Ibu dan Anak di Bangkalan Jadi Tersangka karena Keroyok Tetangga
Tim Redaksi
BANGKALAN, KOMPAS.com
– Penganiayaan yang dilakukan MY (42), asal Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur bersama keluarganya berakhir di balik jeruji.
Polisi menangkap MY dan anaknya atas dugaan menganiaya tetangganya, MK (40).
Kasat Reskrim Polres Bangkalan, AKP Hafid Dian Maulidi mengatakan, pihaknya menetapkan MY dan anaknya, R (21) sebagai tersangka penganiayaan.
“Dua pelaku kami tahan dan kami tetapkan sebagai tersangka,” ujarnya, Senin (20/10/2025).
Polisi masih mendalami kasus tersebut untuk mengungkap adanya keterlibatan pelaku lain.
Dalam kejadian penganiayaan itu, MK telah melaporkan MY beserta keluarganya, yakni R, MD, dan MS karena telah melakukan penganiayaan terhadap MK dan anaknya yakni EL yang masih berusia 6 tahun.
“Untuk kasus penganiayaan terhadap putri korban, itu dilaporkan dalam berkas tersendiri dan masih kami dalami,” ucap dia.
Penganiayaan bermula saat anak MK, yakni E (6) bersama teman sebayanya sedang membeli jajan ketika jam istirahat di sekolah madrasah.
Tak lama kemudian, bungkus jajan tersebut dibuang di halaman oleh E dan teman-temannya.
Tiba-tiba, E dan teman-temannya didatangi oleh seorang nenek, yakni MS (80) dengan membawa bambu. Nenek tersebut merupakan ibu MY yang saat itu membantu MY berjualan di sekitar sekolah.
MS lalu menganiaya E dan teman-temannya. Bahkan, bagian mata E lebam akibat penganiayaan itu.
Tak terima anaknya dianiaya, MK lalu menghubungi cucu laki-laki MS, yakni R melalui telepon.
Saat dihubungi, R sempat meminta maaf atas perlakukan neneknya. Namun, R diduga meremehkan kejadian tersebut sehingga terjadi perdebatan.
“Jadi R itu malah bilang ‘Kan enggak sampai buta anakmu’ begitu. Ini bukan masalah buta atau tidak, tapi anak saya dianiaya,” ungkapnya MK saat diwawancarai
Kompas.com
, Sabtu (18/10/2025).
Diduga, dalam perdebatan itu, terjadi kesalahpahaman hingga mengakibatkan R mendatangi rumah MK yang letaknya tak jauh dari rumah keluarga R.
“Lalu R datang ke rumah dan saya jelaskan agar dia tidak salah paham. Tapi saya justru dipukul,” kata dia.
Kondisi rumah MK yang sepi membuat pelaku leluasa menganiaya korban.
“Saya di rumah saat itu hanya bersama ibu saya yang sudah sepuh. Sedangkan suami masih ada kegiatan di luar rumah,” katanya.
Tak lama berselang, ibu R, yakni MY juga turut datang ke rumah korban. MY lalu mencakar wajah korban dan menganiaya hingga korban pingsan.
Mendengar keributan itu, tetangga lain datang untuk melerai pelaku. Namun, ayah R, yakni MD lalu ikut datang ke rumah korban dan terus memprovokasi R agar membunuh korban.
“Jadi saat tetangga datang itu mereka memegangi R agar tidak terus memukuli saya, tapi ayahnya R yakni MD terus menyuruh R untuk membunuh saya,” ujarnya.
Akibat penganiayaan tersebut, MK mengalami luka di bagian kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Korban juga mengalami trauma akibat kejadian tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: MK
-
/data/photo/2024/08/15/66bd8cfbb01fe.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ibu dan Anak di Bangkalan Jadi Tersangka karena Keroyok Tetangga Surabaya 20 Oktober 2025
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis Nasional 20 Oktober 2025
Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kementerian Kesehatan akan membuka 500 rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan utama untuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Hal ini disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sidang uji materi Undang-Undang Kesehatan 3/2023 dengan nomor perkara 143/PUU-XXIII/2025 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (20/10/2025).
