Kementrian Lembaga: MK

  • Ibu dan Anak di Bangkalan Jadi Tersangka karena Keroyok Tetangga
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        20 Oktober 2025

    Ibu dan Anak di Bangkalan Jadi Tersangka karena Keroyok Tetangga Surabaya 20 Oktober 2025

    Ibu dan Anak di Bangkalan Jadi Tersangka karena Keroyok Tetangga
    Tim Redaksi
    BANGKALAN, KOMPAS.com
    – Penganiayaan yang dilakukan MY (42), asal Kecamatan Galis, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur bersama keluarganya berakhir di balik jeruji.
    Polisi menangkap MY dan anaknya atas dugaan menganiaya tetangganya, MK (40).
    Kasat Reskrim Polres Bangkalan, AKP Hafid Dian Maulidi mengatakan, pihaknya menetapkan MY dan anaknya, R (21) sebagai tersangka penganiayaan.
    “Dua pelaku kami tahan dan kami tetapkan sebagai tersangka,” ujarnya, Senin (20/10/2025).
    Polisi masih mendalami kasus tersebut untuk mengungkap adanya keterlibatan pelaku lain.
    Dalam kejadian penganiayaan itu, MK telah melaporkan MY beserta keluarganya, yakni R, MD, dan MS karena telah melakukan penganiayaan terhadap MK dan anaknya yakni EL yang masih berusia 6 tahun.
    “Untuk kasus penganiayaan terhadap putri korban, itu dilaporkan dalam berkas tersendiri dan masih kami dalami,” ucap dia. 
    Penganiayaan bermula saat anak MK, yakni E (6) bersama teman sebayanya sedang membeli jajan ketika jam istirahat di sekolah madrasah.
    Tak lama kemudian, bungkus jajan tersebut dibuang di halaman oleh E dan teman-temannya.
    Tiba-tiba, E dan teman-temannya didatangi oleh seorang nenek, yakni MS (80) dengan membawa bambu. Nenek tersebut merupakan ibu MY yang saat itu membantu MY berjualan di sekitar sekolah.
    MS lalu menganiaya E dan teman-temannya. Bahkan, bagian mata E lebam akibat penganiayaan itu.
    Tak terima anaknya dianiaya, MK lalu menghubungi cucu laki-laki MS, yakni R melalui telepon.
    Saat dihubungi, R sempat meminta maaf atas perlakukan neneknya. Namun, R diduga meremehkan kejadian tersebut sehingga terjadi perdebatan.
    “Jadi R itu malah bilang ‘Kan enggak sampai buta anakmu’ begitu. Ini bukan masalah buta atau tidak, tapi anak saya dianiaya,” ungkapnya MK saat diwawancarai
    Kompas.com
    , Sabtu (18/10/2025).
    Diduga, dalam perdebatan itu, terjadi kesalahpahaman hingga mengakibatkan R mendatangi rumah MK yang letaknya tak jauh dari rumah keluarga R.
    “Lalu R datang ke rumah dan saya jelaskan agar dia tidak salah paham. Tapi saya justru dipukul,” kata dia.
    Kondisi rumah MK yang sepi membuat pelaku leluasa menganiaya korban.
    “Saya di rumah saat itu hanya bersama ibu saya yang sudah sepuh. Sedangkan suami masih ada kegiatan di luar rumah,” katanya. 
    Tak lama berselang, ibu R, yakni MY juga turut datang ke rumah korban. MY lalu mencakar wajah korban dan menganiaya hingga korban pingsan.
    Mendengar keributan itu, tetangga lain datang untuk melerai pelaku. Namun, ayah R, yakni MD lalu ikut datang ke rumah korban dan terus memprovokasi R agar membunuh korban.
    “Jadi saat tetangga datang itu mereka memegangi R agar tidak terus memukuli saya, tapi ayahnya R yakni MD terus menyuruh R untuk membunuh saya,” ujarnya. 
    Akibat penganiayaan tersebut, MK mengalami luka di bagian kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Korban juga mengalami trauma akibat kejadian tersebut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis Nasional 20 Oktober 2025

    Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan akan membuka 500 rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan utama untuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
    Hal ini disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sidang uji materi Undang-Undang Kesehatan 3/2023 dengan nomor perkara 143/PUU-XXIII/2025 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (20/10/2025).
    Pembukaan ini dilakukan, kata Menkes, untuk menambah jumlah, meratakan distribusi, dan membebaskan biaya pendidikan dokter spesialis.
    “Pertama, untuk menambah jumlah dokter spesialis dalam lima tahun ke depan, pemerintah berencana membuka 500 rumah sakit penyelenggara pendidikan utama untuk mengejar pemenuhan kebutuhan dokter spesialis,” kata Budi Gunadi, yang hadir secara virtual.
    Dia mengatakan, tujuh dokter spesialis dasar akan menjadi prioritas, seperti penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.
    Begitu juga spesialis untuk penyakit yang menyebabkan kematian lebih dari satu juta masyarakat Indonesia, seperti kanker, jantung, stroke, ginjal, serta kesehatan ibu dan anak.
    “Upaya ini diproyeksikan akan menambah sejumlah 6.000 orang dokter spesialis baru per tahun dalam 10 tahun ke depan,” ucap dia.
    Budi berharap, pembukaan program PPDS berbasis rumah sakit ini bisa mendukung program PPDS berbasis universitas.
    “Kedua sistem ini dapat mengejar, semoga pemenuhan kebutuhan dokter spesialis 15 tahun lebih awal jika dibandingkan tanpa intervensi apapun dari pemerintah,” ucap dia.
    Dalam pemaparan ini, Budi menyebut Indonesia kekurangan 70.000 dokter spesialis.
    Sedangkan produksi dokter spesialis untuk basis universitas saja hanya 3.000 per tahun.
    Kekurangan ini tidak akan tertutupi hingga 2045 jika hanya mengandalkan PPDS berbasis universitas.
    Uji materi UU Kesehatan ini diajukan oleh dua mahasiswa sarjana ilmu kedokteran dan dua dosen kedokteran yang merupakan ahli bedah dan ahli anestesi.
    Mereka menilai, terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaraan PPDS dari pemberian beasiswa.
    Saat ini terdapat dua alternatif penyelenggaraan PPDS, dari Kemenkes disebut
    hospital based
    atau berbasis rumah sakit, dan dari Kemendikti disebut dengan basis universitas/kampus.
    Pemohon menyebut, dua alternatif ini menyebabkan diskriminasi karena perbedaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
    university based
    dan
    hospital based
    .
    “Yakni berkaitan dengan pemberian biaya gratis untuk mahasiswa
    hospital based
    , akan tetapi pada
    university based
    masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi. Oleh karenanya, menjadi tidak adil dan menimbulkan kecemburuan apabila pemohon I dan pemohon II akan mengambil program spesialis/subspesialis nantinya di
    university based
    ,” tulis permohonan tersebut.
    Atas dasar itu, para pemohon meminta MK menghapus penyelenggaraan berbasis rumah sakit dan seluruh penyelenggaraan PPDS harus di bawah kerangka sistem pendidikan tinggi dengan kampus sebagai penyelenggara utama.
    MK diminta membatasi rumah sakit pendidikan hanya berperan sebagai mitra pelaksana klinis, bukan sebagai penyelenggara utama.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Respons KPK Usai Disindir Mahfud soal Dugaan Proyek Whoosh.

    Respons KPK Usai Disindir Mahfud soal Dugaan Proyek Whoosh.

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi postingan Mahfud MD di akun X terkait dugaan mark up proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo mengatakan KPK dapat melakukan case building dari temuan awal dugaan suatu tindak pidana.

    Dia menyampaikan bahwa lembaga antirasuah proaktif dalam menindaklanjuti suatu perkara tindak pidana korupsi.

    “KPK proaktif melakukan kedua pendekatan tersebut, proaktif untuk menindaklanjuti setiap laporan aduan masyarakat maupun proaktif melakukan case building dalam penanganan dugaan tindak pidana korupsi,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Senin (20/10/2025).

