Kementrian Lembaga: MK

  • Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK

    Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 November 2024 – 19:34 WIB

    Elshinta.com – Mahkamah Konstitusi kembali memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kali ini, lewat Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.

    Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat, khususnya kaum buruh. Putusan MK itu menunjukkan bahwa keadilan bagi buruh masih tetap ada.

    “Setelah mendengarkan putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, ini adalah kemenangan rakyat,” kata Said Iqbal.

    Dengan suara bulat, sembilan hakim konstitusi sepakat untuk mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan empat serikat pekerja ini. Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Norma-norma tersebut berkaitan dengan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing, cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon, uang penggantian hak upah, serta uang penghargaan masa kerja.

    Tenaga kerja Indonesia harus diutamakan

    MK memahami bahwa memberi kesempatan kerja bagi tenaga kerja asing di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dihindari, terutama untuk jabatan tertentu yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia. Namun demikian, penggunaan tenaga kerja asing juga harus memperhatikan kondisi pasar kerja di dalam negeri.

    Untuk itu, MK menegaskan setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia di semua jenis jabatan yang tersedia. MK juga menegaskan pemberi kerja wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang bekerja di dalam negeri.

    Dalam hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.” 

     

    Jangka waktu PKWT maksimal 5 tahun

    MK menggarisbawahi bahwa jangka waktu PKWT penting untuk diatur di dalam undang-undang, mengingat pekerja atau buruh berada dalam posisi yang lebih rendah dibanding pihak pengusaha ketika membuat perjanjian kerja. Dengan adanya aturan jangka waktu PKWT di undang-undang, pemberi kerja tidak bisa sembarangan membuat perjanjian kerja.

    Selama ini, UU Cipta Kerja belum mengatur jangka waktu definitif PKWT. Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja hanya mendelegasikan jangka waktu suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Sementara itu, jangka waktu PKWT justru diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021), yakni paling lama 5 tahun.

    Hal itulah yang ditegaskan oleh MK di dalam amar putusannya. Demi memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, MK menyatakan jangka waktu PKWT tidak lebih dari 5 tahun, termasuk bila ada perpanjangan.

    Terkait hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja diperjelas menjadi berbunyi: “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.”

    Pembatasan jenis outsourcing

    MK menilai UU Cipta Kerja maupun PP 35/2021 belum mengatur secara jelas terkait jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing). Menurut Mahkamah, kedua ketentuan tersebut baru menyatakan alih daya dibatasi untuk “sebagian pelaksanaan pekerjaan”.

    Dalam Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja, “sebagian pelaksanaan pekerjaan” didelegasikan kepada Pemerintah untuk menetapkannya. Terkait hal ini, MK menilai perlu adanya penegasan terhadap kata “pemerintah”. Agar tidak menimbulkan persoalan dalam penerapannya, maka kata “pemerintah” yang dimaksud di dalam pasal tersebut adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan ketenagakerjaan.

    Di sisi lain, MK juga menyatakan perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini agar pihak-pihak dalam perjanjian alih daya memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan outsourcing.

    Atas dasar itu, MK memutuskan, Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”

    Penegasan aturan libur dalam seminggu

    MK memberi penegasan terkait aturan libur pekerja dalam seminggu. MK mengembalikan ketentuan istirahat mingguan 2 hari untuk lima hari kerja yang tidak diatur pada UU Cipta Kerja. Selama ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur ketentuan istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.

    Ketentuan libur 2 hari dalam seminggu justru diatur pada PP 35/2021. Padahal, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut MK, pengaturan yang seperti demikian jelas menimbulkan ketidakpastian hukum.

    Melalui putusan ini, MK menghadirkan kembali opsi aturan libur yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Perusahaan dapat memilih waktu istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja atau 2 hari untuk lima hari kerja dalam satu pekan.

