Kapolri Klaim Perpol 10/2025 Justru Perjelas Putusan MK: Apa yang Dilanggar?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – K
apolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, aturan mengenai polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga justru mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengisian jabatan aparatur sipil negara (ASN) oleh polisi aktif.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
“Di situ kan klausanya sudah jelas dan tentunya akan dilakukan perbaikan. Di situ kan yang dihapus dalam putusan MK, penugasan oleh Kapolri, kemudian frasa yang terkait dengan tugas-tugas kepolisian kan sudah jelas di situ,” kata Kapolri di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/12/2025).
“Untuk itu, kemudian itu harus diperjelas limitatifnya seperti apa. Jadi, apa yang dilanggar? Ya, saya kira cukup ya,” imbuh dia.
Perpol 10/2025 ini menjadi sorotan karena mengatur polisi bisa menjabat di 17 instansi di luar Polri, padahal MK menyatakan bahwa polisi harus mundur atau pensiun dari Polri sebelum menjabat di jabatan luar Polri.
Kapolri mengeklaim bahwa Polri menghormati putusan MK tersebut.
Oleh karena itu, Polri menindaklanjutinya dengan melakukan konsultasi terhadap kementerian/lembaga terkait yang berujung pada penerbitan Perpol 10/2025.
“Jadi Perpol yang dibuat oleh Polri, tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK. Saya kira itu,” tegasnya.
Sigit juga memastikan, aturan soal polisi bisa menduduki
jabatan di kementerian
/lembaga ini akan ditingkatkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan revisi Undang-Undang (UU) Polri.
“Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan direvisi undang-undang,” tutur dia.
Diberitakan sebelumnya, keputusan Kapolri meneken Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai bermasalah.
Lewat aturan tersebut, Kapolri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, meski hal itu sudah dilarang oleh
Mahkamah Konstitusi
(MK).
MK lewat putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 13 November 2025 melarang anggota Polri menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun.
Namun, tak sampai sebulan kemudian, pada 9 Desember 2025, Listyo Sigit justru meneken Perpol 10/2025 yang membuka pintu bagi polisi aktif untuk menjabat di 17 kementerian/lembaga di luar Polri.
Instansi-instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan.
Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan.
Lalu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Profesor hukum tata negara Mahfud MD menyatakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan putusan MK di atas.
“
Perpol Nomor 10 Tahun 2025
itu bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menurut putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 anggota Polri, jika akan masuk ke institusi sipil harus minta pensiun atau berhenti dari Polri. Tidak ada lagi mekanisme alasan penugasan dari Kapolri,” kata Mahfud kepada
Kompas.com
, Jumat (12/12/2025).
Selain bertentangan dengan putusan MK, Mahfud yang juga mantan Ketua MK ini menilai Perpol Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan Undang-Undang ASN.
UU ASN mengatur bahwa pengisian jabatan ASN oleh polisi aktif diatur dalam UU Polri, sedangkan di UU Polri sendiri tidak mengatur mengenai daftar kementerian yang bisa dimasuki polisi aktif, ini berbeda dengan UU TNI yang menyebut 14 jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI.
“Jadi Perpol ini tidak ada dasar hukum dan konstitusionalnya,” kata Mahfud.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: MK
-

Golkar Gelar FGD Rajut Desain Perda Disabilitas di Jatim, Ini Tujuannya!
Surabaya (beritajatim.com) – Peraturan Daerah (Perda) Disabilitas di Jatim yang saat ini berlaku dinilai sudah tidak relevan. Ini karena belum selaras dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kondisi tersebut mendorong DPD Partai Golkar Jawa Timur menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertema ‘Merajut Desain Peraturan Daerah Disabilitas Provinsi Jawa Timur’, sebagai langkah awal merumuskan regulasi baru yang lebih inklusif, komprehensif, dan berpihak pada kebutuhan riil difabel.
Ketua Panitia FGD, Julianto Simanjuntak, menegaskan bahwa FGD ini merupakan inisiatif langsung Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur, Ali Mufti, yang memandang pembaruan Perda Disabilitas sebagai kebutuhan mendesak.
“Perda Disabilitas Jawa Timur yang ada lahir tahun 2013, sementara Undang-Undang Disabilitas terbit tahun 2016. Ini jelas perlu diselaraskan agar tidak menimbulkan kekosongan perlindungan hukum,” kata Julianto kepada wartawan, Senin (15/12/2025).