Pembukaan ini dilakukan, kata Menkes, untuk menambah jumlah, meratakan distribusi, dan membebaskan biaya pendidikan dokter spesialis.
“Pertama, untuk menambah jumlah dokter spesialis dalam lima tahun ke depan, pemerintah berencana membuka 500 rumah sakit penyelenggara pendidikan utama untuk mengejar pemenuhan kebutuhan dokter spesialis,” kata Budi Gunadi, yang hadir secara virtual.
Dia mengatakan, tujuh dokter spesialis dasar akan menjadi prioritas, seperti penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.
Begitu juga spesialis untuk penyakit yang menyebabkan kematian lebih dari satu juta masyarakat Indonesia, seperti kanker, jantung, stroke, ginjal, serta kesehatan ibu dan anak.
“Upaya ini diproyeksikan akan menambah sejumlah 6.000 orang dokter spesialis baru per tahun dalam 10 tahun ke depan,” ucap dia.
Budi berharap, pembukaan program PPDS berbasis rumah sakit ini bisa mendukung program PPDS berbasis universitas.
“Kedua sistem ini dapat mengejar, semoga pemenuhan kebutuhan dokter spesialis 15 tahun lebih awal jika dibandingkan tanpa intervensi apapun dari pemerintah,” ucap dia.
Dalam pemaparan ini, Budi menyebut Indonesia kekurangan 70.000 dokter spesialis.
Sedangkan produksi dokter spesialis untuk basis universitas saja hanya 3.000 per tahun.
Kekurangan ini tidak akan tertutupi hingga 2045 jika hanya mengandalkan PPDS berbasis universitas.
Uji materi UU Kesehatan ini diajukan oleh dua mahasiswa sarjana ilmu kedokteran dan dua dosen kedokteran yang merupakan ahli bedah dan ahli anestesi.
Mereka menilai, terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaraan PPDS dari pemberian beasiswa.
Saat ini terdapat dua alternatif penyelenggaraan PPDS, dari Kemenkes disebut
hospital based
atau berbasis rumah sakit, dan dari Kemendikti disebut dengan basis universitas/kampus.
Pemohon menyebut, dua alternatif ini menyebabkan diskriminasi karena perbedaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
university based
dan
hospital based
.
“Yakni berkaitan dengan pemberian biaya gratis untuk mahasiswa
hospital based
, akan tetapi pada
university based
masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi. Oleh karenanya, menjadi tidak adil dan menimbulkan kecemburuan apabila pemohon I dan pemohon II akan mengambil program spesialis/subspesialis nantinya di
university based
,” tulis permohonan tersebut.
Atas dasar itu, para pemohon meminta MK menghapus penyelenggaraan berbasis rumah sakit dan seluruh penyelenggaraan PPDS harus di bawah kerangka sistem pendidikan tinggi dengan kampus sebagai penyelenggara utama.
MK diminta membatasi rumah sakit pendidikan hanya berperan sebagai mitra pelaksana klinis, bukan sebagai penyelenggara utama.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Heboh Ijazah Hakim MK Era Jokowi Diduga Palsu, Made Supriatma: Ini Anget Nih, Kayaknya Perlu Diperiksa
“Judul disertasinya juga mentereng, Re-examining the considerations of national security and human rights protection in counterterrorism legal policy a case study on Indonesia post-Bali bombings, itu menurut Wiki,” sebutnya.
Namun, masalah muncul ketika kampus tempat sang hakim menempuh studi tersebut justru digeledah oleh Komisi Antikorupsi Polandia karena diduga terlibat praktik jual beli ijazah.
“Masalahnya adalah Collegium Humanum, Warsaw Management University ini dicokok oleh lembaga anti korupsi di negara itu karena terlibat dalam jual beli ijazah,” beber Made.
Lalu apakah ijazah sang hakim juga termasuk dalam kasus itu? Made menilai perlu ada penyelidikan lebih lanjut.