    Budi mengatakan jika terdapat laporan awal yang disampaikan masyarakat atau dalam hal ini Mahfud MD merupakan sinyal positif dan bentuk dari kepedulian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. 

    “Oleh karenanya, KPK selaku terbuka kepada masyarakat yang mengetahui atau memiliki informasi dan data awal yang valid adanya dugaan tindak pidana korupsi. Silahkan dapat menyampaikan kepada KPK baik nantinya akan menjadi informasi awal maupun kendaraan bagi KPK dalam penanganan suatu perkara,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Mahfud menyindir KPK bahwa penyelidikan dugaan mark up Whoosh tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat.

    Namun dapat melakukan penyelidikan dengan memanggil pihak tertentu yang mengetahui informasi tersebut.

    Dia menilai KPK seharusnya tidak perlu menunggu laporan dari pihak-pihak yang mengetahui dugaan atas suatu perkara.

    Mantan Ketua MK itu mengatakan aparat penegak hukum (APH) memiliki wewenang untuk menyelidiki suatu kasus, bukan meminta pihak tertentu melaporkan.

    “Agak aneh ini, KPK meminta saya melapor tentang dugaan mark up Whoosh. Di dalam hukum pidana, jika ada informasi tentang dugaan peristiwa pidana mestinya aparat penegak hukum (APH) langsung menyelidiki, bukan minta laporan,” tulis Mahfud di akun X, Sabtu (18/10/2025).

    Dia menyampaikan laporan hanya diperlukan jika ada peristiwa yang tidak diketahui oleh APH sehingga perlu ada yang melaporkan, misalnya penemuan mayat.

    Tapi menurutnya, jika terdapat berita pembunuhan maka APH harus langsung bertindak menyelidiki dan tidak perlu menunggu laporan.

    Dia menegaskan siap dipanggil oleh KPK untuk memberikan keterangan. Dia mengatakan bahwa polemik dugaan mark up berawal dari diskusi antara Agus Pambagio dengan Antony Budiawan sehingga informasi yang disampaikan dirinya berasal dari kedua orang tersebut.

    “Jadi jika memang berminat menyelidiki Whoosh, KPK tak usah menunggu laporan dari saya. Panggil saja saya dan saya akan tunjukkan Nusantara TV tersebut,” tambahnya.

  • Mahfud Sebut KPK Tak Perlu Tunggu Laporan Dugaan Mark Up Proyek Whoosh

    Mahfud Sebut KPK Tak Perlu Tunggu Laporan Dugaan Mark Up Proyek Whoosh

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD menyatakan KPK tidak perlu menunggu laporan mengenai dugaan mark up proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh. 

    Mantan Ketua MK itu mengatakan aparat penegak hukum (APH) memiliki wewenang untuk menyelidiki suatu kasus, bukan meminta pihak tertentu melaporkan.

    “Agak aneh ini, KPK meminta saya melapor tentang dugaan mark up Whoosh. Di dalam hukum pidana, jika ada informasi tentang dugaan peristiwa pidana mestinya aparat penegak hukum (APH) langsung menyelidiki, bukan minta laporan,” tulisnya di akun X, dikutip Senin (20/10/2025)

    Dia menyampaikan laporan hanya diperlukan jika ada peristiwa yang tidak diketahui oleh APH sehingga perlu ada yang melaporkan, misalnya penemuan mayat.

    Tapi menurutnya, jika terdapat berita pembunuhan maka APH harus langsung bertindak menyelidiki dan tidak perlu menunggu laporan.

    Dia menegaskan bahwa polemik dugaan mark up berawal dari diskusi antara Agus Pambagio dengan Antony Budiawan sehingga informasi yang disampaikan dirinya berasal dari kedua orang tersebut.

    Dia menegaskan siap dipanggil KPK untuk memberikan keterangan mengenai dugaan penggelembungan dana tersebut.

    “Jadi jika memang berminat menyelidiki Whoosh, KPK tak usah menunggu laporan dari saya. Panggil saja saya dan saya akan tunjukkan Nusantara TV tersebut,” 

    Setelahnya memanggil pihak Nusantara TV Antoni Budiawan dan Agus Pambagyo untuk menjelaskan terkait dugaan mark up.

