Kementrian Lembaga: MK

  • Puan: Setengah Penduduk Indonesia Perempuan, Saatnya Parlemen Lebih Inklusif

    Puan: Setengah Penduduk Indonesia Perempuan, Saatnya Parlemen Lebih Inklusif

    Puan menyebut putusan tersebut sebagai langkah maju dalam memperkuat partisipasi politik perempuan di Indonesia. Menurutnya, keputusan MK sejalan dengan prinsip keadilan dan semangat afirmasi gender yang selama ini menjadi perhatian dunia.

    “Memang faktanya bahwa setengah dari penduduk bangsa Indonesia adalah kaum perempuan,” tutur Puan yang juga perempuan pertama sebagai Ketua DPR RI itu.

    Ia menilai kebijakan afirmatif di parlemen merupakan upaya untuk memastikan keterwakilan yang lebih adil serta membuka ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan strategis di lembaga legislatif.

    Lebih lanjut, Puan memaparkan bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni sekitar 21,9 persen atau 127 dari total 580 anggota DPR.

    “Kemajuan ini patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” ujarnya.

    Meski begitu, Puan menegaskan capaian tersebut tidak boleh membuat parlemen berpuas diri. Keputusan MK, menurutnya, harus menjadi momentum memperkuat representasi perempuan, bukan hanya dari segi jumlah, tetapi juga pada posisi strategis di setiap AKD.

     

  • MK Kabulkan soal Keterwakilan Perempuan di DPR, Ini Angkanya dalam 5 Periode Terakhir

    MK Kabulkan soal Keterwakilan Perempuan di DPR, Ini Angkanya dalam 5 Periode Terakhir

    MK Kabulkan soal Keterwakilan Perempuan di DPR, Ini Angkanya dalam 5 Periode Terakhir
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan Titi Anggraini terkait keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
    Dalam Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024, MK menyatakan agar setiap alat kelengkapan dewan (AKD) mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) harus memiliki keterwakilan perempuan.
    “Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon IV untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan Putusan Nomor 169/PUU-XXII/2024 dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
    Terkait Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Lembaga Legislatif, MK meminta agar setiap komisi di DPR harus punya keterwakilan perempuan yang merata.
    Kemudian dalam amar terakhir, Suhartoyo memberikan penegasan agar setiap pimpinan AKD, baik komisi, MKD, Bamus, Baleg, Banggar, Pansus, BURT, maupun BKSAP, harus memuat 30 persen keterwakilan perempuan.
    “Pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 4 (empat) orang wakil ketua, yang ditetapkan dari dan oleh anggota komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen),” kata Suhartoyo.
    Lantas, berapa keterwakilan perempuan di DPR dalam lima periode terakhir? Berikut rangkumannya dari Kompas.com:
    Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan MK yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap AKD dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Ia berharap pemenuhan keterwakilan perempuan dapat meningkatkan pada peningkatan kinerja. Puan meyakini akan ada hasil-hasil luar biasa dari para legislator perempuan ketika diberi kesempatan.
    “Tentunya harapan kita bersama bahwa ini nantinya dapat berujung pada peningkatan kinerja DPR yang manfaatnya dapat makin dirasakan oleh rakyat,” ujar Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua DPR: Putusan MK soal keterwakilan perempuan akan ditindaklanjuti

    Ketua DPR: Putusan MK soal keterwakilan perempuan akan ditindaklanjuti

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPR RI Puan Maharani memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal keterwakilan perempuan di susunan keanggotaan maupun pimpinan di DPR RI, akan ditindaklanjuti.

    Menurut dia, Pimpinan DPR RI akan berdiskusi dengan setiap perwakilan fraksi guna merumuskan teknis pelaksanaan putusan MK tersebut di setiap komisi.

    “DPR-RI tentu menghormati keputusan MK yang secara konstitusional bersifat final dan mengikat,” kata Puan di Jakarta, Jumat.

    Terkait hal itu, dia mengungkapkan fakta bahwa setengah dari penduduk bangsa Indonesia adalah kaum perempuan.