    Struktur dan skala upah harus proporsional

    MK menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah” di dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja. Dengan demikian, saat ini, kebijakan pengupahan yang ditetapkan Pemerintah harus meliputi struktur dan skala upah yang proporsional.

    Dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan bahwa frasa “yang proporsional” semula ditegaskan dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, dengan dilakukannya perubahan di UU Cipta Kerja, frasa tersebut dihilangkan dalam kebijakan pengupahan. Padahal, menurut MK, frasa tersebut memiliki arti penting dalam pemberian imbalan dari pengusaha kepada buruh. 

     

    Pelibatan dewan pengupahan daerah

    Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja mulanya mengatur bahwa kebijakan pengupahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, MK menyatakan, sinergi antara Pemerintah Pusat dan daerah merupakan suatu keniscayaan dalam pembangunan ketenagakerjaan.

    Oleh karena itu, untuk menyusun kebijakan pengupahan yang strategis dan sejalan dengan pemenuhan hak buruh, maka keterlibatan pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam penyusunan kebijakan pengupahan.

    Dengan pertimbangan itu, MK memutuskan, norma Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja ditambahkan frasa: “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”

    Upah minimum sektoral kembali hidup

    Upah minimum sektoral sebelumnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, ketentuan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Menurut MK, upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting untuk menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor-sektor lainnya.

    Dihilangkannya ketentuan upah minimum sektoral di UU Cipta Kerja, kata MK, berpotensi menimbulkan penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya pekerja di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara.

    “Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia,” demikian pertimbangan MK. Oleh sebab itu, MK membubuhkan ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Cipta Kerja.

    PHK harus lewat bipartit musyawarah mufakat

    Proses PHK juga diperketat oleh MK. PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dan pekerja/buruh maupun serikat pekerja atau serikat buruh. Ketentuan tersebut merupakan frasa baru yang ditambahkan MK dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Cipta Kerja.

    Sebelum adanya putusan ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur bahwa PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit, tanpa penekanan musyawarah mufakat. Padahal, pada prinsipnya, UU Ketenagakerjaan telah menghendaki adanya mekanisme musyawarah untuk mufakat tersebut.

    Lebih lanjut, MK dalam amar putusannya juga menyatakan jika perundingan bipartit tersebut tidak mendapatkan kesepakatan, maka PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

    Undang-undang ketenagakerjaan baru dalam 2 tahun

    Selain sederet penegasan norma, melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini, MK juga memerintahkan DPR dan Presiden, selaku pembentuk undang-undang, untuk menggodok undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Cipta Kerja. Undang-undang baru tersebut harus diselesaikan dalam 2 tahun.

    Menurut MK, undang-undang baru ini diperlukan karena UU Ketenagakerjaan yang lama maupun UU Cipta Kerja saling tumpang tindih sehingga tidak sinkron dan harmonis. Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, masalah ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi atau substansi mengenai ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan diselesaikan.

    Jalankan putusan MK

    Partai Buruh, selaku salah satu pemohon dalam perkara ini, meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk betul-betul menjalankan amanat putusan MK. Partai Buruh minta pembentuk undang-undang menghormati putusan ini dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan MK. Di sisi lain, dia juga mengusulkan, agar Presiden segera mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang untuk menindaklanjuti putusan MK ini.

    “Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” kata Said Iqbal.

    Sumber : Antara

  • Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pemerintah hormati putusan MK terkait UU 6/2023
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Jumat, 01 November 2024 – 20:11 WIB

    Elshinta.com – Pemerintah menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan perkara judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

    “Sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut,” ucap Menteri Ketenagakerjaan Yassierli melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (1/11).

    Langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Kemnaker juga akan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Kadin dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.

    “Kemnaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya,” katanya.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha.

    Ia juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan untuk turut mengambil bagian dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan.