    Sebelumnya, Mahfud menyampaikan Indonesia memperhitungkan pembangunan kereta cepat USD52 juta per kilometer, sedangkan berdasarkan perhitungan Cina biaya per kilometer USD17-18 juta.

    “Dugaan mark upnya gini. Menurut pihak Indonesia, biaya per 1 KM kereta Whoosh itu 52 juta US dolar. Tapi di Cina sendiri hitungannya 17 sampai 18 US dolar. Naik tiga kali lipat kan,” ungkapnya dalam akun YouTube Mahfud MD Official, Rabu (15/10/2025).

  • Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran Nasional 20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap satu tahun pada Senin (20/10/2025) sejak keduanya dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selama kurun waktu tersebut, terdapat beberapa kasus korupsi besar yang dibongkar dan menjadi sorotan publik.
    Kompas.com
    merangkum kasus korupsi besar yang terjadi di era Pemerintahan Prabowo-Gibran, sebagai berikut:
    Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina periode 2018-2023 menjadi salah satu perkara yang menjadi sorotan publik.
    Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka, salah satunya, pengusaha Mohammad Riza Chalid pada Kamis (10/7/2025).
    Kejagung juga telah menetapkan Riza Chalid masuk sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan sejak 6 Agustus 2025. Hal ini dilakukan lantaran Riza sudah tiga kali mangkir dari pemanggilan penyidik.
    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
    Kemudian, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Berkas perkara sembilan tersangka telah dilimpahkan tahap 2 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
    Dalam penyidikan, Kejagung menemukan fakta bahwa adanya pemufakatan jahat (
    mens rea
    ) ada kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga dengan para tersangka dari pihak swasta sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.
    Kejagung mengatakan, tindakan para tersangka menyebabkan kerugian keuangan negara hingga 285 triliun.
    Selain kasus korupsi tata kelola minyak mentah, ada juga kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendidbudristek) pada 2019-2022.
    Awalnya, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka pada Selasa (15/7/2025), di antaranya mantan Stafsus Mendikbudristek era Nadiem Makarim, Jurist Tan (JT); eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek Ibrahim Arief (IBAM); Direktur Jenderal PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek tahun 2020-2021 Mulyatsyahda (MUL); dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
    Keempatnya dianggap telah melakukan pemufakatan jahat dengan bersekongkol dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook pada era Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek.
    Dari hasil penyelidikan, Kejagung menaksir kerugian keuangan negara mencapai Rp 1,98 triliun.
    Dua bulan berselang, Kejagung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sebagai tersangka baru pada Kamis (4/9/2025).
    Nadiem disangkakan dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 jo, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Dalam perjalanannya, Nadiem Makarim mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya status tersangka yang dialamatkan oleh Kejagung.
    Namun, Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan menolak gugatan Nadiem sehingga status tersangka menjadi sah menurut hukum.
    Pada awal Maret 2025, publik dihebohkan dengan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga perusahaan crude palm oil (CPO) yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musik Mas Group.
    Kasus ini menjerat empat orang yang berprofesi sebagai hakim. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari PN Jaksel.
    Para hakim itu menerima uang dari pengacara yang mewakili perusahaan yaitu Ariyanto dan Marcella Santoso.
    Dari suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses negosiasi dengan pengacara dan proses untuk mempengaruhi majelis hakim agar memutus perkara sesuai permintaan.
    Saat ini, hakim yang terlibat kasus korupsi tersebut sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Pada awal Agustus 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas naik ke tahap penyidikan.
    “Terkait dengan perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023 sampai dengan 2024 ke tahap penyidikan,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    KPK menaksir kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi ini mencapai Rp 1 triliun.
    Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi baik dari pihak Kementerian Agama, asosiasi penyelenggara haji hingga travel perjalanan.
    KPK pun sudah mencegah 3 orang berpergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
    Meski demikian, hingga saat ini, KPK belum menetapkan tersangka dalam kasus kuota haji tersebut.
    Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/8/2025).
    Immanuel Ebenezer dan 10 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
    “KPK kemudian menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka, yakni IBM, kemudian GAH, SB, AK, IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan), FRZ, HS, SKP, SUP, TEM, dan MM” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
    Dalam perkara ini, KPK menemukan bahwa Noel menerima aliran uang sebesar Rp 3 miliar pada 24 Desember 2024.
    Selain itu, KPK juga menyita 32 kendaraan yang terdiri dari 25 mobil dan 7 motor terkait kasus pemerasan tersebut.
    Akibat perbuatannya, Noel dan 10 tersangka lainnya dipersangkakan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Pada September 2025, KPK juga menetapkan dua legislator Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka kasus dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Meski demikian, KPK belum melakukan penahanan terhadap dua tersangka lantaran masih membutuhkan keterangan dari tersangka.
    KPK menduga, yayasan yang dikelola Heri Gunawan dan Satori telah menerima uang dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Namun, keduanya diduga tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial tersebut.
    Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai, Presiden Prabowo menunjukkan ketegasannya dalam pemberantasan korupsi khususnya di sektor sumber daya alam yang menyeret nama-nama besar.
    “Prabowo juga telah menampakkan ketegasannya dalam hal korupsi di sektor sumber daya alam yang melibatkan orang-orang besar dan oligarki hitam di negeri ini,” kata Nasir saat dihubungi, Jumat (17/10/2025).