    Sejauh ini, menurut dia, tingkat keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yaitu sekitar 21,9 persen atau sebanyak 127 dari 580 anggota DPR.

    Kemajuan itu, kata dia, patut diapresiasi walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia.

    Dia pun yakin ke depannya akan ada hasil luar biasa dari para legislator perempuan ketika diberi kesempatan.

    “Tentunya harapan kita bersama bahwa ini nantinya dapat berujung pada peningkatan kinerja DPR yang manfaatnya dapat makin dirasakan oleh rakyat,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pada Kamis (30/10), memutuskan komposisi anggota maupun pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR RI harus mengakomodasi keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap-tiap fraksi.

    AKD itu meliputi Badan Musyawarah (Bamus), komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan panitia khusus (pansus).

    MK dalam hal ini mengabulkan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Perkumpulan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan pakar kepemiluan Titi Anggraini.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Sama dengan Dosen?

    Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Sama dengan Dosen?

    Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Sama dengan Dosen?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) menjawab permohonan seorang guru asal Semarang, Jawa Tengah, Sri Hartono yang menggugat usia pensiun guru minta disamakan dengan dosen.
    Jawaban atas dalil Sri Hartono itu dibacakan dalam putusan nomor 99/PUU-XXIII/2025 itu diucapkan pada Kamis (30/10/2025).
    Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan, batas usia pensiun guru tidak dapat disamakan dengan dosen yang bisa mencapai 70 tahun untuk seorang profesor yang berprestasi.
    Guru juga tidak
    vis a vis
    dengan dosen, karena syaratnya beda, yang paling kentara adalah syarat minimal pendidikan yang harus ditempuh.
    “Jabatan fungsional guru mensyaratkan minimal Strata 1, sedangkan jabatan fungsional dosen mensyaratkan pendidikan minimal Strata 2,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam sidang.
    Syarat utama ini sudah memberikan jarak waktu yang relatif jauh antara guru dan dosen.
    Jika guru bisa langsung bekerja setelah tamat S1, dosen harus menempuh jenjang pendidikan lagi minimal selama dua tahun untuk mendapat gelar S2.
    “Secara umum, dosen memulai masa kerja pada usia yang relatif lebih tinggi, yaitu setelah yang bersangkutan memperoleh gelar S2. Untuk itu, menurut Mahkaman tidak terdapat persoalan konstitusional norma berkenaan dengan pembedaan batas usia pensiun antara guru dan dosen,” imbuh dia.
     
    MK juga membantah dalil Sri Hartono yang menilai menambah usia pensiun guru akan menambal angka kekurangan guru yang terjadi di Indonesia.
    MK tidak menolak keterangan Sri terkait dengan kekurangan guru, namun Mahkamah menilai kekurangan guru perlu dilakukan dengan kebijakan rekrutmen agar kesinambungan pendidikan tetap terjaga.
    “Dengan demikian, masih terdapat kebutuhan kebijakan rekrutmen dan pengelolaan pensiun agar kesinambungan tenaga pendidikan tetap terjaga,” kata Enny.
    Dalam pertimbangan hukumnya, MK juga membahas terkait dengan demotivasi dan kesejahteraan guru, serta tanggung jawab pemerintah mewujudkan pendidikan berkualitas.
    Dalil pemohon yang mengatakan usia pensiun 60 tahun untuk guru membuatnya demotivasi, karena menurut pemohon secara fisik dan psikis guru usia 60 tahun masih mampu berkontribusi besar.
    Atas dalil tersebut, MK meminta agar pemerintah melakukan kajian terkait dengan guru yang berusia di atas 60 tahun, atau termasuk kategori lansia tersebut, khususnya jenjang ahli utama.
     