“Apakah ijazah hakim MK ini hasil jual beli? Nah, itu kita tidak tahu. Kayaknya perlu diperiksa,” tegasnya
Menariknya, kata Made, orang yang pertama kali membongkar praktik jual beli ijazah di kampus tersebut adalah sosok yang cukup dikenal di Indonesia, yakni Romo Stefanus Hendrianto alias Romo Henri Kuok, SJ.
“Yang lebih seru adalah orang yang mengungkap jual beli ijazah dari Collegium Humanum, Warsaw Management University ini. Dia adalah Romo Stefanus Hendrianto alias Romo Henri Kuok, SJ,” jelas Made.
Ia kemudian menjelaskan latar belakang sang Romo yang ternyata pernah aktif di dunia pergerakan politik Indonesia.
“Untuk kaum kiri yang pernah ada di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Romo Henri ini pernah aktif di partai ini semasa di bawah tanah dan di atas tanah,” terangnya.
Bahkan, Made mengungkap bahwa meski berada di masa-masa sulit, Romo Henri tidak pernah menjadi korban penculikan.
-
.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gibran Harusnya Sudah Dimakzulkan, Ijazah SD dan Usia di Bawah 40 Tak Penuhi Syarat Konstitusi
GELORA.CO – Eksponen mahasiswa angkatan 77-78, Indro Tjahyono, melontarkan pernyataan keras terkait legalitas posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam acara peluncuran buku Rizal Ramli yang digelar di Jakarta, Indro menilai bahwa Gibran seharusnya sudah dapat dimakzulkan karena tidak memenuhi syarat konstitusional sebagai wakil presiden.
“Jangankan ijazah SMA, dia ijazahnya cuma SD,” tegas Indro Tjahyono di hadapan peserta acara, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, dari sisi hukum dan konstitusi, posisi Gibran saat ini bermasalah karena tidak memenuhi dua syarat utama: pendidikan minimal dan batas usia minimal 40 tahun.
“Sebenarnya kalau dari segi hukum, karena wakil presiden itu tidak memenuhi syarat, jadi dia mestinya sudah bisa dimakzulkan,” ujar Indro.
“Masa syaratnya SMA, dia ijazahnya cuma SD. Itu yang harus kita gugat bersama. Dan itu sah digugat menurut hukum dan konstitusi,” lanjutnya.
Indro menilai, DPR seharusnya sudah menindaklanjuti isu ini, apalagi beberapa purnawirawan TNI telah menyuarakan desakan untuk memakzulkan Gibran. Namun, hingga kini parlemen dinilai diam dan enggan membahasnya.
“Kenapa DPR belum, padahal purnawirawan TNI sudah sampaikan untuk memakzulkan, DPR tidak mau membahas. Di sini memperlihatkan partainya sendiri ada persoalan,” kata Indro.
Ia juga mengkritik keras partai politik pengusung Gibran, yang dianggap hanya memanfaatkan sosok putra Presiden ke-7 Joko Widodo itu untuk kepentingan politik jangka pendek, tanpa memperhatikan legalitas dan moralitas konstitusional.
“Mestinya mereka sadar, memanfaatkan Gibran untuk tujuan politik aja, agar dipasang dan goal menang. Tapi tidak mengerti bahwa digoalkan itu sesuatu yang inkonstitusional,” tegasnya.
Indro pun menyoroti perubahan aturan syarat calon wakil presiden yang sempat dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah kepemimpinan Anwar Usman, paman Gibran sendiri.
Ia menyebut, keputusan yang membuka peluang bagi kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk maju dalam pilpres merupakan rekayasa hukum demi kepentingan keluarga kekuasaan.
“Umurnya pun belum ada 40 tahun dan kemudian dibuat-buat asalkan pernah menjabat kepala daerah. Kalau kita tanya Pak Mahluk ini tidak memenuhi syarat sebagai wapres,” ucapnya.
Pernyataan Indro Tjahyono ini menambah panjang daftar kritik terhadap legitimasi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024–2029, terutama terkait etika politik, moralitas hukum, dan independensi lembaga negara dalam proses pencalonannya.