    Nasir mengatakan, Prabowo juga memberikan arahan dan perintah langsung ke Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kawasan kebun sawit dan tambang di kawasan hutan yang notabene ilegal.
    “Ada ratusan triliun kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat sumber daya alam kita dikelola secara ilegal,” ujarnya.
    Nasir juga mengatakan, selama satu tahun terakhir, banyak kasus besar yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung termasuk mereka yang tidak tersentuh di era pemerintahan Jokowi.
    “Orang-orang besar yang tidak tersentuh di masa Jokowi, justru kini dipersoalkan dan sepertinya Prabowo tidak menghalangi penegakan hukum jika mereka diduga terlibat dalam tindak pidana,” tuturnya.
    Meski demikian, Nasir mengatakan, saat ini, Presiden Prabowo perlu mengevaluasi regulasi dan aparat penegak hukum terkait dengan extraordinary crime.
    Sebab, kata dia, kerusakan yang ditimbulkan sangat besar.
    “Upaya pemulihan keuangan negara sulit untuk didapat dalam jumlah yang besar kalau regulasi dan aktor penegak hukumnya tidak direformasi,” ucap dia.
    Sementara itu, Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, kasus korupsi yang ditangani dalam satu tahun terakhir lebih banyak menjaring lawan politik dari pada melakukan pemberantasan praktik rasuah tersebut.
    “Beberapa kasus korupsi yang ditangani kan lebih banyak sebagai upaya menjatuhkan lawan politik dibandingkan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pemerantasan korupsi,” kata Feri saat dihubungi, Jumat malam.
    Feri menyoroti, Kejaksaan Agung yang memamerkan uang hasil penindakan kasus korupsi. Namun, ia mengatakan masih dibutuhkan perbaikan anti orupsi agar Kejaksaan Agung dan KPK menjadi imbang.
    “Kalau KPK-nya dilarang lebih diminta untuk pencegahan, tetapi kalau institusi seperti Kejaksaan punya kecenderungan ya tidak melakukan pencegahan tapi penindakan. Anehnya itu tidak dilarang karena tidak bersentuhan dengan figur-figur kakap yang mestinya dipermasalahkan dalam praktik bernegara yang sangat koruptif,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tak Usah Tunggu Laporan Jika Serius Selidiki Kasus Whoosh

    KPK Tak Usah Tunggu Laporan Jika Serius Selidiki Kasus Whoosh

    GELORA.CO -Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta dirinya membuat laporan terkait dugaan mark up proyek kereta cepat Whoosh sebagai hal yang janggal.