    Pasalnya, persoalan ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga berkaitan dengan tantangan yang lebih besar, seperti penciptaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan bagi pekerja yang rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    Sumber : Antara

  • Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    Kabar Baik! MK Hidupkan Lagi Aturan UMS untuk Pekerja

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan penting dengan mewajibkan kembali penerapan Upah Minimum Sektoral (UMS), sebuah kebijakan yang sempat dihapus dalam UU Cipta Kerja.  

    Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan sebagian tuntutan serikat pekerja terkait ketenagakerjaan. 

    Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 88C dalam UU Ciptaker tidak sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum, kecuali jika dimaknai bahwa gubernur wajib menetapkan UMS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

    UMS sendiri sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003, namun dihapus dalam UU Ciptaker. 

     MK setuju dengan argumen serikat pekerja bahwa penghapusan UMS berpotensi mengurangi perlindungan bagi pekerja, terutama di sektor-sektor yang membutuhkan upah lebih tinggi karena beban kerja atau spesialisasi tertentu. 

    MK menegaskan bahwa penghapusan UMS bertentangan dengan prinsip perlindungan hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, khususnya hak atas upah yang adil dan layak.  

     Oleh karena itu, MK mewajibkan pemberlakuan kembali UMS sebagai bentuk perlindungan yang memadai bagi pekerja di berbagai sektor. 

    Selain itu, MK juga mengubah beberapa pasal terkait pengupahan.  Pertama, komponen hidup layak yang sempat dihapus dalam UU Ciptaker, kini dikembalikan sebagai bagian dari perhitungan upah.  

    Upah pekerja harus mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. 

    Kedua, peran dewan pengupahan yang melibatkan pemerintah daerah juga dihidupkan kembali, dengan partisipasi aktif dalam menetapkan kebijakan upah bersama pemerintah pusat. 

    Keputusan ini diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja di seluruh sektor, serta memastikan kebijakan pengupahan yang lebih adil dan manusiawi

  • MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja, Kemnaker Rapatkan Barisan – Page 3

    MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja, Kemnaker Rapatkan Barisan – Page 3

    Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan bahwa keadilan masih ada usai Mahkamah Konstitusi(MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diajukan partainya bersama sejumlah serikat buruh yang lain.

    “Bahwa keadilan itu masih ada. Kami sangat terharu dan mengapresiasi para hakim MK. Tidak ada dissenting opinion (pendapat bereda) pada hari ini,” kata Said Iqbal saat ditemui usai sidang pengucapan putusan di Gedung I MK, dikutip dari Antara, Jumat (1/11/2024).

    Sadi menyoroti bahwa sembilan hakim konstitusi memiliki suara yang bulat dalam mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh. MK mengabulkan pengujian konstitusionalitas 21 norma pasal di dalam UU Ciptaker.

    Selain itu, Said juga menggarisbawahi perintah MK kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, untuk segera menggodok UU ketenagakerjaan yang baru.

    “Perintahnya paling lambat dua tahun ke depan itu ada satu UU yang baru yang mengatur tentang dunia ketenagakerjaan, tentang kita. Karena sekarang ini di Omnibus Law (UU Ciptaker) nasib kita diatur pemilik modal, ya, enggak nyambung,” kata dia.

    Lebih lanjut, Said meminta agar DPR betul-betul menjalankan amanat putusan MK, dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan Mahkamah. Harapan serupa juga diutarakan Said kepada Presiden RI Prabowo Subianto.

    “Bapak Presiden Prabowo, tolong rakyat, bantu rakyat, hormati rakyat. Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK, melalui partai buruh dan serikat buruh yang telah menang. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” ucapnya.

  • Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        1 November 2024

    Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker Nasional 1 November 2024

    Komisi IX DPR Akan Tindak Lanjuti Putusan MK soal UU Ciptaker
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi IX
    DPR
    RI disebut akan menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian gugatan serikat pekerja terhadap Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
    Adapun dalam putusannya, MK meminta agar sejumlah pengaturan terkait ketenagakerjaan dilakukan oleh pembentuk undang-undang melalui UU Ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Ciptaker.
    Namun, pihak DPR kini masih menunggu salinan putusan resmi dari MK.
    “Keputusan final dan dokumen asli dari MK belum kami terima, maka kami belum bisa memberikan keputusan lebih lanjut, yang pasti tentu akan segera kami tindak lanjuti,” ucap anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi Partai Nasdem, Irma Suryani, kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2024).
    Secara khusus, Irma sependapat dengan MK dalam hal evaluasi kembali penggunaan tenaga kerja asing.
    Menurut dia, penggunaan tenaga kerja asing tidak boleh merugikan tenaga kerja domestik, sehingga perlu ada klausul perizinan tentang penggunaan tenaga kerja asing yang memberikan kesempatan alih teknologi.
    Walaupun demikian, Irma menganggap bahwa kaum buruh “wajib menjaga keamanan dan kenyamanan investasi agar para investor mau kembali membuka pabrik-pabriknya di indonesia”.
    “Kondisi ekonomi dunia dan Indonesia tidak baik-baik saja, maka perlu kerja sama yang baik antara pekerja, perusahaan, dan pemerintah,” ujar Irma.
    Irma selaku representasi fraksi Nasdem mengapresiasi putusan MK ini.
    “Sejak awal saya dari fraksi Nasdem menyarankan pada pemerintah agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari Omnibus Cipta Kerja,” sebut Irma.
    “Dikabulkannya sebagian uji materi ini oleh MK tentu ini langkah maju untuk melindungi hak-hak pekerja Indonesia,” imbuhnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • DPR Buka Suara Soal Putusan MK Mengenai UU Cipta Kerja

    DPR Buka Suara Soal Putusan MK Mengenai UU Cipta Kerja

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Adies Kadir buka suara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja. 

    Adies mengatakan bahwa DPR akan mengkaji terlebih dahulu soal putusan tersebut dengan pemerintah. Adapun, poin-poin putusan MK juga baru dipublikasikan di website. 

    “Jadi nanti kita akan bicara dengan teman-teman dan pimpinan lain, kita juga sampaikan ke teman-teman di Badan Legislasi dan Komisi terkait, nanti kita lihat seperti apa respon kita terhadap keputusan,” terang Adies di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024). 

    Kemudian, MK juga meminta agar pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru dapat selesai dalam dua tahun. Menanggapi hal ini, Adies berpendapat bahwa DPR harus selalu siap. 

    “Nanti kita lihat. Kita di legislatif ini di DPR, di Senayan, kita kan harus selalu siap ya. Mau 2 tahun, mau 3 tahun, mau 1 tahun, mau 6 bulan, mau 2 bulan, mau sebulan juga kalau memang harus gitu,” jawabnya. 

    Namun DPR akan melihat konteks lebih lanjut dan Undang-Undang seperti apa yang harus dibentuk, agar sejalan dengan program pemerintahan yang baru. 

    “Sejalan atau tidak dengan program pemerintahan yang baru pak Prabowo Subianto. Jadi ini bukan hanya di legislatif,” jawabnya. 

    Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan permohonan Partai Buruh dan pemohon lainnya terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker. 

    Permohonan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).  

    Selain Partai Buruh, pemohon lainnya yakni FSPMI, KSPSI, KPBI serta KSPI juga ikut menggugat 71 Pasal UU Ciptaker No.6/2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU. Pada intinya, puluhan pasal yang digugat itu terkait dengan pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing.  

    Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa gugatan sebagian puluhan pasal itu dikabulkan dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga menggangu keharmonisan aturan yang berlaku.

  • Apindo patuhi putusan MK terkait judical review UU Cipta Kerja

    Apindo patuhi putusan MK terkait judical review UU Cipta Kerja

    Kami juga mendorong pemerintah untuk melibatkan dunia usaha dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi iniJakarta (ANTARA) – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menegaskan akan menghormati dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang telah diputuskan pada 31 Oktober 2024.