    “Menurut Mahkamah, penting bagi pemerintah melakukan kajian yang komperhensif mengenai jabatan fungsional guru pada jenjang jabatan ahli utama untuk mencapai batas usia pensiunnya menjadi 65 tahun,” imbuh Enny.
    Kajian ini dinilai penting karena terkait dengan berbagai pertimbangan yang berada di luar kewenangan MK.
    Sebab, persoalan tersebut tidak hanya terkait dengan syarat kesehatan jasmani dan rohani, kompetensi, kualifikasi, kuota serta hal-hal teknis sehingga perpanjangan batas usia pensiun bagi guru pada jenjang jabatan ahli utama benar-benar akan berkontribusi besar bagi peningkatan kualitas sistem pendidikan nasional.
    “Dengan demikian, kebutuhan untuk perpanjangan batas usia pensiun bagi guru, terutama yang berada pada jenjang guru ahli utama hingga berusia 65 tahun merupakan ranah pembentuk undang-undang,” ujar Enny.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen

    Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen

    Revisi UU Pemilu: Menurunkan Ambang Batas Parlemen
    Pegiat Demokrasi dan Pemilu
    REVISI
    Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, usulan Baleg DPR serta prioritas Prolegnas 2026, usulan Komisi II DPR.
    Revisi ini diharapkan mencari solusi atas pelaksanaan pemilu yang rumit, bukan sekadar tambal sulam aturan.
    Selain itu, mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Serta memastikan pemilu lebih efisien, transparan, adil dan modern.
    Selama ini kompleksitas aturan yang ada acapkali tumpang tindih sehingga membingungkan dalam pelaksanaan proses demokrasi elektoral.
    Setiap kali pembaharuan UU Pemilu, satu isu klasik selalu menjadi trigger dan mencuri perhatian masyarakat adalah ambang batas parlemen (
    parliamentary threshold
    ).
    Angkanya mungkin terlihat sepele dari 4 persen, 5 persen atau sampai 7 persen. Namun di balik itu semua, tersimpan pertarungan besar tentang makna demokrasi.
    Ambang batas yang konon dirancang demi “efisiensi politik”, selama ini justru menjadi ketidakadilan elektoral.
    Di Indonesia, penerapan ambang batas jadi gula-gula politik yang menggoda kekuasaan. Penerapan ambang batas yang tinggi memungkinkan partai besar mempertahankan dominasi dan menyingkirkan pesaing sebelum kompetisi dimulai.
    Semakin tinggi ambang batas, makin sempit pula ruang demokrasi. Ibaratnya seperti menggelar pesta rakyat, tapi hanya segelintir tamu yang boleh masuk.
    Fakta menunjukkan bahwa ambang batas acapkali menjadi jebakan yang menggoda para pembuat aturan untuk melanggengkan kekuasaan dan kelompoknya.
    Ironisnya, setiap kali revisi UU Pemilu dibahas, godaan untuk menaikkan ambang batas mesti muncul. Bila tren ini diteruskan, maka pemilu mendatang bukan lagi tentang siapa yang mendapat kepercayaan rakyat, melainkan siapa yang mampu mempertahankan dominasi kekuasaan lewat angka.
    Dalam Teori Hegemoni Antonio Gramsci, ambang batas dijadikan alat hegemoni politik. Partai besar menggunakan wacana “penyederhanaan sistem” atau “efektivitas pemerintahan” untuk mendominasi ruang komunikasi politik.
    Bentuk persetujuan yang dipaksakan untuk mengatur siapa yang boleh berbicara dan siapa yang disenyapkan di arena demokrasi.