-

KPK Polandia Tangkap Pendiri Kampus Terkait Suap Ijazah Palsu, Satu Hakim MK Diragukan Keaslian Ijazahnya
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Terungkapnya operasi yang dilakukan KPK Polandia terhadap Collegium Humanum – Warsaw Management University, membuat seorang pejabat di Indonesia kini diragukan keaslian ijazahnya.
Pemberitaan dari surat kabar Rzeczpospolita menyebutkan bahwa universitas tersebut diduga menerima suap untuk menerbitkan lebih dari seribu ijazah palsu.
Pendiri dan mantan rektor universitas itu, Pawe Czarnecki, ditahan dengan tuduhan 30 kejahatan, termasuk menerima suap senilai Rp4,1 miliar.
Skandal ini melibatkan banyak pejabat Polandia yang diwajibkan memiliki gelar tertentu untuk menduduki posisi penting.
Munculnya kasus ini ke publik di Indonesia berawal dari tayangan podcast Refly Harun, pada 14 Oktober 2025.
Dalam podcast itu, mantan anggota KPU, Romo Stefanus Hendrianto membandingkan persyaratan pendidikan untuk menjadi Hakim MK dan pejabat tinggi negara lainnya.
Ia menyoroti bahwa syarat untuk menjadi Hakim MK adalah bergelar Doktor (S3), sementara untuk menjadi Wakil Presiden hanya dibutuhkan ijazah SMA.
Perbedaan ini memunculkan pertanyaan tentang korelasi antara gelar doktor dengan kualitas kinerja seorang hakim konstitusi.
Romo Stefanus juga menyebutkan bahwa tidak semua hakim MK sebelumnya, seperti Anwar Usman, memiliki latar belakang gelar Doktor di bidang hukum.
Merespons kasus yang terjadi di Polandia, Romo Stefanus menekankan pentingnya verifikasi keaslian ijazah yang dimiliki oleh para pejabat publik, termasuk hakim MK.
Dia menilai, hal ini sangat penting untuk memastikan kredibilitas dan kualitas para pengambil kebijakan di negara ini.
-

Uang Pensiun Anggota DPR Salahi Ketentuan, Harusnya Sesuai Masa Kerja
GELORA.CO – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan, anggota DPR tidak dipotong gaji untuk pensiun.
“Pensiun itu adalah potong gaji dan DPR tidak potong gaji. Itu saja sudah salah punya pensiun itu,” kata Boyamin pada Sabtu, 18 Oktober 2025.
Ia menyampaikan, harusnya dana pensiun dikelola oleh lembaga, seperti Taspen atau lembaga lainnya. Ini kalau dana pensiunnya dari rangkaian pemotongan gaji.
Boyamin menegaskan, uang pensiun anggota DPR harus sesuai masa kerjanya. Menjabat 5 tahun kemudian mendapat uang pensiun seumur hidup adalah ketidakadilan.
“Kalau pensiun, ya sesuai masa kerja, masa kerja lima tahun ya lima tahun, sepuluh tahun ya sepuluh tahun,” ujarnya.
Boyamin lantas mencontohkan ketentuan uang pensiun PNS. Para PNS ini dipotong gaji untuk dana pensiunnya dan perhitungannya sesuai masa kerja.
“PNS yang mengajukan pensiun dini, itu juga dipotong loh, sesuai masa kerja loh,” tandasnya.
Karena itu, Boyamin menilai anggota DPR menjabat 5 tahun kemudian mendapat uang pensiun selama seumur hidup sangat tidak adil bagi rakyat.
“Eggak boleh dong, enggak adil itu. Terutama itu pensiun seumur hidup, itu enggak boleh ya. Pensiun itu ya sesuai masa kerja,” tandasnya.
Atas dasar itu, Boyamin menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan uji materi yang diajukan pemohon.
“Kalau tidak mengabulkan, MK berarti sudah tidak menjaga konstitusi. Karena konstitusi itu siapa? Rakyat,” ujarnya.***


/data/photo/2025/08/24/68ab186c44d45.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)