    Melalui keterangan resmi Apindo yang dikutip di Jakarta pada Jumat, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengatakan bahwa pihaknya memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan hak pekerja atau buruh dan kepentingan dunia usaha.

    “Namun, kami juga mendorong semua pihak untuk dapat melihat dampak dari putusan ini dalam perspektif yang lebih luas, terutama di tengah dinamika ekonomi saat ini,” ujar Bob.

    Bob menyampaikan, perekonomian Indonesia sedang menghadapi tekanan dan pelambatan imbas dari tantangan ekonomi global. Selama beberapa bulan terakhir, tren deflasi menunjukkan penurunan daya beli masyarakat, yang berdampak besar pada konsumsi domestik.

    Menurutnya, kondisi ini secara langsung mempengaruhi berbagai sektor usaha, terutama industri padat karya yang memiliki ketergantungan besar pada stabilitas perekonomian nasional.

    Dalam situasi ini, kata Bob, fleksibilitas dalam kebijakan ketenagakerjaan menjadi sangat penting untuk memungkinkan dunia usaha menyesuaikan diri dengan cepat dan efektif, guna mempertahankan kelangsungan operasional dan tetap berkontribusi pada perekonomian.

    Stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang.

    Tanpa kepastian ini, disebut Bob membuat Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi, yang pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan mempengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada.

    Saat ini, Apindo akan mengkaji lebih dalam dampak dari putusan MK, terutama untuk kebijakan yang berdampak di klaster ketenagakerjaan.

    “Kami juga mendorong pemerintah untuk melibatkan dunia usaha dalam pembahasan substantif untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi ini,” katanya.

    Sementara itu, terkait dengan proses penetapan Upah Minimum untuk 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum untuk 2025 masih tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK No.168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024.

    Hal ini mengingat kerumitan yang akan terjadi di seluruh daerah, bahkan di tingkat perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum 2025.

    Apindo berharap, dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan ke depan, keputusan-keputusan yang diambil agar mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.

    Menurut Bob, kebijakan yang adaptif dan proporsional memberikan dampak positif tidak hanya bagi pekerja, tapi juga bagi dunia usaha secara keseluruhan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

    Baca juga: Apindo dorong pengusaha dan pekerja dialog soal kenaikan upah
    Baca juga: Airlangga bertemu dengan asosiasi pengusaha guna bahas UMP 2025

    Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
    Editor: Ahmad Wijaya
    Copyright © ANTARA 2024

  • MK Kabulkan Sebagian Gugatan Terkait UU Cipta Kerja, Positif atau Negatif? – Page 3

    MK Kabulkan Sebagian Gugatan Terkait UU Cipta Kerja, Positif atau Negatif? – Page 3

    Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyatakan, pihaknya akan menindaklanjuti usulan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Ketenagakerjaan baru yang terpisah dari UU Cipta Kerja. 

    Adies menyebut DPR akan mengkaji usulan tersebut bersama-sama dengan pemerintah.

    “Bukan hanya di legislatif, terkait dengan undang-undang kan itu persetujuan antara pemerintah dan DPR, jadi harus ada pembicaraan dulu antar pemerintah dan DPR, ada kajian-kajian akademis dan lain sebagainya, nanti kita akan liat,” kata Adies di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (1/11/2024).

    Diketahui, MK pembentukan UU Ketenagakerjaan yang baru selesai dalam dua tahun. 

    Menurut Adies, DPR harus siap berapa pun waktu yang ditetapkan. Namun, DPR tetap perlu untuk melihat konteks dalam membuat UU.

    “Nanti kita liat di kita di legislatif ini di DPR, Senayan, kita kan harus selalu siap ya, mau 2 tahun, 3 tahun, setahun, mau 6 bulan, mau 2 bulan, mau sebulan juga kalau memang harus itu ya kita juga,” ujarnya.