    Adanya ambang batas akan membatasi partai-partai baru atau kecil untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan publik.
    Suara minoritas yang seharusnya menjadi bagian dari mozaik demokrasi, malah terbuang sia-sia. Sementara demokrasi harus memberi ruang bagi keragaman suara, menjaga keberlangsungan demokrasi sekaligus menegakkan keadilan representasi.
    Pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional. Berkaca dari pengalaman pemilu selama ini, ada paradoks yang mencolok: banyak sekali suara yang tidak terkonversi menjadi kursi, jutaan suara rakyat terbuang karena partai politiknya tidak punya cukup suara memenuhi ambang batas parlemen.
    Akhirnya distribusi kursi di DPR tidak sepenuhnya mencerminkan kemauan pemilih, melainkan sekadar hasil kalkulasi dari aturan yang menyingkirkan sebagian besar suara rakyat.
    Penggunaan ambang batas parlemen yang terus naik dari pemilu ke pemilu membawa konsekuensi signifikan terhadap peta representasi politik di Senayan.
    Data menunjukkan, dalam pemilu 2004 dengan ambang batas 3 persen, sebanyak 19.047.481 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen.
    Pemilu 2009 dengan ambang batas 2,5 persen, sebanyak 19.044.715 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi atau sekitar 18,2 persen.
    Begitu pula di pemilu 2014 dengan ambang batas 3,5 persen, ada 2.964.975 suara atau sekitar 2,4 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
    Lalu di pemilu 2019 dengan ambang batas 4 persen, ada 13.595.842 suara atau sekitar 9,7 persen yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi.
    Sementara pemilu terakhir 2024, dengan ambang batas masih 4 persen, sebanyak 16.977.503 suara atau 11,19 persen yang tidak terkonversi jadi kursi di DPR.
    Fenomena ini menimbulkan hilangnya nilai suara rakyat (
    wasted votes
    ) dalam jumlah besar. Ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
    Bayangkan, jutaan orang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), mencoblos dengan penuh harapan, tapi suaranya menguap atau hangus. Ini bukan sekadar inefisiensi, melainkan pengingkaran terhadap asas kedaulatan rakyat.
    Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan dalih penyederhanaan partai politik.
    Padahal ambang batas seyogianya menyaring, bukan menyingkirkan. Ia mengatur tata kelola representasi, tetapi tidak boleh menghapus representasi itu sendiri.
    Karena keadilan elektoral hanya dapat berdiri jika setiap suara, besar mapun kecil, punya nilai politik yang sama.
    Namun, ketika suara minoritas dihapus atas nama efisiensi, demokrasi akan kehilangan maknanya. Rakyat mungkin tetap punya pemilu, tapi kehilangan rasa keadilan politik.
    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 116/PUU-XXI/2023 terkait ambang batas parlemen jadi angin segar bagi demokrasi agar dapat tumbuh lebih baik dan bermartabat.
    Dalam putusan itu, Mahkamah meminta pembentuk undang-undang untuk
    mengubah ambang batas parlemen pada Pemilu 2029
    dan pemilu-pemilu yang akan datang dengan memperhatikan sejumlah hal.
    Pertama, didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
    Ketiga, perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyerderhanaan partai politik.