Menurut Julianto, Partai Golkar menugaskan Bidang Hukum dan HAM untuk memfasilitasi diskusi terbuka dengan menghadirkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari unsur pemerintah, dunia usaha, hingga komunitas penyandang disabilitas.
FGD tersebut melibatkan perwakilan APINDO, Dinas PUPR, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Komisi E DPRD Jawa Timur, serta lebih dari 20 komunitas penyandang disabilitas dari berbagai daerah.
“Kebutuhan penyandang disabilitas hanya bisa dijelaskan oleh mereka sendiri. Karena itu, suara komunitas difabel harus menjadi fondasi utama dalam penyusunan naskah akademik perda ini,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, isu kesejahteraan menjadi perhatian utama, khususnya terkait penyerapan tenaga kerja bagi penyandang disabilitas. Julianto menyinggung ketentuan kuota kerja, yakni 1 persen di sektor swasta serta 2 persen di BUMD dan BUMN, yang dinilai belum sepenuhnya berjalan merata.
“APINDO menyampaikan bahwa beberapa perusahaan sudah mulai menjalankan ketentuan ini. Namun implementasinya masih perlu diperluas dan diawasi,” katanya.
Selain ketenagakerjaan, aspek aksesibilitas fasilitas publik juga menjadi sorotan. Julianto mengakui, Kota Surabaya mulai menunjukkan kemajuan dengan adanya parkir khusus, guiding block, dan fasilitas di transportasi publik. Namun kondisi tersebut belum dirasakan secara merata di kabupaten/kota lain.
Bahkan, dalam FGD terungkap masih kuatnya stigma sosial terhadap penyandang disabilitas di sejumlah daerah, termasuk di wilayah Madura.
“Ada cerita bahwa keluarga masih merasa malu memiliki anggota keluarga disabilitas. Ini stigma yang harus kita lawan bersama. Perda tidak boleh hanya bicara fasilitas, tapi juga soal memanusiakan manusia,” tegas Julianto.
Ia menekankan bahwa penyandang disabilitas bukan kelompok lemah, melainkan individu yang memiliki kapasitas dan kompetensi tinggi. “Banyak dari mereka intelektual, profesional, bahkan advokat yang vokal memperjuangkan hak-haknya. Negara wajib hadir memberi ruang dan perlindungan,” ujarnya.
FGD ini juga menghadirkan penulis naskah akademik, Adam, agar masukan dari seluruh peserta dapat langsung diintegrasikan dalam desain regulasi.
Julianto menegaskan, penyusunan Perda Disabilitas ke depan harus dilakukan secara partisipatif, transparan, dan tidak lagi mengulang praktik penyusunan regulasi yang minim pelibatan komunitas terdampak.
“Kami tidak ingin perda ini disusun tertutup lalu diperdebatkan ulang. Harapannya, pemerintah langsung memiliki regulasi yang komprehensif, selaras dengan undang-undang, putusan MK, dan bersifat futuristik,” pungkasnya. (tok/ted)
-

Said Aqil Curigai Izin Tambang dari Jokowi: Awalnya Apresiasi, Lama-lama Terasa Jebakan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, melontarkan pandangan kritis terkait kebijakan pemberian izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan.
Ia melihat kebijakan tersebut berpotensi menjadi jebakan yang justru melemahkan daya kritis ormas, termasuk kalangan kampus, terhadap pemerintah.
Said Aqil mengungkapkan, pada awalnya ia menyambut positif kabar bahwa Presiden ke-7, Jokowi, memberikan konsesi tambang kepada ormas.
Baginya, kebijakan itu sempat ia pandang sebagai bentuk apresiasi negara terhadap peran ormas dalam sejarah perjuangan bangsa.
“Barangkali itu merupakan penghargaan kepada ormas yang dulu berjuang sebelum lahirnya NKRI. NU, Muhammadiyah, dan sebagainya, apresiasi,” kata Said Aqil, dikutip dari Forum Keadilan TV, Senin (15/12/2025).
Namun seiring waktu, Said Aqil mengaku mulai melihat sisi lain dari kebijakan tersebut.
Setelah mempertimbangkan dampak jangka panjang, termasuk mencermati pandangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra, ia menilai kebijakan itu justru menyimpan risiko besar.
“Tapi secara negative thinking, bisa-bisa saya katakan jebakan, sehingga akhirnya nanti ormas ini lumpuh, tidak mampu untuk memberikan kritik atau apalah, masukan, ya, rekomendasi yang agak tajam kepada pemerintah,” ujarnya.
