Kasus Penganiayaan Balita di Depok, Meita Irianty Dituntut 1,5 Tahun Penjara
Tim Redaksi
DEPOK, KOMPAS.com
– Kasus
Meita Irianty
, pemilik
daycare
Wensen School Depok sekaligus
influencer parenting
penganiaya dua balita berinisial MK (2) dan AM (9 bulan) sampai ke sidang tuntutan.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Rabu (19/11/2024), jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Meita dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Meita Irianty dengan pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani,” kata jaksa Tiara Robena Panjaitan di ruang sidang PN Depok.
Selain itu, Meita juga dituntut pidana tambahan membayar restitusi terhadap korban MK dan AM. Terhadap korban MK, Meita dituntut membayar restitusi Rp 331.080.000,00 subsidair tiga bulan pidana kurungan.
Sedangkan kepada korban AM, terdakwa dituntut membayar sebesar Rp 321.675.000,00 subsidair tiga bulan pidana kurungan.
Jaksa menilai, Meita bersalah dan melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
“(Meita) telah menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak, dalam hal berbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri,” ujar jaksa Tiara dalam sidang.
Tuntutan yang diajukan jaksa ini berbeda dengan dakwaan yang disampaikan dalam sidang perdana, Rabu (16/10/2024).
Pada sidang dakwaan, Meita didakwa secara alternatif berdasarkan Pasal 80 Ayat 2 dan Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak mengenai kekerasan fisik terhadap anak hingga menyebabkan anak tersebut menderita sakit atau luka, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Penganiayaan itu pertama kali dilakukan terhadap MK pada Senin (10/6/2024).
“Terdakwa memukul pantat kiri, mencubit lengan, dan kembali memukul pantat korban,” ungkap hakim Edrus di ruang sidang.
Selain itu, Meita juga diduga mendorong, memukul, dan menendang kaki korban.
Sementara, terhadap korban AM yang masih berusia 9 bulan saat kejadian, penganiayaan terjadi pada Selasa (11/6/2024) dan Rabu (12/6/2024).
“Terdakwa menarik tangan kiri AM dengan kasar dan mencubit pantat korban beberapa kali, lalu mendorong kepala belakang korban,” ujar Edrus.
Terpisah, Kepala Seksi Intelijen Kejari Depok, Arief Ubaidillah menjelaskan, tuntutan jaksa terhadap Meita telah melalui pertimbangan fakta-fakta di persidangan.
Meita dianggap melanggar satu pasal saja, sesuai dengan tuntutan jaksa dalam persidangan.
“Selanjutnya berdasarkan fakta yg terungkap di persidangan, Penuntut Umum berkeyakinan terhadap perbuatan terdakwa telah terbukti bersalah melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,” jelas Arief.
Setelah tuntutan dibacakan, Meita akan diberi kesempatan untuk membacakan pledoi atau nota pembelaan dalam perkara ini. Sidang pledoi akan digelar pada Senin (25/11/2024).
“Izin, hari Senin saya ingin menyampaikan pledoi saya secara tertulis dan akan ada yang saya sampaikan juga,” kata Meita yang hadir secara daring dalam sidang.
Adapun sidang pledoi akan digelar secara luring. Namun, Meita kembali dijadwalkan hadir secara daring.
Pledoi ini akan menjadi kesempatan terakhir bagi Meita membela diri, mencari peluang pengurangan hukuman sebelum vonis dibacakan Majelis Hakim PN Depok.
Apakah vonis hukuman Meita akan sama dengan tuntutan jaksa, berkurang, atau malah bertambah?
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: MK
-
/data/photo/2024/11/06/672b4ab907b94.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kasus Penganiayaan Balita di Depok, Meita Irianty Dituntut 1,5 Tahun Penjara Megapolitan 20 November 2024
-

Buruh Geruduk Kemnaker, Tuntut Upah Layak & Bentuk UU Ketenagakerjaan Baru
Bisnis.com, JAKARTA – Buruh yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia bersama dengan Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) dan elemen buruh lainnya menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Rabu (20/11/2024).
Presiden Aspek Indonesia Muhamad Rusdi menyampaikan, salah satu tuntutan utama adalah meninjau kembali mekanisme kebijakan penetapan upah minimum 2025. Pasalnya, penetapan upah minimum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang Pengupahan tidak berdasarkan pada survei kebutuhan hidup layak (KHL).
“Selama ini, mekanisme yang digunakan dalam penetapan upah minimum tidak didasarkan pada survei KHL, melainkan lebih mengandalkan indeks formula yang jauh dari kondisi riil kehidupan buruh,” kata Rusdi dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).