    Keempat, perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. Kelima, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
    Pertimbangan MK ini tentu tidak muncul tanpa dasar, melainkan merupakan hasil penilaian objektif terhadap sistem kepartaian Indonesia yang cenderung multipartai, serta untuk menjaga agar prinsip keterwakilan politik dan keadilan pemilu tetap terjamin.
    Pada akhirnya, pertarungan ini bukan sekadar soal angka ambang batas, tetapi tentang keberanian DPR untuk setia pada semangat konstitusi.
    Apakah para legislator berani menurunkannya demi keadilan representatif, atau justru meneguhkan ketidakadilan atas nama stabilitas politik?
    Sebagai alternatif dari penulis, agar suara tidak terbuang percuma, bisa diterapkan mekanisme fraksi
    threshold,
    sama halnya seperti mekanisme di tingkat DPRD provinsi maupun kabupaten/kota.
    Opsi ini terbukti berjalan efektif di mana partai-partai dengan kursi terbatas tetap dapat berpartisipasi dalam kerja-kerja legislatif melalui fraksi gabungan.
    Dengan pendekatan seperti ini, penyederhanaan sistem kepartaian tetap terjaga, tapi keterwakilan rakyat tidak jadi korban.
    Di sinilah seharusnya arah revisi UU Pemilu diletakkan, bukan pada pengetatan ambang batas, melainkan pada penguatan mekanisme representasi yang inklusif.
    Satu hal yang selalu menjadi catatan serius dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, yakni etika. Bila revisi UU Pemilu kali ini masih kembali menempatkan ambang batas sebagai alat eksklusi, maka demokrasi Indonesia akan kehilangan ruhnya.
    Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan dan kekuasaan, melainkan juga sistem nilai, moral dan etika yang menjadi pijakannya.
    Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik bisa dipakai untuk mengendalikan aturan main demi kepentingan kekuasaan.
    Dalam konteks revisi UU Pemilu bisa muncul dalam berbagai rupa: ambang batas parlemen, mekanisme konversi suara, hingga desain daerah pemilihan (dapil) yang secara halus dapat menentukan siapa yang diuntungkan atau disingkirkan.
    Di sinilah etika demokrasi diuji: Apakah DPR sungguh bekerja untuk memperkuat kualitas demokrasi, atau justru memperkuat posisinya sendiri di parlemen?
    Menurunkan ambang batas parlemen sejatinya bukan langkah mundur, melainkan tindakan berani untuk mengakui bahwa demokrasi yang sehat tidak pernah takut pada keberagaman suara.
    Ujian etika demokrasi merupakan panggilan moral bagi para legislator untuk menjaga demokrasi tidak hanya sebatas aturan formal, tetapi juga menjadikannya sebagai sistem yang benar-benar bermakna, berkeadilan, dan berintegritas.
    Sebab, kekuatan demokrasi terletak bukan hanya pada jumlah suara, melainkan pada kualitas moral dan etika yang mengiringinya.
    Revisi UU Pemilu kali ini adalah kesempatan untuk membuktikan, apakah bangsa ini berani menegakkan keadilan, atau bangsa yang rela menukar etika demi efisiensi politik.
    Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana memperlakukan suara yang kalah. Tanpa etika, demokrasi hanya menjadi mesin kekuasaan yang sah secara hukum, tapi hampa secara moral.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Kenapa Pengunduran Diri Keponakan Prabowo dari DPR Ditolak?
                        Nasional