    Mahfud menegaskan bahwa dalam hukum pidana, aparat penegak hukum seharusnya langsung melakukan penyelidikan jika menerima informasi adanya dugaan tindak pidana, bukan justru menunggu laporan masyarakat.

    “Agak aneh ini, KPK meminta saya melapor tentang dugaan mark up Whoosh. Di dalam hukum pidana, jika ada informasi tentang dugaan peristiwa pidana mestinya aparat penegak hukum langsung menyelidiki, bukan minta laporan,” ujar Mahfud lewat akun X miliknya, seperti dikutip redaksi Minggu, 19 Oktober 2025.

    Ia menambahkan, laporan baru diperlukan jika aparat belum mengetahui adanya peristiwa yang diduga pidana. Namun, bila informasi sudah terbuka di publik, seharusnya KPK bisa langsung menindaklanjuti.

    Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi itu juga menyebut bahwa KPK melakukan kekeliruan kedua, karena menganggap dirinya sebagai sumber awal isu mark up proyek Whoosh. Padahal, isu tersebut pertama kali diangkat oleh Nusantara TV melalui program “Prime Dialog” edisi 13 Oktober 2025, yang menghadirkan narasumber Agus Pambagyo dan Antony Budiawan.

    “Yang berbicara soal kemelut Whoosh itu sumber awalnya bukan saya. Seperti saya sebut di podcast TERUS TERANG, yang awalnya menyiarkan itu adalah Nusantara TV dengan narasumber Agus Pambagyo dan Antony Budiawan,” jelas Mahfud.

    Mahfud menegaskan, semua yang ia sampaikan di podcast-nya bersumber dari siaran resmi Nusantara TV tersebut. Ia bahkan siap membantu KPK menelusuri informasi itu dengan menunjukkan tayangan aslinya.

    “Jadi jika memang berminat menyelidiki Whoosh, KPK tak usah menunggu laporan dari saya. Panggil saja saya, dan saya akan tunjukkan siaran dari Nusantara TV. Setelah itu panggil Nusantara TV, Antoni Budiawan, dan Agus Pambagyo untuk dimintai keterangan,” katanya.

    Ia menutup pernyataannya dengan sindiran halus terhadap lembaga antirasuah yang bermarkas di Kuningan, Jakarta Selatan itu. 

    “Aneh jika lembaga sebesar KPK tidak tahu bahwa Nusantara TV sudah menyiarkan masalah tersebut sebelum saya 

    membahasnya di podcast TERUS TERANG,” pungkas Mahfud

  • Heboh Ijazah Hakim MK Era Jokowi Diduga Palsu, Made Supriatma: Ini Anget Nih, Kayaknya Perlu Diperiksa

    Heboh Ijazah Hakim MK Era Jokowi Diduga Palsu, Made Supriatma: Ini Anget Nih, Kayaknya Perlu Diperiksa

    “Judul disertasinya juga mentereng, Re-examining the considerations of national security and human rights protection in counterterrorism legal policy a case study on Indonesia post-Bali bombings, itu menurut Wiki,” sebutnya.

    Namun, masalah muncul ketika kampus tempat sang hakim menempuh studi tersebut justru digeledah oleh Komisi Antikorupsi Polandia karena diduga terlibat praktik jual beli ijazah.

    “Masalahnya adalah Collegium Humanum, Warsaw Management University ini dicokok oleh lembaga anti korupsi di negara itu karena terlibat dalam jual beli ijazah,” beber Made.

    Lalu apakah ijazah sang hakim juga termasuk dalam kasus itu? Made menilai perlu ada penyelidikan lebih lanjut.

    “Apakah ijazah hakim MK ini hasil jual beli? Nah, itu kita tidak tahu. Kayaknya perlu diperiksa,” tegasnya

    Menariknya, kata Made, orang yang pertama kali membongkar praktik jual beli ijazah di kampus tersebut adalah sosok yang cukup dikenal di Indonesia, yakni Romo Stefanus Hendrianto alias Romo Henri Kuok, SJ.