Menurutnya, pengembalian metode survei KHL dalam penetapan upah minimum merupakan langkah yang sangat penting. Dengan begitu, upah pekerja dapat mencerminkan kebutuhan hidup layak.
Untuk itu, pihaknya mendorong Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli untuk mengubah kebijakan pengupahan sebagai landasan penetapan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun depan.
Rusdi juga meminta, pemerintah segera memberlakukan kembali upah sektoral bagi sektor unggulan yang hilang akibat diberlakukannya kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja. Padahal, upah sektoral dinilai sangat penting dalam menjaga daya beli pekerja di berbagai sektor.
Dengan adanya perubahan formula dan diberlakukannya upah minimum sektoral, Rusdi mengharapkan kenaikan upah minimal bisa mencapai 10-15%.
“Harapannya bisa lebih dari nilai tersebut untuk mengangkat upah buruh yang jatuh dalam 10 tahun terakhir,” ujarnya.
Tuntutan lain yang turut disuarakan dalam aksi hari ini yakni mencabut Omnibus Law Cipta Kerja dan menggantinya dengan aturan ketenagakerjaan yang baru, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Oktober 2024.
MK dalam putusannya menyarankan agar pembentukan Undang-undang Ketenagakerjaan dilakukan secara terpisah dan mengakomodasi berbagai peraturan dalam UU No. 13/2003 dalam klaster ketenagakerjaan, serta berbagai putusan MK terkait uji materi kedua undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun, dengan melibatkan secara aktif partisipasi dari serikat pekerja/buruh.
Rusdi menilai, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi buruh dan melibatkan partisipasi aktif dalam proses penyusunan undang-undang ketenagakerjaan yang baru.
“…agar kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik dan adil bagi seluruh pekerja di Indonesia,” pungkasnya.
-
/data/photo/2024/11/15/6736df631bbb8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Kejagung Tegaskan Kerugian Negara dalam Kasus Tom Lembong Tak Harus Dihitung BPK Nasional
Kejagung Tegaskan Kerugian Negara dalam Kasus Tom Lembong Tak Harus Dihitung BPK
Tim RedaksiJAKARTA, KOMPAS.com
– Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan, kerugian negara dalam suatu kasus dugaan korupsi tidak harus dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar terkait kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong.
Ia menanggapi pernyataan kuasa hukum Tom Lembong soal tak adanya kerugian negara yang ditemukan BPK terkait kebijakan impor gula saat Tom menjabat pada 2015-2016.
“Pada pokoknya menentukan bahwa Penyidik Tindak Pidana Korupsi bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPK dan BPKP dalam rangka pembuktian Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat berkoordinasi dengan instansi lain,” kata Harli dalam keterangan resmi, Selasa (19/11/2024).
Dalam kesempatan itu, Harli enggan menjelaskan lebih jauh instansi lain yang ia maksud.
Namun, sebelumnya Harli sempat menyebut bahwa Kejagung juga bekerja sama dengan ahli untuk menghitung kerugian negara pada kasus Tom Lembong.
“Kita akan menggandeng ahli untuk memastikan berapa kerugian negara. Saat ini perhitungan masih berlangsung,” ujar Harli di Kejagung Jakarta Kamis (31/10/2023).
Sebelumnya, Kuasa hukum Tom Lembong menegaskan bahwa tidak ada temuan BPK yang menyatakan negara mengalami kerugian akibat kebijakan impor gula yang dikeluarkan kliennya.
Pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mempertanyakan klaim yang dilontarkan oleh Kejagung yang menyebut bahwa kebijakan penerbitan izin impor gula oleh Tom Lembong merugikan negara hingga Rp 400 miliar.
“Selalu dikatakan bahwa ini sudah ada temuan BPK, kerugian negara. Sampai saat ini, temuan BPK yang kami baca tidak menunjukkan adanya kerugian negara dalam kebijakan yang diambil tersebut,” ujar Ari saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (5/11/2024).
Ia juga mengingatkan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digunakan untuk menjerat Tom Lembong merupakan delik materiil.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian negara harus bersifat nyata atau actual loss, bukan potential loss.
“Sampai saat ini kerugian negara yang dimaksud belum jelas. Katanya ada angka Rp 400 miliar, temuan dari siapa? Bagaimana temuannya?” tanya Ari.
Adapun Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024 atas kebijakan impor gula yang diambilnya saat menjabat sebagai Mendag pada 2015-2016.
Tidak terima dengan penetapan tersebut, Tom Lembong pun mengajukan praperadilan dengan nomor 113/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Putusan MK No.136/ 2024 perkuat netralitas di Pilkada Serentak 2024
Sumber foto: Mus Mulyadi/elshinta.com.