    10 Kenapa Pengunduran Diri Keponakan Prabowo dari DPR Ditolak? Nasional

    Kenapa Pengunduran Diri Keponakan Prabowo dari DPR Ditolak?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengunduran diri keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, dari DPR RI periode 2024-2029 ditolak.
    Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Nazaruddin Dek Gam menyebutkan, Rahayu kini tetap berstatus anggota DPR RI.
    Keputusan diambil dalam rapat internal MKD yang digelar pada Rabu (29/10/2025).
    “MKD DPR RI memutuskan bahwa Saudari Rahayu Saraswati tetap sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029,” kata Dek Gam saat dihubungi
    Kompas.com
    , Kamis (30/10/2025).
    Menurut Dek Gam, keputusan ini diketok sebagai respons atas surat Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra Nomor 10-43/B.MK-GERINDRA/2025 tertanggal 16 Oktober 2025.
    Sara sebelumnya menyatakan mengundurkan diri melalui akun Instagram pribadinya, @rahayusaraswati, pada Rabu (10/9/2025), setelah pernyataannya pada salah satu siniar dipotong dan dinilai kontroversial.
    Kader Gerindra itu mengaku mulanya berniat mendorong semangat anak muda untuk berwirausaha.
    Namun, ucapannya dinilai menyakiti sejumlah pihak.
    “Dengan ini, saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra,” kata Sara.
    Dek Gam tidak menyebut secara gamblang alasan pengunduran diri Sara ditolak.
    Melalui keterangan resminya, pihaknya mempertimbangkan beberapa ketentuan yang berlaku.
    “Mempertimbangkan aspek hukum, ketentuan Tata Berencana MKD, serta putusan Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra,” tutur Dek Gam.
    Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan alasan Mahkamah Kehormatan partainya menolak pengunduran diri Sara.
    Dasco menyebutkan, pengunduran diri Sara tidak memenuhi syarat.
    “Mahkamah partai kemudian memutuskan bahwa memang pertama itu, pengunduran dirinya tak memenuhi syarat secara hukum, dan kemudian menetapkan Sara sebagai anggota DPR periode 2024-2029,” kata Dasco.
    Dasco menyebutkan, Sara juga tidak mengajukan pengunduran diri secara administratif.
    Namun, karena merasa tertekan lantaran pernyataannya dipotong dan menjadi konten media sosial, Sara akhirnya menyatakan mengundurkan diri secara lisan.
    “Karena tekanan, menurut ini, itu, Sara ini mengundurkan diri secara lisan. Kemudian, secara administrasinya, tidak ada surat tertulis pengunduran diri,” ujar Dasco saat dihubungi, Kamis (30/10/2025).
    Sementara itu, MKD dan Mahkamah Kehormatan Gerindra tidak menerima aduan apa pun terkait dugaan pelanggaran etik Sara.
    Merespons pengunduran diri itu, sejumlah kader Gerindra menyampaikan penolakan.
    Bahkan, muncul petisi 30.000 dukungan yang meminta Sara tetap di parlemen.
    “Ada petisi dari berapa puluh ribu pendukungnya Sara itu, ke Mahkamah Partai, 30.000 kalau enggak salah itu, atau 15.000 petisi,” ujar Dasco.
    Menindaklanjuti situasi itu, Mahkamah Kehormatan Gerindra kemudian melakukan pemeriksaan.
    Mahkamah juga menelaah tuduhan yang dialamatkan kepada keponakan Presiden Prabowo itu.
    Hasilnya, Mahkamah menyimpulkan tidak ada laporan maupun bentuk pelanggaran etik dari Sara.
    “Konten yang sudah lama dan kemudian diedit-edit sehingga menimbulkan arti yang tidak sama dengan yang disampaikan,” jelas Dasco.
    Atas dasar pertimbangan tersebut, Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra menyatakan pengunduran diri Sara tidak memenuhi aturan.
    Sara tetap berstatus anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra periode 2024-2029.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Melalui diskusi, Bawaslu DKI serap masukan dari penggiat pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Bawaslu DKI Jakarta melakukan diskusi yang menghadirkan narasumber berkompeten dan diikuti para penggiat pemilu guna menyerap berbagai masukan untuk pelaksanaan pemilu agar semakin baik di Jakarta.

    “Kami tentu terbuka dengan masukan yang disampaikan untuk memastikan pemilu selanjutnya semakin berkualitas,” kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Munandar Nugraha di Jakarta, Kamis.

    Diskusi dilakukan dalam kegiatan Fasilitasi Pembinaan dan Penguatan Kelembagaan yang mengusung tema “Restropeksi Pengawasan Pilkada 2024 dan Peran Bawaslu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Menuju Penyelanggaraan Pemilu Tahun 2029”.

    Nugraha menjelaskan, diskusi tersebut menghadirkan narasumber Direktur Pascasarjana Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Dr Supardji Ahmad dengan materi “Penguatan Kewenangan Bawaslu dalam Penanganan Pelanggaran Pemilu”.

    Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan tenaga ahli Komisi II DPR RI, Abrar Amir yang menyampaikan materi “Penguatan Kelembagaan Bawaslu dalam Dinamika Pembahasan Revisi Undang Undang Kepemiluan”

    Sementara itu, Ketua Lembaga Pemantau Masyarakat (LPM) Demokrasi dan Keadilan, Tobaristani mengungkapkan, diskusi yang diinisiasi Bawaslu DKI Jakarta tersebut sangat menarik.

    Menurut dia, terdapat sejumlah poin penting terkait tema yang dibahas. Pertama, forum ini menjadi sarana informasi bahwa sebaiknya Komisi II DPR RI perlu segera mempersiapkan diri dan membuat daftar isian masalah yang harus dievaluasi kaitannya dengan penyelenggara pemilu.

    Kedua, masukan tentu perlu diperluas bukan dalam forum ini, tetapi juga seluruh elemen masyarakat bangsa, rektor, forum-forum dosen yang terkait dengan masalah pemilu.

    “Ini mesti diajak untuk membahas secara detail yang menjadi krusial isu-isu tentang pemilu yang akan datang,” katanya.