    “Yang lebih seru adalah orang yang mengungkap jual beli ijazah dari Collegium Humanum, Warsaw Management University ini. Dia adalah Romo Stefanus Hendrianto alias Romo Henri Kuok, SJ,” jelas Made.

    Ia kemudian menjelaskan latar belakang sang Romo yang ternyata pernah aktif di dunia pergerakan politik Indonesia.

    “Untuk kaum kiri yang pernah ada di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Romo Henri ini pernah aktif di partai ini semasa di bawah tanah dan di atas tanah,” terangnya.

    Bahkan, Made mengungkap bahwa meski berada di masa-masa sulit, Romo Henri tidak pernah menjadi korban penculikan.

  • Gibran Harusnya Sudah Dimakzulkan, Ijazah SD dan Usia di Bawah 40 Tak Penuhi Syarat Konstitusi

    Gibran Harusnya Sudah Dimakzulkan, Ijazah SD dan Usia di Bawah 40 Tak Penuhi Syarat Konstitusi

    GELORA.CO –  Eksponen mahasiswa angkatan 77-78, Indro Tjahyono, melontarkan pernyataan keras terkait legalitas posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam acara peluncuran buku Rizal Ramli yang digelar di Jakarta, Indro menilai bahwa Gibran seharusnya sudah dapat dimakzulkan karena tidak memenuhi syarat konstitusional sebagai wakil presiden.

    “Jangankan ijazah SMA, dia ijazahnya cuma SD,” tegas Indro Tjahyono di hadapan peserta acara, Jumat (17/10/2025).

    Menurutnya, dari sisi hukum dan konstitusi, posisi Gibran saat ini bermasalah karena tidak memenuhi dua syarat utama: pendidikan minimal dan batas usia minimal 40 tahun.

    “Sebenarnya kalau dari segi hukum, karena wakil presiden itu tidak memenuhi syarat, jadi dia mestinya sudah bisa dimakzulkan,” ujar Indro.

    “Masa syaratnya SMA, dia ijazahnya cuma SD. Itu yang harus kita gugat bersama. Dan itu sah digugat menurut hukum dan konstitusi,” lanjutnya.

    Indro menilai, DPR seharusnya sudah menindaklanjuti isu ini, apalagi beberapa purnawirawan TNI telah menyuarakan desakan untuk memakzulkan Gibran. Namun, hingga kini parlemen dinilai diam dan enggan membahasnya.

    “Kenapa DPR belum, padahal purnawirawan TNI sudah sampaikan untuk memakzulkan, DPR tidak mau membahas. Di sini memperlihatkan partainya sendiri ada persoalan,” kata Indro.

    Ia juga mengkritik keras partai politik pengusung Gibran, yang dianggap hanya memanfaatkan sosok putra Presiden ke-7 Joko Widodo itu untuk kepentingan politik jangka pendek, tanpa memperhatikan legalitas dan moralitas konstitusional.

    “Mestinya mereka sadar, memanfaatkan Gibran untuk tujuan politik aja, agar dipasang dan goal menang. Tapi tidak mengerti bahwa digoalkan itu sesuatu yang inkonstitusional,” tegasnya.

    Indro pun menyoroti perubahan aturan syarat calon wakil presiden yang sempat dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah kepemimpinan Anwar Usman, paman Gibran sendiri.

    Ia menyebut, keputusan yang membuka peluang bagi kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk maju dalam pilpres merupakan rekayasa hukum demi kepentingan keluarga kekuasaan.

    “Umurnya pun belum ada 40 tahun dan kemudian dibuat-buat asalkan pernah menjabat kepala daerah. Kalau kita tanya Pak Mahluk ini tidak memenuhi syarat sebagai wapres,” ucapnya.

    Pernyataan Indro Tjahyono ini menambah panjang daftar kritik terhadap legitimasi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI 2024–2029, terutama terkait etika politik, moralitas hukum, dan independensi lembaga negara dalam proses pencalonannya.