PDIP Kota Tangerang:
Putusan MK No.136/ 2024 perkuat netralitas di Pilkada Serentak 2024
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Selasa, 19 November 2024 – 21:46 WIBElshinta.com – DPC PDI Perjuangan Kota Tangerang menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 136/2024 perihal sanksi pidana bagi ASN, Kepala Desa dan TNI Polri yang tidak netral dalam Pilkada 2024.
“Dengan keluarnya putusan tersebut Pemilukada diharapkan berlangsung dengan jurdil, aman, nyaman dan silaturahmi sesama anak bangsa tetap terjaga dengan baik,” tegas Gatot Wibowo, Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Tangerang kepada wartawan, Selasa (19/11).
Gatot menuturkan, bahwa putusan MK nomor 136/2024 ini juga memperkuat berjalannya proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini dan untuk keberlangsungan kehidupan demokrasi kedepannya.
“Kami hari ini juga mengagendakan rekan-rekan badan partai BBHAR (Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat) audiensi dengan Bawaslu untuk menyampaikan putusan MK nomor 136/2024 tersebut,” jelasnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Mus Mulyadi.
Gatot mengajak kepada seluruh unsur masyarakat dan elemen pegiat demokrasi yang ada untuk menyambut sukacita Pilkada ini serta mengawal dan mengawasi putusan MK tersebut.
“Biarkan masyarakat memilih sesuai hati nuraninya, jangan takut untuk menggunakan hak pilihnya karena masyarakat saat ini sudah cerdas,” ujarnya.
Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Tangerang Andri S. Permana yang juga ditugaskan DPP Partai sebagai Wakil Ketua DPRD meminta kepada ASN, Kepala Desa dan anggota TNI Polri betul-betul dapat mematuhi putusan MK nomor 136/2024.
“Sesuai putusan MK tersebut ASN, kepala desa dan anggota TNI Polri harus netral, dan saya berharap tidak berpolitik praktis serta menjadi garda terdepan bangsa dalam menjaga keamanan, ketertiban dan pertahanan sehingga menjadi contoh bagi anak bangsa dalam mematuhi aturan itu,” tambahnya.
Ketua Bapilu DPC PDI Perjuangan Kota Tangerang, Sumarti menegaskan pihaknya berkomitmen penuh memenangkan pasangan calon kepala daerah, Calon Gubernur dan Calon Walikota yang diusung PDI Perjuangan dan diusung oleh rakyat.
“Kami solid untuk menangkan Airin-Ade untuk Banten dan Sachrudin-Maryono untuk Kota Tangerang, semoga Pemilukada berjalan jurdil aman dan lancar serta mematuhi peraturan dan ketentuan yang ada,” pungkasnya.
Sumber : Radio Elshinta
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3290986/original/011526900_1604898287-WhatsApp_Image_2020-11-09_at_10.53.54.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kasasi Sengketa Pilkada Kutai Kartanegara Ditolak MA, Petahana Serukan Demokrasi Sehat
Liputan6.com, Kutai Kartanegara – Gugatan Sengketa Pilkada Kutai Kartanegara yang diajukan pasangan nomor urut 3 Dendi Suryadi – Alif Turiadi ditolak Mahkamah Agung (MA). Kuasa hukum pasangan ini menggugat petahana Edi Damansyah ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Banjarmasin karena dianggap telah dua periode.
PT TUN Banjarmasin kemudian menolak dengan alasan penggugat tidak memiliki kedudukan hukum. Setelah gagal, Dendi-Alif mencoba ke MA namun kembali ditolak.
Ketua tim kuasa hukum pasangan petahana Edi Damansyah – Rendi Solihin, Erwinsyah, menyambut baik putusan MA tersebut. Pilkada sebagai pesta demokrasi benar-benar terwujud dengan riang gembira.
“Kami menghormati putusan hukum ini. Semoga dengan putusan final yang bersifat mengikat ini, kita semua dapat melanjutkan proses demokrasi di Kutai Kartanegara dengan semangat riang gembira tanpa ada rasa kebencian,” ujar Erwinsyah melalui pesan singkat, Selasa (19/11).
Erwinsyah kemudian mengajak semua pihak, termasuk paslon lain, untuk menjunjung tinggi hukum dan berkompetisi secara sehat.
“Mari bersaing dengan menghormati putusan hukum yang ada. Tidak perlu melakukan tindakan yang dapat merusak jalannya demokrasi,” tegasnya.
