bisa langsung dinyatakan disabilitas; perlu ada asesmen klinis yang memberikan keterangan bahwa penyakit tersebut menyebabkan kondisi disabilitas.
    “Bahwa penderita penyakit kronis dapat ditetapkan sebagai penyandang disabilitas melalui asesmen klinis yang dilakukan oleh tenaga medis, yaitu dokter,” kata Supomo.
    Dia mengatakan, asesmen klinis sejalan dengan Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur.
    Atas dasar alasan tersebut, Supomo menyebut orang yang memiliki penyakit kronis yang berdampak pada keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu yang lama bisa dikategorikan sebagai penyandang disabilitas oleh tenaga medis.
    “Berdasarkan terang di atas, maka penyakit kronis bukanlah contoh penyandang disabilitas yang dimaknai dalam penjelasan ragam penyandang disabilitas, namun merupakan salah satu penyebab kedisabilitasan,” ucap dia.
    “Serta orang dengan penyakit kronis dapat ditetapkan menjadi penyandang disabilitas oleh tenaga medis sesuai dengan kompetensi yang berkaitan dengan kedisabilitasannya,” tutur Supomo lagi.
    Atas dasar jawaban tersebut, Supomo menilai, dalil para pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum.
    Sebagai informasi, uji materi dengan nomor perkara 130/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua penyandang penyakit kronis, Raissa Fatikha dan Deanda Dewindaru.
    Mereka mengajukan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
    Raissa Fatikha adalah penyintas Thoracic Outlet Syndrome (TOS) selama 10 tahun.
    Ia mengalami nyeri berkelanjutan di tangan, pundak, dan dada kanan atas dengan intensitas yang berfluktuasi.
    Kondisi ini membatasi fungsi gerak, stamina, dan mobilitas, terutama saat flare-up.
    Meski demikian, ia tetap aktif mengedukasi publik melalui platform Ragam Wajah Lara.
    Deanda Dewindaru merupakan penyintas penyakit autoimun Guillain-Barré Syndrome, Sjögren’s Disease, dan Inflammatory Bowel Disease selama tiga tahun terakhir.
    Deanda mengalami kelelahan kronis dan flare-up yang membatasi stamina serta fungsi gerak.
    Ia aktif memberikan edukasi melalui platform Spoonie Story.
    Para pemohon menegaskan, kerugian yang mereka alami bersifat nyata dan faktual, khususnya dalam mengakses layanan publik yang menjadi hak istimewa penyandang disabilitas.
    Mereka meminta MK untuk memasukkan penyakit kronis sebagai salah satu ragam penyandang disabilitas dalam UU Penyandang Disabilitas.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        Kejagung Bantah Seluruh Tudingan Kubu Nadiem di Praperadilan
                        Nasional