  • KPK Polandia Tangkap Pendiri Kampus Terkait Suap Ijazah Palsu, Satu Hakim MK Diragukan Keaslian Ijazahnya

    KPK Polandia Tangkap Pendiri Kampus Terkait Suap Ijazah Palsu, Satu Hakim MK Diragukan Keaslian Ijazahnya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Terungkapnya operasi yang dilakukan KPK Polandia terhadap Collegium Humanum – Warsaw Management University, membuat seorang pejabat di Indonesia kini diragukan keaslian ijazahnya.

    Pemberitaan dari surat kabar Rzeczpospolita menyebutkan bahwa universitas tersebut diduga menerima suap untuk menerbitkan lebih dari seribu ijazah palsu.

    Pendiri dan mantan rektor universitas itu, Pawe Czarnecki, ditahan dengan tuduhan 30 kejahatan, termasuk menerima suap senilai Rp4,1 miliar.

    Skandal ini melibatkan banyak pejabat Polandia yang diwajibkan memiliki gelar tertentu untuk menduduki posisi penting.

    Munculnya kasus ini ke publik di Indonesia berawal dari tayangan podcast Refly Harun, pada 14 Oktober 2025.

    Dalam podcast itu, mantan anggota KPU, Romo Stefanus Hendrianto membandingkan persyaratan pendidikan untuk menjadi Hakim MK dan pejabat tinggi negara lainnya.

    Ia menyoroti bahwa syarat untuk menjadi Hakim MK adalah bergelar Doktor (S3), sementara untuk menjadi Wakil Presiden hanya dibutuhkan ijazah SMA.

    Perbedaan ini memunculkan pertanyaan tentang korelasi antara gelar doktor dengan kualitas kinerja seorang hakim konstitusi.

    Romo Stefanus juga menyebutkan bahwa tidak semua hakim MK sebelumnya, seperti Anwar Usman, memiliki latar belakang gelar Doktor di bidang hukum.

    Merespons kasus yang terjadi di Polandia, Romo Stefanus menekankan pentingnya verifikasi keaslian ijazah yang dimiliki oleh para pejabat publik, termasuk hakim MK.

    Dia menilai, hal ini sangat penting untuk memastikan kredibilitas dan kualitas para pengambil kebijakan di negara ini.

  • Uang Pensiun Anggota DPR Salahi Ketentuan, Harusnya Sesuai Masa Kerja

    Uang Pensiun Anggota DPR Salahi Ketentuan, Harusnya Sesuai Masa Kerja

    GELORA.CO – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan, anggota DPR tidak dipotong gaji untuk pensiun.

    “Pensiun itu adalah potong gaji dan DPR tidak potong gaji. Itu saja sudah salah punya pensiun itu,” kata Boyamin pada Sabtu, 18 Oktober 2025.

    Ia menyampaikan, harusnya dana pensiun dikelola oleh lembaga, seperti Taspen atau lembaga lainnya. Ini kalau dana pensiunnya dari rangkaian pemotongan gaji.

    Boyamin menegaskan, uang pensiun anggota DPR harus sesuai masa kerjanya. Menjabat 5 tahun kemudian mendapat uang pensiun seumur hidup adalah ketidakadilan.

    “Kalau pensiun, ya sesuai masa kerja, masa kerja lima tahun ya lima tahun, sepuluh tahun ya sepuluh tahun,” ujarnya.

    Boyamin lantas mencontohkan ketentuan uang pensiun PNS. Para PNS ini dipotong gaji untuk dana pensiunnya dan perhitungannya sesuai masa kerja.

    “PNS yang mengajukan pensiun dini, itu juga dipotong loh, sesuai masa kerja loh,” tandasnya.

    Karena itu, Boyamin menilai anggota DPR menjabat 5 tahun kemudian mendapat uang pensiun selama seumur hidup sangat tidak adil bagi rakyat.

    “Eggak boleh dong, enggak adil itu. Terutama itu pensiun seumur hidup, itu enggak boleh ya. Pensiun itu ya sesuai masa kerja,” tandasnya.

    Atas dasar itu, Boyamin menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan uji materi yang diajukan pemohon.

    “Kalau tidak mengabulkan, MK berarti sudah tidak menjaga konstitusi. Karena konstitusi itu siapa? Rakyat,” ujarnya.***