Sebelumnya, gugatan Dendi-Alif ditolak oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Banjarmasin. Majelis hakim menilai penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang kuat. Tak puas dengan putusan itu, tim hukum Dendi-Alif kemudian mengajukan kasasi ke MA pada 7 November 2024.
Dalam memori kasasinya, tim kuasa hukum Dendi-Alif menyebutkan bahwa PT TUN Banjarmasin telah keliru. Mereka mendasarkan argumentasi pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang mengatur masa jabatan kepala daerah. Menurut tim kuasa hukum Dendi-Alif, Edi Damansyah telah menyelesaikan dua periode masa jabatan, sehingga pencalonannya dianggap melanggar aturan.
Namun, MA berpandangan lain. Dalam putusannya, MA menolak seluruh keberatan yang diajukan pihak Dendi-Alif, menguatkan keputusan PT TUN Banjarmasin, sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap pencalonan Edi-Rendi.
-

Kantor Kementerian di IKN hanya 36 Sesuai Kabinet Jokowi, Padahal Pemerintahan Prabowo Ada 48, Bagaimana Nasibnya?
FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Kabinet Merah Putih ada 48 kementerian. Membengkak dari jumlah pos kementerian di periode pemerintahan sebelumnya.
Pertanyaan yang mencuat. Apakah semua kementerian itu akan dibuatkan kantor di Ibu Kota Nusantara (IKN)?
Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono mengatakan perencanaan pembangunan kantor kementerian memang hanya 36. Sesuai jumlah kementerian pada pemerintahan Jokowi.
Namun begitu, Basuki mengatakan pembangunan yang berlangsung saat ini akan menyesuaikan dengan jumlah kementerian Kabinet Merah Putih.
“Tentunya kalau dengan kementerian tambah 48, yang siap 36, sesuai dengan jumlah kementerian Kabinet Indonesia Maju. Kalau Merah Putih nanti jadi 48, nanti rumahnya pasti juga harus kita tambahin,” kata Basuki di Kementerian PPN atau Bappenas, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Di sisi lain, ia mengatakan untuk pembangunan gedung pemerintahan lain akan dilakukan 2028. Yakni legislatif dan yudikatif, termasuk untuk hunian para aparatnya maupun perkantorannya.
“Menyelesaikan perintah Pak Presiden untuk selesaikan kantor dan hunian yudikatif, MA, MK dan sebagainya. Lalu, kantor dan hunian legislatif, untuk DPR, DPD, dan MPR, termasuk jalan-jalannya,” ungkap Basuki.
Untuk hunian, Basuki mengatakan sudah siap 47 tower bagi ASN. Begitu juga perkantorannya dan ekosistem pendukungnya. (Arya/Fajar)
-
/data/photo/2024/11/06/672b4ab907b94.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Meita Irianty, Penganiaya Balita di Depok Akan Ajukan Pleidoi atas Tuntutan 1,5 Tahun Penjara Megapolitan 19 November 2024
Meita Irianty, Penganiaya Balita di Depok Akan Ajukan Pleidoi atas Tuntutan 1,5 Tahun Penjara
Tim Redaksi
DEPOK, KOMPAS.com
–
Meita Irianty
, pemilik
daycare
Wensen School yang didakwa menganiaya dua balita berinisial MK (2) dan AM (9 bulan), akan mengajukan pleidoi atau pembelaan, Senin (25/11/2024) mendatang.
Hal ini disampaikan Meita sesaat sebelum hakim menutup sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Selasa (19/11/2024).
“Izin, hari Senin saya ingin menyampaikan pleidoi saya secara tertulis dan akan ada yang saya sampaikan juga,” ujar Meita secara daring dalam sidang tersebut.
Rencananya, sidang pleidoi akan digelar secara luring, namun Meita tetap akan hadir melalui Zoom Meetings.
Pada sidang tuntutan sebelumnya, Meita dinyatakan bersalah melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman penjara selama satu tahun enam bulan untuk Meita.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Meita Irianty dengan pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani,” kata Jaksa Tiara Robena Panjaitan.
Selain hukuman penjara, Meita juga dituntut membayar restitusi kepada korban MK sebesar Rp 331.080.000,00 dan kepada korban AM sebesar Rp 321.675.000,00. Jika tidak dibayar, restitusi diganti dengan pidana kurungan tiga bulan untuk masing-masing korban.
Kasus ini bermula dari dugaan penganiayaan yang dilakukan Meita terhadap MK pada Senin (10/6/2024). Jaksa menyebut Meita memukul pantat kiri, mencubit lengan, serta kembali memukul pantat korban.