    “Tapi kita harus liat konteksnya, konteksnya seperti apa, dan undang-undang seperti apa yang harus kita gol kan, sejalan apa tidak dengan program pemerintahan yang baru, Pak Prabowo,” sambungnya.

    Diketahui, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023. MK mengatakan hal itu dapat mengatasi ketidakharmonisan aturan.

    “Menurut mahkamah, pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.  

  • MK Minta Aturan Tenaga Kerja Keluar dari UU CK, Ini Jawaban Pemerintah

    MK Minta Aturan Tenaga Kerja Keluar dari UU CK, Ini Jawaban Pemerintah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah berencana mempelajari terlebih dahulu amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemerintah dan DPR mengeluarkan kluster atau aturan ketenagakerjaan dari Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

    Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons putusan MK tersebut. Pembahasan amar putusan ini akan dilakukan bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas bersama dengan DPR selaku institusi pembuat UU.

    “Kalau itu kan kita masih pelajari amar keputusannya dan pertimbangannya,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (1/11/2024).

    Sebagaimana diketahui, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan pemisahan kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja diperlukan untuk menghindari perhimpitan norma antara UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan yang telah ada.

    Mahkamah menilai norma-norma baru dalam UU Cipta Kerja sulit dipahami oleh masyarakat awam dan pekerja. Jika masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan, maka tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

    “Dengan Undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” bunyi pertimbangan hukum MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny, Kamis kemarin (31/10) dilansir CNN Indonesia.

    “Selain itu, sejumlah materi atau substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah Undang-undang, termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam Undang-undang ketenagakerjaan,” ucap Enny.

    Putusan ini menjadi bagian dalam putusanperkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), dan sejumlah konfederasi buruh lainnya.

    Dalam keputusan sepanjang 687 halaman tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil dan meminta agar segera dibentuk UU ketenagakerjaan yang baru dan terpisah dari UU Cipta Kerja.

    MK juga menguraikan enam klaster dalil permohonan dalam putusan ini, antara lain terkait penggunaan tenaga kerja asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya, upah, pemutusan hubungan kerja, dan kompensasi.

    Para hakim konstitusi menyatakan dengan adanya UU baru, masalah ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan substansi ketenagakerjaan dapat diatasi.

    (haa/haa)

  • DPR bakal tindaklanjuti Putusan MK Nomor 168 soal UU Ketenagakerjaan

    DPR bakal tindaklanjuti Putusan MK Nomor 168 soal UU Ketenagakerjaan

    Pimpinan DPR RI juga bakal menyampaikan hal itu ke Badan Legislasi DPR RI dan komisi terkait

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan Pimpinan DPR RI bakal menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 terkait soal permintaan kepada DPR RI untuk membuat Undang-Undang (UU) tentang Ketenagakerjaan yang baru.

    “Kita harus lihat konteksnya, konteksnya seperti apa, dan apa undang-undang seperti apa yang harus kita gol-kan,” kata Adies di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

    Oleh karena itu, pihaknya pun perlu membicarakan terlebih dahulu mengenai poin-poin dalam putusan tersebut. Menurutnya, Pimpinan DPR RI juga bakal menyampaikan hal itu ke Badan Legislasi DPR RI dan komisi terkait.

    Selain itu, permintaan untuk pembentukan UU tersebut juga perlu mempertimbangkan terhadap program pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

    Baca juga: Pimpinan DPR: UU Kesehatan solusi tingkatkan kualitas rumah sakit

    Menurut dia, pembentukan undang-undang tidak hanya melibatkan legislatif saja, melainkan juga perlu persetujuan antara Pemerintah dan DPR, termasuk pembentukan undang-undang juga harus ada kajian akademis.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi(MK) meminta pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, untuk segera membuat undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

    MK memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.

    Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing (TKA) di semua jenis jabatan yang tersedia.

    Selain itu, jangka waktu dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2024