    Ia menegaskan, pemerintah harus menguatkan kelembagaan Bawaslu agar seluruh sumber daya di dalamnya bisa bekerja dengan baik, maksimal dan leluasa.

    “Kita tentu ingin ke depan tidak ada lagi isu-isu yang mempengaruhi penyelenggara pemilu. Biarkan mereka bekerja optimal tanpa intervensi kepentingan, terutama dari peserta pemilu,” katanya.

    Tobaristani juga memandang perlunya peningkatan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu untuk mencegah adanya “money politics” hingga keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Bawaslu bisa membuat sayembara untuk mengungkap praktik kecurangan pemilu. “Siapa saja yang mengetahui dan memiliki bukti bisa melaporkan dibarengi dengan pemberian hadiah jika hal itu valid,” katanya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Silaturahmi ke Syarikat Islam, Mardiono Didukung Hamdan Zoelva untuk Besarkan PPP di Pemilu 2029

    Silaturahmi ke Syarikat Islam, Mardiono Didukung Hamdan Zoelva untuk Besarkan PPP di Pemilu 2029

    Silaturahmi ke Syarikat Islam, Mardiono Didukung Hamdan Zoelva untuk Besarkan PPP di Pemilu 2029
    Penulis
    KOMPAS.com
    — Ketua Umum Syarikat Islam (SI) Prof. Dr. Hamdan Zoelva menegaskan komitmen SI untuk ikut mendorong kebangkitan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang kini tengah berjuang kembali lolos parlemen di Pemilu 2029.
    Hal tersebut dikatakan Hamdan Zoelva saat menerima kunjungan silaturahmi Ketua Umum PPP Muhamad Mardiono beserta jajaran pengurus DPP PPP di kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) SI, Jakarta Kamis (30/10/2025).
    “PPP adalah partainya umat dan Syarikat Islam merupakan salah satu pendiri partai ini. Tentu kami merasa memiliki tanggung jawab moral dan historis agar PPP tidak hanya bertahan, tapi juga bisa besar kembali seperti masa-masa lalu,” ujar Hamdan Zoelva, usai pertemuan.
    Pertemuan tersebut berlangsung hangat dan sarat makna sejarah, membahas langkah-langkah strategis untuk menghidupkan kembali kejayaan PPP sebagai partai Islam.
    Mantan Ketua MK 2013-2015 ini juga menegaskan bahwa posisi Syarikat Islam ini memiliki kedekatan historis dengan PPP dibandingkan partai lain, sehingga memberikan makna khusus.
    “Tentu sebagai induk yang mendirikan PPP merasa penting untuk melihat PPP tumbuh dan besar kembali. Kalaupun sekarang tidak ada kursi di DPR RI, harapan kami di 2029 bisa kembali dengan suara yang lebih besar,” ucap Hamdan.
    Sementara itu, Ketua Umum PPP, Muhamad Mardiono menyampaikan bahwa kunjungan ini merupakan bentuk silaturahmi sekaligus laporan hasil Muktamar PPP yang baru saja selesai digelar pada September lalu.
    “Syarikat Islam adalah salah satu dari empat organisasi pendiri PPP. Karena itu, kami datang untuk bersilaturahmi, melaporkan hasil muktamar, dan meminta pandangan serta bimbingan dari Syarikat Islam,” jelas Mardiono.
    Ia pun menyampaikan harapan agar Hamdan Zoelva dapat memberikan masukan bagi arah kepengurusan baru PPP, bahkan membuka peluang untuk ikut bergabung dalam struktur partai.
    “Alhamdulillah beliau sangat memberikan perhatian terhadap dinamika yang terjadi di PPP. Kami berharap Pak Hamdan Zoelva berkenan memberikan pandangan dan mungkin bergabung bersama kami dalam upaya membesarkan kembali PPP,” ujarnya.
    Pertemuan ini menjadi sinyal kuat adanya upaya konsolidasi dan rekonsolidasi kekuatan Islam politik menjelang Pemilu 2029. Dengan dukungan moral dari organisasi pendiri seperti Syarikat Islam, PPP diharapkan mampu bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan utama politik umat di Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MKD Tolak Pengunduran Diri Rahayu Saraswati, Tetap jadi Anggota DPR dan Tidak Nonaktif

    MKD Tolak Pengunduran Diri Rahayu Saraswati, Tetap jadi Anggota DPR dan Tidak Nonaktif

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menyatakan bahwa Rahayu Saraswati Djojohadikusumo tetap merupakan Anggota DPR periode 2024-2029, sehingga statusnya tidak nonaktif.