“Terdakwa memukul pantat kiri, mencubit lengan, dan kembali memukul pantat korban,” ujar Jaksa Edrus di ruang sidang.
Penganiayaan serupa juga dilakukan terhadap AM, balita berusia 9 bulan, pada Selasa (11/6/2024) dan Rabu (12/6/2024). Meita diduga menarik tangan kiri AM secara kasar, mencubit pantat, serta mendorong kepala belakang korban.
Kasus ini telah menyita perhatian publik, terutama terkait kekerasan terhadap anak yang seharusnya mendapat perlindungan di tempat penitipan. Sidang lanjutan akan digelar pekan depan untuk mendengarkan pleidoi dari terdakwa.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/10/30/6721ff82d0c30.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nasib Meita Irianty, Penganiaya Balita di Depok: Dituntut 1,6 Tahun Penjara dan Restitusi Rp 652 Juta Megapolitan 19 November 2024
Nasib Meita Irianty, Penganiaya Balita di Depok: Dituntut 1,6 Tahun Penjara dan Restitusi Rp 652 Juta
Editor
DEPOK, KOMPAS.com
— Pemilik daycare Wensen School Depok,
Meita Irianty
, menghadapi tuntutan pidana berat atas kasus penganiayaan dua balita, MK (2) dan AM (9 bulan).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Meita dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan dan kewajiban membayar restitusi kepada para korban dengan total sebesar Rp 652.755.000.
Tuntutan itu disampaikan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Depok pada Selasa (19/11/2024).
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Meita Irianty dengan pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani,” ujar Jaksa Tiara Robena Panjaitan di ruang sidang.
Meita juga dituntut membayar restitusi kepada keluarga dua balita yang menjadi korban penganiayaannya.
Untuk korban MK, jaksa meminta Meita membayar Rp 331.080.000 subsidair tiga bulan kurungan.
Sementara untuk korban AM, jumlah restitusi yang dituntut adalah Rp 321.675.000 subsidair tiga bulan kurungan.
Dalam persidangan itu, Jaksa menyatakan, tindakan Meita melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kasus ini bermula pada Juni 2024, saat Meita diduga melakukan serangkaian tindakan kekerasan terhadap kedua balita yang berada dalam asuhannya.
Berdasarkan dakwaan, Meita menganiaya MK dengan cara memukul bokong, mencubit lengan, hingga menendang kaki korban.
Sementara terhadap korban AM, Meita disebut menarik tangan dengan kasar, mencubit bokong, hingga mendorong kepala belakang balita berusia 9 bulan itu. Tindakan tersebut terjadi pada tanggal 10 hingga 12 Juni 2024.
Meita pun didakwa berdasarkan Pasal 80 ayat 2 dan Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman maksimal atas pelanggaran ini adalah 15 tahun penjara.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya perlindungan anak, terutama di lembaga penitipan anak yang seharusnya menjadi tempat aman.
(Reporter: Dinda Aulia Ramadhanty | Editor: Fitria Chusna Farisa)
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Prof. Hamdan Zoelva: Said Didu Punya Integritas
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Hamdan Zoelva, menyatakan dukungan penuh kepada Said Didu yang tengah menghadapi kasus hukum.
Hamdan menegaskan bahwa dirinya mengenal Said Didu sebagai sosok berintegritas yang selalu memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat.
“Saya mengenal sangat baik Said Didu, memiliki integritas, selalu memperjuangkan keadilan dan kepentingan rakyat banyak,” ujar Hamdan dikutip dari unggahan akun x @msaid_didu (19/11/2024).
Hamdan menyampaikan bahwa perjuangan Said Didu dalam membela hak-hak masyarakat layak didukung.
“Karena itu saya berdiri di pihak Said Didu,” imbuhnya.
Menurutnya, Said Didu tidak pernah gentar menyuarakan kebenaran meskipun mendapat tekanan.
“Terus berjuang membela kebenaran dan keadilan,” Hamdan menekankan.
Dukungan Hamdan Zoelva ini menambah panjang daftar tokoh yang bersimpati terhadap Said Didu.
“Kami semua ada bersama anda (Said Didu),” tandasnya.
Merespons dukungan Prof. Hamdan, Said Didu menyampaikan rasa terimakasihnya. Ia bersyukur karena banyak orang-orang yang mendukung langkahnya.
“Prof Hamdan Zoelva (Ketua MK 2013-2015), terima kasih dukungannya,” kata Said Didu.
Said Didu bilang, meskipun dilaporkan ke Polisi, ia akan terus konsisten memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
“Insya Allah, saya akan terus konsisten memperjuangkan kebenaran dan keadilan,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)