    9 Kejagung Bantah Seluruh Tudingan Kubu Nadiem di Praperadilan Nasional

    Kejagung Bantah Seluruh Tudingan Kubu Nadiem di Praperadilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung membantah seluruh tudingan pengacara mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
    Korps Adhyaksa menegaskan bahwa penetapan status tersangka Nadiem dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
    Kejagung menyatakan bahwa sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Nadiem sudah tiga kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus
    a quo
    .
    “Pemohon (Nadiem) sebelum ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara a quo telah lebih dulu diperiksa sebagai saksi oleh termohon (Kejagung) selaku penyidik pada tanggal 23 Juni 2025, 15 Juni 2025, dan 4 September 2025,” kata Kejagung.
    Adapun penetapannya sebagai tersangka dilakukan setelah penyidik mengantongi dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
    “Termohon selaku penyidik telah mendapat bukti permulaan tercukupinya minimal dua alat bukti, bahkan diperoleh empat alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang didapatkan dari alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, maupun barang bukti elektronik berdasarkan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
    juncto
    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021,” kata Kejagung.
    Sejauh ini, sudah 113 saksi yang dimintai keterangan dalam perkara tersebut, termasuk Nadiem sendiri saat masih berstatus saksi.
    “Termohon selaku penyidik sebelum menetapkan pemohon sebagai tersangka pada 4 September 2025 telah mendapatkan alat bukti keterangan saksi dari sekitar 113 orang saksi termasuk di antaranya Nadiem Anwar Makarim yang pernah diperiksa sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Kejagung.
    Kejagung juga menepis dalil kuasa hukum Nadiem yang menuding penetapan tersangka dilakukan tanpa hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
    Menurut Kejagung, audit tersebut sudah dilakukan melalui proses ekspos bersama antara penyidik dan auditor BPKP.
    “BPKP telah menindaklanjuti permintaan penyidik dengan melakukan ekspos bersama antara penyidik dan auditor BPKP sehingga terbit berita risalah atau hasil ekspos pada 19 Juni 2025,” kata Kejagung.
    Dari hasil ekspos disimpulkan adanya perbuatan melawan hukum dalam pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Kemendikbudristek untuk program digitalisasi pendidikan 2019–2022 yang berpotensi merugikan keuangan negara.
    “Perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPKP adalah sah menurut hukum. Hal itu sejalan dengan banyak putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang mengakui perhitungan kerugian negara oleh BPKP,” kata Kejagung.
    Kejagung turut mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 yang menyatakan penyidik korupsi dapat berkoordinasi tidak hanya dengan BPK atau BPKP, tetapi juga instansi lain, bahkan dapat menghitung sendiri kerugian negara sepanjang dapat dibuktikan secara materiil.
    “Bahkan penyidik dimungkinkan membuktikan sendiri adanya kerugian keuangan negara di luar temuan BPK atau BPKP, sepanjang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam perhitungannya,” ujar Kejagung.
    Kejagung juga menegaskan, keberadaan aliran dana kepada tersangka bukanlah syarat penetapan seseorang dalam perkara korupsi.
    “Bahwa ada atau tidaknya aliran dana kepada pemohon, yaitu Nadiem Anwar Makarim, bukanlah syarat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi,” kata Kejagung.
    Menurut Kejagung, aspek mengenai apakah Nadiem atau pihak lain memperkaya diri merupakan bagian dari pokok perkara yang harus dibuktikan di persidangan tindak pidana korupsi (tipikor), bukan dalam tahap praperadilan.
    “Pemeriksaan praperadilan di Pengadilan Negeri hanya memeriksa aspek formal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) dan Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2015,” ujar Kejagung.
    Kejagung pun menekankan bahwa tidak ada aturan yang mewajibkan laporan hasil audit BPK atau BPKP sebagai syarat sah penetapan tersangka.
    “Sampai saat ini tidak ada satu pun peraturan yang mewajibkan LHP BPK maupun BPKP sebagai syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka,” kata Kejagung.
    Sementara itu, kubu Nadiem melalui tim kuasa hukumnya menilai penetapan tersangka terhadap klien mereka cacat formal.
    Mereka menilai Kejagung tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum menetapkan Nadiem sebagai tersangka.
    Dalam permohonan yang diajukan ke PN Jakarta Selatan, tim hukum juga menyebut Kejagung menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Penetapan Tersangka secara bersamaan pada 4 September 2025.
    Selain itu, mereka mempersoalkan ketiadaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan hasil audit BPKP sebelum penetapan tersangka dilakukan.
    Kubu Nadiem menilai langkah Kejagung sebagai tindakan sewenang-wenang dan tidak sesuai prosedur hukum acara pidana.
    Dalam permohonannya, tim hukum juga menegaskan bahwa Nadiem tidak menerima keuntungan pribadi dari proyek digitalisasi pendidikan.
    Mereka menyebut program itu bahkan tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 dan tidak memiliki struktur maupun alokasi anggaran yang jelas.
    Selain meminta agar penetapan tersangka dibatalkan, tim kuasa hukum juga berharap apabila perkara berlanjut ke tahap penuntutan, penahanan terhadap Nadiem dapat diganti dengan penahanan kota atau rumah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pakar Komunikasi Usul UU Pers Di Judicial Review di MK, Agar Podcast Punya Kekuatan Hukum

    Pakar Komunikasi Usul UU Pers Di Judicial Review di MK, Agar Podcast Punya Kekuatan Hukum

    Menurutnya, agar podcast bisa jadi setara jurnalisme pers, pengertian pers konvensional di UU Pers perlu di judisial review agar dimaknai lebih terbuka terhadap media baru ini, sehingga bisa dianggap sebagai pers oleh UU. Dalam hal ini tidak perlu revisi UU tapi cukup Judicial Review di MK.

    Mantan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI ini menyatakan,

    adaptasi regulasi itu penting untuk mengikuti perkembangan teknologi dan konsekuensinya. Teknologi dan disrupsi tidak bisa dilawan secara frontal dengan dikotomi berdasar ukuran lama. Yang penting ada equality of playing fields pada pelaku jurnalistik.

    “Podcast itu beda dengan media sosial secara umum. Di media sosial terlalu banyak pelaku anonim sehingga isinya jauh dari objektivitas. Sedang podcast itu terbuka. Narsumnya kredible, memiliki identitas jelas. Bahkan ada tuntutan harus punya reputasi personal pada pembawa podcast agar salurannya dipercaya dan diikuti. Makanya podcast termasuk bentuk baru jurnalisme yang mendalam dengan format fleksibel,” jelasnya.

    Ke depan lanjut dia, harus ada standard jurnalistik dan tata nilai terkait yang mengatur podcast. Sebagaimana juga berlaku dalam talkshow media secara umum. Podcast hanya lebih fleksibel dan spesifik.