Lebih jauh, Said Aqil mengaitkan polemik tersebut dengan konflik internal di tubuh PBNU yang mencuat pada akhir November 2025.
Konflik antara Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan mantan Sekjen Saifullah Yusuf (Gus Ipul) disebutnya tidak lepas dari dinamika tersebut.
-
/data/photo/2025/12/15/693f71b205616.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU
Mahfud: Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di 17 Lembaga Bertentangan dengan 2 UU
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan sipil 17 kementerian/lembaga bertentangan dengan dua undang-undang.
“Perkap tersebut Perkap (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan dua undang-undang,” ujar Mahfud dalam kanal Youtube MahfudMD, dikutip Senin (15/12/2025).
Pertama, Perpol tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (
Polri
).
“Di mana di dalam Pasal 28 ayat (3) (UU Polri) disebutkan bahwa yang anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari dinas Polri,” ujar Mahfud.
Pasal 28 ayat (3) UU Polri tersebut semakin dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
Putusan MK tersebut mengatur secara tegas bahwa anggota Polri harus mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian jika akan menduduki jabatan sipil.
“Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025,” ujar Mahfud.
Perpol 10/2025 itu juga dinilainya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN mengatur, jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat dapat diduduki anggota TNI dan Polri sesuai yang diatur dalam UU TNI dan UU Polri.
Mahfud menjelaskan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI telah mengatur bahwa anggota TNI boleh menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga.
Sedangkan dalam UU Polri, belum mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga mana saja.
“Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang lalu diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri,” ujar Mahfud.
“Dengan demikian ketentuan Perkap (Perpol 10/2025) itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam undang-undang, tidak bisa hanya dengan perkap jabatan sipil itu diatur,” sambung mantan ketua MK itu.
TRIBUNNEWS.com Ilustrasi polisi.
Anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.
”
Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan
,” bunyi pasal tersebut.
Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemerintah Abai Reformasi Polri
Pemerintah Abai Reformasi Polri
Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KEBERADAAN
frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
political will
yang memadai dari pemerintah.
Putusan MK
semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
political will
, di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/09/690feb973f447.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
“
No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
DALAM
tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
.”
Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
.”
Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Penetapan UMP 2026 Berjalan Lamban, Pengamat Soroti Alasan Disaparitas
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah belum kunjung menetapkan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2026 menjelang pekan ketiga Desember 2025.
Pengamat ketenagakerjaan sekaligus Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan bahwa rencana pemerintah untuk mengurangi disparitas upah antardaerah semestinya tak menjadi alasan pengumuman UMP 2026 terus mundur.
“Disparitas itu menurut saya keniscayaan, jadi tidak usah ditakutkan atau menjadi alasan untuk menghindar karena ada hitung-hitungan disparitas,” kata Timboel kepada Bisnis, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, tugas pemerintah mencakup pengendalian inflasi serta memacu pertumbuhan ekonomi, yang menjadi dua aspek krusial dalam pengupahan.
Dia kemudian menjelaskan adanya perbedaan situasi perekonomian antardaerah, misalnya Maluku Utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi hingga di atas 30% dan melampaui provinsi lainnya.
Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu menyesuaikan upah minimum dengan kondisi daerah masing-masing. Dia kemudian menyinggung penetapan UMP 2025 yang dipukul rata satu angka sebesar 6,5%.
“Satu provinsi ke provinsi lain inflasi dan PDRB-nya berbeda. Kalau yang kemarin kan penetapan 6,5%, sama semua. Itu kan artinya enggak objektif,” ujar Timboel.
Dalam perkembangan terakhir, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor mengatakan pemerintah saat ini sedang menunggu momen yang tepat untuk mengumumkan UMP.
“Upah minimum, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan masih menunggu momen yang tepat untuk mengumumkannya, supaya stabilitas perekonomian dan stabilitas politik lain-lain berjalan dengan baik, sesuai dengan apa yang akan diputuskan oleh pemerintah” kata Wamenaker Afriansyah Noor di Bengkulu, Kamis (11/12/2025).
Yang jelas, kata dia, pemerintah lewat Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dan tripartit sudah terus rapat-rapat bahkan sejak Maret 2025 lalu.
“Rapat sampai sekarang ya tentunya melihat segala aspek dan juga pertimbangan hasil keputusan MK [Mahkamah Konstitusi] Nomor 168/PUU-XXI/2023, ditambah lagi dengan Kebutuhan Hidup Layak [KHL], nah ini yang lagi dipertimbangkan,” imbuhnya.
/data/photo/2025/12/15/693ffb9d8925a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