    Adapun keputusan itu dilakukan guna menindaklanjuti surat Majelis Kehormatan Partai Gerindra Nomor 10-043/B/MK-GERINDRA/2025 tertanggal 16 Oktober 2025 perihal surat keterangan terkait keanggotaan Saudari Rahayu Saraswati.

    “MKD DPR RI memutuskan bahwa Saudari Rahayu Saraswati tetap sebagai Anggota DPR RI periode 2024-2029,” kata Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam dilansir dari Antara, Kamis (30/10/2025).

    Dia menjelaskan bahwa keputusan itu diambil setelah MKD DPR RI melakukan pembahasan dan mempertimbangkan aspek hukum, ketentuan tata beracara MKD. Selain itu, dia mengatakan MKD DPR RI juga memutuskan hal itu berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Partai Gerindra.

    Menurut dia, MKD akan terus menjalankan tugas konstitusionalnya secara profesional, independen, dan berpedoman pada prinsip-prinsip penegakan etik dalam menjaga marwah dan kehormatan lembaga legislatif.

    Sebelumnya pada Rabu (10/9), Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyatakan mundur sebagai Anggota DPR RI karena memahami ada ungkapannya beberapa waktu lalu yang dinilai menyakiti banyak pihak.

    Dia pun memohon maaf sebesar-besarnya atas ucapan dan kesalahannya tersebut. Kemudian Fraksi Partai Gerindra sebagai anggota DPR RI pun menonaktifkan keponakan Presiden Prabowo Subianto itu setelah menyatakan mengundurkan diri.

     

     

  • Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Disamakan dengan Dosen?

    Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Disamakan dengan Dosen?

    Mengapa Usia Pensiun Guru Tak Bisa Disamakan dengan Dosen?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terkait masa pensiun.
    Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, usia pensiun guru dan dosen tidak bisa disamakan karena guru hanya mensyaratkan pendidikan minimal Strata 1 (S1), sementara dosen minimal Strata 2 (S2).
    Bahkan dosen didorong untuk mengembangkan karier akademiknya hingga Strata 3 untuk prasyarat pengembangan ilmu pengetahuan dan jabatan akademik tinggi.
    “Sehingga, seorang ASN baru akan mulai menjabat dalam jabatan fungsional dosen di usia yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ASN pada jabatan fungsional guru,” kata Enny saat membacakan pertimbangan putusan perkara 99/PUU-XXIII/2025 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2025).
    Ia menambahkan, jika usia pensiun guru disamakan dengan dosen, maka rentang waktu masa bekerja seorang guru bisa lebih panjang dari dosen. Padahal, jabatan guru telah diatur dengan rigid sehingga batas usia pensiun tidak bisa lagi ditambah.
    Oleh sebab itu, MK menilai, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma terkait perbedaan usia pensiun guru dan dosen.
    Permohonan ini diajukan oleh seorang guru bernama Sri Hartono.
    Sri merasa aturan terkait pensiun guru yang ditetapkan 60 tahun diskriminatif. Karena dalam UU yang sama, dosen diberi waktu lebih panjang untuk pensiun yakni 65 tahun.
    Beleid tersebut dinilai diskriminatif, sebab guru kehilangan hak untuk bekerja dan menerima gaji atau tunjangan profesi selama 5 tahun jika dibandingkan dengan dosen.
    “Padahal dosen pada usia yang sama masih berhak bekerja,” kata Sri dalam permohonannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.