    UU Pers kalau pengertiannya hanya melindungi kebebasan institusi perusahaan pers, tetapi tidak sesuai perkembangan baru, maka prinsip itu bisa melanggar azas equality before the law. 

    Lebih jauh dia menyebut perusahaan pers sekarang makin terancam terdisrupsi menjadi content creator di hadapan platform global. Oleh karenanya lebih dilihat dari perspektif fungsinya. Yaitu menyampaikan fakta secara objektif. Podcast juga punya fungsi yang sama, dan dimungkinkan dalam menganalisis dan memberikan ulasan bisa mengikuti standar objektivitas yang berlaku sebagaimana standard jurnalistik dengan menjunjung tinggi factuality dan impartiality.  

  • LBH Surabaya Ajukan Penangguhan Penahanan Aktivis di Jember

    LBH Surabaya Ajukan Penangguhan Penahanan Aktivis di Jember

    Jember (beritajatim.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengajukan penangguhan penahanan terhadap F, salah satu aktivis pengunjuk rasa, yang sedang ditahan Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, Senin (6/10/2025).

    F ditangkap polisi dan dikenai pasal 160 KUHP terkait pemghasutan. “Dia diduga menghasut teman-teman yang melakukan perusakan,” kata Fahmi Ardiyanto, pengacara dari LBH Surabaya, saat ditemui menjelang berangkat ke Markas Polres Jember.

    “Cuma kalau dilihat dari profiling Mas F, peran Mas F hanya sebagai paramedis. Perannya di situ sifatnya di belakang dan tugasnya membantu teman-teman yang pada saat aksi menjadi korban represi aparat,” kata Fahmi.

    Hal ini yang membuat Fahmi kurang yakin F melakukan tindakan pidana yang dituduhkan polisi. “Itu juga dibantah langsung F oleh saat pemeriksaan,” katanya.

    LBH Surabaya menilai penangkapan F di rumahnya tidak prosedural. “Dalam proses penetapan tersangka, polisi tidak pernah memanggil F sebagai calon tersangka. Kalau kita lihat di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014, ketika penmyidik mau menetapkan seseorang menjadi tersangka, tentu harus dilengkapi bukti permulaan disertai dengan pemeriksaan sebagai calon tersangka,” kata Fahmi.

    LBH Surabaya mengajukan penangguhan penahanan, karena F berstatus tulang punggung keluarga. “Dia anak tunggal. Bapaknya ada di luar kota, dan dia tinggal sendirian bersama ibunya yang sudah tua. Penangguhan ini lebih urgen karena tidak membutuhkan proses panjang,” kata Fahmi.

    Fahmi berharap status F bisa diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota atau tahanan rumah. “Berkaitan dengan proses praperadilan, kami yang tergabung dalam Koalisi Advokasi terhadap Demokrasi masih menggodok, masih mendiskusikan apakah akan melakukannya atau tidak,” katanya.

    Menurut data yang dilansir Kepolisian Daerah Jawa Timur, 18 September 2025, polisi menahan tujuh orang yang merusak dan membakar tenda pos pantau milik Satuan Lalu Lintas Polres Jember, 30 Agustus 2025.

    Sebelumnya selain F, ada tiga tersangka lain yang mengajukan penangguhan penahanan. “Sejauh ini LBH Surabaya dan teman-teman Koalisi dipercayakan menerima kuasa dari tiga orang sebelumnya, yakni Mas R, AF, dan Y. Sudah kami ajukan penangguhan penahanan,” kata Fahmi.

    “Kalau sisanya, kami belum mendapatkan identifikasi siapa saja yang ditangkap dan kami bukan kuasa hukum mereka. Jadi kami tidak mengajukan penangguhan penahanan atas nama mereka,” kata Fahmi.

    Fahmi memahami bahwa penangguhan penahanan tergantung dari subyektivitas penyidik. “Tapi meskipun itu subyektivitas penyidik, tetap harus dengan alasan dan landasan yang jelas, kenapa permohonan itu tidak diterima,” katanya.

    Fahmi berharap penangguhan penahanan ini diterima, karena bukan hanya keluarga yang jadi penjamin.

    “Kami juga mendorong tokoh-tokoh lokal dan nasional untuk menjadi penjamin bahwa orang yang ditahan itu tidak akan melarikan diri, tidak akan mengulangi tindak pidananya, dan tidak akan menghilangkan barang bukti, serta kooperatif bila ada pemeriksaan di tingkat kepolisian dan kejaksaan,” kata Fahmi.

    Selain itu, menurut Fahmi, LBH Surabaya mendorong kepolisian untuk menghentikan perburuan aktivis demokrasi. “Jadi tidak semestinya teman-teman yang menyuarakan hak berpendapat mendapat represi dari kepolisian,” katanya. [wir]